Gara-gara lembur di hari Jumat, Amanda Williams terjebak di lift bersama Ronald Anderson, CEO yang selama ini dihindari. Bahkan, dia dituduh dituduh bertindak tak senonoh oleh orang-orang. Ketika Amanda meminta Ronald untuk membersihkan namanya, pria itu malah menjadikannya "istri bayaran". Lantas, bagaimana lika-liku Amanda beradaptasi dengan keluarga Ronald yang super kaya? Dan bagaiamana perasaan Amanda bila tahu masa lalu sang suami begitu mirip dengannya...?
View More"Amanda, sebaiknya kamu selesaikan juga pekerjaan ini hari ini juga!"
Titah sang manajer bagaikan petir di telinga Amanda yang sedang bersiap-siap untuk pulang.
Jelas, dirinya merasa keberatan jika harus lembur lagi seperti kemarin. Terlebih, nanti malam, keluarga pria yang dijodohkannya akan datang. Bisa-bisa, ibunya mengamuk jika dia telat!
"Tapi, hari ini kan hari Jumat, Bu. Saya harus pulang cepat," ucapnya pada akhirnya, "Selain itu, saya juga--"
"Kamu kan single, siapa yang nungguin di weekend begini?" potong manajernya tak mau tahu, "lebih baik, gunakan waktumu untuk segera menyelesaikan pekerjaanmu. Hitung-hitung nanti kamu bisa segera saya promosikan kamu naik jabatan!"
Brak!
Tanpa basa-basi, manajer itu pun meninggalkan Amanda dengan tumpukan file di meja.
Adilkah ini?
Semenjak masuk di perusahaan ini, Amanda selalu menjadi tumbal di divisinya.
"Huh, ganti CEO rupanya nasibku tak berubah juga," ujarnya saat melihat deretan pekerjaan yang harus dia selesaikan hari ini.
Entah harus berapa lama lagi di sini sendirian.
Namun, tak ada gunanya meratapi nasib terus-menerus. Yang ada, akan memperpanjang waktu lembur.
Jadi, Amanda pun mulai mengerjakan pekerjaannya satu per satu meski matanya sudah lelah sejak pagi menghadapi layar komputer.
Tepat pukul 08.30, ia matikan lampu di kubikelnya dan berjalan menuju lift.
Seperti dugaannya, tadi dia sempat diomeli oleh ibunya. Untung, Amanda bisa cepat mengelak.Hanya saja, ketika Amanda berjalan, mendadak dia merasa ada seseorang yang berada di belakangnya.
Padahal, seharusnya hanya ada dia di sana!
Bulu kuduk Amanda seketika meremang. Dia pun mempercepat langkahnya dan memencet tombol di lift.
Tak berapa lama, lift-pun terbuka.
Namun, sebuah suara tiba-tiba mencegahnya untuk tidak menutup lift. "Tunggu!"
Amanda syok kala menemukan CEO baru di perusahaannya kini berdiri tegak di hadapannya.
“Si–silakan, Pak.”
"Thank you," ucapnya dingin, lalu berdiri di depan Amanda dan menutup lift.
Hanya saja, lift tiba-tiba berhenti dari lantai tujuh belas!
Brugh…!Ctak!
Ada getaran dan guncangan hebat yang terasa. Seketika Amanda dan CEO itu berpegangan pada railing sisi kiri dan kanan lift.
"Ada apa ini?" CEO muda itu tampak terkejut.
Amanda sendiri hanya bisa menggeleng, panik.
"Tuhaan, aku tidak mau mati di sini!!" batinnya. Dia menekan tombol permintaan bantuan dan keadaan darurat. Namun, tak ada respon.
Amanda sontak mencoba membuka handphone-nya namun sayangnya tak ada sinyal.
Melihat itu, keduanya sama-sama terduduk lemas sekarang di dalam lift.
"Mister CEO, tolong lakukan sesuatu, kamu adalah pria. Seharusnya kamu punya ide untuk meloloskan diri dari keadaan ini," ucap Amanda yang pasrah karena segala usaha telah dia lakukan.
"Namaku Ronald, jangan panggil 'mister CEO'! Aku benci itu..." kata Ronald sambil meluruskan kakinya di lantai.
Entah karena AC di lift yang mati, keringat sudah mulai bercucuran di kening pria itu.
Tapi, mengapa Ronald juga tampak kesulitan bernapas?
"Apa kamu tidak apa-apa?" tanya Amanda panik karena baru kali ini dia melihat ada orang yang mengalami sindrom seaneh itu di lift.
"Aku... haabb... ahhh..."
Ronald tampak tak mampu bicara dan seperti tercekik.
Amanda sontak semakin ketakutan. Bagaimana jika CEO muda dan tampan itu mati di lift ini bersamanya?
Dia tak mau masuk di headline berita keesokan harinya!
"Bertahanlah!" pekik perempuan itu panik.
Tangan Amanda terus-menerus menekan tombol permintaan tolong di dekat pintu lift.
"Ayo! Siapapun kalian yang ada di sana dan mendengarku, CEO kalian dalam bahaya. Cepatlah datang dan membantu kami!" teriaknya seperti orang kesetanan.
Terlebih, melihat kondisi Ronald sekarang semakin parah.
"Pak Ronald, tenang ada saya. Saya akan mencari bantuan. Jika kita tidak mendapatkan bantuan," hibur Amanda.
Ada kelegaan di wajah Ronald, sampai mendengar ucapan lanjutan bawahannya itu.
"Kalau tidak ada yang menolong, berarti kita akan mati bersama!" kata Amanda setelah menunggu pasrah pada keadaan. Bisa saja para penolong mereka tak akan pernah datang.
"Aku... aku..." Ronald memperlihatkan ekspresi lebih panik dari sebelumnya.Amanda sama sekali tak membuat keadaan lebih baik.
Tak tahu mendapatkan bisikan dari mana, Amanda tiba-tiba meletakkan kepala Ronald di atas pangkuannya.
Kurang nyaman, tapi ya.. sudahlah. Ini emergency!"Bertahanlah. Ini belum saatnya kita mati di sini, Pak. Saya belum menikah dan hari ini seharusnya saya pulang untuk dipertemukan dengan lelaki yang akan meminangku," ucap Amanda curcol.
Hanya saja, tangisnya mulai pecah.
Ronald yang sedang kesakitan itu bahkan dapat merasakannya.
BRAK!
Tiba-tiba saja ada suara dari luar.
Ada hentakan kerasa yang memekakkan telinga.
Amanda berharap itu adalah tim rescue yang akan menyelamatkan mereka berdua. Dia sangat ingin segera bisa keluar dan pulang ke rumah.
Kira-kira sepuluh menit kemudian, pintu pun mulai terbuka.
"Apa kalian tidak apa-apa?" Salah satu petugas berompi oranye datang menghampiri keduanya.
Disusul yang lain. Anehnya, mereka mengambil foto Ronald dan Amanda yang dalam posisi lumayan rancu....?!
Tapi, saat ini Amanda tak mempedulikannya.
"Pak.. Pak.." Amanda menjerit. "Tolong... Boss kita sedang dalam bahaya."
Mendengar itu, salah satu dari mereka pun mengangkat tubuh boss Amanda dengan hati-hati. "Tenang, kita bawa ke lobby dulu."
Untungnya, lima menit kemudian mobil ambulance sudah disiapkan.
Amanda menghela napas lega, sampai salah satu petugas medis tiba-tiba berkata, "Mbaknya juga harus ikut."
"Lho, saya mau pulang, Pak?"
"Pulang bagaimana? Lalu siapa nanti yang bertanggung jawab sebagai keluarga pasien?" ujar petugas lainnya.
Di tengah kebimbangan saat melihat tubuh lelaki itu terbujur lemah tak berdaya, naluri kemanusiaan Amanda bangkit.
Entah bagaimana dengan keselamatan perjodohannya. Hanya Tuhan yang tahu. Yang jelas, untuk saat ini, dia harus mendahulukan keselamatan sang atasan.
Bukankah bila jodoh, tentu tak akan ke mana?
Siapa tahu dengan memudahkan urusan orang lain, Tuhan akan mudahkan urusan baginya, kan?
Menghela napas, Amanda pun mengangguk. "Baik. Saya ikut!" ucapnya setuju.
Segera, mereka pun menuju rumah sakit.
Hanya saja, di tengah perjalanan, salah satu tim medis yang duduk di dekat Amanda memberinya kejutan lagi!
"Apa kalian tadi melakukan hubungan intim di dalam lift saat sebelum terjadinya insiden?" tanyanya, curiga.
"Mengapa Anda bertanya hal seperti itu?"
"Ini keadaan emergency. Sepertinya pasien tadi kekurangan oksigen dan sedikit kelelahan. Jadi, kamu perlu tahu apa yang terjadi sebelumnya," ucapnya mempertegas maksud pertanyaannya tadi.
Mendengar itu, Amanda jelas semakin emosi. "Asal Anda tahu, dia adalah bos saya. Kami tidak sedekat itu dan dia bukan tipe saya!"
Sayangnya, tatapan tak percaya dapat dirasakan Amanda dari petugas medis lain.Mata sang Mama penuh selidik."Apa kamu sedang jatuh cinta?"Dengan pertanyaan yang memojokkan begitu, tentu saja ini membuat Ronald malas melanjutkan interogasinya. Kenapa justru dia yang mendapatkan pertanyaan balik?"Aku hanya bertanya. Harusnya Mama menjawab, seperti itu. Simple."Gaya anak lelakinya ini, sang Mama sudah paham karena tahu karakternya sejak kecil yang selalu tak mau terlihat 'jatuh' di mata orang lain."Pertanyaanku sangat sederhana, Ronald. Apa kamu sedang jatuh cinta? Jawab saya dengan iya atau tidak." Mamanya menegaskan lagi."Lantas, apa hubungannya pertanyaanku dengan apa yang Mama tanyakan?!" "Hmmm, jawaban Mama nanti akan sangat bergantung pada suasana hati kamu. Jika kamu sekarang ini dalam kondisi berbunga-bunga atau jatuh cinta, tentu Mama akan mencarikan kalimat yang membuatmu semakin berbunga. Namun, jika kamu sedang dalam kondisi netral atau bahkan patah hati, maka kalimat Mama adalah sesuatu yang membuatmu bangkit!"Ronald mendengus, "sejak kapan Mam
Ronald belum juga bisa memulai melakukan apa-apa.Dia masih terdiam di dalam mobil yang mesinnya sudah ia nyalakan sejak tadi.Masih di tempat yang sama, parkiran rumah sakit tempat di mana Amanda dirawat."Apa sebaiknya aku kembali?" Dia berbisik sendiri.Namun, kata-kata Simon membuat egonya terpukul. Seolah sekarang ini Ronald sedang memungut sampah yang sudah dibuang oleh saudara tirinya itu.Apa iya, Amanda adalah selayaknya sebuah barang bekas yang tak layak untuk ia rawat dan miliki lagi?Hmmm... otaknya mulai mencari alasan logis sementara itu hatinya masih belum menerima.Drrrrtttt... drrrt...Ponselnya berbunyi."Iya, halo?" Suaranya nampak malas menjawab."Kamu cepat kembali ke rumah. Mila mencarimu!" Rupanya sang Mama."Iya, aku akan segera pulang." Ronald dengan segera memutar setirnya dan menjalankan mobil.Dia mengingat perpisahan yang tak mengenakkan dengan Simon. Bahkan pria itu lupa kalau dia memiliki seorang anak yang harusnya dia jaga di rumah.Pintu gerbang rumah
SIALAN!"Ronald, maafkan aku... Kuharap persaudaraan kita tetap baik-baik saja ya?"Sosok tinggi tegap itu berlalu dan menuju ke gate pemberangkatannya. Tak lama setelah melewati tangga berjalan, Simon menghilang dari pandangan.Yang tersisa kini, adalah kalimat kakak tirinya itu. "Aku minta maaf kalau saat kamu tidak ada di samping Amanda, aku sering.... tidur dengannya!"Seolah-olah Amanda hanyalah sebuah mainan yang saat Simon merasa puas bermain, kini dia mengembalikannya pada Ronald kembali.Biad*b!Ingin mengeluarkan sumpah serapah di tempat itu juga, tapi Ronald masih punya kewarasan.Tak seharusnya dia mengeluarkan semua kata-kata sumpah serapah itu di tempat umum.Seperti mendapatkan barang bekas? Ya, itu yang kini dirasakan oleh Ronald."Pak Ronald, maaf... kami baru saja menemukan fakta kalau Pak Simon telah menggelapkan dana puluhan Miliar.." Salah satu tim audit perusahaan menelpon Ronald.Dasar kurang ajar!Baru saja dia mengakui telah menggunakan Amanda sebagai 'pelampi
Simon menghela nafas panjang.Meski tidak yakin dengan keputusan yang baru saja dia lakukan. Mengubungi saudara tirinya itu, tentu membutuhkan nyali yang tidak sedikit.Setelah semua yang dia lakukan.Sekitar dua jam lagi penerbangannya ke Malaysia akan boarding."Kurasa dia bukan orang yang akan mengambil resiko untuk datang ke sini menemuiku." Simon bergumam pada dirinya sendiri.Menunggu saudara seayah-nya itu di dekat check point paling awal di bandara. Dia harus segera memeriksakan barang bawaannya ke petugas imigrasi bandara yang sudah berjajar rapi menunggu setiap calon penumpang.Sesekali dia menoleh ke kanan dan ke kiri.Saat dia sudah merasa tak harus menunggu lebih lama lagi, sosok itu muncul dan menepuk bahunya dari belakang.Sebuah tepukan yang cukup kuat untuk ukuran seseorang yang ingin memanggil dengan kode tepukan. Lebih tepatnya, Simon merasa dia akan dipukul oleh sosok itu jika mereka tidak berada di keramaian begini."Ada apa?" Simon pikir itu adalah sopir atau asi
"Bukan miliknya? Apa maksud kamu?" Tubuh Amanda sedikit menegang setelah mendapati fakta yang disampaikan oleh Ronald. Apa betul? Tapi, bukankah tes DNA sudah menunjukkan hasil dengan absolut kalau Simon adalah anak dari janin yang kemarin masih ada di rahimnya! Ronald merasa keceplosan saja sekarang. Tak seharusnya dia bicara fakta menyakitkan ini. "OHH... Amanda, maafkan aku. Maksud aku bukan begitu!" Ronald harus cepat-cepat meralat. "Tapi, tadi Pak Ronald kan bilang kalau anak ini bukan miliknya, apa maksud Bapak ini..." Wanita berambut hitam legam itu masih menyangsikan jawaban klarifikasi Ronald. Entah dengan cara apa dia harus meralat kalimatnya itu, yang jelas untuk saat ini dia tak bisa lebih banyak berkata lagi. Bisa jadi karena emosi sesaat, dia terpeleset dan memberikan info yang belum saatnya. "Apa aku mengatakan itu?" Ronald pura-pura lupa dengan apa yang barusan dia katakan. "Mungkin kamu salah dengar." Amanda gelisah dan masih belum percaya dengan klarifi
"Amanda?" Ronald menyapanya.Dia yang semula terpejam, perlahan mulai membuka mata."Aku dengar dia laki-laki." Sahutnya lemah. Matanya menerawang ke langit-langit ruangan. Berusaha menyimpan lukanya."Kamu...istirahatlah dulu." Ronald mengelus tangannya."Apa dia sempat menangis saat lahir?" Pertanyaannya mulai ke mana-mana. Ronald menggeleng."Jadi, saat di rahimku, dia sudah tidak bernyawa lagi? Pantas saja dia tidak menendang-nendangku lagi..." Dia meraba perutnya. "Biasanya dia akan menendangku lebih keras saat kamu ada di dekatku. Aneh bukan?"Matanya yang sembab setelah menangis, kini harus dibasahi lagi dengan air mata."Jangan berpikir yang berat-berat dulu. Kamu harus istirahat biar cepat pulih..." Ronald tak kalah terpukul dan sedihnya dari wanita yang kini terbaring lemah itu."Apa Simon di sini juga?" Tanya Amanda ketakutan dan cemas."Tidak. Apa aku perlu memberitahu dia?" Meski dadanya terasa panas, Ronald harus mengontrol diri dan mengalah untuk saat ini.Dia tahu kal
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments