Marta mengira Aldi memberi Riska sesuatu tanpa sepengetahuannya. Ternyata Aldi telah menyelamatkan bisnis keluarga Riska yang sempat bangkrut beberapa tahun. Sempat ada rasa cemburu dan iri saat tadi, namun setelah tahu apa yang Aldi bicarakan dengan Riska, akhirnya Marta sadar, kalau ia salah sudah berpikiran buruk tentang mereka.**Malam menyapa, masih dalam keadaan tenang dan penuh bahagia keluarga kecil Aldi. Tiga bayi mungil itu sudah terlelap tidur. Beruntung malam ini tiga bayi yang baru menginjak lima bulan usianya itu tidak pernah rewel. Sudah lima bulan mereka tinggal bersama dengan damai, tenang, dan penuh kebahagiaan.Selesai menidurkan si kembar, Riska keluar dari kamarnya. Terlihat Marta sedang berbincang dengan Aldi di ruang tengah sambil sedikit bercanda, bercerita tentang dulu saat pertama mereka bertemu. Mereka merajut kembali kenangan yang pernah mereka lupakan.Riska yang tadinya ingin bergabung bersama mereka akhirnya mengurungkan niatnya. Ia kembali ke kamar
“Pertama, kamu dilarang jatuh cinta dengan suamiku. Yang kedua, kamu harus memberikan anak pada kami berdua dari rahimmu. Dan, yang ketiga, kamu tidak berhak atas anak itu nanti. Paham?”Mendengar ucapan sinis wanita di depannya, Riska pun mengangguk. “I—iya, Mbak. Saya paham.”“Bagus! Kalau kamu sudah paham, kamu bisa baca surat perjanjian kerja ini. Kontrak kerja kamu lebih tepatnya!”Tanpa basa-basi, sebuah map diberikan pada Riska yang langsung membacanya dengan teliti.Dia tidak mau nantinya kalau sudah menjalankan tugasnya, ada hal yang nantinya akan merugikan dirinya.Hanya saja, hatinya ternyata tetap pedih saat kontrak itu menyatakan bahwa Riska tidak memiliki hak apapun atas anaknya nanti. Namun, Riska tak punya pilihan.Tabungan dan pesangonnya sudah habis dan dia sudah di PHK sejak dua tahun lalu dari pabrik tempatnya bekerja. Padahal, dia memang membutuhkan biaya untuk sekolah kedua adiknya, yang sebentar lagi akan masuk SMA dan SMP.Tak lama, Riska pun membubuhkan tanda
Entah apa yang dilakukan Marta, tapi Aldi memang akhirnya menuruti keinginan gila istrinya itu untuk menikahi Riska.Hanya saja, Riska dibawa Aldi ke sebuah rumah kecil di perumahan baru agar tak seatap dengan Marta.Kini sepasang suami istri baru itu berada di sana.Aldi memperhatikan lingkungan yang belum banyak dihuni, bahkan masih banyak rumah yang belum selesai dibangun.“Riska, nanti kalau ada apa-apa kamu bilang sama asistenku. Nanti uang bulanan kamu saya titipkan padanya dan dia yang akan aku utus ke sini,” ucap pria itu pada akhirnya.“Baik, Pak,” ucap Riska, takzim.Aldi menghela napas panjang. “Ya sudah, saya pergi dulu.”“Hasan tolong bantu angkat koper Riska, dan setelah itu langsung ke kantor, kita bahas meeting dengan klien kita!” perintah Aldi pada asistennya.“Baik, Tuan,” jawab Hasan dengan hormat.Aldi langsung meninggalkan mereka. Dia tidak ingin lama-lama di rumah Riska karena masih tak nyaman dengan istri keduanya itu.Di sisi lain, Hasan tampak membantu Riska m
Tak jauh berbeda dengan Aldi, Riska kini termenung.Dia bingung dengan keberadaannya di rumah mungil itu. Sudah setengah tahun ini, dia rasanya seperti makan gaji buta.“Kebutuhanku tak seberapa, tapi gajiku sebanyak itu dan diberikan rumah. Enak, sih? Tapi, aku seperti mengingkari perjanjian itu,” lirihnya cemas.Beberapa kali, Marta bahkan mendesaknya untuk merayu Aldi.Bagaimana bisa Riska merayunya? Pak Aldi saja tidak pernah ke sini!Riska sungguh merasa serba salah.Jadi, yang dapat dilakukan Riska adalah mulai berbaur dengan tetangga.Cukup akrab, tapi tak sampai menggosip dan berghibah.Beberapa bulan lalu, Riska juga mulai merawat tubuhnya. Dia ikut saran dari tetangganya untuk ke klinik kecantikan. Katanya, saat suami Riska yang merantau balik, dia bisa kelihatan fresh dan glowing,Waktu itu, Riska menahan tawa. Mau berubah pun, apa Aldi akan tertarik padanya?Tapi, tetangganya memaksa.Tanpa terasa, Riska memang terlihat semakin menarik. Dan, yang tahu perubahan ini adalah
“Eh Tuan di sini?” ucap Hasan gugup begitu menyadari sosok atasannya kini berdiri di sebelah Riska.“Kenapa kalau saya di sini, Hasan?” tanya Aldi, dingin.“Ya tidak apa-apa, memang harusnya begitu? Kebetulan nih saya bawakan jajanan pasar, buat cemilan Tuan sama Nyonya,” ucap Hasan.“Hmmm ... terima kasih, ya sudah sana kamu pulang, saya ke kantor agak siangan!” titah Aldi.“Siap, Tuan! Selamat bersenang-senang, sudah saya duga pasti ketagihan, kan?” gurau Hasan.“Jangan banyak bicara! Pulanglah!” perintah Aldi sedikit menekan.Dengan cengar-cengir melihat wajah Bosnya yang lucu, Hasan langsung pergi meninggalkan rumah Riska.Padahal Hasan masih ingin lama di rumah Riska, untuk sekadar makan jajanan pasar bersama sambil ngopi di teras Riska.Ya, Riska tidak pernah menyuruh Hasan masuk ke dalam rumah, meskipun ada sesuatu hal yang perlu diperbaiki, entah keran bocor, lampu mati, atau apa,Riska lebih leluasa memanggil orang ahlinya daripada meminta Hasan untuk memperbaikinya, karena a
Cletak! Aldi menjentikkan jarinya ke kening Riska yang melongo karena mendengar dirinya akan menambahkan uang belanja Riska. “Awwh ... Bapak!” ringis Riska dengan mengusap keningnya. “Lagian kamu melongo begitu?” ucap Aldi. “Ya habisnya uang yang tiga bulan saja masih utuh, ngapain bapak ngasih tambahan uang lagi? Mubazir lho pak?” jawab Riska. “Aku tidak suka dibantah, Riska! Mau tidak mau kamu harus menerima uang tambahan dari saya, dan mulai sekarang belilah baju yang layak pakai, sepatu, tas, make-up, parfum, dan lainnya! Jangan sampai kosong lagi ini meja rias!” tegas Aldi. “Memang pakaian saya tidak layak pakai, Pak?” tanya Riska polos dan meneliti pakaian yang ia gunakan. Menurutnya sudah sangat layak pakai, bahkan itu adalah pakaian yang lumayan mahal harganya menurut Riska. “Ini sudah mahal lho, Pak? Saya beli di toko depan sana dekat sama Pasar itu, harganya sudah mahal sekali,” imbuhnya. “Mahal? Berapa, Riska?” tanya Aldi yang tidak yakin pakaian yang Istri Keduanya
“Bantu aku untuk bujuk Marta, supaya Marta mau punya anak dariku,” ucap Aldi. Riska tersenyum, tapi ia bingung sendiri dengan Suaminya itu. Dirinya saja dibayar Marta untuk dipinjam rahimnya untuk mengandung anak dari Aldi. Sekarang Aldi malah meminta bantuan padanya untuk membujuk Marta?Apakah wanita itu mau mendengarnya?“Bagaimana? Bisa, kan?” tanya Aldi lagi. “Gini nih, Pak. Saya ini kan dibayar Mbak Marta, dipinjam rahimnya untuk mengandung anak dari Bapak, terus kalau saya membujuk Mbak Marta supaya mau hamil, jelas saya kena semprot Mbak Marta dong?” ucap Riska, "disangkanya, saya mau makin gaji buta aja." “Jadi maunya kamu, aku hamilin kamu begitu?” Deg! “Bu--bukan begitu! Tapi, saya tidak mau melanggar perjanjian saya dengan Mbak Marta, Pak. Apalagi Mbak Marta sudah membayar penuh uang kontraknya selama dua tahun,” jawab Marta. Kini, Aldi menghela napasnya berat. Di rumah, ia sudah tidak bisa berkomunikasi dengan baik dengan Marta, meminta jatah ranjang saja Marta sel
“Ehh ... ja—jangan sekarang, Pak! Saya sedang masak, masa sambil masak?” Riska sudah panas dingin didekati Aldi, apalagi sampai Aldi memeluk dirinya dari belakang dan mengambil spatula di tangan Riska lalu menaruhnya di tempat tirisan minyak.“Kenapa kalau sambil masak? Biar ada sensasinya, Riska? Ayo, layani saya sekarang.” Aldi tambah membuat Riska makin panas dingin, padahal Aldi hanya ngerjain Riska saja, bagaimana reaksinya saat diperlakukan seperti itu oleh Aldi.“Aduh, Pak ... tubuh saya bau bumbu, nanti saja, ya? Mandi dulu, masa mau melayani suami bau begini, Pak? Ja—jangan deh, Pak?” ucapnya gugup dan wajahnya semakin merah merona, karena Riska bisa merasakan desah napas Aldi yang lembut dan hangat di tengkuknya.“Kenapa? Katanya sudah siap? Kok gugup gini? Jangan tegang dan takut dong wajahnya? Rileks, oke?” bisik Aldi di telinga Riska dengan lembut. Sesekali Aldi mencium tengkuk Riska. Entah ada dorongan apa Aldi bisa-bisanya menyesap aroma wangi tubuh Riska, dan tiba-tiba