Sebuah cincin berlian entah berapa karat itu kini melingkar di jari manisnya!
Dipandangnya benda termewah yang dia baru dapatkan sekarang. Seumur-umur, benda paling mahal yang dia punya adalah ponsel yang dibelinya dua tahun lalu.
Itu juga hasil jerih payahnya bekerja dan dibeli secara angsuran.
“Pak, ini terlalu mewah,” gumamnya.
Namun, Ronald hanya mengendikan bahu, santai. “Sekarang, siapapun yang berniat menjodohkan kamu, tunjukkan saja cincinnya!”
“Pak Ronald, tapi kenapa harus saya?”
Baginya masih banyak gadis-gadis cantik yang lebih cocok jika digunakan sebagai istri-istrian oleh Ronald. Jelas dirinya menilai kalau dia jauh dari standard bosnya.
“Why not?” Ronald bertanya balik. “Jangan banyak kata-kata lagi, sekarang kamu boleh pulang.”
Ucapan tegas pria itu membuat Amanda seketika sadar.
Dia telah masuk ke permainan bosnya dan tak ada lagi jalan kembali...."Aduh, bagaimana cara menjelaskan pada ibu?" batinnya, panik. Bagaimana caranya Amanda mau cerita kalau calon suaminya itu CEO di Perusahaannya?
***
“Sudah, jangan buat-buat alasan lagi.”
Benar saja. Begitu tiba di rumah, Ibunya menatap Amanda tajam.
Tampaknya, wanita paruh baya itu masih sakit hati setelah kejadian perjodohan yang gagal itu.
“Keluarga Sumitro bukan orang sembarangan. Dan kamu sudah melepas kesempatan emas begitu saja,” tambah sang ibu lagi.
Amanda menarik napas. Dia harus memulai rencananya dan sang bos.
“Bu, aku sudah katakan sebelumnya. Kalau bosku sakit dan aku harus ikut menemani dia,” ucapnya sembari pura-pura meletakkan tasnya di meja.
Tangannya dibuatnya seperlahan mungkin menata barang-barang dan tas.
Sengaja Amanda lakukan itu agar ibunya melihat sebuah cincin berlian mewah yang melingkar di jari manisnya.
“Hey, dari mana kamu mendapatkan cincin ini?”
Benar saja, ibunya seketika memegang jari Amanda yang tampak mencolok.
Dia mengamatinya dengan heran.
“Bu, aku sudah bilang kan kalau aku sudah punya calon. Ini buktinya!” Dengan rasa bangga, Amanda menaikkan tangannya ke atas sejajar dengan wajahnya. “Lihatlah!”
“Ibu tidak percaya kamu sudah punya calon. Cincin seperti itu bisa saja kamu membelinya dari pasar loak atau barang KW,” ucap ibunya, tak percaya.
Bahkan, raut wajahnya menampakkan keraguan.
Kini Amanda yang bingung. Apa yang harus dia lakukan sekarang?
Dikasih cincin, masih belum juga percaya.
Terlebih, Amanda sudah paham watak ibunya. Saat gagal dengan satu calon, maka ibunya sudah menyiapkan puluhan atau bahkan ratusan calon lain!
“Jangan buat alasan yang tidak-tidak. Kalau kamu tidak suka dengan Anjas yang pekerjaannya sebagai guru honorer, bilang saja,” ucap sang ibu tiba-tiba.
Lirikan mata tajam dari wanita yang telah membesarkannya itu, membuat Amanda semakin salah tingkah.
Kan....
Siapa lagi si Anjas ini?
“Bu, aku tidak membuat-buat alasan.” Dia kembali ke kamarnya untuk mengambil sesuatu dan menunjukkannya pada sang ibu.
Duh, kapan ibunya percaya pada apa yang dikatakan anaknya ini?
Kenapa selalu berpikiran negative sejak tadi.
“Amanda, ibu membesarkanmu sejak kecil. Dan kamu dari dulu sangat tidak pandai berbohong. Sekarang, hentikan sandiwaramu atau aku akan mengusirmu dari rumah! Keluarga Anjas akan datang nanti, bersiaplah!”
Karena ibunya tak juga mau percaya, mau tidak mau Amanda harus mencari taktik agar ide memalukan ini berhenti.
“Baiklah. Aku akan buktikan kalau aku tidak bohong!”
Gadis manis bertubuh berisi itu kini berbalik ke kamarnya dan menghubungi nomor seseorang yang bisa menyelamatkannya.
'Maafkan saya, Pak. Tapi ini demi kelancaran dan kemulusan rencanamu juga!'
“Halo?”
Mendengar suara seksi Ronald saja, sudah membuat Amanda gemetar.
Untuk menghilangkan rasa gugup yang sudah sampai di ubun-ubun, Amanda sengaja batuk terlebih dahulu.
“Uhuk, uhuk. Pak Ronald, ini saya.”
“Amanda?” Ronald asal menebak karena sebenarnya nomor itu belum disimpan.
“Betul, syukurlah Pak Ronald masih ingat saya,” sindirnya.
“Mau apa?” tanya pria itu langsung, typical CEO yang selalu maunya to the point.
“Saya butuh bantuan, Pak. Secepatnya…”
Ronald menebak asal, “Butuh uang? Sebutkan nominal dan aku harus transfer ke mana?”
Amanda hanya geleng-geleng. Mudah sekali hidup orang super rich. Apa-apa bisa diselesaikan dengan uang!
“Pak, saya butuh bantuan Pak Ronald untuk datang ke rumah menemui ibu saya. Itu saja.”
Well, ini adalah hal yang di luar ekspektasinya.
Dalam benak Ronald, ketika Amanda menghubunginya, secara otomatis dia langsung terpikir bahwa tunangannya mau minta uang!
“Untuk apa?”
Amanda gemas. Tunangan bukan hal yang main-main.
“Ibu saya tidak percaya kalau saya sudah punya calon dan nanti malam orang yang mau dijodohkan dengan saya mau datang ke rumah. Apa kurang jelas Pak informasi dari saya?”
Kalimat itu meluncur seperti mobil melaju di jalan tol dengan kecepatan penuh.
Terdengar helaan napas dari seberang telepon, sebelum Ronald kembali berbicara, “Share loc segera alamatmu!”Mendengar itu, entah mengapa Amanda merinding...?
**
Kini, waktu sudah menunjukkan pukul sebelas lewat delapan menit.
Suara mobil di depan pintu membuat Amanda terbangun. Dia memang menunggu sejak jam tujuh malam sampai tertidur di ruang tamu. Takut-takut Ronald tiba-tiba datang padahal keluarga Anjas mendadak batal datang.
Sayangnya, Arnold justru tak bisa dihubungi.
“Selamat malam. Maaf saya datang terlambat.”
Terdengar seseorang datang di depan pintu.
Ibu Amanda-lah yang membuka pintu dan mendapati sosok yang rupawan bak malaikat berdiri dengan gagah.
Wanita itu bahkan sampai terperangah. “Selamat malam. Ananda mencari siapa ke sini?” tanyanya, sopan.Jujur, ini adalah kalimat paling sopan yang pernah didengar oleh Amanda sendiri. Biasanya ibunya jutek dan tanpa filter.
Siapa tamu di depan sana?“Oh, saya mau menemui Amanda.”
Deg!
Mendengar namanya disebut, Amanda seketika sadar.
“Pak Ronald?” Dia tak menyangka bosnya akan benar-benar datang, meski tengah malam begini.
Ditambah lagi, pria itu hanya tersenyum dan justru berkata penuh hormat pada ibu Amanda. “Saya calon suaminya Amanda, Ibu.”
Sementara itu, Ibu Amanda terdiam. Dia tidak langsung menyuruhnya masuk karena khawatir akan timbul fitnah dan dugaan yang bukan-bukan dari tetangga.
Terlebih, dia merasa bahwa ini adalah akal-akalannya Amanda saja.
'Apa anak itu sudah bisa menyewa model tampan untuk dijadikan pacar bayaran?' batinnya, ragu.
Merasa itu adalah hal yang paling masuk akal, wajah ibu Amanda berubah menjadi tak suka.
“Oh begitu ya?”sinisnya.
Ronald mengangguk. “Iya, maaf sekali Ibu, saya datang larut malam. Tadi saya baru saja selesai meeting dan datang ke sini langsung.”
Suara CEO muda itu sedikit agak parau.
Dia memang kelelahan karena seharian belum beristirahat. Tapi, telepon Amanda tadi jelas mengganggu pikirannya.
“Meeting? Memangnya kamu kerja apa?”
Ibu Amanda tampak bersungut-sungut, siap melabrak.
Pastinya dia kerja yang tidak-tidak kalau meetingnya selesai sampai malam begini, kan?
Sayangnya, ucapan Ronald kemudian membuatnya terperanjat!
“Saya bekerja sebagai CEO di perusahaan tempat Amanda bekerja!” Tangannya menjabat erat Ibu Amanda. “Nama saya Ronald Anderson.”
"A--anderson?""Bukan miliknya? Apa maksud kamu?" Tubuh Amanda sedikit menegang setelah mendapati fakta yang disampaikan oleh Ronald. Apa betul? Tapi, bukankah tes DNA sudah menunjukkan hasil dengan absolut kalau Simon adalah anak dari janin yang kemarin masih ada di rahimnya! Ronald merasa keceplosan saja sekarang. Tak seharusnya dia bicara fakta menyakitkan ini. "OHH... Amanda, maafkan aku. Maksud aku bukan begitu!" Ronald harus cepat-cepat meralat. "Tapi, tadi Pak Ronald kan bilang kalau anak ini bukan miliknya, apa maksud Bapak ini..." Wanita berambut hitam legam itu masih menyangsikan jawaban klarifikasi Ronald. Entah dengan cara apa dia harus meralat kalimatnya itu, yang jelas untuk saat ini dia tak bisa lebih banyak berkata lagi. Bisa jadi karena emosi sesaat, dia terpeleset dan memberikan info yang belum saatnya. "Apa aku mengatakan itu?" Ronald pura-pura lupa dengan apa yang barusan dia katakan. "Mungkin kamu salah dengar." Amanda gelisah dan masih belum percaya dengan klarifi
"Amanda?" Ronald menyapanya.Dia yang semula terpejam, perlahan mulai membuka mata."Aku dengar dia laki-laki." Sahutnya lemah. Matanya menerawang ke langit-langit ruangan. Berusaha menyimpan lukanya."Kamu...istirahatlah dulu." Ronald mengelus tangannya."Apa dia sempat menangis saat lahir?" Pertanyaannya mulai ke mana-mana. Ronald menggeleng."Jadi, saat di rahimku, dia sudah tidak bernyawa lagi? Pantas saja dia tidak menendang-nendangku lagi..." Dia meraba perutnya. "Biasanya dia akan menendangku lebih keras saat kamu ada di dekatku. Aneh bukan?"Matanya yang sembab setelah menangis, kini harus dibasahi lagi dengan air mata."Jangan berpikir yang berat-berat dulu. Kamu harus istirahat biar cepat pulih..." Ronald tak kalah terpukul dan sedihnya dari wanita yang kini terbaring lemah itu."Apa Simon di sini juga?" Tanya Amanda ketakutan dan cemas."Tidak. Apa aku perlu memberitahu dia?" Meski dadanya terasa panas, Ronald harus mengontrol diri dan mengalah untuk saat ini.Dia tahu kal
"Amanda?" Wanita itu mulai terlihat gusar. "Kita harus ke klinik terdekat, kalau ke rumah sakit akan terlalu jauh!" Sambung Ronald sambil membopong Amanda keluar rumah dan menuju mobil di depan.Meski kesulitan, akhirnya mereka berdua berhasil ke mobil dan mulai berkendara."Aduh..." Amanda memegangi perutnya yang sudah tak bisa lagi ditahan. Seolah ada sesuatu yang mau keluar.Dia semakin terlihat gelisah dan matanya sesekali menyipit karena menahan rasa sakit.Ronald dengan gugup sesekali melihat ke arah maps yang menunjukkan ke arah tempat bidan bersalin sedekat mungkin dari lokasi mereka sekarang."Aku sudah menemukan tempat praktek bidan, Amanda. Bertahanlah!" Pikiran Ronald saat ini adalah mengira bahwa Amanda akan melahirkan. Itu saja.Bisa saja kan sekarang ini wanita itu mengalami kontraksi. Tapi seingatnya tadi, kandungannya baru tujuh bulan saja umurnya."Sakiit..." Dia semakin menunjukkan rasa tak karuan yang dihadapinya. "Bertahanlah, Sayang..." Tangan kiri Ronald sese
Mungkinkah jika sebenarnya Tuhan sudah menunjukkan jawaban?Mungkinkah jika sebenarnya Tuhan sudah memberikan tanda-tanda dan keajaiban itu? Hanya saja kita sebagai manusia terlalu banyak membangkang dan sok mengatur Tuhan?Ronald terkejut mendengar pengakuan dari mulut Amanda sendiri.Amanda, seandainya kamu tahu, bahwa anak itu bukanlah anak Simon dan bisa jadi adalah anakku.Belaian lembut Ronald rupanya berhasil menidurkan Amanda di sofa mungil itu."Aaaarhhh..." Dia merintih dan akhirnya dibopong oleh Ronald untuk dibawa ke dalam kamar tidur.Perlahan dia membaringkannya.Tidak cukup hanya sampai di situ, Ronald juga melepaskan rok panjang yang membuat Amanda tak leluasa bergerak."Mmmm..." entah apa yang sekarang sedang dimimpikan oleh Amanda, Ronald hanya mengelus kening dan pipinya.Muncullah rasa itu yang mendadak membuatnya seakan terbangun dari masa 'tidur'."Oh, God!" Ronald menyadari ini benar-benar bukan saat yang tepat untuk ini.Amanda dalam keadaan mengantuk dan sudah
"Mari masuk, Pak!" Dengan susah payah akhirnya Amanda menemukan kunci gerbang dan rumahnya yang terletak di tasnya.Setelah menyalakan lampu yang sejak senja tak ada yang mengurusi, ruangan mungil itu menjadi hangat dan terang benderang."Kamu tidak menawari aku makan sesuatu?" Ronald mengaku merasa sangat lapar.Pantaskah Amanda menawarinya semangkuk mi instant atau ramen? Lantas, bagaimana jika Ronald tidak selera dengan makanan instant semacam ini?"Saya bisa memesankan makanan, Pak." Nadanya sudah disetting seformal mungkin.Amanda sudah yakin kalau dia lebih terdengar seperti sekretaris sungguhan daripada sebagai seorang mantan istri."Oh, begitu? Kenapa kamu tidak memberiku mi atau apapun tadi yang kamu beli dari minimarket itu?""Hmmm, Pak Ronald, rumah ini bukan warteg atau cafe. Jika ingin makan sesuatu, bisa ke restoran di jalan besar sana atau di mana gitu... Fine dining di hotel keluarga Bapak barangkali..." Amanda mengelus dada."Aku ke sini tadi niatnya bukan untuk makan
"PAPA?"Gema suara Ronald benar-benar menyita perhatian semua orang.Bahkan beberapa nakes juga ikut berhenti dan melihat betapa pandangan mata Ronald layaknya seekor singa yang siap menerkam binatang buruan!Langkahnya makin dipercepat. Papanya tak lagi punya kesempatan untuk melarikan diri atau sekedar bersembunyi."RONALD?" Papanya benar-benar tak bisa menyembunyikan rasa keterkejutan itu.Nampak sekali kalau dia ingin ditelan bumi saat itu juga. Pegangan tangan yang awalnya erat itu mendadak ia lepaskan."Monica, kamu ke sana dulu." Dia berbisik pada teman wanitanya agar tak ikut dalam forum keluarga.Meski kesal, wanita berambut panjang dan memakai hot pants itu akhrinya menurut."Siapa dia, Pa?" Ronald pura-pura bertanya, padahal dia tau semua seluk beluk perempuan simpanan sang Papa,"Oh, dia anak buah Papa," Jawab sang Papa sambil membenarkan letak jam tangannya.Baru kali ini dia seperti tertangkap basah dan malu setengah mati."Anak buah? Kerja di bagian apa dia?" Ronald ber