Terima kasih untuk teman-teman yang membaca novel ini. Semoga menghibur. Bila berkenan mohon tinggalkan review, komen, atau vote gem agar aku lebih bersemangat. Selamat membaca!
Misi Anes adalah membuat Raina berdebar saat melihat Irham. Namun, kenapa sulit sekali? Semakin Irham mendekat, Raina kian muak. Geli, gelay, bikin bergidik pokoknya. Apa begini, ya, kalau kelamaan jomlo? Yang mengherankan adalah bila Raina muak karena gombalan Irham. Namun, kenapa pada Adli, dia bisa bersikap santai? Aneh banget, nggak, sih? Pagi ini, Raina berjalan santai menuju lantai 4. Setelah mata kuliah terakhir, dia diajak bicara di ruang Irham. Siapa juga yang mau masuk ke sarang dosen ngebet nikah? Big no! Kenapa mata kuliah yang diampu Irham sudah bagaikan minum obat? Raina hampir tiap hari bertemu lagi dengannya. Dia bahkan sudah mulai deg-degan untuk menjalankan strategi dari Anes sejak berangkat kuliah. Apa benar Irham akan illfeel padanya jika bersikap manis, posesif, agresif? Ah, siapa tahu, 'kan? Patut dicoba. Ruangan sudah penuh mahasiswi. Ini akibat dari Raina yang kelamaan berjalan sambil berpikir. Dia melihat Anes juga kehabisan kursi paling depan. Temannya itu
'Pulang kuliah, kita harus bicara!' Raina menghela napas. Bicara apa lagi? Bukannya sudah jelas, dia tidak mau menikah dengan Irham. Titik. Tanda seru. Seharusnya, dia tidak pernah menerima tawaran Irham untuk bicara. Bicara dalam ruang dosen adalah pilihan paling tepat. Raina tidak mau bicara di taman atau kafe. Tidak mau pokoknya. Jangan sampai semut melihat mereka berdua sedang bicara. Terasa aneh bagi Raina saat memasuki ruang dosen. Dia melihat dosen-dosen lain dalam ruangan itu tersenyum. Ada apa dengan mereka? Raina memegang tali tas Selempangnya untuk mengurangi malu. Malu? Iya, malu. Kentara sekali ada apa-apa pada orang-orang itu. Belum sempat Raina membuka pintu ruangan ekslusif Irham, dia sudah terkejut. Pria itu membukanya dengan tiba-tiba. "Kamu lama banget jalannya!" gerutu Irham setengah berbisik. Ups! Kenapa kalimat itu terdengar manja di telinga Raina. Tampak seperti seorang kekasih yang sedang merajuk. Ish! Geli! Ya, Raina tentu saja geli mendengarnya. Dia ha
Raina terus memukul Anes dengan guling. Perang dimulai! Tak ada ampun untuk Anesya Paramitha. Anes mengaduh. Namun, mulutnya tertawa. Dia terpojok di atas ranjang. Sore ini, mereka baru selesai belajar bersama di rumah Raina. Minggu depan akan ada Ujian Pengendali Mutu. "Udah, dong, udah! Nyonya Nusakambangan dendam banget orangnya!" Raina mengayunkan gulingnya semakin tinggi. "A-ampun!" Anes mengangkat kedua tangan. "Semua tentang gue lo sampaikan ke Si Bapak Nusakambangan itu?" tanyanya gregetan. "Nggak, nggak! Nggak semua. Yang ditanya aja!" "Dia tanya semua hal?" tanya Raina dengan mata berkilat. Gulingnya sudah diempaskan. "Hmmm, i-iya, kadang." Anes takut diamuk lagi oleh sahabatnya. "Jangan, dong, Nes! Lo ada di pihak gue, dong! Berhenti aja lo jadi temen gue kalo masih ember sama dia!" Raina sedang rebahan. Dia menyedekapkan tangan. Anes ikut merebahkan diri di sebelah Raina. "Iya, iya, nggak lagi! Padahal lo harusnya terima kasih sama gue! Kan jadi punya ide tambahan
"Kamu ngapain? Masa kecil kurang ngeliat cowok ganteng jadinya liatin pasir?" tanya Irham sambil tersenyum. Irham hampir saja menanyakan masa kecil kurang bahagia seperti yang suka diguyonkan kebanyakan orang. Hampir saja! Bagaimana kalau Raina menjawab iya? Wanita di hadapannya memang tampak ceria, tapi pasti jauh di dalam hatinya penuh kerapuhan. Irham tidak menyesal sudah menyampaikan kalimat aneh seperti itu. Tentu masih lebih baik daripada dia bertanya apakah masa kecil kurang bahagia. Pria itu mengembuskan napas pelan. ""Besok siang, kamu mau menemani saya, 'kan?" Pertanyaan ini kenapa terdengar norak di telinga Irham sendiri. "Nggak mau, Pak!" "Padahal saya sudah belikan baju bagus!" Irham menyandarkan tubuh jangkungnya pada mobil. "Bapak kasih ke Anes aja." Raina memutar mata. Siapa juga yang suruh beli baju? "Mana muat dia pakai baju ini!" Irham menikmati segala cara penolakan dari wanita di hadapannya. "Jadi, nilai tugas pra ujian kemarin pakai nilai asli saja?" Rain
Raina menatap Anes bingung. "Lo ngajak Adli?"Mereka memang bersahabat dengan Adli. Namun, tidak di tahap Anes bisa mengajak pria itu ke undangan. Demi apa pun, Anes tidak pernah melakukannya selama hampir tiga tahun berteman dengan Adli."Jangan melotot gitu, dong! Nggak seperti yang lo pikirin," gumam Anes.Mereka mengakhiri pembicaraan tentang Adli Winata karena pria itu membuka pintu dan duduk manis di jok belakang. Mobil pun kembali melaju menuju tempat acara."Rai, lo suka mawar putih, 'kan?" Adli menyodorkan satu buket mawar ke tangan Raina.Wanita itu belum selesai memikirkan apa hubungan Anes dan pria yang dicap sebagai pacar bohongan. Sekarang, dia harus bahagia atau takut menerima bunga dari Adli? Kalau Anes menyukai Adli, tentu dia tidak pantas melakukannya."Astaga, jadi lo ke toko bunga buat beli bunga itu?" Anes menoleh ke belakang, menatap Adli geli."Terus gue harus beli apaan?" tanya Adli kesal. "Rai, terima, dong! Apa-apaan lo nolak buket bunga dari cowok paling gan
"Mandangin pelaminan terus! Kan gue belum lulus kuliah." Adli sudah berdiri di samping Raina "Geli banget omongan lo!" seru Raina setelah menoleh kepadanya. Adli cekikikan mendengar itu. Dia paham betul bahwa Raina adalah tipe wanita yang terkadang tidak suka romantisme. "Anes mana?" "Anes ke kamar mandi. Lagi apa?" "Lagi mikir. Emangnya menikah sebahagia mereka?" Raina kembali mengarahkan pandangan pada sepasang pengantin di depan sana. Adli ikut fokus pada pasangan suami-istri yang baru saja sah tersebut. "Mereka bahagia!" Pria itu mengatakannya karena melihat pengantin sedang tertawa bersama dan saling menatap. Raja dan ratu sehari yang sedang mereka lihat sedang melakukan photoshoot untuk album pernikahan. Gaya memeluk, saling menatap, tertawa, dan beberapa adegan romantis lainnya dicoba satu per satu. Adli dibuat menelan ludah menyaksikan pemotretan tersebut. Dia menyugar rambutnya yang mulai gondrong. "Kita juga bisa bahagia, Rai!" serunya menyalurkan semangat. "Lo tau
"Ayo, segera menikah, Raina!" Raina mencari kebenaran di mata Adli. Tidak mungkin pria itu mengatakanya dengan serius."Ya ...cari pasangannya dululah!" Akhirnya sewot juga. Diajak menikah oleh Adli Winata? Yang benar saja! Ini jauh lebih aneh dibanding dilamar Irham Nusahakam. "Lo nggak ngerti kata ayo? Ayo! Ayo tuh artinya nikah sama gue!" Adli mengeluarkan emosinya yang tidak seberapa itu. "Beneran nggak paham atau cuma pura-pura aja, sih?!" Dia mengacak rambutnya kasar. Raina terdiam. Dia menahan tawa. "Jangan pernah keluar kalimat menyeramkan kayak gitu lagi dari mulut lo! Gue nggak mau, ya, dunia permedsosan gempar. Keep your silent!" Raina mengisyaratkan mengunci tangannya dengan jari. Dia sangat memahami seberapa terkenalnya Adli di luar sana. Jadi, sangat tidak mungkin seorang Adli Winata mengatakan hal semacam itu. Sementara, Irham mendengkus melihat Adli yang frustrasi. Apakah cowok itu akan bergabung dengan mahasiswanya sendiri sebagai barisan patah hati? Tidak lucu! Di
"Terakhir kali saya tanya kamu. Mau ... menikah sama saya?" Raina menundukkan kepala. Dia menjalin jari jemarinya. Tiba-tiba terlintas bisikan Sheiza. Tentang kebaikan Irham yang tak bisa dipungkiri. Haruskah Raina memukul dirinya sendiri untuk mengurangi pikiran-pikiran negatif tentang rumah tangga? Tanpa sadar, sudut mata wanita itu menitikkan air. Bagaimana bila dirinya tidak seperti yang diharapkan Irham? Bagaimana bila Irham meninggalkannya? Bagaimana bila dia tidak bisa hidup tanpa Irham? Bagaimana bila ada sesuatu di antara Maira dan Irham? Dia ingin tak bodoh sendirian. "Hei, kamu kenapa?"Irham membungkukan badan demi melihat mata Raina. "Nggak bisa jawab? Galau? Ya sudah, kamu nggak usah jawab. Aku nggak akan bertanya lagi tentang pernikahan." Irham tersenyum. Dia menegakkan badan dan mulai mengemudi. Pikiran Irham melayang. Mungkin memikirkan alasan Raina menangis. Apakah dirinya sangat menakutkan sampai gadis ceria seperti Raina menangis? Irham memasukkan kembali kotak