"Bayiku meninggal."
Mata Dini seketika membulat. "Meninggal?!" Ucapannya yang agak keras itu sontak membuat beberapa murid yang lain menoleh ke arah mereka, cepat-cepat Dini pun menutup mulutnya sendiri. "Maaf, Jen. Bibirku suka nggak ke kontrol," katanya dengan lirih."Nggak apa-apa kok, kamu 'kan suka gitu orangnya." Jenny tersenyum."Tapi aku nggak bocorin rahasia kamu kok, Jen." Dini menggeleng cepat. "Aku berani bersumpah," ujarnya meyakinkan."Iya, aku percaya kok.""Meninggalnya kenapa? Nggak kamu bunuh, kan?"Jenny menggeleng cepat. "Nggaklah, Din. Ngaco kamu. Aku nggak setega itu. Dia meninggal pas baru lahir.""Apa mungkin dia meninggal gara-gara pas di di dalam kandungan kamu berusaha ingin menggugurkannya, ya?" tebak Dini.Wajah Jenny seketika sendu, matanya berkaca-kaca. Jika mengingat hal yang dulu pernah dia lakukan, Jenny sangat menyesal.Dulu memang dia benar-benar sudah hilang arah danSeketika terlintas bayangan kelam akan masa lalu, saat hal yang paling terburuk di dalam hidupnya.(Flashback On)Jenny Salsabila, entah di kota mana dia dilahirkan, tetapi yang Jenny ingat—sedari kecil dia tinggal di panti asuhan yang berada di kota Bekasi.Saat dirinya berumur 7 tahun, dia diadopsi oleh sepasang suami istri yang sudah hampir 10 tahun menikah tapi belum mempunyai keturunan.Kata orang dulu, istilah memancing anak bisa membuat kita cepat punya anak. Belum jelas itu benar atau tidak, tetapi banyak beberapa orang yang percaya akan hal itu.Orang tua angkatnya bukan dari kalangan keluarga kaya, tetapi sederhana.Namun, seminggu saat Jenny sudah menjadi anak angkat mereka, papa angkat Jenny meninggal dunia karena tertabrak mobil.Sebenarnya, awalnya Jenny lah yang hampir tertabrak, tetapi papanya itu berupaya menyelamatkan. Naasnya, justru dia yang kehilangan nyawa.Semenjak saat itu, semuanya seaka
"Ah, kebetulan kamu sudah ada di sini, Jen," ujar Pak RT yang baru sadar akan kehadiran Jenny, bahkan gadis itu memang datang tanpa mengetuk pintu sebab pintu rumahnya terbuka.Pak RT yang duduk di ruang tamu bersama Lukman lantas berdiri, kemudian menghampiri Jenny yang berdiri di ambang pintu.Rahang pria itu terlihat mengeras dan matanya melotot. Perlahan salah satu tangannya terangkat, mungkin sedikit lagi dia kibaskan ke pipi kiri Jenny, tetapi dengan cepat Lukman menghalanginya."Bapak jangan berbuat kasar! Walau bagaimanapun Jenny adalah perempuan!" tegur Lukman tegas, yang kini berdiri di depan tubuh Jenny. Gadis itu mengerutkan dahi, dia bingung dengan alasan Pak RT mau menamparnya, juga dengan alasan kenapa Lukman berada di sana.Jenny pun beringsut ke samping lalu menatap ke arah Pak RT yang berwajah garang."Tapi dia sudah keterlaluan! Dia nggak tahu diri!" umpat pria berkumis tebal yang mendapatkan gelar RT di kampung tersebut, jari telunjuknya menodong ke wajah cantik Je
"Masuk ke dalam mobil," titah Pak Polisi seraya membukakan pintu mobil polisi yang berada di belakang mobil Bima.Keduanya langsung saling memandang, tetapi pandangan mata Bima malah terjatuh pada belahan dada Jenny yang terlihat dari balik baju.'Wih, montoknya itu nennen,' batin Bima."Pak Bima, aku takut. Kenapa kita malah ...." Mata Jenny terbelalak kala Bima menyentuh baju di area dada. Mungkin niat pria itu ingin mengancingi kancing yang terlepas, tetapi Jenny malah salah paham. "Bapak mesum banget? Kenapa kancingku malah dibuka?!" omel Jenny marah. Cepat-cepat dia pun menepis tangan Bima, lalu meraih bajunya."Siapa yang mau dibuka? Justru aku ingin mengancinginya."'Sekalian sambil melihat isinya juga.' Bima membatin sambil terkekeh.Jenny membelalakkan matanya ketika sadar jika ternyata tiga kancing baju itu hilang. Mungkin itu alasan mengapa terlepas.'Kok nggak ada kancingnya? Perasaan tadi pagi semua lengkap,
Sampainya di kantor polisi, di dalam sana ada seorang pria dan wanita yang tengah melangsungkan proses ijab kabul. Dengan didampingi seorang ustadz, penghulu dan 3 orang warga yang menjadi saksi. Ada pula mungkin dari pihak keluarga yang menjadi wali.Yang menikah bukan hanya sepasang serta Bima dan Jenny saja, tetapi ada 3 pasang lagi. Mereka tengah duduk pada kursi belakang, seolah menunggu giliran."Kalian duduk di belakang. Ini nomor urutnya," ujar Pak Polisi seraya menunjuk kursi kosong yang berada di posisi paling ujung, lalu memberikan sebuah kertas yang bertuliskan angka 4.Bima dan Jenny mengangguk, lalu mereka pun duduk di sana. Sembari menunggu, Bima memanfaatkan momen itu untuk menghubungi Budi."Halo, Bud. Tolong pergi ke toko perhiasan yang biasa aku beli sekarang juga. Belikan cincin kawin!" perintah Bima pada sambungan telepon."Cincin kawin untuk siapa, Pak?" tanya Budi, pasti dia sedang kebingungan mendengar perintah se
"Pak Bima, aku harap ... pernikahan kita jangan sampai diketahui Bu Raya, ya?" pinta Jenny saat dirinya hendak turun dari mobil. Mobil itu sudah sampai di depan gerbang rumah mewah Bima."Kenapa memangnya?" Bima mencegah Jenny yang hendak turun. Mencekal lengannya."Kita menikah juga terpaksa, Pak. Dan aku nggak mau dengan Bu Raya tahu kalau aku menjadi istri kedua Bapak ... dia jadi makin membenciku." Meskipun sekarang Jenny telah menjadi istri kedua Bima, tapi sama sekali tak ada niatnya ingin merebut pria itu dari Soraya.Jenny menepis tangan Bima, lalu gegas dia pun turun dari mobil dan melangkah masuk ke dalam gerbang.Mendadak, dada Bima terasa berdenyut nyeri. Jelas sekali kalau gadis itu tak menginginkan pernikahan yang telah terjadi beberapa jam yang lalu. Akan tetapi, Bima justru yang senang duluan dan malah sempat memikirkan malam pertama.Namun sepertinya, keinginan itu harus Bima kubur dalam-dalam."Kok aku sedih ya, Bud. Dengar apa yang Jenny katakan," ucap Bima dengan
Jenny langsung menarik lengannya di tangan Weni, lalu menggeleng cepat."Mbak ini ngomong apa? Mana mungkin ini cincin kawin." Kakinya melangkah masuk ke dalam kamar Kaila, lalu menaruh tas di atas meja juga dengan kantong merah yang sejak tadi berada dalam pelukannya."Habis modelnya mirip, Jen. Kayak cincin kawin tapi tipe yang mahal." Wedi melangkah masuk lalu menghampiri."Aku membelinya, tadi, Mbak. Kan aku habis gajian.""Iya, aku hanya nebak kok. Oh ya, ini apa?" Weni membuka kantong merah dan mengintip isinya."Alat-alat sekolah, aku dikasih sama kepala sekolah. Katanya dari pemerintah. Apa Mbak tahu ... aku juga nggak perlu bayar SPP lho, katanya dikasih juga sama pemerintah," ungkap Jenny dengan wajah ceria. Dia tentunya sangat bahagia mendapatkan itu semua. Dengan begitu dia tak pusing memikirkan untuk membeli. Mungkin hanya sepatu saja yang saat ini dia butuhkan."Alhamdulillah, itu rezeki buat kamu. Dan sepertinya ad
Keesokan harinya.Ceklek~Jenny membuka pintu kamarnya, dia sudah mengenakan seragam sekolah. Namun, langkah kakinya yang hendak melangkah keluar itu seketika terhenti lantaran melihat Bima ada di depannya.Matanya agak mendelik, sebab kaget. "Ah, selamat pagi, Pak.""Pagi, Jen." Bima mengulum senyum. Jantungnya langsung berdebar kencang."Ada apa, Pak? Aku mau berangkat sekolah." Jenny menoleh ke kanan dan kiri, memperhatikan sekitar. Ada perasaan takut, takut jika Soraya melihat dan nantinya marah.Bima langsung menarik tangan Jenny, lalu membawanya masuk kembali ke kamar itu dan menutup pintu."Bapak mau apa? Jangan macam-macam, ya! Aku takut dimarahi Bu Raya!" teriak Jenny dengan wajah takut."Aku nggak akan macam-macam," jawab Bima. Lalu melangkah mendekati Jenny. Gadis itu beringsut mundur hingga membuat punggungnya menempel tembok."Terus mau apa?" Jenny menundukkan wajahnya, tak berani rasanya menatap pria itu sebab jaraknya cukup dekat."Aku mau minta maaf sama kamu.""Minta
"Iya. Ya sudah, aku masuk dulu, Pak." Jenny menepis tangan Bima, lalu melangkah masuk ke dalam gerbang yang sudah dibukakan oleh seorang satpam."Sekolah yang rajin, Jen! Biar cepat lulus!"Jenny mendengar suara Bima yang berteriak, namun dia tak menoleh. Terus melangkah hingga masuk ke dalam kelas.'Apa sih yang mau Pak Bima katakan? Kenapa lebay sekali sampai menyusulku di sekolah?' Jenny bertanya-tanya dalam hati. 'Tapi semoga saja bukan hal yang membuatku pusing. Apalagi kalau tentang malam pertama. Aku nggak mau.'Teeeeett ... Teeeeett ... TeeeettJam kelas sudah berbunyi. Pertanda jika waktu jam pelajaran hari ini berakhir."Jen, habis pulang sekolah kamu mau ke mana dulu, nih?" tanya Dini yang tengah memasukkan buku dan pulpen ke dalam tas."Aku mau langsung pulang, Din, kenapa memangnya?" Jenny sudah selesai duluan masukkan alat tulisnya. Dan sekarang dia berdiri sambil menggendong tas ransel."Aku tadin