Dari pipinya yang merah padam saja, Dokter Tedja sudah tahu apa yang sedang Adira pikirkan dan ia merasa puas dengan itu.
Sekretarisnya itu, meski sering tampak kaku, tapi selalu memiliki sisi lucu yang muncul seiring waktu.
Hal ini menjadi semacam hiburan di tengah rutinitas yang padat sebagai dokter sekaligus direktur utama rumah sakit.
“Jangan mikir yang aneh-aneh. Adik perempuan saya tinggal di bawah dan sering ke sini. Kalau dia lapor ke ibu saya, kamu tahu kan bakal seperti apa jadinya?” jelas Dokter Tedja, menyelipkan nada peringatan.
Adira menjatuhkan tubuhnya ke sofa tak jauh dari tempat Dokter Tedja duduk.
“Siapa yang begitu?” Adira berusaha mengenyahkan pikiran aneh di kepalanya. “Saya hanya waspada,” jawabnya lagi dengan nada ketus.
Meskipun berkata demikian, tapi semburat merah di pipi Adira belum juga pudar.
“Bohong. Kamu pasti berharap kalau saya akan ngapa-ngapain kamu, kan?” balas Dokter Tedja lagi. Kali ini, pria itu menyeringai menggoda, membuat Adira menatapnya dengan ekspresi setengah jijik.
Kalau bukan karena ingat bahwa Dokter Tedja adalah bosnya, Adira mungkin sudah melemparkan bogem mentah sejak tadi.
Tak dapat dipungkiri, Dokter Tedja adalah paket lengkap—kaya dan berwajah luar biasa menarik, terutama saat sedang serius. Tidak heran kalau banyak yang mengidolakannya.
“Kalau aja mereka tahu aslinya nih dokter gila,” gumam Adira lirih.
“Kamu sempat ngomong sesuatu?” mata Dokter Tedja menyipit.
Adira buru-buru menggeleng sambil tertawa canggung.
“Eh! Nggak, Dok!” katanya. “Saya hanya merasa gak nyaman karena walaupun kita benar-benar sudah nikah, tapi realitanya hanya status.” lanjut Adira lagi.
“Jangan kebanyakan mikir.” Dokter Tedja mengetuk kepala Adira main-main, membuat Adira merengut tak terima.
“Tapi, tahu nggak kenapa saya memilih kamu untuk menikah dengan saya?”
Adira mengangkat wajah, tak langsung merespons. Tatapannya seakan meminta Dokter Tedja untuk segera memberi jawaban.
Dokter Tedja menarik napas, kali ini suaranya lebih serius. “Saya butuh pasangan yang bisa diajak kerja sama. Bagaimanapun juga, status pernikahan kita ini nggak hanya untuk main-main. Kalau nggak ada kecocokan, semuanya akan kacau.”
Adira tertegun.
“Kamu itu nyambung sama saya meskipun kadang bikin kepala saya pusing.” lanjut Dokter Tedja lagi yang langsung membuat Adira mendengus.
Padahal baru saja ia merasa kagum pada dokter ini!
“Ngomong-ngomong, Dok. Kalau boleh tahu, sampai kapan kita akan melakukan pernikahan ini? Apakah ada lembar perjanjiannya?” tanya Adira kemudian, mulai lebih serius.
Dokter Tedja menggeleng pelan. “Lakukan saja seperti pasutri biasa. Kamu juga bisa minta cerai kalau memang sudah ada orang yang kamu sukai. Yang penting kamu bisa memberikan apa yang saya mau.”
Ucapan Dokter Tedja membuat mata Adira membulat sebelum reflek menutupi dadanya dengan kedua tangan.
“Tenang saja, saya nggak akan menyentuh kamu... kecuali kamu yang mau,” lanjut Dokter Tedja sambil menaik-turunkan alis, menggoda.
“Nggak akan, Dok!” seru Adira tegas.
Dokter Tedja terkekeh dan melanjutkan dengan suara serius, “Tugas utama kamu hanya satu: singkirkan Zia.”
Adira mengernyit. “Zia? Dokter Zia yang direktur cabang itu?”
Tentu saja Adira tahu siapa Zia. Wanita itu sepupu jauh Dokter Tedja dan ia ingat mereka cukup dekat.
“Ya, dia. Ibu saya memaksa ingin menjodohkan saya dengannya. Tapi, seperti yang kamu tahu, saya nggak tertarik.” jelas Dokter Tedja.
“Kenapa, Dok? Dokter Zia kan baik. Cantik pula. Kalian cocok, sama-sama dokter. Kok dokter nggak mau?”
Dokter Tedja bersedekap dada. “Kepo saja kamu!”
Setelah itu, ia bangkit dan membawa koper Adira ke atas.
Langkah Adira yang hendak mengikuti Dokter Tedja mendadak terhenti karena sebuah panggilan tiba-tiba masuk ke ponsel Adira, dari Edwin.
“Halo, Kak.”
“Kamu di mana? Kenapa kamu nggak ada di rumah sakit? Satpam bilang kamu semalam dirawat di sini. Kenapa nggak bilang ke kakak?” suara Edwin terdengar penuh kekhawatiran.
“Kamu gapapa kan?” lanjut Edwin lagi.
Kebohongan Adira semalam akhirnya terbongkar. Ia menggigit bibir bawahnya, menyadari bahwa ia sama sekali tidak memperkirakan kedatangan kakaknya siang ini.
“Aku nggak kenapa-napa kok, Kak. Aku takut kakak khawatir jadi aku–”
“Jelas kakak khawatir, Adira!” Edwin memotong dengan nada pedas. “Kamu tiba-tiba pergi tanpa kabar, terus sekarang kakak mendengar kamu dirawat di rumah sakit!!”
“Jadi gimana sekarang? Kamu di mana? Apa masih di ruang rawat?”
Adira tergagap dan buru-buru memandang ke arah Dokter Tedja yang berdiri tak jauh darinya. “Nggak, Kak. Ini.. aku di rumah Dokter Tedja.”
“Atasan kamu gimana, sih? Sekretaris lagi sakit malah disuruh kerja melulu. Gak manusiawi banget.” semprot Edwin lagi. “Kirimkan alamatnya! Biar kakak beri perhitungan!”
Adira semakin panik. “Eh?! Kak! Nggak kok! Nggak buat kerja!! Aku... pindah ke rumah Dokter Tedja mulai hari ini.”
Keheningan berlangsung cukup lama sampai akhirnya terdengar suara keras, ‘bletak!’ dari seberang telepon. Sepertinya, ponsel Edwin tanpa sengaja terjatuh karena keterkejutannya.
Adira langsung panik. “Kak! Kak Edwin! Halo?” serunya, mencoba memastikan.
Beberapa saat kemudian, suara Edwin kembali terdengar setelah ia mengambil ponselnya. Namun, kali ini nada suaranya berubah menjadi lebih tinggi, nyaris histeris.
“Adira! Kamu tahu kan kalau dia itu COWOK! Nggak pantes anak gadis yang belum menikah seperti kamu tinggal serumah sama cowok!”
Omelan itu menghantam gendang telinga Adira seperti letusan petasan. Bahkan ketika ia menjauhkan ponselnya, suaranya masih terdengar jelas.
Adira mencoba menenangkan situasi dengan tawanya yang canggung. “Anu.. Kak. Sebenarnya, semalam kami sudah menikah..”
Keheningan di ujung telepon berubah menjadi gelombang baru emosi.
“ADIRA!!!” teriak Edwin, suaranya makin lantang, hampir membuat Adira menjatuhkan ponselnya sendiri.
Edwin mengambil napas cepat, lalu menambahkan dengan nada tegas. “Oke, nggak peduli kami bilang apa. Kirim alamat dokter itu ke kakak sekarang juga. Kita bicara langsung. Nggak bisa begini!”
Adira baru saja ingin berbicara lebih lanjut, tapi tiba-tiba ponsel Adira diambil oleh Dokter Tedja yang berdiri di dekatnya.
Pria itu memasang ekspresi tenang, tapi suaranya terdengar tegas ketika berbicara ke telepon.
“Mas Edwin, saya Dokter Tedja. Tidak perlu repot-repot ke sini. Besok pagi kami berdua akan datang ke rumah Mas. Kita bisa bicarakan semuanya dengan tenang,” katanya, nada bicaranya santai namun berwibawa.
“Kamu Dokter Tedja, ya?” Edwin terdengar sedikit kaget mendengar suara Dokter Tedja. “Baik, saya tunggu besok. Tapi, tolong pastikan Adira benar-benar baik-baik saja!”
“Tentu, Mas. Jangan khawatir. Sampai bertemu besok.” Dokter Tedja menutup telepon dengan lembut, lalu mengembalikan ponsel ke Adira yang masih menatapnya dengan mulut setengah terbuka.
“Kamu kenapa?” tanya Dokter Tedja datar.
“Dokter yakin mau ke rumah kak Edwin besok? Bagaimana kalau kita bertemu di restoran atau–”
“Ya. Kita pergi berdua, sekalian meminta restu dari kakakmu.”
Langkah Adira hampir mencapai pintu keluar ketika suara lembut namun penuh otoritas menghentikannya. "Adira?" Adira menoleh, mendapati seorang wanita paruh baya dengan senyum khasnya berdiri di dekatnya. Bu Dyah. Dari sekian banyak orang yang hadir di reuni ini, Bu Dyah adalah satu-satunya yang seharusnya bisa membuatnya merasa nyaman. Mantan wali kelasnya itu selalu terlihat lembut dan perhatian. Tapi, entah kenapa, tatapan hangatnya kini terasa mengikat, seperti jaring halus yang siap menahannya tetap di tempat. "Apa kamu sudah mau pulang?" tanya Bu Dyah dengan nada lembut, tapi ada sedikit nada keberatan di sana. Adira tetap menjaga ekspresi tenangnya. "Iya, Bu. Saya tidak bisa berlama-lama. Karena, niatnya cuma ikut makan saja." "Sayang sekali. Padahal saya ingin berbicara denganmu sebentar," ujar Bu Dyah. Dia melirik ke meja reuni di mana beberapa teman lama mereka masih sibuk mengobrol, tapi jelas memperhatikan mereka. "Kamu benar-benar tidak mau duduk sebentar lagi? Momen
Restoran Grand Orchid Hotel terasa semakin sesak bagi Adira. Bukan karena udara atau jumlah tamu yang banyak, melainkan karena atmosfer di meja reuni yang semakin lama semakin tidak nyaman. Dari tadi, obrolan terus mengalir tanpa melibatkan dirinya. Mereka membahas kisah sukses masing-masing, mulai dari bisnis yang berkembang pesat, perjalanan ke luar negeri, hingga pernikahan dengan pasangan kaya raya. Semua terdengar seperti ajang pamer terselubung. Adira memilih tetap diam. Tidak ada yang ingin dia ceritakan. Kenangan SMA baginya tidak lebih dari fase hidup yang ingin dia tinggalkan—fase di mana dia harus berjuang sendiri, menghadapi bully-an, dan bertahan dari tatapan merendahkan. Satu-satunya hal baik dari masa itu adalah Gina, Dewi, dan Giovanni. Namun, kini Adira bahkan mulai ragu apakah Dewi benar-benar teman yang bisa dia percayai. Dia menarik napas panjang, berusaha mengabaikan percakapan di sekelilingnya. Rasa bosan mulai menjalar, membuatnya tanpa sadar membuka ponsel
Chapter XX: Undangan Makan Malam di Grand Orchid Setelah insiden beberapa waktu lalu, Dewi tampak lebih kalem. Dia tidak lagi terlalu agresif saat menyapa Giovanni, tidak sok akrab dengan staf lainnya, dan yang paling penting bagi Adira, Dewi akhirnya bekerja dengan cukup baik—atau setidaknya berusaha terlihat baik. Namun, bagi sebagian besar staf di front office, perubahan Dewi ini terasa janggal. Baru saja seminggu lalu dia membuat kesalahan fatal, tetapi sekarang dia bertingkah seolah semuanya baik-baik saja. Di area resepsionis, beberapa pegawai sedang membahas perubahan sikap Dewi. "Kamu sadar gak sih? Dewi sekarang beda banget," ujar Rina, salah satu pegawai administrasi, dengan nada berbisik. "Iya, biasanya dia langsung sok akrab tiap lihat dr. Giovanni. Sekarang, malah kalem," timpal Feri, pegawai front office lainnya. "Mungkin dia kapok gara-gara kena teguran dr. Tedja," celetuk Rina lagi. Feri menggeleng. "Ya kapok sih kapok, tapi tetep aja. Dia kan baru kerja beberap
Hari reuni yang dinanti-nanti oleh teman-teman SMA Adira akhirnya tiba. Namun, seperti yang sudah direncanakan, Adira sama sekali tidak berniat untuk menghadirinya. Hari ini dia harus pergi ke luar kota bersama Dokter Tedja untuk survei lokasi klinik baru. Pagi itu, langit masih sedikit mendung ketika Adira dan Dokter Tedja sudah berada di dalam mobil. Perjalanan mereka ke Kota Y memakan waktu beberapa jam, jadi sejak awal mereka sudah bersiap untuk perjalanan panjang. Dokter Tedja yang menyetir tampak santai, mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung hingga siku. Sementara Adira duduk di kursi penumpang, sibuk dengan tabletnya, mengecek kembali daftar lokasi yang akan mereka survei hari ini. "Jadi, kita langsung ke lokasi pertama begitu sampai?" tanya Dokter Tedja, membelokkan mobil keluar dari parkiran basement rumah sakit. "Iya," jawab Adira tanpa mengalihkan pandangan dari layarnya. "Saya sudah mengatur jadwalnya. Tempat pertama yang kita survei ada di area perumahan eli
Sejak pertama kali Adira menginjakkan kaki di kantor pagi ini, suasana di sekitar berubah drastis. Para staf yang biasanya sibuk mengobrol di dekat pantry atau berkumpul di meja kerja masing-masing langsung membubarkan diri begitu melihat ekspresi Adira yang gelap. Langkahnya cepat, hak sepatunya berdetak tegas di lantai, dan raut wajahnya penuh dengan aura ‘jangan ganggu aku kalau tidak ingin mati’. Bagi yang sudah mengenal Adira cukup lama, mereka tahu ada dua hal yang bisa membuatnya segalak ini: pekerjaan yang berantakan atau sesuatu yang berhubungan dengan Tedja. Dan pagi ini, tampaknya bukan masalah pekerjaan. “Permisi, Mbak Adira...” suara seorang staf bagian keuangan bergetar saat menyerahkan dokumen laporan keuangan mingguan. Biasanya, Adira akan menerima dengan tenang, mungkin menambahkan sedikit candaan atau komentar santai. Tapi kali ini, dia hanya menatap sekilas sebelum mengambil dokumen itu dengan sedikit hentakan. “Ada yang salah dalam laporan ini?” tanya staf itu h
Pagi itu, Gina berdiri di dekat mesin absen pegawai dengan tatapan tajam. Matanya terus mengawasi setiap pegawai yang masuk, tapi fokusnya hanya pada satu orang, yakni Adira. Dia sengaja datang lebih awal demi satu tujuan: menginterogasi Adira soal kejadian semalam. Masih jelas di ingatannya bagaimana suara Tedja terdengar dari telepon. Kenapa malam-malam Tedja bisa ada di tempat Adira? Kenapa Adira terdengar begitu panik ketika ketahuan? Tapi, saat akhirnya Adira dan Tedja muncul dari dari arah parkiran, Gina langsung merasa ada sesuatu yang janggal. Tapi, saat akhirnya Adira dan Tedja muncul dari arah parkiran, Gina langsung merasa ada sesuatu yang janggal. Adira berjalan lebih cepat beberapa langkah di depan Tedja, wajahnya masam, seperti seseorang yang sedang menahan kekesalan. Gerak-geriknya kaku, bibirnya terkatup rapat, dan ada aura jengkel yang terpancar jelas darinya. Sementara itu, Tedja justru tampak sangat santai di belakangnya. Ada sedikit seringai di bibirnya, seaka