Dokter dengan muka bersedih menemui keluarga pasien.
"Bagaimana keadaan anak saya, dokter?" tanya Titin ragu.
"Keadaan pasien masih kritis, ada pendarahan dan kami sedang berusaha menghentikannya." Kata dokter menjelaskan dengan hati-hati.
"Kenapa tiba-tiba ada pendarahan, Dokter?" Virgo menyela penuh emosi.
"Terjadi komplikasi ...tenangkan hati kalian! Kalau sudah tenang saya akan jelaskan di ruangan saya!" Dokter yang tampak lelah itu masuk ke dalam ruang kerjanya.
"Ada apa dengan Tiffara, Ma?" pekik Virgo menangis.
"Bagaimana mungkin kamu sebegitu perhatiannya, padahal dia istri adikmu, Virgo? Begitu dalamkah rasa cintamu padanya?" batin Titin.
Dua orang perawat keluar dari ruang operasi. Virgo dan Titin menghampirinya.
"Bolehkah kami melihat pasien, Sus?" tanya Virgo.
&nbs
Armand selalu menjadi Sengkuni dalan keluarga Abidin. Tak henti-hentinya menghasut ke sana-sini. Sore itu Abidin bermain bola dengan kedua cucunya yang baru bisa berjalan, di halaman belakang. Mereka tampak bahagia, Titin sedang mengamati sambil tertawa. "Tiffa, andai saja kamu tahu betapa lucu dan menggemaskannya anakmu, kamu pasti bahagia dan bangga," gumamnya dalam hati. "Sore, Mbak?" sapa Armand. "Selamat sore, Armand," jawab Titin. "Mana Mas Abidin, Mbak?" "Itu lagi main sama cucunya," jawab Titin sambil menunjuk ke arah Abidin. Armand bergegas menghampiri Abidin di taman belakang rumah. "Lagi olah raga, Mas?" tanya Armand yang mendekati Abidin. "Iya Armand, ini momong cucuku," ujarnya sambil tertawa kecil sambil melempar bola ke arah Arjun.
Resmi sudah Ahem menyandang duda muda yang keren. Semenjak dia mengikrarkan Talaq saat itu, rasa trauma menghantui Ahem. Ada penyesalan yang tak bisa digambarkan. Andai saja saat itu dia tidak gegabah menuruti keinginan papanya. Harusnya Ahem sabar menunggu sampai Tiffara sadar dari koma. Dia harus mendengar dari mulutnya sendiri, "Benarkah dia ingin lepas dari Ahem?" Ahem tidak berani telepon dan menanyakan kabar dan keadaan Tiffara dan anak-anaknya. Ada rasa bersalah yang teramat dalam dan menghantui. Dret ... Dret ... Dret ... Ponsel Bagas berdering, saat itu dia sedang ada rapat di ruangannya. Sebuah perusahaan yang baru dirintisnya di Singapura sebagai anak cabang perusahaannya yang di Jakarta. "Maaf rapatnya sampai di sini dulu, besuk kita lanjutkan lagi. Oh ya, untuk penawarannya kita buat selimit mungkin Pak Yusuf
Ahem sudah berjanji tidak ingin menghubungi Indonesia lagi sejak dia menjatuhkan Talaq kepada Tiffara. Tapi panggilan tak terjawab begitu banyak dari Virgo. Titin dan Bagas. Ahem sadar ini pasti reaksi dari keterkejutan mereka atas keputusan gegabahnya itu. "Apakah ada berita penting lagi, jangan-jangan ...?" pikir Ahem dalam hati. Dret ... Dret ... Dret ... Ponsel Ahem kembali berdering untuk kesekian puluh kalinya. Ahem menatap layar ponselnya, ternyata Titin yang menelepon. Akhirnya dengan debar- debar jantungnya dia pun mengangkat teleponnya. "Iya halo?" sapanya. "Laki-laki brengsek! Apa yang ada di otak kamu, hah? Bagaimana bisa aku melahirkan anak sekejam itu?" serang Titin begitu telepon diangkat. "Maafkan aku, Ma! Tiffa lebih bahagia apabila lepas dariku,
Teriakan Tiffara terdengar lantang sampai keluar rumah. Sontak satpam yang baru keluar dari toilet terbelalak kaget. "Siapa yang minta tolong? Itu bukan suara Siti tapi suara itu berasal dari dalam rumah," pikir satpam Sabirin. "Atau jangan-jangan dia adalah adiknya Tuan Bagas," lanjutnya. Sabirin segera berlari menghampiri suara itu berasal. "Tolooong!" teriaknya lagi. "Tidak ada orang yang mendengar teriakan mu, Cantik! Percuma kamu buang-buang energi! Menurutlah!" desak Gito. "Tolooong!" Teriak Tiffara lagi dengan histeris dan ketakutan. Badannya gemetaran dengan keringat dingin yang mengucur. "Hentikan!" Bentak Satpam Sabirin yang tiba-tiba muncul. Karena merasa terkejut dan terpojok, Gito langsung meraih leher Tiffara. Tangannya menggelayut dari belakang dan menekan sehingga Tiffara sulit bernafas. Ti
Malam telah larut, setelah ikut dower dan pemanasan siswa pencak silat, Tiffara beristirahat sambil menunggu sambung. Sambung adalah istilah dalam pencak silat berupa pertandingan persaudaraan. Saling menjajal kemahiran dalam adu kanuragan. Kelima teman seangkatan Tiffara sudah siap di dalam kalangan sambung, Bagas sebagai wasitnya. "Tiffa, kalau malam ini kamu bisa mengalahkan kelima letting kamu, minggu depan kita langsung pulang ke Indonesia. Tapi kalau kamu masih gagal, berarti kita masih harus menundanya." Bagas memberi ultimatum kepada Tiffara. "Baik, Mas Bagas," jawab Tiffara tegas. Setelah mereka berenam berada di dalam kalangan berbentuk lingkaran, Bagas mulai memberi aba-aba, setelah mereka berjabat tangan. "Persiapan, ... mulai!" teriak Bagas. Mereka pun mulai dengan aksi jurus. Tiffara dengan mata
Kini nama panggilannya Melody atas saran Bagas. Dia ingin adiknya menjadi sosok baru yang tidak bisa dikenali lagi. Mengingat setiap orang yang mendekatinya di masa lalu selalu menyakitinya. Kini Melody mulai masuk perguruan tinggi ternama di kota Jakarta. Dia mengambil Fak. Ekonomi jurusan Manajemen. Penampilannya berubah drastis, seperti seorang gadis culun yang lugu dan sederhana. Kacamata yang besar membuat kesan seperti gadis primitif yang norak. "Usahakan kamu menggunakan kemahiranmu hanya saat kepepet. Terlebih untuk menolong dirimu sendiri dan orang lain yang tertindas!" pesan Bagas. "Jangan khawatir Mas Bagas, aku bisa jaga diriku sendiri." jawab Tiffara menenangkan. "Kalau kamu ingin masuk ke rumah mantan suamimu, dan ingin merawat anak-anakmu, bersabarlah! Kita menumggu waktu yang tepat, Melody," ujar Bagas memberi harapan. Untuk pertama kalinya panggilan itu disebut untuknya. Semula ada perasaan yang aneh seolah bukan
Bagas belum siap bila adiknya harus bertemu dengan keluarga yang sudah membuatnya menderita. Apalagi penampilannya saat ini pasti mereka masih bisa mengenalinya. Untuk masuk kembali ke sana butuh persiapan yang matang.Bagas ikut mendadani penampilan hari pertama Tiffara masuk kuliah. Agar siapapun tidak bisa mengenalinya. Kejadian kecelakaan yang menimpa Ahem sekeluarga, sudah cukup membuat Bagas berpikir berulang kali. Ada yang tidak wajar dengan kejadian itu. Tapi Bagas masih sakit hati kepada Ahem, lelaki yang pernah meembuat hidup adiknya sangat menderita bahkan menjanda di usianya yang masih belia."Jangan tunjukkan wajah asli kamu, Melody! Kecelakaan yang menimpa keluargamu bisa menimpa ke kamu juga. Bila mereka tahu kamu sudah pulang ke Indonesia," pesan Bagas sambil duduk di samping Tiffara yang sedang bermake up."Apakah anak-anakku aman bersama mereka di sana, Mas Bagas?" tanya ragu."Tentu saja tidak, tapi kita belum punya cara untuk masuk ke
Ahem mulai banyak merasakan hawa di rumah yang tidak nyaman. Kesepian dan tercekam, rasa tidak percaya pada sekelilingnya. Setelah polisi menyampaikan ada kesengajaan pengerusakan rem mobil. Selang diiris dengan sengaja sehingga minyak rem bocor, padahal mobil baru tidak mungkin ini terjadi. Kejanggalan itu memang tanpa bukti dan tanpa ada pihak yang lapor untuk penyelidikan lebih lanjut. Sehingga masalah ini tenggelam begitu saja. "Paman, dari TKP banyak kejanggalan, aku jadi ingat rencana Paman, apakah ini bagian dari rencana Paman itu?" tanya Virgo berbisik. "Syukur kamu menyadari, ini sedikit pengorbanan Paman buat kamu, Virgo. Bahkan aku bisa melakukan lebih, apapun itu," gumamnya tidak merasa bersalah. "Gila! Aku sudah bilang pada Paman aku tidak butuh semua itu! Aku tidak mau Paman ikut campur masalahku. Cukup!" hardik Virgo. "Aku memikirkan kebahagiaanmu, Virgo. Kamu satu-satunya keponakan kesayangan Paman," Armand merayu.