'Dia masih belum tidur, kenapa ya?' pikiran itu berkecamuk dalam benak Bima, membuatnya merasa bingung dengan perilaku Jenny. Dalam kebingungan itu, dia memutuskan untuk memejamkan mata, berharap dengan begitu, Jenny akan tergoda untuk segera tidur.
"Zzzzz ...."Hanya dalam hitungan menit, suara dengkuran halus dan ritmis itu mengisi udara malam, memecah keheningan yang sebelumnya memenuhi ruangan. Jenny, yang sebelumnya menahan diri, kini membuka mata kembali. Matanya menatap Bima, yang tampak begitu tenang dalam tidurnya."Ish!!" Gumamnya pelan, rasa sebal memenuhi hatinya. Melihat Bima yang dengan mudahnya memasuki dunia mimpi, sementara dirinya masih terjaga, membuat Jenny merasa frustrasi. Bagaimana bisa pria itu lebih dulu terlelap ketimbang dirinya, padahal Jenny tengah berjuang melawan hasrat dalam dirinya yang begitu kuat dan mendalam.***Keesokan harinya, Bima terbangun perlahan-lahan dan terhanyut oleh aroma wangi sabun yan"Ya sudah, kalian hati-hati dijalan, ya? Semoga semuanya berjalan dengan lancar," ucap Eka seraya mengusap pipi anaknya lalu memeluk tubuh Jenny sebentar."Amin, Bun," jawab Bima lalu mencium tangan Eka, kemudian disusul oleh Jenny. "Ya udah, kami berangkat. Assalamualaikum.""Walaikum salam."**Setelah datang ke kantor polisi dan memberikan keterangan, Jenny langsung diarahkan ke rumah sakit untuk melakukan visum.Pihak polisi mengajukan, selain itu Bima juga sempat memintanya. Semua itu demi membuktikan, apakah Jenny sempat diperk*sa dalam keadaan tidak sadar atau tidak. Karena jika bertanya langsung kepada Lukman, itu akan sia-sia saja.Seperti pepatah mengatakan, mana ada maling ngaku. Kalau ada, penjara akan penuh.Setelah selesai dengan urusan polisi, keduanya pulang ke rumah kemudian berlanjut pergi ke mall bersama Eka, Kaila dan juga Weni.*Hari ini terasa sangat melelahkan bagi Jenny, na
"Husss!! Jangan ngomong kayak gitu!" Bima menasehati dengan suara yang lembut, namun penuh ketegasan. Tangannya mengusap dahi Jenny dengan penuh kasih, mencoba menghapus ketakutan yang menghantui pikirannya. "Lebih baik kita berdo'a sama Allah, dan berpikir positif. Aku sendiri yakin... semuanya akan baik-baik saja."Dengan kata-kata Bima, Jenny menemukan sedikit ketenangan. Dia mengangguk, menerima saran Bima untuk terus berdoa dan memelihara pikiran positif. Mereka bersama-sama memohon kepada Allah, berharap dan percaya bahwa segala sesuatunya akan berjalan dengan baik.Selama kehamilan kedua ini, Jenny hampir tidak pernah absen dari kontrol kehamilan. Bima, dengan kepeduliannya yang tak pernah surut, selalu mengingatkan dan bahkan sering kali lebih bersemangat dari Jenny sendiri untuk memastikan semuanya berjalan lancar.Wajar begitu, Bima sendiri merasa sangat bahagia dan bersyukur karena diberikan kesempatan untuk menjadi seorang Ayah dari darah dagingnya sendiri.Kabar tentang ha
"Halo, ada apa, Mbak?" tanya seorang pria dewasa yang baru saja mengangkat sambungan telepon dari babysitter anaknya. Dia bernama Bima Pradipta, seorang pria tampan berusia 33 tahun yang menjadi CEO sukses di bidang kuliner. Dia memiliki 5 restoran mewah diberbagai kota dan salah satunya yang paling terkenal adalah di ibu kota Jakarta. "Pak Bima, Nona Kaila muntah-muntah lagi. Dia juga demam tinggi," ujar wanita dari seberang sana, dan seketika membuat Bima membulatkan matanya. "Aku akan segera pulang, Mbak." Bima menutup telepon. Lalu dia bangkit dari kursi kerjanya seraya membenarkan jas dan berlalu pergi meninggalkan kantor menuju rumahnya. Saat tiba di rumah, Bima terkejut bukan main melihat anak semata wayangnya yang berusia 4 bulan itu tampak pucat dalam gendongan Weni—sang babysitter. Cepat-cepat dia pun membukakan pintu mobil untuk wanita itu masuk, kemudian masuk juga dan mengemudi. "Apa Kaila alergi susu lagi, Mbak?" Sembari menyetir dengan kecepatan full, Bima menoleh
Dokter itu menempelkan tubuh sang bayi ke dadanya, lalu menepuk-nepuk bokong. Tetapi tetap, bayi itu tak bersuara."Kenapa, Dok?" tanya Bima seraya berdiri. Tangan gadis itu sudah terlepas dari rambutnya."Ini, bayinya nggak nangis."Dokter itu menempelkan telinga kirinya ke arah wajah bayi mungil itu, tak ada udara yang berhembus. Lalu beralih ke dada, dan detak jantungnya tak terdengar.Tak ingin menyerah, dokter itu langsung membaringkan bayi itu pada boxs, kemudian menyentuh pergelangan tangan untuk mengecek denyut nadi.Tetapi nyatanya kosong, bayi itu juga terlihat pucat sekarang."Innalilahi wa innailaihi ro'jiun. Bayi Anda meninggal dunia, Pak," katanya yang mata membuat Bima terbelalak."Innalilahi wa innailaihi ro'jiun." Bima melirikkan matanya ke arah gadis yang masih berbaring itu. Matanya terlihat berkaca-kaca dan tak lama keluar buliran bening pada sudut matanya, dia pun menangis terisak-isak sembari menutupi wajah."Kamu yang sabar ...." Bima mengelus pundak gadis itu s
Seminggu kemudian....Suara deringan ponsel yang berada di dekat bantal lantas membangunkan gadis yang tengah tertidur. Lantas dia pun mengerjapkan matanya dan segera mengangkat panggilan masuk yang tertera nama Bu Nur."Jenny! Kemana saja kamu?!" Pekikan dari sambungan telepon itu langsung membuat gadis yang bernama Jenny itu menjauhkan ponselnya pada telinga, sebab terasa berdengung."Aku sakit, Bu.""Sakit sakit, kamu ini sakit-sakitan terus! Sekarang kamu pulang ke kontrakan! Kalau nggak aku akan membuang seluruh pakaianmu!" ancamnya.Jenny membulatkan matanya dengan lebar, tetapi ada rasa bingung di otaknya. "Maksud Ibu apa? Kok bawa-bawa pakaian?""Kamu aku usir! Sudah ada yang mau menempati kontrakanku!""Kok Ibu usir aku? Aku 'kan hanya telat sebulan. Nanti aku bayar kalau ada uang.""Nggak! Aku nggak suka sama orang yang sering nunggak. Mau sebulan atau seminggu sekali pun ... aku nggak suka!" tegasnya terdengar emosi. "Aku tunggu kamu sampai sore, kalau kamu nggak datang ...
"Memangnya penampilanku seperti pengemis?" Jenny bertanya-tanya sendiri. Mungkin ini adalah pengalaman pertamanya dituduh sebagai pengemis. Jujur, ada rasa sakit di dalam hati sebenarnya. Tetapi dia mencoba memaklumi sebab mungkin saja pria itu sering bertemu pengemis yang minta-minta. Jadi dia salah paham.Jenny menundukkan kepalanya sambil memperhatikan apa saja yang dia pakai di tubuhnya. Pertama sendal jepit berwarna hijau, ketebalannya sudah lumayan tipis. Celana panjang dengan bahan kolor berwarna hitam, memang sudah terlihat butut.Dan kaos putih yang dia kenakan. Kaos itu tidak terlalu jelek, menurut dia sih masih bagus. Hanya saja warnanya kelunturan dengan bajunya yang berwarna hijau, jadi terlihat seperti buluk. Rambut panjang Jenny diikat dengan karet."Mungkin iya kali ya aku seperti pengemis, padahal 'kan niatku ingin bertanya tentang rumahnya Pak Bima. Apa aku pulang saja dari sini?" Jenny memandangi rumah mewah itu dari balik celah gerbang. Terlihat sangat indah sekali
"Itu dadamu banyak busa behha. Kamu cuci dulu lalu lepaskan behhamu. Nanti kalau Nona Kaila tersendak bagaimana, Jen?" Weni yang begitu teliti mengurus anak majikannya itu tentu tak mungkin membiarkan itu terjadi. "Kamu juga bau asem, belum mandi, ya?" Setelah duduknya lebih dekat, Weni mencium aroma asem pada tubuh gadis itu. Ditambah rambutnya juga bau matahari.Jenny mengangguk. "Iya, aku belum mandi dari sore, Mbak.""Dih jorok banget. Mandi dulu sana. Lalu ganti pakaian dan behhamu. Tubuhmu harus bersih saat menyusui, nanti dimarahi Pak Bima kalau dia tahu," tegur Weni."Maaf, Mbak. Aku nggak tahu. Ya sudah aku mau mandi dulu deh. Tapi ini Nona Kailanya nangis, gimana?""Biar aku timang-timang dulu. Kamu mandinya yang cepat tapi bersih." Weni mengambil Kaila di tangan Jenny, lalu menimang-nimangnya.Jenny mengangguk, dia langsung berjongkok untuk membuka tas jinjingnya. Lalu mengambil pakaian. Weni melihat apa saja yang dia ambil, yakni baju tidur lengan pendek, tetapi Jenny terl
Jenny mencoba mendorong-dorong dada bidang pria itu, tetapi tampak kesusahan. Kaki Jenny yang hendak berontak juga dijepit oleh kakinya, pria itu seperti mengunci Jenny dalam kungkungannya.Perlahan kedua tangan pria itu meraba dada tanpa bra itu, kemudian mulai meremmasnya. Seketika Jenny pun membulatkan matanya, lalu merasakan air susunya keluar membasahi baju.Kreek...Baju Jenny tiba-tiba ditarik olehnya hingga robek. Bukan karena tarikannya yang begitu keras, hanya saja baju Jenny memang sudah rapuh hingga cepat robek meski ditarik sedikit.Lumattan kasar yang membuat Jenny sesak napas itu langsung terlepas, gadis itu pun segera menghirup oksigennya dalam-dalam."Bapak siapa dan ... Aaakkkhhh!" Jenny mengerang kuat saat pria itu tengah menghisap salah satu dadanya dengan kasar, lalu puncak dada satunya dia jepit di antara jari tengah dan telunjuk. Baru setelahnya dia remat dengan kasar."Tolong!" teriak Jenny sekencang-kencangnya. Dia tak peduli kalau Kaila terbangun akibat kaget