Share

Bab 4 - Restu.

Author: Ovvpie
last update Huling Na-update: 2025-01-16 17:06:28

Edwin, Dokter Tedja, dan Adira duduk dalam formasi yang memancarkan ketegangan. 

Dokter Tedja dan Adira berdampingan di satu sisi meja, sementara Edwin duduk di seberang, memandang keduanya dengan tatapan yang sulit dibaca. 

Mata Edwin tajam, menusuk seperti elang yang siap menyergap mangsanya. Dadanya bergejolak hebat, terutama setelah mendengar kabar yang tak pernah ia bayangkan—Adira, adik kecilnya yang paling dia sayangi, tahu-tahu sudah menikah. 

Ditambah lagi pasangannya adalah dr. Dokter Tedja, atasan Adira yang selalu dikeluhkan oleh Adira sebagai pribadi yang kejam dan perfectionist.

Mana bisa Edwin menerima kabar pernikahan itu?!

Edwin menghela napas sebelum bersandar sedikit ke kursinya, melipat tangan di dada. “Sekarang jelaskan.” katanya dengan datar dan penuh tekanan.

Adira menunduk dalam diam, bibirnya bergetar seperti mencari kata-kata yang tak kunjung keluar. Sebaliknya, Dokter Tedja dengan tenang membuka percakapan.

“Kami sudah menikah,” ucapnya tenang dan penuh keyakinan.

Kalimat itu meluncur ringan, tapi dampaknya menghantam ruangan seperti petir. 

Edwin tetap bergeming, tapi ia menarik rapas. 

Meski sudah mendengar pengakuan itu dari Adira, tapi ia tetap kaget karena melihat pria di hadapannya ini begitu tenang. 

Di sisi lain, Adira memberanikan diri untuk melirik kakaknya berharap ada respons yang bisa meredakan situasi. Namun, hanya ada keheningan yang semakin mencekam.

“Kami harap.. kami bisa mendapatkan restu dari Mas Edwin.” sambung Dokter Tedja lagi dengan sikap tenang yang terasa terlalu santai untuk suasana seperti ini.

“Kalian pasti bercanda.” Edwin sedikit terkekeh, tapi Adira tahu kalau Edwin tidak benar-benar tertawa.

Dokter Tedja lalu mengeluarkan akta nikahnya dengan Adira dan memperlihatkannya pada Edwin. “Tidak, Mas. Kami sudah sah secara hukum.”

Edwin menatap mereka bergantian, lalu matanya tertuju pada akta nikah yang diletakkan Dokter Tedja di meja. Tangannya mengepal di kedua sisi kursi, rahangnya mengeras.

“Apa kami perlu memperlihatkan video detik-detik akadnya?” tambah Dokter Tedja setengah bercanda.

Adira ingin menyumpal mulut Dokter Tedja dengan kotak tisu di depannya. 

Dia menoleh ke arah Dokter Tedja dengan tatapan memohon. “Dok, tolong jangan bercanda dulu!” bisiknya.

Dokter Tedja menatap Adira, mengangkat alis dengan ekspresi polos yang menjengkelkan. “Lho, saya serius. Mas Edwin kan memang pantas tahu. Barangkali dia nggak percaya.”

“Dokter!” Adira mendelik, hampir lupa dengan kehadiran Edwin. Tetapi, bukannya marah, Edwin mendengus pelan.

“Aku tanya sekali lagi,” suara Edwin terdengar lebih berat. Matanya menatap tajam ke arah Dokter Tedja. “Kenapa kalian menikah? Adira, ini keputusan yang besar. Jangan bilang ini cuma cara untuk keluar dari rumah.”

Adira terdiam, sontak membuatnya sulit berbicara. Rasanya percuma saja menghapalkan banyak alasan yang sedari kemarin dia rancang.

“Erna, sini kamu!” panggil Edwin setengah berteriak.

Kemudian, keluarlah Erna dari balik tembok dengan langkah pelan. Rupanya wanita itu sudah berdiri di sana dan mendengarkan perbincangan mereka sedari tadi.

Erna yang tertunduk lalu duduk di sebelah Edwin. Dia sedikit menjaga jarak, karena takut akan terjadi sesuatu yang tidak dia inginkan. Ini adalah kali pertama Erna melihat Edwin semarah ini. Pria itu biasanya selalu sabar dan jarang sekali meninggikan suaranya.

“Apa karena kakakmu ini kamu jadi nggak betah di rumah?” tanya Edwin lagi pada Adira, tapi tatapan tajamnya masih tertuju pada Erna.

Sungguh Edwin tidak habis pikir, apa yang sebenarnya istrinya itu lakukan sampai membuat adiknya pergi.

“Aku cuma ngasih tahu yang seharusnya, Ed. Adira itu udah besar. Sudah seharusnya dia mandiri,” ujar Erna memberanikan diri.

“Saya tidak tanya kamu, Erna.” Edwin lalu kembali menatap Adira.

Beberapa kali Adira menelan salivanya sebelum menjawab, “Aku pikir Kak Erna ada betulnya, kok. Aku... juga gak mau jadi penghalang kebahagiaan kalian...”

“Penghalang apa?!” Edwin memotong. “Terus, kamu pikirkkak bakal bahagia kalau kamu nggak ada?”

“Kamu tidak perlu sampai begini, Adira. Aku bisa menasehati Erna kalau dia memperlakukanmu dengan buruk.” Edwin berkata lagi sambil mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap Adira dengan serius.

“Haaah... sudahlah. Ini juga sudah terlanjur,” desahnya. “Lalu, soal pernikahan... Kenapa harus Dokter Tedja? Sejak kapan kalian menjalin hubungan?”

Dokter Tedja dan Adira saling memandang. Lalu, dengan satu kode kedipan mata dari Dokter Tedja, mulailah Adira menjelaskan, “Sebenarnya kami tidak pernah pacaran. Kami memutuskan menikah begitu saja,”

Edwin menatap mereka dengan kening berkerut. Kepalanya mulai berdenyut. “Tidak pacaran? Tidak ada lamaran? Tahu-tahu menikah?” pria itu memijat pelipisnya, mencoba mencerna.

“Saya membutuhkan dia dan dia membutuhkan saya saat ini. Selain itu, saya merasa kalau Adira adalah orang yang paling tepat dan cocok. Karena itu saya mengajaknya menikah,” ucap Dokter Tedja.

“Tenang saja, saya berjanji akan melindungi dan membahagiakan Adira.” lanjutnya seraya merangkul bahu Adira untuk merapatkan jarak mereka.

Kaget dengan tindakan Dokter Tedja itu, Adira langsung menyikut pelan Dokter Tedja. “Dok!” bisiknya.

“Nggak usah malu begitu. Bukannya semalam kita sudah tidur bareng?” sindir Dokter Tedja dengan penekanan kata-kata, membuat wajah Adira memerah.

Sebenarnya, semalam Adira bersikeras untuk tidur di sofa. Namun, ia tak jadi melaksanakan niat itu karena selimut yang biasanya ada lebih dari satu tiba-tiba menghilang entah kemana.

Akhirnya, Adira pun terpaksa tidur bersama Dokter Tedja di dalam satu lindungan selimut yang sama dan terbangun di dekapan pria itu.

Apa yang terjadi tadi pagi membuat wajah Adira semakin merah dan memalingkan wajahnya dari Dokter Tedja yang tengah menyeringai kecil.

Melihat itu, Edwin mendesah panjang sebelum bersandar di kursinya. Pandangannya melembut. “Kamu kelihatan... lebih hidup, Adira.” 

Pria itu berkata dengan nada pelan, hampir seperti bicara pada dirinya sendiri. “Selama empat tahun ... setelah aku dan Erna menikah, aku jarang melihat kamu benar-benar bahagia. Tapi sekarang...” Dia melirik ke arah Dokter Tedja, yang sedang duduk tanpa ekspresi di hadapannya. “Mungkin memang tidak ada salahnya.”

Dokter Tedja mengangguk dan tersenyum formal. “Terima kasih atas restunya, Kak Edwin.”

Edwin mendelik. Panggilan kakak dari Dokter Tedja itu begitu membuat lehernya merinding.

“Jangan terlalu percaya diri dulu kamu! Kalau kamu menyakiti Adira, aku adalah orang yang pertama datang untuk menghajar kamu.” ancamnya. “Paham?!”

“Tentu, Kak.” jawab Dokter Tedja. “Percayakan pada saya.”

Akhirnya pembicaraan mereka ditutup dengan damai. 

Mereka kemudian keluar dari rumah Edwin dengan diam, bahkan di perjalanan pulang pun mereka berdua tetap diam. Keheningan itu tiba-tiba berhenti ketika nada dering telepon berbunyi. 

Layar dashboard menunjukkan sebuah nama: Zia.

Dokter Tedja melirik layar sejenak, lalu menghela napas singkat. Alih-alih mengangkat telepon, dia membiarkan panggilan itu berdering hingga akhirnya mati sendiri. 

Beberapa detik kemudian, telepon itu kembali berdering. Kali ini pun, Dokter Tedja tetap tidak merespons.

Adira yang penasaran sejak panggilan pertama akhirnya bertanya. “Dokter nggak mau angkat teleponnya?”

Dokter Tedja mengangkat bahu ringan, pandangannya tetap ke jalan. “Nggak.” jawabnya singkat, tetapi cukup untuk membuat Adira mengerutkan alis. 

‘Bagaimana kalau ada yang penting?’

Melihat Adira yang terganggu, Dokter Tedja lalu berkata dengan datar.  “Kalau kamu seterganggu itu, angkat saja. Anggap sebagai tugas pertama kamu untuk menyingkirkan dia.”

“Apa yang harus saya lakukan?” Adira bertanya, ragu.

“Terserah.” jawab Dokter Tedja. “Omeli atau marahi juga boleh. Itu kan keahlian kamu?”

Adira mendengus sebelum memencet layar yang tertera di dashboard.  “Hallo? Kamu perempuan yang suka mengganggu suami saya ya?!”

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Pesona Istri Dadakan Dokter Tedja   Rencana Kabur

    Langkah Adira hampir mencapai pintu keluar ketika suara lembut namun penuh otoritas menghentikannya. "Adira?" Adira menoleh, mendapati seorang wanita paruh baya dengan senyum khasnya berdiri di dekatnya. Bu Dyah. Dari sekian banyak orang yang hadir di reuni ini, Bu Dyah adalah satu-satunya yang seharusnya bisa membuatnya merasa nyaman. Mantan wali kelasnya itu selalu terlihat lembut dan perhatian. Tapi, entah kenapa, tatapan hangatnya kini terasa mengikat, seperti jaring halus yang siap menahannya tetap di tempat. "Apa kamu sudah mau pulang?" tanya Bu Dyah dengan nada lembut, tapi ada sedikit nada keberatan di sana. Adira tetap menjaga ekspresi tenangnya. "Iya, Bu. Saya tidak bisa berlama-lama. Karena, niatnya cuma ikut makan saja." "Sayang sekali. Padahal saya ingin berbicara denganmu sebentar," ujar Bu Dyah. Dia melirik ke meja reuni di mana beberapa teman lama mereka masih sibuk mengobrol, tapi jelas memperhatikan mereka. "Kamu benar-benar tidak mau duduk sebentar lagi? Momen

  • Pesona Istri Dadakan Dokter Tedja   Reuni yang Membosankan

    Restoran Grand Orchid Hotel terasa semakin sesak bagi Adira. Bukan karena udara atau jumlah tamu yang banyak, melainkan karena atmosfer di meja reuni yang semakin lama semakin tidak nyaman. Dari tadi, obrolan terus mengalir tanpa melibatkan dirinya. Mereka membahas kisah sukses masing-masing, mulai dari bisnis yang berkembang pesat, perjalanan ke luar negeri, hingga pernikahan dengan pasangan kaya raya. Semua terdengar seperti ajang pamer terselubung. Adira memilih tetap diam. Tidak ada yang ingin dia ceritakan. Kenangan SMA baginya tidak lebih dari fase hidup yang ingin dia tinggalkan—fase di mana dia harus berjuang sendiri, menghadapi bully-an, dan bertahan dari tatapan merendahkan. Satu-satunya hal baik dari masa itu adalah Gina, Dewi, dan Giovanni. Namun, kini Adira bahkan mulai ragu apakah Dewi benar-benar teman yang bisa dia percayai. Dia menarik napas panjang, berusaha mengabaikan percakapan di sekelilingnya. Rasa bosan mulai menjalar, membuatnya tanpa sadar membuka ponsel

  • Pesona Istri Dadakan Dokter Tedja   Jebakan

    Chapter XX: Undangan Makan Malam di Grand Orchid Setelah insiden beberapa waktu lalu, Dewi tampak lebih kalem. Dia tidak lagi terlalu agresif saat menyapa Giovanni, tidak sok akrab dengan staf lainnya, dan yang paling penting bagi Adira, Dewi akhirnya bekerja dengan cukup baik—atau setidaknya berusaha terlihat baik. Namun, bagi sebagian besar staf di front office, perubahan Dewi ini terasa janggal. Baru saja seminggu lalu dia membuat kesalahan fatal, tetapi sekarang dia bertingkah seolah semuanya baik-baik saja. Di area resepsionis, beberapa pegawai sedang membahas perubahan sikap Dewi. "Kamu sadar gak sih? Dewi sekarang beda banget," ujar Rina, salah satu pegawai administrasi, dengan nada berbisik. "Iya, biasanya dia langsung sok akrab tiap lihat dr. Giovanni. Sekarang, malah kalem," timpal Feri, pegawai front office lainnya. "Mungkin dia kapok gara-gara kena teguran dr. Tedja," celetuk Rina lagi. Feri menggeleng. "Ya kapok sih kapok, tapi tetep aja. Dia kan baru kerja beberap

  • Pesona Istri Dadakan Dokter Tedja   Tipu Daya Dewi

    Hari reuni yang dinanti-nanti oleh teman-teman SMA Adira akhirnya tiba. Namun, seperti yang sudah direncanakan, Adira sama sekali tidak berniat untuk menghadirinya. Hari ini dia harus pergi ke luar kota bersama Dokter Tedja untuk survei lokasi klinik baru. Pagi itu, langit masih sedikit mendung ketika Adira dan Dokter Tedja sudah berada di dalam mobil. Perjalanan mereka ke Kota Y memakan waktu beberapa jam, jadi sejak awal mereka sudah bersiap untuk perjalanan panjang. Dokter Tedja yang menyetir tampak santai, mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung hingga siku. Sementara Adira duduk di kursi penumpang, sibuk dengan tabletnya, mengecek kembali daftar lokasi yang akan mereka survei hari ini. "Jadi, kita langsung ke lokasi pertama begitu sampai?" tanya Dokter Tedja, membelokkan mobil keluar dari parkiran basement rumah sakit. "Iya," jawab Adira tanpa mengalihkan pandangan dari layarnya. "Saya sudah mengatur jadwalnya. Tempat pertama yang kita survei ada di area perumahan eli

  • Pesona Istri Dadakan Dokter Tedja   Terabaikan

    Sejak pertama kali Adira menginjakkan kaki di kantor pagi ini, suasana di sekitar berubah drastis. Para staf yang biasanya sibuk mengobrol di dekat pantry atau berkumpul di meja kerja masing-masing langsung membubarkan diri begitu melihat ekspresi Adira yang gelap. Langkahnya cepat, hak sepatunya berdetak tegas di lantai, dan raut wajahnya penuh dengan aura ‘jangan ganggu aku kalau tidak ingin mati’. Bagi yang sudah mengenal Adira cukup lama, mereka tahu ada dua hal yang bisa membuatnya segalak ini: pekerjaan yang berantakan atau sesuatu yang berhubungan dengan Tedja. Dan pagi ini, tampaknya bukan masalah pekerjaan. “Permisi, Mbak Adira...” suara seorang staf bagian keuangan bergetar saat menyerahkan dokumen laporan keuangan mingguan. Biasanya, Adira akan menerima dengan tenang, mungkin menambahkan sedikit candaan atau komentar santai. Tapi kali ini, dia hanya menatap sekilas sebelum mengambil dokumen itu dengan sedikit hentakan. “Ada yang salah dalam laporan ini?” tanya staf itu h

  • Pesona Istri Dadakan Dokter Tedja   Cewek Tuh Serem Pas PMS

    Pagi itu, Gina berdiri di dekat mesin absen pegawai dengan tatapan tajam. Matanya terus mengawasi setiap pegawai yang masuk, tapi fokusnya hanya pada satu orang, yakni Adira. Dia sengaja datang lebih awal demi satu tujuan: menginterogasi Adira soal kejadian semalam. Masih jelas di ingatannya bagaimana suara Tedja terdengar dari telepon. Kenapa malam-malam Tedja bisa ada di tempat Adira? Kenapa Adira terdengar begitu panik ketika ketahuan? Tapi, saat akhirnya Adira dan Tedja muncul dari dari arah parkiran, Gina langsung merasa ada sesuatu yang janggal. Tapi, saat akhirnya Adira dan Tedja muncul dari arah parkiran, Gina langsung merasa ada sesuatu yang janggal. Adira berjalan lebih cepat beberapa langkah di depan Tedja, wajahnya masam, seperti seseorang yang sedang menahan kekesalan. Gerak-geriknya kaku, bibirnya terkatup rapat, dan ada aura jengkel yang terpancar jelas darinya. Sementara itu, Tedja justru tampak sangat santai di belakangnya. Ada sedikit seringai di bibirnya, seaka

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status