Dari kalimat pertama saja, tawa Teja sudah hampir meledak. Istri barunya ini benar-benar tidak ada tandingannya dalam membuatnya tertawa. Ia menutup mulutnya rapat-rapat, berusaha keras menahan suara cekikikan yang bisa mengganggu Adira.
“Hah... istri? Ini bukan nomornya Mas Teja, ya?” sahut wanita dari seberang telepon dengan nada yang terdengar tidak percaya.
“Betul kok, ini nomor Mas Teja. Tapi, suami saya lagi sibuk,” ujar Adira sejudes mungkin. Ia menekankan kata “suami saya” dengan nada yang nyaris menyayat.
Hening. Zia, wanita di seberang, tidak segera membalas. Namun, napas panjang terdengar dari speaker, cukup jelas untuk mengisyaratkan bahwa emosinya sedang mendidih.
Adira tersenyum tipis, meskipun nadanya semakin menusuk. “Lagian ya, Mbak. Dari tadi suami saya nggak angkat telepon. Harusnya sadar dong. Dia nggak mau bicara sama kamu. Itu namanya... males.”
Teja melirik Adira sambil memarkirkan mobil di area parkir minimarket. Rasanya mustahil baginya untuk terus menyetir sambil menahan gelak tawa. Ia memegangi kemudi erat-erat, bahunya bergetar karena tawa yang ia tahan.
Adira melirik Teja sejenak sebelum melanjutkan, “Mbak Zia, saya tahu kamu hampir dijodohkan sama suami saya, tapi tahu nggak kenapa itu cuma ‘hampir’? Karena dia jelas nggak tertarik sama kamu. Ngerti nggak? Seratus. Persen. Nggak. Tertarik.”
Suara isakan pelan terdengar dari speaker. “Nggak mungkin...” gumam Zia lirih, suaranya hampir tenggelam oleh emosi yang ia coba tahan.
Adira mengeraskan suaranya, memastikan setiap kata sampai dengan jelas. “Dengar baik-baik, Mbak. Suami saya itu sudah memilih saya. Dia bahagia banget sama saya. Jadi, mulai sekarang, stop ganggu dia, ya. Kalau nggak, saya nggak segan-segan lapor polisi. Gangguan seperti ini bisa kena pasal penguntitan, tahu?”
Zia mencoba membalas, tetapi suaranya terdengar lemah. “Kamu pikir kamu...”
“Dan satu lagi,” potong Adira, mengabaikan Zia sepenuhnya, “suami saya itu terlalu lembut buat bilang ini langsung ke kamu. Makanya, saya aja yang kasih tahu. Tapi jangan salah, saya beda. Kalau kamu terus-terusan ganggu, saya nggak akan segan-segan untuk me—”
‘Piiip.’
Telepon itu terputus. Zia menutupnya lebih dulu, mungkin tidak kuat mendengar ancaman Adira yang belum selesai.
Adira mengangkat alis, menatap layar yang kembali menunjukkan daftar panggilan. “Huh. Akhirnya selesai juga,” gumamnya sambil melipat lengannya.
Saat itulah Teja akhirnya tawa Teja meledak. Ia tertawa keras, sampai harus membungkuk memegangi perutnya. Suaranya memenuhi kabin mobil, membuat Adira melirik dengan kesal.
“Lucu banget ya, Dok?” tanya Adira. Pipinya sedikit memerah karena sadar bahwa Teja mendengar semuanya.
“Mantap. Hahaha!”
Teja terus tertawa selama beberapa menit tanpa henti. Bahkan Adira sempat keluar untuk membeli minuman di minimarket sebelum akhirnya mereka melanjutkan perjalanan.
Ketika ia kembali dengan dua botol air mineral di tangan, Teja masih terkikik kecil. Adira meletakkan salah satu botol di dashboard dengan sedikit kasar. “Minum, Dok. Biar nggak ketawa terus,” katanya sambil membuka botolnya sendiri.
Teja mengambil botol itu sambil tersenyum lebar. “Makasih, Dir.”
Adira mendengus, “Jadi, kita langsung ke rumah sakit kan habis ini?” tanyanya, mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Jadwal saya apa saja?” seketika Tedja juga berubah ke mode kerja.
Segera Adira membuka tabletnya, lalu membacakan jadwal yang sudah disusun, “Hari ini ada rapat dengan komite medik dan beberapa direktur, setelah itu kita makan siang bersama dr. Gio yang akan bergabung dengan rumah sakit kita minggu depan.”
Tedja yang mendengarnya pun manggut-manggut paham. Setelah itu, Adira kembali membacakan jadwal hingga selesai sembari Tedja melajukan mobil ke jalanan kembali.
Sesuai jadwal yang tadi disebutkan, sesampainya di RS Alaric Medika mereka berdua menuju ruang rapat. Di sana, beberapa kursi sudah terisi oleh para undangan. Lalu, sembari menunggu yang lainnya, Adira menyediakan air mineral untuk mereka satu persatu.
Agenda rapat hari ini terkait pembelian alat kesehatan baru untuk lima cabang Rumah Sakit Alaric Medika. Dan berhubung hal ini terkait dengan cabang lain, tentu saja Zia yang merupakan salah satu direktur cabang juga hadir.
Zia yang duduk tepat di sebelah kanan Tedja hari itu sekilas terlihat biasa saja. Tetapi, Adira menyadari bahwa ada guratan kesal di tatapan wanita itu, terutama saat mata mereka bertemu.
“Jangan-jangan tadi dokter Zia cuma mau nelfon soal rapat. Harusnya gak usah saya omelin...” batin Adira.
Perasaannya benar-benar tidak enak. Ucapannya di telfon tadi lumayan menusuk seandainya Adira yang mendengarkan. Seharusnya tadi dia memilih kata yang lebih baik.
Tapi, bukankah itu juga salah Tedja yang menyuruhnya untuk menyingkirkan Zia. Kalau nanti Zia jadi memusuhinya, setidaknya dia bisa berlindung dibalik Tedja. Tapi, akankah Tedja melindunginya? Hal itu cukup membuatnya sangsi.
“Tenang aja,” ucap Tedja lirih sembari menepuk-nepuk punggung tangan Adira.
Adira sebetulnya sulit merasa tenang, tetapi mau tidak mau dia harus tetap profesional. Setelah mengambil napas beberapa kali, dia menegakkan badannya dan mulai fokus pada rapat.
...
Rapat baru selesai satu jam kemudian. Begitu ditutup, sebagian besar langsung beranjak dari ruangan tersebut. Adira dan Tedja juga berniat melakukan hal yang sama, tetapi kemudian Zia memanggil.
“Mas Tedja,” panggil wanita itu.
Tedja hanya menengok sedikit.
“Ini rumah sakit, panggil saya dengan benar.” ujarnya tegas.
Jantung Adira sudah mulai kembali bergemuruh. Padahal tadi dia sudah agak tenang. Dia kembali memikirkan konsekuensi yang akan diterimanya. Dia hanya berharap bahwa Zia tidak mengenali suaranya di telfon tadi.
“Dok..ter Tedja.” ucap Zia, nadanya bergetar, “Soal di telfon tadi... apa benar?”
“Ya,” jawab Tedja singkat.
“Siapa? Boleh saya tahu?” tanya Zia. Suaranya semakin serak.
Saat akan menjawab, Tedja sedikit melirik ke arah Adira. Nampak jelas kekhawatiran di wajahnya. Tatapan gadis itu pun seolah memohon agar Tedja tidak mengatakan apapun.
“Kamu tidak perlu tahu. Ini bukan urusanmu.” jawab Tedja akhirnya.
“Mananya? Aku calon tunanganmu, Mas! Aku perlu tahu!” sergah Zia.
Zia berjalan ke hadapan Tedja dan berusaha meraih tangannya. Namun, sedetik kemudian Tedja menepis tangan itu.
“Sudah saya bilang berkali-kali, kalau saya tidak setuju dengan perjodohan ini. Kamu juga tahu kalau sekarang saya sudah menikah. Untuk apa kamu ungkit terus?” tatapan Tedja menyalak.
Air mata Zia mulai mengalir. “Aku udah nungguin kamu dari lama, Mas. Dulu kita gak kayak gini, kenapa... kenapa kamu berubah?”
“Saya tidak pernah berubah, dr. Zia. Itu hanya dugaan kamu saja.” ucap Tedja dingin.
“Dan sekali lagi saya ingatkan kalau saya tidak suka dengan tindakan kamu yang membawa persoalan pribadi ke rumah sakit.” lanjutnya seraya pergi meninggalkan Zia di sana.
Zia semakin terisak. Siapapun yang melihatnya kini pasti akan merasa kasihan. Begitu pula Adira yang merupakan salah satu penyebab tangisan itu. Tetapi, dia tidak merasa bersalah. Adira yakin bahwa ada alasan mengapa Tedja memperlakukan Zia seperti itu.
Langkah Adira hampir mencapai pintu keluar ketika suara lembut namun penuh otoritas menghentikannya. "Adira?" Adira menoleh, mendapati seorang wanita paruh baya dengan senyum khasnya berdiri di dekatnya. Bu Dyah. Dari sekian banyak orang yang hadir di reuni ini, Bu Dyah adalah satu-satunya yang seharusnya bisa membuatnya merasa nyaman. Mantan wali kelasnya itu selalu terlihat lembut dan perhatian. Tapi, entah kenapa, tatapan hangatnya kini terasa mengikat, seperti jaring halus yang siap menahannya tetap di tempat. "Apa kamu sudah mau pulang?" tanya Bu Dyah dengan nada lembut, tapi ada sedikit nada keberatan di sana. Adira tetap menjaga ekspresi tenangnya. "Iya, Bu. Saya tidak bisa berlama-lama. Karena, niatnya cuma ikut makan saja." "Sayang sekali. Padahal saya ingin berbicara denganmu sebentar," ujar Bu Dyah. Dia melirik ke meja reuni di mana beberapa teman lama mereka masih sibuk mengobrol, tapi jelas memperhatikan mereka. "Kamu benar-benar tidak mau duduk sebentar lagi? Momen
Restoran Grand Orchid Hotel terasa semakin sesak bagi Adira. Bukan karena udara atau jumlah tamu yang banyak, melainkan karena atmosfer di meja reuni yang semakin lama semakin tidak nyaman. Dari tadi, obrolan terus mengalir tanpa melibatkan dirinya. Mereka membahas kisah sukses masing-masing, mulai dari bisnis yang berkembang pesat, perjalanan ke luar negeri, hingga pernikahan dengan pasangan kaya raya. Semua terdengar seperti ajang pamer terselubung. Adira memilih tetap diam. Tidak ada yang ingin dia ceritakan. Kenangan SMA baginya tidak lebih dari fase hidup yang ingin dia tinggalkan—fase di mana dia harus berjuang sendiri, menghadapi bully-an, dan bertahan dari tatapan merendahkan. Satu-satunya hal baik dari masa itu adalah Gina, Dewi, dan Giovanni. Namun, kini Adira bahkan mulai ragu apakah Dewi benar-benar teman yang bisa dia percayai. Dia menarik napas panjang, berusaha mengabaikan percakapan di sekelilingnya. Rasa bosan mulai menjalar, membuatnya tanpa sadar membuka ponsel
Chapter XX: Undangan Makan Malam di Grand Orchid Setelah insiden beberapa waktu lalu, Dewi tampak lebih kalem. Dia tidak lagi terlalu agresif saat menyapa Giovanni, tidak sok akrab dengan staf lainnya, dan yang paling penting bagi Adira, Dewi akhirnya bekerja dengan cukup baik—atau setidaknya berusaha terlihat baik. Namun, bagi sebagian besar staf di front office, perubahan Dewi ini terasa janggal. Baru saja seminggu lalu dia membuat kesalahan fatal, tetapi sekarang dia bertingkah seolah semuanya baik-baik saja. Di area resepsionis, beberapa pegawai sedang membahas perubahan sikap Dewi. "Kamu sadar gak sih? Dewi sekarang beda banget," ujar Rina, salah satu pegawai administrasi, dengan nada berbisik. "Iya, biasanya dia langsung sok akrab tiap lihat dr. Giovanni. Sekarang, malah kalem," timpal Feri, pegawai front office lainnya. "Mungkin dia kapok gara-gara kena teguran dr. Tedja," celetuk Rina lagi. Feri menggeleng. "Ya kapok sih kapok, tapi tetep aja. Dia kan baru kerja beberap
Hari reuni yang dinanti-nanti oleh teman-teman SMA Adira akhirnya tiba. Namun, seperti yang sudah direncanakan, Adira sama sekali tidak berniat untuk menghadirinya. Hari ini dia harus pergi ke luar kota bersama Dokter Tedja untuk survei lokasi klinik baru. Pagi itu, langit masih sedikit mendung ketika Adira dan Dokter Tedja sudah berada di dalam mobil. Perjalanan mereka ke Kota Y memakan waktu beberapa jam, jadi sejak awal mereka sudah bersiap untuk perjalanan panjang. Dokter Tedja yang menyetir tampak santai, mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung hingga siku. Sementara Adira duduk di kursi penumpang, sibuk dengan tabletnya, mengecek kembali daftar lokasi yang akan mereka survei hari ini. "Jadi, kita langsung ke lokasi pertama begitu sampai?" tanya Dokter Tedja, membelokkan mobil keluar dari parkiran basement rumah sakit. "Iya," jawab Adira tanpa mengalihkan pandangan dari layarnya. "Saya sudah mengatur jadwalnya. Tempat pertama yang kita survei ada di area perumahan eli
Sejak pertama kali Adira menginjakkan kaki di kantor pagi ini, suasana di sekitar berubah drastis. Para staf yang biasanya sibuk mengobrol di dekat pantry atau berkumpul di meja kerja masing-masing langsung membubarkan diri begitu melihat ekspresi Adira yang gelap. Langkahnya cepat, hak sepatunya berdetak tegas di lantai, dan raut wajahnya penuh dengan aura ‘jangan ganggu aku kalau tidak ingin mati’. Bagi yang sudah mengenal Adira cukup lama, mereka tahu ada dua hal yang bisa membuatnya segalak ini: pekerjaan yang berantakan atau sesuatu yang berhubungan dengan Tedja. Dan pagi ini, tampaknya bukan masalah pekerjaan. “Permisi, Mbak Adira...” suara seorang staf bagian keuangan bergetar saat menyerahkan dokumen laporan keuangan mingguan. Biasanya, Adira akan menerima dengan tenang, mungkin menambahkan sedikit candaan atau komentar santai. Tapi kali ini, dia hanya menatap sekilas sebelum mengambil dokumen itu dengan sedikit hentakan. “Ada yang salah dalam laporan ini?” tanya staf itu h
Pagi itu, Gina berdiri di dekat mesin absen pegawai dengan tatapan tajam. Matanya terus mengawasi setiap pegawai yang masuk, tapi fokusnya hanya pada satu orang, yakni Adira. Dia sengaja datang lebih awal demi satu tujuan: menginterogasi Adira soal kejadian semalam. Masih jelas di ingatannya bagaimana suara Tedja terdengar dari telepon. Kenapa malam-malam Tedja bisa ada di tempat Adira? Kenapa Adira terdengar begitu panik ketika ketahuan? Tapi, saat akhirnya Adira dan Tedja muncul dari dari arah parkiran, Gina langsung merasa ada sesuatu yang janggal. Tapi, saat akhirnya Adira dan Tedja muncul dari arah parkiran, Gina langsung merasa ada sesuatu yang janggal. Adira berjalan lebih cepat beberapa langkah di depan Tedja, wajahnya masam, seperti seseorang yang sedang menahan kekesalan. Gerak-geriknya kaku, bibirnya terkatup rapat, dan ada aura jengkel yang terpancar jelas darinya. Sementara itu, Tedja justru tampak sangat santai di belakangnya. Ada sedikit seringai di bibirnya, seaka