Deg!
Amanda terdiam. Dia merasa malu dan direndahkan.Apalagi, beberapa orang di sana mulai mengabadikannya lewat handphone pribadi masing-masing.
Tanpa basa-basi, Amanda segera berlari keluar ruangan.
Sudah cukup baginya Ronald membuatnya tak punya muka!
"Amanda, kamu mau ke mana?" Ronald mengejarnya yang berlarian ke area depan.
"Pak Ronald, saya sudah tidak kuat lagi. Sudah saatnya kita hentikan sandiwara ini." Amanda menahan tangis.
Harga dirinya sudah diinjak-injak.
Membayangkan apa yang akan terjadi pada hidupnya bila menikahi Ronald, sungguh menakutkan.
"Amanda, kita belum memulai. Jadi, kamu jangan mengada-ada!" Ronald mencengkram lengan asistennya itu sekuat mungkin. “Kenapa kamu menyerah secepat ini?”
"Asal Pak Ronald tahu, di keluarga saya, saya sudah tidak punya muka!" ucap Amanda cepat, "Saya sudah bilang kalau perjodohan saya batal. Ibu saya marah dan memboikot tidak mau bicara selama berhari-hari."
Amanda terduduk dan menutup mukanya dengan kedua tangan. Seandainya saja kejadian insiden lift itu tidak pernah terjadi, tentu hidupnya tidak akan menjadi serumit ini.
"Dengarkan aku, Amanda. Diamlah!" Ronald memintanya untuk tenang dan mendengarkan apa yang akan dia katakan.
"Apapun alasan kamu, ingat... kamu sudah menandatangani kontrak denganku. Jadi kamu tidak bisa seenaknya sendiri untuk mengakhiri kontrak. kecuali..." Ronald membisikinya seperti seorang yang sedang menghipnotis, "kamu bisa membayar penaltinya.”
“Dan jika aku sebagai dirimu, maka lebih baik mengikuti permainan daripada membayar penalti setengah juta dolar."
Amanda tertegun.
Melihat itu, Ronald membawanya dengan cepat menuju mobil yang sudah disiapkan sopir. "Kita pulang."
"Baik, Pak Ronald."
Sopir itu segera membukakan pintu untuk bosnya. Lalu menutupnya kembali.
"Mbak Amanda, jangan diam saja. Mari segera masuk mobil. Pak Ronald sudah mau pulang..." ajaknya.
Dengan langkah gontai dengan mata sembab, Amanda kembali ke mobil.
Kali ini dia tak mau duduk di bangku belakang yang berjajar dengan Ronald.
"Saya duduk di depan saja."
Dia mengajak asisten Ronald untuk tukar posisi. Dengan suasana hatinya sekarang, dia tak yakin bisa duduk dalam keadaan damai jika bersanding dengan bosnya.
"Boleh, Mbak."
Awalnya asisten itu merasa tak nyaman duduk berdekatan dengan bosnya, tapi dia tak punya pilihan.
Entah mengapa, perjalanan yang seharusnya diringi dengan perbincangan, kini hanya diam seribu bahasa.
Karena kelelahan, Amanda bahkan tak sadar dirinya tertidur selama di jalan.
***
"Pak? Pak Ronald... kita di mana ini?"
Dia baru menyadari saat mobil terhenti.
Mereka berada di sebuah basement parkiran yang bukan di kantor.
"Pak Ronald... kita di mana?" serunya. Dia sudah lelah dengan permainan bosnya sejak tadi.
"Amanda, kenapa kamu tidak seperti wanita pada umumnya. Sebagai wanita, seharusnya kamu itu cukup menjadi seorang penurut dan tak banyak komentar." Ronald keluar dari mobil dan menutup pintunya cukup keras.
Hampir saja Amanda berjingkat dari duduknya di saat bertepatan getaran pintu ditutup itu merambat ke tempat duduknya.
"Yang sabar, Mbak. Pak Ronald akhir-akhir ini agak banyak masalah. Tapi pada dasarnya, baik banget dan perhatian orangnya."
Sopir yang tadinya diam kini membuka suara.
Hal ini membuat Amanda menghela napas. "Tapi, saya sama sekali tidak kenal dengan Pak Ronald, Pak," ucapnya, "Hanya karena saat insiden lift itulah semua ini akhirnya terjadi. Apa dosa saya sehingga harus mengikuti permainan bos yang jahat dan tak punya hati itu?"
"Mbak Amanda, Pak Ronald itu sejak kecil sudah jauh dari orang tuanya. Dia tak pernah diasuh oleh ibu kandungnya. Jadi ya... wajar kalau kadang dia suka kurang matang secara emosional," terang sang sopir.
Mata Amanda membulat sempurna.
Hal ini merupakan fakta yang baru diketahui olehnya. Siapa yang menyangka kalau sosok sempurna seperti Ronald nyatanya tak diasuh oleh ibunya sendiri?
"Jadi..." Amanda terkejut.
"Iya, dia dirawat oleh Papa dan keluarga Papanya. Mamanya tak pernah muncul, Mbak."
Karena telah lama ikut dengan keluarga Anderson, dia jadi tahu banyak tentang rahasia dan seluk beluk keluarga kaya itu.
"Kasihan..." gumam Amanda lirih. Ucapan sopir itu setidaknya telah merubah pendapatnya tentang Ronald, meski sedikit.
Tring!!!
Ponsel Amanda berbunyi.
Rupanya Ronald sudah menghubunginya lagi.
"Cepat naik ke atas. Aku sudah menunggumu lama. Kenapa tidak juga ke sini sejak tadi? Kamu pikir aku pengangguran yang banyak waktu luang, hah?"
Mendengar ucapan pedas sang atasan, Amanda bergegas keluar.
Berbekal informasi dari sopir pribadinya, dia pun menuju unit di lantai dua puluh satu.
"Pak Ronald, permisi..."
Dengan ragu-ragu, Amanda masuk setelah pembantunya membukakan pintu.
"Masuklah dan duduklah," titah Ronald yang rupanya sudah berganti baju dengan pakaian lebih casual.
Kakinya bahkan sudah dinaikkan di atas meja.
Meski dia menunjukkan dominasi, entah mengapa Amanda justru memandangnya dengan tatapan penuh iba.
Teringat kalimat sopirnya kalau dia hidup tanpa ibu kandung, bagaimana kira-kira rasanya?
"Duduk!" Ronald mengulangi lagi kalimatnya."Ah, iya Pak. Maaf..." Akhirnya Amanda tersadar dari lamunannya.
"Pakai ini." Ronald melemparkan sebuah kotak berwarna merah.
Tanpa dibuka pun, semua orang juga tahu kira-kira apa isinya. Cincin!
"Apa maksud Pak Ronald?" tanya Amanda sembari membiarkan saja kotak itu tergeletak di atas meja.
"Buka kotaknya dan pakailah."
Karena Amanda masih saja diam, Ronald menurunkan kedua kakinya lalu melangkah mendekati gadis itu.
Diambilnya kotak tadi dan dibuka dengan kasar.
Tiba-tiba saja, di jari manis Amanda sudah tersemat sebuah cincin berlian mewah.
"Officialy, kamu sudah menjadi tunanganku sekarang!" tegas Ronald.
Meski diam-diam mengagumi keindahan cincin itu, akal pikiran Amanda masih waras.
Apalagi, tak ada ekspresi romantis atau manis lain dari Ronald.
Ini semua sebatas kontrak dan memenuhi 'kebutuhan' Ronald saja akan hadirnya sosok yang disebut pasangan.
Semua hanya untuk kedok dipamerkan ke publik.
"Pak... sudah saya katakan kalau saya sudah punya calon. Ibu saya sudah mencarikan jodoh untuk saya..."
Melihat Amanda hendak memprotes, Ronald segera mendiamkan mulut gadis itu dengan ciuman dadakan.
"Katakan pada ibumu kalau kamu sudah memiliki calon sendiri,” ucapnya dingin setelah tautan itu terlepas, “ingat, tunjukkan cincin itu sebagai bukti!"
"Hah?"
"Jangan pakai kejutan begini, kan kamu bisa bilang kalau tadi datang sama..."Amanda terkejut. Wajah itu muncul begitu saja. Mulutnya mendadak terkunci seketika.Tanpa ada angin dan hujan, kenapa tiba-tiba dia ke sini?Dan, dari mana dia tahu kalau dirinya berada di rumah mungil yang jauh dari keramaian?"Amanda, di sini kamu rupanya! Hmmm, siapa itu suaranya yang sedang memasak di dapur? Simon ya?" Dia bermaksud nyelonong untuk masuk."Tunggu, Ibu sejak kapan punya hak untuk masuk seenaknya di sini? Siapa yang mengizinkan ibu masuk?" Protes Amanda."Sejak kapan seorang ibu perlu izin pada anaknya untuk masuk ke rumahnya? Hah? Sejak kapan?" Nada bicaranya lantang seperti pemenang yang akan mendapatkan tropi kejayaan.Suara itu menggelegar ke seluruh ruangan."Ibu!?" Amanda yang belum sepenuhnya pulih, tak leluasa untuk mencegah ibunya ke mana-mana."Ibu Amanda, ini siapa?" Pembantunya yang baru beberapa jam bekerja di hari pertama, harus dikejutkan dengan kedatangan tamu yang tak diun
Asisten Pribadi?Rasanya baru kemarin dia tinggal bersama Ronald dan belum lama juga dia berhenti bekerja dari kantor lamanya."Hmm, tapi... aku sudah lama tidak bekerja, Pak Ronald!" Nalurinya sebagai seorang wanita muncul.Bayangan kembali ke kantor lantas mendapatkan gunjingan atau bully-an dari rekan sejawatnya, apa kiranya dia sanggup menghadapi itu semua?Terlebih dulu dia mengalami skandal yang cukup membuat heboh saat dia keluar dari kantor lantas menikahi Ronald, boss yang sejatinya jadi idola kaum hawa."Yang penting kamu dulu pernah punya pengalaman kerja, ya kan?" Ronald berusaha meyakinkannya.Sebuah anggukan singkat membuat lelaki itu akhirnya berhenti membujuk, meski dirinya masih ragu.. bisakah ia mengambil peran menjadi asisten pribadinya lagi?Hatinya masih belum sepenuhnya pulih. Tapi, ini bukan waktu yang tepat untuk terlalu mengasihani diri ya sendiri. Amanda harus bangkit. Itu saja!**Tinggal sendirian di rumah yang dalam bayangannya beberapa hari yang lalu, aka
Mata sang Mama penuh selidik."Apa kamu sedang jatuh cinta?"Dengan pertanyaan yang memojokkan begitu, tentu saja ini membuat Ronald malas melanjutkan interogasinya. Kenapa justru dia yang mendapatkan pertanyaan balik?"Aku hanya bertanya. Harusnya Mama menjawab, seperti itu. Simple."Gaya anak lelakinya ini, sang Mama sudah paham karena tahu karakternya sejak kecil yang selalu tak mau terlihat 'jatuh' di mata orang lain."Pertanyaanku sangat sederhana, Ronald. Apa kamu sedang jatuh cinta? Jawab saya dengan iya atau tidak." Mamanya menegaskan lagi."Lantas, apa hubungannya pertanyaanku dengan apa yang Mama tanyakan?!" "Hmmm, jawaban Mama nanti akan sangat bergantung pada suasana hati kamu. Jika kamu sekarang ini dalam kondisi berbunga-bunga atau jatuh cinta, tentu Mama akan mencarikan kalimat yang membuatmu semakin berbunga. Namun, jika kamu sedang dalam kondisi netral atau bahkan patah hati, maka kalimat Mama adalah sesuatu yang membuatmu bangkit!"Ronald mendengus, "sejak kapan Mam
Ronald belum juga bisa memulai melakukan apa-apa.Dia masih terdiam di dalam mobil yang mesinnya sudah ia nyalakan sejak tadi.Masih di tempat yang sama, parkiran rumah sakit tempat di mana Amanda dirawat."Apa sebaiknya aku kembali?" Dia berbisik sendiri.Namun, kata-kata Simon membuat egonya terpukul. Seolah sekarang ini Ronald sedang memungut sampah yang sudah dibuang oleh saudara tirinya itu.Apa iya, Amanda adalah selayaknya sebuah barang bekas yang tak layak untuk ia rawat dan miliki lagi?Hmmm... otaknya mulai mencari alasan logis sementara itu hatinya masih belum menerima.Drrrrtttt... drrrt...Ponselnya berbunyi."Iya, halo?" Suaranya nampak malas menjawab."Kamu cepat kembali ke rumah. Mila mencarimu!" Rupanya sang Mama."Iya, aku akan segera pulang." Ronald dengan segera memutar setirnya dan menjalankan mobil.Dia mengingat perpisahan yang tak mengenakkan dengan Simon. Bahkan pria itu lupa kalau dia memiliki seorang anak yang harusnya dia jaga di rumah.Pintu gerbang rumah
SIALAN!"Ronald, maafkan aku... Kuharap persaudaraan kita tetap baik-baik saja ya?"Sosok tinggi tegap itu berlalu dan menuju ke gate pemberangkatannya. Tak lama setelah melewati tangga berjalan, Simon menghilang dari pandangan.Yang tersisa kini, adalah kalimat kakak tirinya itu. "Aku minta maaf kalau saat kamu tidak ada di samping Amanda, aku sering.... tidur dengannya!"Seolah-olah Amanda hanyalah sebuah mainan yang saat Simon merasa puas bermain, kini dia mengembalikannya pada Ronald kembali.Biad*b!Ingin mengeluarkan sumpah serapah di tempat itu juga, tapi Ronald masih punya kewarasan.Tak seharusnya dia mengeluarkan semua kata-kata sumpah serapah itu di tempat umum.Seperti mendapatkan barang bekas? Ya, itu yang kini dirasakan oleh Ronald."Pak Ronald, maaf... kami baru saja menemukan fakta kalau Pak Simon telah menggelapkan dana puluhan Miliar.." Salah satu tim audit perusahaan menelpon Ronald.Dasar kurang ajar!Baru saja dia mengakui telah menggunakan Amanda sebagai 'pelampi
Simon menghela nafas panjang.Meski tidak yakin dengan keputusan yang baru saja dia lakukan. Mengubungi saudara tirinya itu, tentu membutuhkan nyali yang tidak sedikit.Setelah semua yang dia lakukan.Sekitar dua jam lagi penerbangannya ke Malaysia akan boarding."Kurasa dia bukan orang yang akan mengambil resiko untuk datang ke sini menemuiku." Simon bergumam pada dirinya sendiri.Menunggu saudara seayah-nya itu di dekat check point paling awal di bandara. Dia harus segera memeriksakan barang bawaannya ke petugas imigrasi bandara yang sudah berjajar rapi menunggu setiap calon penumpang.Sesekali dia menoleh ke kanan dan ke kiri.Saat dia sudah merasa tak harus menunggu lebih lama lagi, sosok itu muncul dan menepuk bahunya dari belakang.Sebuah tepukan yang cukup kuat untuk ukuran seseorang yang ingin memanggil dengan kode tepukan. Lebih tepatnya, Simon merasa dia akan dipukul oleh sosok itu jika mereka tidak berada di keramaian begini."Ada apa?" Simon pikir itu adalah sopir atau asi