Share

4. Nggak ada yang gratis

"Memangnya penampilanku seperti pengemis?" Jenny bertanya-tanya sendiri. Mungkin ini adalah pengalaman pertamanya dituduh sebagai pengemis. Jujur, ada rasa sakit di dalam hati sebenarnya. Tetapi dia mencoba memaklumi sebab mungkin saja pria itu sering bertemu pengemis yang minta-minta. Jadi dia salah paham.

Jenny menundukkan kepalanya sambil memperhatikan apa saja yang dia pakai di tubuhnya. Pertama sendal jepit berwarna hijau, ketebalannya sudah lumayan tipis. Celana panjang dengan bahan kolor berwarna hitam, memang sudah terlihat butut.

Dan kaos putih yang dia kenakan. Kaos itu tidak terlalu jelek, menurut dia sih masih bagus. Hanya saja warnanya kelunturan dengan bajunya yang berwarna hijau, jadi terlihat seperti buluk. Rambut panjang Jenny diikat dengan karet.

"Mungkin iya kali ya aku seperti pengemis, padahal 'kan niatku ingin bertanya tentang rumahnya Pak Bima. Apa aku pulang saja dari sini?" Jenny memandangi rumah mewah itu dari balik celah gerbang. Terlihat sangat indah sekali. Jujur, dia belum pernah masuk pada rumah sebesar dan sebagus itu, dan rasanya dia amat penasaran dengan isi di dalamnya. "Apa di dalamnya seperti rumah-rumah di sinetron itu?" gumamnya.

Sampai menjelang malam, nyatanya Jenny tak pulang dari sana. Dia sendiri bingung untuk pergi kemana dan menurutnya, hanya rumah ini satu-satunya tempat untuk dia berlindung.

Dia juga masih penasaran apa benar ini rumah Bima atau bukan, mungkin kalau bukan, barulah Jenny pergi dari sana.

Tak lama ada sebuah mobil putih berhenti di depan gerbang, menunggu satpam di dalam sana yang mencoba membukakannya. Jenny yang tengah nongkrong di samping gerbang itu segera berdiri, lalu menghampiri mobil dan tak lama kaca mobil itu diturunkan dari dalam.

"Nona cari siapa?" tanya seorang pria berkacamata, dia memakai setelan jas dan terlihat tampan. Dia adalah Budi, asisten pribadi Bima.

"Aku—"

"Dia pengemis, Pak!" sahut sang satpam yang lagi-lagi mengira kalau Jenny ingin mengemis.

Pria berkacamata itu mengulurkan tangannya dari jendela, memberikan selembar uang lima puluh ribuan.

"Aku bukan mau ngemis kok, Pak." Jenny menggeleng cepat. "Aku hanya mau tanya ini rumah Pak Bima atau bukan?"

"Iya, ini rumah Pak Bima. Nona ada perlu apa?" Pria berkacamata mata itu langsung membuka pintu mobil dan turun menghampirinya.

"Aku dengar dari rumah sakit katanya beliau sedang mencari ibu susu. Aku bersedia menjadi ibu susu anaknya." Jenny memberikan kartu nama Bima ke tangan Budi.

"Ibu susu?" Budi mengerutkan keningnya, lalu memperhatikan Jenny dari bawah sampai atas. Rasanya aneh, sebab Jenny tampak masih belia tetapi ingin menjadi ibu susu. "Ibu susu itu menyusui bayi, Nona. Bukan untuk bermain-main." Budi menjelaskan, takutnya Jenny tak paham maksud dari ibu susu itu.

"Iya, aku tahu, Pak." Jenny mengangguk cepat.

"Memangnya susu Nona sudah ...." Ucapan Budi menggantung kala melihat ke arah dada yang cukup montok itu, dia tak jadi meneruskan sebab rasanya tidak sopan.

"Kebetulan aku habis melahirkan, Pak." Jenny menyilangkan kedua tangannya ke arah dada, dia merasa tak nyaman diperhatikan seperti itu. "Bapak jangan lihatin aku begitu, rasanya aku ...."

"Ah maaf, maaf kalau saya nggak sopan." Budi mengusap wajahnya dan langsung mengalihkan pandangan ke arah lain. "Kalau begitu ayok masuk ke dalam, tapi sebelum itu ... apa Nona membawa persyaratannya?"

"KTP sama kartu kesehatan 'kan, Pak?" tanya Jenny yang mana dianggukan oleh Budi. "Aku membawanya kok." Jenny membuka tas kecil yang dia tenteng dipergelangan tangannya, lalu memberikan KTP dan selembar kertas yang dilipat. Budi langsung membukanya dan membaca, Jenny tak ada riwayat sakit apa-apa. Semuanya sehat dan normal.

"Semuanya bagus, ayok masuk ke dalam." Budi berjalan lebih dulu masuk ke dalam sana, lalu disusul oleh Jenny.

Ceklek~

Pintu rumah mewah itu dibuka oleh Weni setelah Budi memencet bel, wanita itu tampak mengerutkan keningnya menatap Jenny sebab wajahnya dia rasa begitu familiar.

"Selamat malam Pak Budi," sapanya dengan sopan lalu melebarkan pintu untuk mereka berdua masuk. "Bapak sama siapa?"

"Malam juga, Mbak. Perkenalkan dia Jenny Salsabila. Dia akan menjadi ibu susu Nona Kaila." Budi menoleh sebentar pada Jenny dan gadis itu segera mengulurkan tangannya ke arah Weni.

"Saya Weni, babbysitter Nona Kaila. Salam kenal." Weni menyambut jabatan tangan Jenny.

"Salam kenal juga." Jenny tersenyum dan mengangguk kecil.

"Sekarang langsung antarkan saja Jenny ke kamarnya Nona Kaila, Mbak," pinta Budi.

"Memangnya nggak apa-apa, Pak? Eemmm ... Pak Bima 'kan belum pulang." Meski memang Bima mencari ibu susu, tetapi kalau orangnya sendiri tak ada rasanya Weni takut. Sebagai babbysitter tentu dia akan bertanggung jawab jika sewaktu-waktu ada apa-apa dengan Kaila dan pastinya akan disalahkan juga.

"Nggak apa-apa, nanti saya yang akan bilang padanya."

"Oh begitu. Ya sudah, ayok Jen," ajak Weni.

"Ah tunggu sebentar, Mbak," kata Jenny yang mana menghentikan langkah Weni, gadis itu pun menatap Budi. "Maaf sebelumnya, apa menjadi ibu susu berarti aku juga tinggal disini, Pak?"

Budi mengangguk. "Iya, kamu tinggal di sini."

"Dan apa aku juga dibayar? Eemm ... maaf sebelumnya kalau terdengar lancang." Jenny menundukkan kepalanya, dia merasa tak enak tetapi nyatanya dia memang butuh uang.

Budi mengerutkan keningnya, merasa heran saja dengan pertanyaannya gadis itu. "Kalau kamu nggak dibayar terus ngapain datang ke sini?"

"Aku ngikutin saran dokter, soalnya air susuku keluar banyak. Jadi daripada mubazir lebih baik untuk bayi yang membutuhkan, Pak," jelas Jenny yang memang itu adalah niat awalnya, dan sebagai bonus dia bisa tinggal di sana.

"Memangnya kalau nggak dibayar nggak masalah kamu?"

"Nggak masalah, tapi kalau boleh diizinkan aku mau tinggal di sini sambil menyusui."

Budi terkekeh, apa yang Jenny katakan terdengar aneh di telinganya, ternyata masih ada orang yang tulus membantu tanpa meminta bayaran—pikirnya.

"Polos sekali kamu, Jen." Budi terkekeh. "Dan terdengar sangat tulus. Tapi hari gini nggak ada yang gratis dan Pak Bima nggak mungkin juga menyewa ibu susu tanpa digaji. Masalah gajimu nanti bicarakan sama Pak Bima besok, sekarang orangnya masih diluar," jelas Budi.

Mata Jenny seketika berbinar. Dia sungguh senang dan belum apa-apa dia membayangkan uang ditangannya, tentu itu sangat dibutuhkan untuk biaya spp sekolah.

"Terima kasih ya, Pak." Jenny mengangguk kecil lalu tersenyum, kemudian dia pun berjalan mengekori Weni menaiki anak tangga.

***

Ceklek~

Weni membuka sebuah kamar bernuansa pink dengan motif gambar Hello Kitty. Banyak berbagai macam boneka dan mainan di dalam lemari kaca, sudah hampir mirip seperti toko mainan.

Mata Jenny memindai seluruh isi kamar itu, lalu berjalan menuju ranjang bayi yang cukup besar, menghampiri Weni yang baru saja menggendong Kaila sebab bayi cantik itu juga tengah menangis.

"Kebetulan, sepertinya Nona Kaila haus, Jen. Sekarang coba kamu susui dia." Weni memberikan Kaila ke arah Jenny, gadis itu terlihat kebingungan sebab dia tak bisa cara mengendong bayi dan menyusui.

"Bagaimana cara gendongnya, Mbak? Nanti kalau dia kecetit bagaimana?"

"Katanya kamu habis melahirkan? Kok gendong bayi saja nggak bisa?" Weni mengajak Jenny untuk duduk di atas kasur yang berada di dekat ranjang Kaila. Lalu membantunya untuk mengendong Kaila dengan benar.

"Bayiku meninggal, Mbak. Aku juga mengendongnya hanya sebentar dan asal. Aku nggak ngerti."

"Ah maaf, aku nggak tahu. Kamu yang sabar, ya?" Weni mengusap punggung Jenny sambil tersenyum manis.

"Nggak apa-apa."

Jenny melihat ke arah pintu, pintu itu tertutup rapat dan setelah itu perlahan dia pun menarik kaosnya ke atas, lalu menyembulkan salah satu dadanya yang tampak bulat dan sintal itu dari cup bra.

Weni mengerutkan keningnya, heran dengan bra yang dikenakan Jenny. Benda yang mirip kacamata itu terlihat sudah tak layak pakai, busa pada cupnya pun sudah hancur hingga banyak serpihannya menempel pada dadanya. 

Jenny mencoba mendekatkan puncak dadanya ke bibir Kaila yang sudah menganga, tetapi tangan Weni langsung menghalanginya dan itu membuat Jenny menoleh dengan kening yang mengerenyit.

"Kenapa, Mbak?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status