Rizal mengatur ritme nafasnya. “Tak banyak yang akan saya sampaikan, saya hanya ingin mengakui sesuatu pada anda. Oh ya, sorry. Saya belum memperkenalkan diri. Saya Rizaldi Takki, seorang duda yang telah menyebabkan adik anda sengsara dan karena saya juga anda menjadi seperti ini,” ucapnya cepat, berharap kata-kata yang ia ungkapkan tidak mengakibatkan keraguan. Ingin menghentikan apa yang selanjutnya akan ia ucapkan namun logika kebenarannya berlawanan. ”Sayalah yang mengirimkan video dan foto-foto perselingkuhan suami anda dengan anak buahnya. Saya yang telah menyebabkan aibnya tersebar dan wanita sialan di sana adalah Ardila, mantan istri saya.” Rizal menelan saliva sambil meremas kuat sisi ranjang besi, berusaha menahan malu. Nara yang menyimak pengakuan duda itu hanya mampu terdiam. Jiwanya sedikit terguncang mengingat kepahitan yang ia alami terlebih perjuangan sang adik yang menyedihkan. Namun demi mendengar kelanjutan cerita duda itu, Nara berusaha tenang, mengontrol emosi da
Mendapati gadisnya mulai menaiki sebuah mini bus, dengan tergesa Rizal langsung menekan tombol autopilot kendaraannya. Satelit pribadinya langsung mengarah pada posisinya, sensor, radar, GPS, kamera pengintai dan teknologi canggih di dalamnya langsung bekerja. Tanpa menunggu lama, mobil itu pun mengemudikan dirinya sendiri. Rizal kembali mengamati Raya dibalik binokularnya yang canggih. Alat pengganti kedua indra penglihat yang mampu menampakkan Raya secara detail meski keduanya berada dibalik kaca, berjauhan. Mengamati gadis itu duduk terdiam bersandarkan dinding bus yang berkarat. 'Apa yang sedang kau pikirkan, hm?' 'Cantik.' 'Jika nanti kau menjadi istriku, tak akan pernah kubiarkan kau menaiki benda buruk itu!' 'Seharusnya kamu bersandar di bahuku.' 'Apa kamu sedang mikirin aku?' Tanpa ia sadari, celotehan-celotehan ringan itu keluar begitu saja. ’Kenapa ke rumah sakit ini?’ tanya Rizal ketika mendapati gadis itu memberhentikan mini bus, kemudian memasuki sebuah rumah sakit
“Ini kenapa bisa begini sih? Gue udah pake high security, kenapa masih aja bocor!? Ilham, Reza, Teguh, pada bener gak sih kerjanya?” omel Rizal pada Andika yang duduk di sampingnya. “Untung data anak perusahaan, kalo sampe kantor pusat mereka! Perusahaan gue bisa di tuntut!” Andika yang diajak berbicara hanya bisa diam, tidak memberi jawaban dan tidak berkomentar. “Tuan, saya mau pulang.” Ditengah-tengah keseriusan Rizal, gadis itu mengungkapkan isi hatinya. “Kamu lupa apa yang dokter katakan? Berbaring!” Gadis itu langsung gelengkan kepala. “Tetap disana, ingin sesuatu bilang padaku.” Rizal kembali sibuk dengan laptopnya. Sesekali telepon genggamnya berdering dan tak jarang ia tampak menghubungi seseorang. Lima hari sudah Raya menjalani penyembuhan, selama itu pula Rizal selalu mendampingi. Apa yang duda itu jalani akhir-akhir ini begitu menyenangkan menurutnya, meski pekerjaan entah mengapa tak bisa diwakilkan. Berlawanan terbalik dengan apa yang Raya rasakan, enam tahun selur
Perguliran waktu kian berlalu dengan cepat, Raya yang menjalani pengobatan kini telah diizinkan pulang. Dengan syarat tetap menjaga pola makan sehat, minum susu dan jangan melakukan hal-hal berat. Komunikasi dua sejoli itu masih terjaga meski Rizal mulai jarang menghubunginya. Berharap pekerjaan cepat selesai hingga ia mengurangi komunikasi intensnya dengan sang kekasih. Setelah menjenguk sang kakak, Raya mengajak Fayed mendatangi tempat di mana dirinya pernah bekerja. Sekedar mengingat kenangannya di tempat itu sekaligus mengecek kebutuhan apa saja yang harus ia beli dan lengkapi. Paska menekan digit-digit angka yang ia hafal, pandangannya dikagetkan dengan kondisi hunian yang tampak berantakan tak karuan. Kamera CCTV langsung mengarak padanya ketika pintu terbuka, dan tak menunggu lama duda pemilik hunian langsung melakukan panggilan. [Cantik! Jangan kausentuh benda-benda itu!] Kalimat pertama yang keluar ketika panggilannya terangkat. [Aku gak ngapa-ngapain.] Balas Raya cuek.
Dering sebuah pesan bertandakan huniannya dimasuki seseorang Rizal abaikan, berpikir bahwa itu adalah gadisnya yang kembali datang. ’Aku senang kau mulai membuka hati untukku, aku berharap kau akan tinggal di sana bersamaku,’ gumam Rizal sambil menikmati snack penunda rasa lapar yang biasa di konsumsi para militer. Berusaha menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat hingga ia meminimalisir waktu makannya. Sebenarnya perbaikan sistem jaringan dan pembaruan teknologi di pabri yang terbakar telah ia selesaikan, namun demi profesinalisme kerja, ia pun melakukan kunjungan ke beberapa perusahaan di sana yang bekerja sama dengan Z&T Corporate. Mengantisipasi tak akan ada kejadian sama terulang lagi. ”Come on, Rizal semua ini harus cepat selesai.” Menyemangati diri sendiri sambil memainkan jari-jarinya di atas keyboard, ditemani kunyahan snacknya. ’Tumben balik duluan.’ Gumam Rizal setelah mendapatkan informasi bahwa Rosa kembali lebih dulu. ’Tidak, tidak. Lusa terlalu lama. Ya, aku harus pul
Perkuliahan belum usai, namun Rizal sudah standby di depan ruang kelas. ‘Ngapain nungguin sih, kaya anak SD aja!’ ”Raya-nya masih di dalam.” ”Saya tau!” balas Rizal sinis. “Mau rujuk ya Mas?” “Hm.” “Kayanya Raya gak mau deh, dia ‘kan lagi dekat dengan Aries.” Rizal tak lagi menghiraukan, ia tau persis apa tujuan mahasiswi itu berbicara kepadanya. Kini dia hanya sibuk dengan ponsel di tangan mengirim banyak pesan sambil bersandar pada sebuah tiang di temani headset di telinganya. Meski banyak mahasiswi berseliweran jalan di depannya dan tak jarang coba menyapa, duda itu tak menanggapi, seolah ia sedang asyik mendengarkan musik. Setelah menunggu lama, yang di tunggu-tunggu pun datang. Gadis itu keluar kelas diikuti para mahasiswi yang penasaran. Rizal langsung menegakkan tubuhnya, melangkah, kemudian meraih jemari Raya. “Yuk, pulang!” ”Fayed mana?” tanyanya berusaha menyamakan langkah. ”Dika yang urus!” Menjawab singkat, menolehkan kepada pada gadisnya yang tampak kesulitan meny
Tatapan sinis Nara mengartikan sesuatu yang Raya sama sekali tidak tahu. Demi menutupi kekhawatiran Rizal pun mendatangi kakak beradik itu, namun ketika kakinya melangkah untuk yang ketiga kalinya, Nara berubah menjadi panik. ”Ah! Lah! La! A! la!” ucap Nara memeluk Raya sambil menggerakan tangan seperti mengusir. Riza tetap mendekat, ingin menyapa, namun Nara masih saja mengibaskan tangannya. ”AAA, UUHH … AUH, UUHH.” Kali ini ungkapnya dengan nada keras. Raya dalam pelukannya semakin ia dekap dan kepalanya masih terus menggeleng. ”Ah, La! A! UH! LA! LA!” Wanita itu terus saja mengoceh tidak jelas. Andika yang melihat sikap Nara, ikut angkat suara. ”Nara, itu Rizal yang suka aku cerikan, dia sabahatku. Itu dia si duda manja yang haus kasih sayang dan perhatian, kamu lupa?” Nara sempat diam mencerna ucapan Andika, namun setelah itu, ia kembali panik masih memeluk sang adik. ”La! HAH! GHAaaa …” ”Ka, kakak tenang ya … semua yang ada di sin
’Katanya udah gak suka, masa lalu, gak usah cemburu. Tapi sekarang dia kerja di sini. Dasar laki-laki gak konsisten!’ gerutu Raya dalam hati ’Untung gak jadi nikah, ketauan ’kan belangnya!’ Lift terbuka, lift sama yang digunakan Ardila dan karyawan lainnya. Raya mengedarkan pandangan, lift yang seluruh dindingnya berlapis kaca membuat Raya mampu melihat mereka yang ada di belakangnya. ‘Kenapa mereka liatin terus?’ Baru sadar jika sedari tadi ia diperhatikan para karyawan. ”Vin, karyawan pada kenapa, kok mereka liatin aku terus sih?” bisik Raya merasa tak nyaman dengan tatapan para karyawan. ”Emang si bos gak cerita?” Vina balas berbisik. Raya gelengkan kepala, menatap wanita itu melalui kaca di hadapannya. ”Si bos kumpulin semua orang, gara-gara kamu ngilang dan ketaun kamu di bully di toilet.” ”Kok dia tau, aku gak cerita loh!” ”Ya taulah. CCTV berkeliaran, apalagi si bos jago IT. Berita apa yang gak bisa dia tau, heh?”