Seminggu kemudian....
Suara deringan ponsel yang berada di dekat bantal lantas membangunkan gadis yang tengah tertidur. Lantas dia pun mengerjapkan matanya dan segera mengangkat panggilan masuk yang tertera nama Bu Nur.
"Jenny! Kemana saja kamu?!" Pekikan dari sambungan telepon itu langsung membuat gadis yang bernama Jenny itu menjauhkan ponselnya pada telinga, sebab terasa berdengung.
"Aku sakit, Bu."
"Sakit sakit, kamu ini sakit-sakitan terus! Sekarang kamu pulang ke kontrakan! Kalau nggak aku akan membuang seluruh pakaianmu!" ancamnya.
Jenny membulatkan matanya dengan lebar, tetapi ada rasa bingung di otaknya. "Maksud Ibu apa? Kok bawa-bawa pakaian?"
"Kamu aku usir! Sudah ada yang mau menempati kontrakanku!"
"Kok Ibu usir aku? Aku 'kan hanya telat sebulan. Nanti aku bayar kalau ada uang."
"Nggak! Aku nggak suka sama orang yang sering nunggak. Mau sebulan atau seminggu sekali pun ... aku nggak suka!" tegasnya terdengar emosi. "Aku tunggu kamu sampai sore, kalau kamu nggak datang ... semua pakaianmu aku buang ke tong sampah."
Tut ... tut ... tut.
Panggilan itu langsung terputus begitu saja, dan tak lama seorang dokter wanita berambut pendek datang membuka pintu.
"Selamat sore, Nona."
"Sore Dokter." Jenny tersenyum lalu menaruh ponselnya di bawah bantal.
"Saya periksa dulu, ya. Kondisi Nona."
"Iya."
Dokter itu menempelkan stetoskop ke arah dada Jenny, lalu mendengarkan bunyi denyut jantungnya. Tetapi pandangan dokter itu justru teralihkan pada baju pasien yang dikenakan Jenny.
Tidak ada yang salah sebenarnya, hanya saja basah kuyup dan tercium aroma amis.
"Apa air susumu keluar banyak?" tanya Dokter itu.
"Iya, Dok." Jenny mengangguk cepat, lalu meraba dadanya yang terasa keras dan nyeri. "Sakit juga rasanya, Dok. Kencang dan seperti bengkak."
"Maaf coba saya raba sebentar, ya." Lengan dokter itu terulur ke arah dada, Jenny hanya mengangguk kecil saat dia merabanya. Terasa geli dan risih, padahal hanya sebentar saja.
"Kenapa bisa begini ya, Dok?"
"Ini karena ASInya nggak dikeluarkan, jadi bengkak Nona."
"Cara keluarinnya gimana? Diperas terus dibuang?" tanya Jenny dengan polos.
"Jangan dibuang. Sayang. Oh ya, saya pernah dengar seminggu yang lalu ada seorang pria mencari ibu susu untuk anaknya. Bagaimana kalau kamu saja yang menjadi ibu susunya? Biar air susumu nggak terbuang dan tentunya bisa bermanfaat juga," usul dokter wanita berambut pendek itu.
"Ibu susu itu apa?"
"Menyusui bayi. Jadi nanti anak pria itu menyusu sama kamu."
Jenny membulatkan matanya dengan lebar, lalu menggeleng cepat. "Mana bisa begitu, Dok. Kan dia bukan anakku. Masa aku yang menyusui?"
"Ya itu namanya ibu susu. Mungkin istri dari pria itu punya masalah sampai nggak bisa menyusui."
"Tapi aku sendiri belum pernah menyusui, Dok. Pasti rasanya sakit." Jenny meraba dadanya sembari membayangkan mulut bayi yang hinggap di puncak dadanya. Seketika bulu kuduknya berdiri.
"Nggak sakitlah. Bayi mah bibirnya lembut. Lebih sakitan juga suamimu yang gigit," ujar dokter itu sambil tertawa. Tetapi justru Jenny seketika sendu dan tak lama air matanya berlinang membasahi pipi. "Lho, kok kamu nangis? Maafkan saya, Nona. Saya nggak ada maksud apa-apa." Dokter itu menyentuh pundak gadis itu dengan wajah bersalah, dia juga tak mengerti apa kesalahannya hingga membuat gadis itu menangis.
"Nggak apa-apa, Dok. Dokter nggak salah kok." Jenny mengusap kedua pipinya lalu tersenyum kecil. "Kalau memang dengan menyusui bayi itu penting, aku bersedia kok."
"Kalau begitu nanti saya hubungi orang itu, ya? Oh ya, kondisi Nona sudah baik dan sudah bisa pulang."
"Begitu ya, Dok. Tapi ...." Jenny terdiam beberapa saat, wajahnya tampak bingung. "Tapi aku nggak punya uang untuk biaya keluar dari rumah sakit, Dok." Jenny menatap dokter itu dengan wajah sedih.
"Biayanya sudah dibayar sama suamimu, sudah lunas bahkan sampai kamu keluar."
"Suamiku?" Jenny mengerutkan dahinya heran.
"Iya, suamimu. Masa sama suami sendiri lupa. Tapi kok ngomong-ngomong ... seminggu semenjak kamu melahirkan dia nggak datang lagi?"
"Dia bukan suamiku, Dok. Dia hanya orang yang menolongku saja."
"Oh ternyata bukan, ya? Maaf ... saya kira itu suamimu."
*
*
Jenny turun dari mobil angkutan umum, dia baru saja pulang dari rumah sakit. Langkah kakinya terhenti di depan teras rumah kontrakannya. Dia terlihat heran sebab ada sebuah tas jinjing besar bermotif bunga-bunga di tergeletak di sana. Jenny kenal betul tas itu milik siapa, yakni miliknya sendiri.
"Bagus deh kamu datang, sekarang kamu pergi dari sini!" seru seseorang dengan nada ketus. Suaranya terdengar dari belakang dan membuat gadis itu berbalik badan.
"Tolong seminggu saja aku tinggal disini, Bu. Nanti aku cari pekerjaan buat bayar sewa," pintanya dengan nada memohon. Jenny merasa bingung tinggal di mana lagi, sebab hanya kontrakannya saja tempat untuk dirinya berteduh dari panasnya matahari dan dinginnya hujan.
"Nggak bisa, kontrakannya sudah disewa orang. Sekarang kamu pergi saja dari sini!" cetusnya. Wanita paruh baya itu mengibaskan tangannya, seolah mengusir gadis itu.
Dengan penuh keterpaksaan, dia pun melangkah meninggalkan tempat itu sembari menenteng tas jinjing pada kedua tangannya.
"Oh iya, apa aku langsung ke tempat orang yang mencari ibu susu saja, ya?" Jenny teringat ucapan Dokter tadi, wanita itu juga sempat memberikannya kartu nama papa dari bayi yang akan dia susui. "Tapi kira-kira ... menyusui bayi seperti itu aku dibayar nggak, sih? Ya kalau nggak dibayar, minimal aku bisa tidur saja di rumahnya sambil menyusui. Lumayan juga ada tempat tinggal."
Jenny yang sudah berada disisi jalan raya itu langsung melambaikan tangannya pada angkutan umum yang baru saja lewat. Setelah berhenti dia pun segera masuk.
Di dalam mobil itu terisi banyak orang, tetapi untungnya semuanya wanita. Jadi tidak terlalu risih meskipun berdempetan.
"Pak, apa Bapak tahu alamat ini?" Jenny memberikan kartu nama yang dipegang pada sopir angkot itu. Dia sendiri tak tahu tempatnya meskipun masih diwilayah Jakarta.
"Tahu, Nona. Tapi lumayan jauh, mungkin Nona yang terakhir pas turun."
"Nggak apa-apa, Pak. Asal sampai dengan selamat."
"Oke." Pria bertopi itu memberikan kartu itu pada Jenny, lalu mengemudikan mobilnya.
***
Setelah membayar, Jenny turun dari mobil itu tepat di depan rumah mewah berwarna biru muda. Dia pun berjalan menuju gerbang ingin bertanya pada satpam yang berada di dalam sana yang tengah berdiri.
"Pak permisi," ucapnya dengan sopan. "Apa ini rumahnya Pak—"
"Maaf, Nona. Kami nggak menerima sumbangan untuk pengemis," sela pria berseragam itu dengan cepat.
"Pengemis?" Jenny mengerutkan dahinya, tak paham dengan ucapan pria itu. "Maksud Bapak apa?"
"Nona datang ingin mengemis, kan?" tebaknya. Wajah pria itu terlihat masam dan seolah tak menyukai kedatangannya.
"Aku nggak mau ngemis, Pak." Jenny menggeleng cepat. "Aku hanya ingin tanya apa—"
"Nona nggak usah berbohong." Pria itu kembali menyela. "Sekarang Nona pergi dari sini. Saya sedang malas untuk meladeni pengemis seperti Nona," ujarnya mengusir. Setelah itu dia pun berlalu pergi masuk ke dalam pos satpam.
"Husss!! Jangan ngomong kayak gitu!" Bima menasehati dengan suara yang lembut, namun penuh ketegasan. Tangannya mengusap dahi Jenny dengan penuh kasih, mencoba menghapus ketakutan yang menghantui pikirannya. "Lebih baik kita berdo'a sama Allah, dan berpikir positif. Aku sendiri yakin... semuanya akan baik-baik saja." Dengan kata-kata Bima, Jenny menemukan sedikit ketenangan. Dia mengangguk, menerima saran Bima untuk terus berdoa dan memelihara pikiran positif. Mereka bersama-sama memohon kepada Allah, berharap dan percaya bahwa segala sesuatunya akan berjalan dengan baik. Selama kehamilan kedua ini, Jenny hampir tidak pernah absen dari kontrol kehamilan. Bima, dengan kepeduliannya yang tak pernah surut, selalu mengingatkan dan bahkan sering kali lebih bersemangat dari Jenny sendiri untuk memastikan semuanya berjalan lancar. Wajar begitu, Bima sendiri merasa sangat bahagia dan bersyukur karena diberikan kesempatan untuk menjadi seorang Ayah dari darah dagingnya sendiri. Kabar te
"Ya sudah, kalian hati-hati dijalan, ya? Semoga semuanya berjalan dengan lancar," ucap Eka seraya mengusap pipi anaknya lalu memeluk tubuh Jenny sebentar."Amin, Bun," jawab Bima lalu mencium tangan Eka, kemudian disusul oleh Jenny. "Ya udah, kami berangkat. Assalamualaikum.""Walaikum salam."**Setelah datang ke kantor polisi dan memberikan keterangan, Jenny langsung diarahkan ke rumah sakit untuk melakukan visum.Pihak polisi mengajukan, selain itu Bima juga sempat memintanya. Semua itu demi membuktikan, apakah Jenny sempat diperk*sa dalam keadaan tidak sadar atau tidak. Karena jika bertanya langsung kepada Lukman, itu akan sia-sia saja.Seperti pepatah mengatakan, mana ada maling ngaku. Kalau ada, penjara akan penuh.Setelah selesai dengan urusan polisi, keduanya pulang ke rumah kemudian berlanjut pergi ke mall bersama Eka, Kaila dan juga Weni.*Hari ini terasa sangat melelahkan bagi Jenny, na
'Dia masih belum tidur, kenapa ya?' pikiran itu berkecamuk dalam benak Bima, membuatnya merasa bingung dengan perilaku Jenny. Dalam kebingungan itu, dia memutuskan untuk memejamkan mata, berharap dengan begitu, Jenny akan tergoda untuk segera tidur. "Zzzzz ...." Hanya dalam hitungan menit, suara dengkuran halus dan ritmis itu mengisi udara malam, memecah keheningan yang sebelumnya memenuhi ruangan. Jenny, yang sebelumnya menahan diri, kini membuka mata kembali. Matanya menatap Bima, yang tampak begitu tenang dalam tidurnya. "Ish!!" Gumamnya pelan, rasa sebal memenuhi hatinya. Melihat Bima yang dengan mudahnya memasuki dunia mimpi, sementara dirinya masih terjaga, membuat Jenny merasa frustrasi. Bagaimana bisa pria itu lebih dulu terlelap ketimbang dirinya, padahal Jenny tengah berjuang melawan hasrat dalam dirinya yang begitu kuat dan mendalam.***Keesokan harinya, Bima terbangun perlahan-lahan dan terhanyut oleh aroma wangi sabun yan
Pak Polisi yang sebelumnya menginterogasi Lukman mengambil sikap tegas. Dia menatap Lukman yang terlihat putus asa. "Meskipun Anda mengelak, itu akan sia-sia, Pak. Bukti yang ada sangat kuat menunjukkan bahwa Anda bersalah. Kita hanya perlu menunggu keterangan dari saudari Jenny, dan setelah itu Anda akan ditahan sebagai tahanan di sini." Lukman menolak dengan cepat, menggelengkan kepalanya. "Enggak! Aku nggak mau, Pak! Aku nggak bersalah, ngapain dipenjara? Aku di sini hanya ingin membantu Jenny, menyelamatkan hidupnya dari kebahagiaan palsu dengan Bima. Karena hanya aku yang bisa membuatnya bahagia!" Lukman berteriak dengan putus asa. Dia terlihat kehilangan akal sehatnya, bahkan melawan saat dua polisi menyeretnya keluar dari ruangan. "Lepas!! Lepaskan akuuuu!! Lily sayaaaang, tolong selamatkan aku!!" Lukman berteriak sembari berusaha melepaskan diri, meskipun terlihat sia-sia. "Jangan penjarakan akuuu!! Aku nggak bersalaaahhh!!" Lukman sudah meninggalkan ruangan, tapi suaranya
Polisi itu mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Sebelumnya mohon maaf, Ibu ini siapanya Pak Lukman? Saya ingin bertemu saudari Lily, istri dari Pak Lukman." Lily dengan tegas menjawab, "Aku Lily, Pak. Aku adalah istri dari Lukman." "Baik, kebetulan sekali. Saya ingin meminta Ibu datang ke kantor polisi, untuk memberikan keterangan terkait kasus yang sedang ditangani. Saat ini... Pak Lukman sedang ditahan di kantor polisi karena kasus penculikan dan percobaan pelecehan terhadap saudari Jenny Salsabila," jelas Pak Polisi dengan penuh kehati-hatian. Soraya dan Lily sama-sama terkejut, suara mereka terdengar serempak, "A-apa?!" Soraya menatap Lily dengan wajah penuh kebingungan, mencari kepastian. Lily, yang masih terkejut, menegaskan, "Bagaimana mungkin itu terjadi, Pak? Itu nggak mungkin! Lukman nggak mungkin melakukan hal seperti itu!" Soraya mencoba memahami situasi dengan bertanya, "Jenny yang dimaksud Pak Polisi itu, s
"Bagaimana keadaan istriku, Dok? Apakah dia baik-baik saja?" Dokter tersebut, dengan wajah yang penuh empati, menjawab, "Istri Anda baik-baik saja, Pak. Hanya saja, dia tampaknya sempat mengalami serangan panik yang cukup parah hingga menyebabkan dia pingsan," jelasnya dengan tenang dan detail. Bima merasa sedikit lega, menghela napas dalam-dalam. Meski begitu, masih ada pertanyaan lain yang mengganjal di hatinya. "Kalau kandungannya bagaimana, Dok?" "Kandungan istri Anda juga dalam keadaan baik dan sehat, Pak," jawab Dokter. "Tapi, untuk sementara waktu... Saya sarankan agar dia banyak beristirahat. Hindari aktivitas berat dan berikan dia ketenangan hati serta pikiran. Nona Jenny, istri Anda, sepertinya pernah mengalami trauma di masa lalu. Hal ini tentu tidak baik untuk kesehatannya, apalagi dalam kondisi hamil seperti ini." "Trauma apa yang dimaksud, Dok?" Meski dia sudah memiliki dugaan sendiri, tapi Bima ingin mendapatkan penjelasan langs