Share

BAB 5 Fake Engagement

Deg!

Amanda terdiam. Dia merasa malu dan direndahkan.

Apalagi, beberapa orang di sana mulai mengabadikannya lewat handphone pribadi masing-masing.

Tanpa basa-basi, Amanda segera berlari keluar ruangan.

Sudah cukup baginya Ronald membuatnya tak punya muka!

"Amanda, kamu mau ke mana?" Ronald mengejarnya yang berlarian ke area depan.

"Pak Ronald, saya sudah tidak kuat lagi. Sudah saatnya kita hentikan sandiwara ini." Amanda menahan tangis.

Harga dirinya sudah diinjak-injak.

Membayangkan apa yang akan terjadi pada hidupnya bila menikahi Ronald, sungguh menakutkan.

"Amanda, kita belum memulai. Jadi, kamu jangan mengada-ada!" Ronald mencengkram lengan asistennya itu sekuat mungkin. “Kenapa kamu menyerah secepat ini?”

"Asal Pak Ronald tahu, di keluarga saya, saya sudah tidak punya muka!" ucap Amanda cepat, "Saya sudah bilang kalau perjodohan saya batal. Ibu saya marah dan memboikot tidak mau bicara selama berhari-hari."

Amanda terduduk dan menutup mukanya dengan kedua tangan. Seandainya saja kejadian insiden lift itu tidak pernah terjadi, tentu hidupnya tidak akan menjadi serumit ini.

"Dengarkan aku, Amanda. Diamlah!" Ronald memintanya untuk tenang dan mendengarkan apa yang akan dia katakan.

"Apapun alasan kamu, ingat... kamu sudah menandatangani kontrak denganku. Jadi kamu tidak bisa seenaknya sendiri untuk mengakhiri kontrak. kecuali..." Ronald membisikinya seperti seorang yang sedang menghipnotis, "kamu bisa membayar penaltinya.”

“Dan jika aku sebagai dirimu, maka lebih baik mengikuti permainan daripada membayar penalti setengah juta dolar."

Amanda tertegun.

Melihat itu, Ronald membawanya dengan cepat menuju mobil yang sudah disiapkan sopir. "Kita pulang."

"Baik, Pak Ronald."

Sopir itu segera membukakan pintu untuk bosnya. Lalu menutupnya kembali.

"Mbak Amanda, jangan diam saja. Mari segera masuk mobil. Pak Ronald sudah mau pulang..." ajaknya.

Dengan langkah gontai dengan mata sembab, Amanda kembali ke mobil.

Kali ini dia tak mau duduk di bangku belakang yang berjajar dengan Ronald.

"Saya duduk di depan saja."

Dia mengajak asisten Ronald untuk tukar posisi. Dengan suasana hatinya sekarang, dia tak yakin bisa duduk dalam keadaan damai jika bersanding dengan bosnya.

"Boleh, Mbak."

Awalnya asisten itu merasa tak nyaman duduk berdekatan dengan bosnya, tapi dia tak punya pilihan.

Entah mengapa, perjalanan yang seharusnya diringi dengan perbincangan, kini hanya diam seribu bahasa.

Karena kelelahan, Amanda bahkan tak sadar dirinya tertidur selama di jalan.

***

"Pak? Pak Ronald... kita di mana ini?"

Dia baru menyadari saat mobil terhenti.

Mereka berada di sebuah basement parkiran yang bukan di kantor.

"Pak Ronald... kita di mana?" serunya. Dia sudah lelah dengan permainan bosnya sejak tadi.

"Amanda, kenapa kamu tidak seperti wanita pada umumnya. Sebagai wanita, seharusnya kamu itu cukup menjadi seorang penurut dan tak banyak komentar." Ronald keluar dari mobil dan menutup pintunya cukup keras.

Hampir saja Amanda berjingkat dari duduknya di saat bertepatan getaran pintu ditutup itu merambat ke tempat duduknya.

"Yang sabar, Mbak. Pak Ronald akhir-akhir ini agak banyak masalah. Tapi pada dasarnya, baik banget dan perhatian orangnya."

Sopir yang tadinya diam kini membuka suara.

Hal ini membuat Amanda menghela napas. "Tapi, saya sama sekali tidak kenal dengan Pak Ronald, Pak," ucapnya, "Hanya karena saat insiden lift itulah semua ini akhirnya terjadi. Apa dosa saya sehingga harus mengikuti permainan bos yang jahat dan tak punya hati itu?"

"Mbak Amanda, Pak Ronald itu sejak kecil sudah jauh dari orang tuanya. Dia tak pernah diasuh oleh ibu kandungnya. Jadi ya... wajar kalau kadang dia suka kurang matang secara emosional," terang sang sopir.

Mata Amanda membulat sempurna.

Hal ini merupakan fakta yang baru diketahui olehnya. Siapa yang menyangka kalau sosok sempurna seperti Ronald nyatanya tak diasuh oleh ibunya sendiri?

"Jadi..." Amanda terkejut.

"Iya, dia dirawat oleh Papa dan keluarga Papanya. Mamanya tak pernah muncul, Mbak."

Karena telah lama ikut dengan keluarga Anderson, dia jadi tahu banyak tentang rahasia dan seluk beluk keluarga kaya itu.

"Kasihan..." gumam Amanda lirih. Ucapan sopir itu setidaknya telah merubah pendapatnya tentang Ronald, meski sedikit.

Tring!!!

Ponsel Amanda berbunyi.

Rupanya Ronald sudah menghubunginya lagi.

"Cepat naik ke atas. Aku sudah menunggumu lama. Kenapa tidak juga ke sini sejak tadi? Kamu pikir aku pengangguran yang banyak waktu luang, hah?"

Mendengar ucapan pedas sang atasan, Amanda bergegas keluar.

Berbekal informasi dari sopir pribadinya, dia pun menuju unit di lantai dua puluh satu.

"Pak Ronald, permisi..."

Dengan ragu-ragu, Amanda masuk setelah pembantunya membukakan pintu.

"Masuklah dan duduklah," titah Ronald yang rupanya sudah berganti baju dengan pakaian lebih casual.

Kakinya bahkan sudah dinaikkan di atas meja.

Meski dia menunjukkan dominasi, entah mengapa Amanda justru memandangnya dengan tatapan penuh iba.

Teringat kalimat sopirnya kalau dia hidup tanpa ibu kandung, bagaimana kira-kira rasanya?

"Duduk!" Ronald mengulangi lagi kalimatnya."Ah, iya Pak. Maaf..." Akhirnya Amanda tersadar dari lamunannya.

"Pakai ini." Ronald melemparkan sebuah kotak berwarna merah.

Tanpa dibuka pun, semua orang juga tahu kira-kira apa isinya. Cincin!

"Apa maksud Pak Ronald?" tanya Amanda sembari membiarkan saja kotak itu tergeletak di atas meja.

"Buka kotaknya dan pakailah."

Karena Amanda masih saja diam, Ronald menurunkan kedua kakinya lalu melangkah mendekati gadis itu.

Diambilnya kotak tadi dan dibuka dengan kasar.

Tiba-tiba saja, di jari manis Amanda sudah tersemat sebuah cincin berlian mewah. 

"Officialy, kamu sudah menjadi tunanganku sekarang!" tegas Ronald.

Meski diam-diam mengagumi keindahan cincin itu, akal pikiran Amanda masih waras.

Apalagi, tak ada ekspresi romantis atau manis lain dari Ronald.

Ini semua sebatas kontrak dan memenuhi 'kebutuhan' Ronald saja akan hadirnya sosok yang disebut pasangan.

Semua hanya untuk kedok dipamerkan ke publik.

"Pak... sudah saya katakan kalau saya sudah punya calon. Ibu saya sudah mencarikan jodoh untuk saya..."

Melihat Amanda hendak memprotes, Ronald segera mendiamkan mulut gadis itu dengan ciuman dadakan.

"Katakan pada ibumu kalau kamu sudah memiliki calon sendiri,” ucapnya dingin setelah tautan itu terlepas, “ingat, tunjukkan cincin itu sebagai bukti!"

 "Hah?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status