3)
Runtuh sudah dunia Savira. Gadis itu tidak hanya kehilangan kaki dan kebebasannya, tapi Savira juga harus kehilangan ayah satu-satunya yang sangat ia cinta. Siapa sangka, canda tawa antara Savira dan Rahman sebelumnya akan menjadi momen terakhir bagi ayah dan anak itu. Hidup Savira benar-benar dibuat hancur karena kecelakaan ini. "Nggak mungkin! Ayah pasti baik-baik aja, 'kan? Ayah nggak mungkin ninggalin kita, Bu! Ayah pasti baik-baik aja!" seru Savira menyangkal perkataan sang ibu. Gadis itu sangat shock, hingga ia tak bisa menerima kenyataan. Savira tak akan bisa melanjutkan hidupnya jika ia kehilangan ayah kesayangannya. Selama ini, Rahman sudah menjadi sandaran dan tumpuan hidup Savira. Pria paruh baya itu adalah sosok ayah dan suami yang sangat bertanggung jawab pada keluarga, dan selalu bekerja keras untuk membahagiakan anak serta istrinya. Walaupun Savira berasal dari keluarga yang serba kekurangan secara finansial, tapi Savira tak pernah kekurangan cinta dan perhatian dari kedua orang tua. Rahman memang tidak handal dalam mencari uang, tapi pria itu mampu membangun keluarga yang harmonis dan bahagia untuk istri dan buah hati kesayangannya. Tentu kehilangan sang ayah akan menjadi pukulan terberat dalam hidup Savira. "Kamu harus ikhlas, Savira! Ayah sudah berada di tempat yang lebih baik sekarang," ucap Dania dengan tegar. Wanita paruh baya itu juga tak kalah sedih ditinggal pergi oleh suaminya. Ditambah lagi, Dania juga harus mengurus putrinya yang dinyatakan lumpuh. Kecelakaan ini juga membuat hidup Dania berubah drastis. "Kenapa Ayah harus ninggalin aku secepat ini? Ayah udah janji sama aku kalau Ayah mau nganterin aku kerja tiap hari, Bu! Ayah udah janji sama aku kalau Ayah nggak akan biarin aku pulang kerja sendirian!" oceh Savira diiringi isak tangis. "Kenapa Ayah bohong sama aku? Kenapa Ayah nggak nepatin janjinya sama aku?" Ruangan Savira sudah penuh dengan suara tangisan. Ibu dan anak itu saling menguatkan satu sama lain untuk melewati ujian berat ini. "Ayah ada di mana sekarang, Bu? Aku ingin bertemu Ayah," pinta Savira. "Kamu yakin kamu sanggup melihat ayah kamu?" Saat ini Rahman sudah dipindahkan ke ruang jenazah yang ada di rumah sakit. Setelah selesai mengurus administrasi, baru pihak rumah sakit akan membantu memulangkan korban. "Aku harus ketemu sama Ayah. Aku ingin melihat Ayah untuk yang terakhir kalinya," ucap Savira. Dania tak bisa menghalangi keinginan putrinya yang ingin mengucapkan salam perpisahan pada Rahman. Dengan bantuan perawat, Dania memindahkan Savira ke kursi roda, kemudian membawa putrinya itu menuju ke ruangan tempat Rahman berada. Savira kembali menangis begitu ia melihat ayahnya sudah terbujur kaku. Wajah Rahman nampak pucat pasi dan seluruh tubuhnya terasa begitu dingin. "Ayah, maafin aku. Harusnya aku nggak minta Ayah buat jemput aku. Kalau Ayah nggak jemput aku, mungkin ...." "Sudah, Savira! Kamu nggak perlu berandai-andai. Ini semua sudah menjadi takdir ayah kamu. Memang sudah waktunya ayah kamu kembali ke pangkuan Yang Maha Kuasa," ucap Dania. "Ikhlaskan ayah kamu, Savira. Ayah kamu pasti sedih lihat kamu menangis terus begini." Sementara Savira dan ibunya mengucap salam perpisahan pada Rahman, di ruangan lain, sang pengemudi mobil yang menabrak Savira serta ayahnya juga ikut mendapatkan perawatan di rumah sakit yang sama. Ternyata pengemudi ugal-ugalan yang menyetir kendaraan dalam keadaan mabuk itu tak lain ialah Refal. Ya, orang yang sudah menabrak Rahman dan Savira adalah Refal. Pemuda itu sengaja melajukan kendaraan dalam kecepatan tinggi dengan kondisi mabuk. Pria itu mendapat beberapa luka ringan di wajah, tangan, hingga kaki pasca kecelakaan terjadi. Refal sudah dipindahkan ke ruang rawat intensif dan keluarga pria itu juga sudah berkumpul di ruangannya untuk menjenguk dirinya. *** "Memalukan! Kamu punya otak nggak sih, Refal? Bisa-bisanya kamu mengemudi dalam kondisi mabuk! Apa kamu udah nggak waras, hah!?" omel Adrian, ayah dari Refal. Bukannya menanyakan kondisi putranya, Adrian justru berteriak dan memarahi putra sulungnya itu. Adrian benar-benar kesal pada Refal yang sudah membuat masalah besar. Refal bisa terjerat hukum karena pemuda itu sudah menghilangkan nyawa seseorang. Terlebih lagi, Refal juga mengemudi dalam pengaruh alkohol. "Kamu tahu nggak apa akibat dari perbuatan kamu ini? Reputasi perusahaan kita jadi taruhannya! Ulah kamu ini bisa bikin jelek nama Papa, kamu sadar nggak?" sungut Adrian. Adrian meluapkan seluruh amarahnya pada sang putra. Nampaknya pria itu sama sekali tidak peduli dengan kondisi Refal saat ini. Alih-alih mengkhawatirkan putranya, Adrian justru mencemaskan nama baik perusahaan. "Kamu tahu nggak berapa uang yang harus Papa keluarkan untuk menutupi perbuatan kamu ini? Kalau sampai berita ini bocor dan tersebar luas dikalangan publik, kamu nggak akan bisa lari dari tuntutan hukum!" seru Adrian. "Nggak cuma kamu yang harus berurusan sama hukum, Papa juga akan kena getahnya! Harga saham Papa dipertaruhkan, Refal! Nama Papa di mata investor akan jadi sorotan! Kamu pikir berapa banyak perusahaan di luar sana yang bisa bertahan dari skandal?" Refal hanya diam tanpa berani menjawab perkataan sang ayah. Pria itu hanya bisa mengepalkan tangan dan memendam amarahnya sendiri. Ini bukan pertama kalinya Refal mendapatkan perlakuan seperti ini dari Adrian. Adrian, ayah dari Refal, memang merupakan sosok yang tegas dan terlalu menyayangi bisnisnya. Adrian bahkan lebih mengutamakan kepentingan perusahaan, dibandingkan kepentingan anak-anaknya. Pria itu sudah mengeluarkan banyak darah dan keringat untuk membangun perusahaannya sampai ia bisa melangkah menuju puncak kejayaan. Adrian akan melakukan apa pun untuk melindungi perusahaan yang sudah mati-matian ia bangun sejak dirinya masih muda. "Udah, Pa! Jangan marahin Refal terus! Papa nggak kasihan sama anak Papa? Refal baru aja siuman, Pa. Anak Papa juga terluka karena kecelakaan itu. Apa Papa sama sekali nggak peduli sama anak Papa?" sahut Rosnita, Ibu dari Refal, ikut angkat suara untuk membela putranya. Berbeda dengan Adrian yang bersikap keras pada Refal, Rosnita justru sangat memanjakan Adrian. Wanita paruh baya itu tidak akan membiarkan Refal diteriaki oleh siapa pun, termasuk oleh suaminya sendiri. "Mama nggak perlu ikut campur! Ini urusan Papa sama Refal!" sungut Adrian. "Ini hasilnya kalau Mama terlalu memanjakan anak! Refal jadi nggak tahu aturan dan suka bertingkah seenaknya!" "Kenapa Papa jadi nyalahin Mama? Mama cuma berusaha jadi ibu yang baik buat anak-anak. Harusnya Papa introspeksi diri! Papa sendiri juga bisanya cuma marah-marah terus, kan?" Kepala Refal hampir pecah mendengar pertengkaran kedua orang tuanya. Pria itu hanya bisa pasrah melihat ayah dan ibunya saling menyalahkan satu sama lain karena dirinya. "Refal, Kamu tahu nggak gimana nasib orang yang udah kamu tabrak sekarang?" tanya Adrian. "Kamu sudah membunuh satu orang, Refal! Dan gara-gara kamu juga, satu korban lainnya dinyatakan lumpuh!" Refal terkejut bukan main. Pria itu tidak terlalu ingat kendaraan yang ia tabrak sebelumnya. Refal tak tahu ia sudah menabrak motor yang ditumpangi oleh dua orang yang menjadi korban hantaman mobilnya. "Aku udah bunuh orang?" tanya Refal tak percaya. Refal mengusap kasar wajahnya. Pria itu tak menyangka tindakannya akan berakhir sefatal ini. "Korbannya ada dua orang. Mereka Ayah sama anak. Yang kamu tabrak sampai meninggal itu ayahnya, dan orang yang kamu buat lumpuh itu anak gadisnya," terang Adrian. Refal tak mampu berkata-kata. Jika situasinya segawat ini, pasti akan sulit bagi Refal untuk menghindari tuntutan hukum. "Kamu sudah bisa membayangkan sendiri 'kan, bagaimana akibatnya kalau sampai berita ini menyebar luas di kalangan publik? Kamu nggak akan selamat, Refal! Dan perusahaan kita juga akan ikut hancur!" seru Adrian. "Apa yang harus aku lakukan sekarang?" tanya Refal pasrah. Adrian menatap putranya dengan lekat. "Kamu harus tanggung jawab, Refal! Kamu harus menikahi gadis yang sudah kamu tabrak!" ***"Alhamdulillah!" gumam Savira saat tiba di rumah sakit dokter terapisnya.Keadaan rumah sakit kini tampak lebih ramai dari biasanya terlebih karena Savira sedikit terlambat. Bahkan sepanjang perjalanan pikiran Savira terus berkecamuk dengan kejadian malam sebelumnya. Ia mencoba mengusir ingatan itu, tetapi nama "Rania" yang disebut Refal saat mabuk masih terus terngiang di telinganya. Begitu sampai di tempat itu, Hadi membantu Savira turun dari mobil dan mengantarnya masuk. Saat tiba di ruang terapi, dokter Aryan sudah menunggu dengan senyuman ramah di wajahnya. Namun, kali ini ada sesuatu yang berbeda dari tatapan dokter muda itu. "Selamat pagi, Savira," sapa dokter Aryan dengan hangat.Savira pun mengangguk kecil dan tersenyum tipis. "Selamat pagi, Dokter. Maaf, saya datang agak terlambat.""Datang dengan selamat saja sudah membuat saya tenang," balas dokter Aryan, matanya tidak pernah lepas dari Savira. Savira mengalihkan pandangannya, sedikit heran dengan ucapan dokter itu. Ia
"Oke, pastiin kamu nggak bikin masalah di luar selama kamu ke rumah sakit." Luna berucap dengan nada sedikit mengancam. Savira terkesiap saat ia hanyut dalam lamunannya tentang beberapa hal yang terjadi pagi ini. Pun setelah kepergian Luna dan suasana di ruang makan terasa hening. Ia dikejutkan dengan kemunculan ibu mertua dan ocehannya yang terdengar dingin, tetapi ada ancaman tersirat dalam nada bicaranya."Kita semua ingin kamu cepat sembuh, tapi jangan sampai ada hal lain yang bikin keluarga ini tercemar," ucap bu Rosnita lagi.Savira hanya mengangguk, berusaha perasaan sesak dalam hatinya. "Aku ngerti, Ma. Aku akan fokus pada terapiku."Bu Rosnita tersenyum tipis, lalu melangkah pergi tanpa mengatakan apa-apa lagi. Savira duduk sendirian di ruang makan, menatap sarapan yang belum sempat ia sentuh karena suasana yang terus menekannya. Hatinya terasa sesak. Setiap hari ia harus menghadapi cemoohan dan sindiran dari keluarga ini. Namun, ia tahu bahwa ia harus bertahan. Satu-satunya
"Bismillahirrahmaanirrahiim ...."Savira menarik napas panjangnya, berusaha menenangkan diri sebelum menggerakkan kursi rodanya menuju ruang makan.Pagi itu suasana di rumah keluarga Adrian tampak seperti biasanya, penuh dengan aktivitas dan suasana sarapan yang sibuk. Savira mendorong kursi rodanya perlahan menuju ruang makan. Sejak semalam, ia sudah mempersiapkan dirinya untuk hari ini, mencoba menguatkan hati setelah kejadian tak terduga yang dialaminya dengan Refal. Ia berusaha melupakan hal itu meski sulit. Bahkan setiap pagi selalu menjadi momen yang sulit baginya, terutama saat harus bertemu dengan ibu mertuanya dan adik iparnya yang selalu bersikap seenaknya.Di ruang makan, bu Rosnita sudah duduk di kursinya, ditemani oleh Luna yang sedang sibuk menata rambutnya. Sedangkan Adrian tengah asyik menyesap kopinya. Refal datang tak lama setelahnya, mengenakan pakaian kerja yang rapi dengan wajah tanpa ekspresi. Lelaki itu tampak memijat-mijat pelipisnya berusaha berjalan dengan be
"Satu lagi!" teriak Refal pada bartender di hadapannya.Tanpa berlama-lama, baternder itu lekas mengisi gelas kosong milik customernya sampai penuh. Kemudian Refal segera meneguk minuman tersebut sampai habis hingga kini posisinya sudah terkulai dumi atas meja, tidak kuat menahan kepalanya karena pengaruh alkohol yang sudah mulai menguasai dirinya.Namun di sela-sela itu pula, Refal berusaha tersadar dan kembali mengacungkan gelasnya. "Beri aku satu lagi ...," pintanya, dengan suara yang sudah mulai lemah.Bartender itu pun geleng-geleng kepala tak habis pikir. "Anda sudah mabuk, Tuan.""Nggak!" Refal lalu mengerjap, seketika mengangkat kepalanya berusaha menatap bartender itu meski kesadarannya entah kemana, "aku nggak mabuk!""Ck! Merepotkan! Dengan siapa anda datang?"Refal tentu tidak akan menjawab, karena pria itu kini telah kembali terkulai lemas di atas meja, kesadarannya benar-benar sudah kacau. Entah berapa gelas minuman yang telah ia habiskan selama beberapa jam terakhir.Ba
"Astaga ... ada apa denganku!?" gumam Refal merutuki sikapnya.Di kantornya yang sepi, Refal duduk di kursi kerjanya dengan wajah muram. Pekerjaan yang biasanya bisa membuatnya tenggelam dan melupakan sejenak kehidupan rumah tangganya, kali ini tak mampu menyelamatkannya dari keresahan yang melanda hatinya. Pikirannya terus melayang pada percakapan dengan asistennya sebelumnya. Refal kemudian memijit pelipisnya, mencoba mengusir kegelisahan yang tak kunjung hilang. Mengapa ia harus merasa resah hanya karena mendengar cerita interaksi antara Savira dan dokter Aryan? Bukankah seharusnya ia tidak peduli? Toh, selama ini ia bahkan tidak pernah memedulikan kondisi Savira secara sungguh-sungguh. Namun, entah mengapa perasaan itu muncul begitu saja, mengusik ketenangannya. “Nggak mungkin ... aku nggak mungkin mikirin dia,” gumam Refal pada dirinya sendiri. Ia menutup matanya sejenak, mencoba menenangkan hati yang bergejolak. “Hatiku hanya untuk Rania. Hanya untuk kekasihku.”Refal menghela
Mobil yang Savira tumpangi akhirnya tiba di pekarangan rumah setelah sesi terapi yang cukup melelahkan. Wajahnya terlihat lebih tenang, meskipun tubuhnya masih terasa lelah akibat latihan fisik yang cukup intens. Hadi membantu mendorong kursi roda Savira hingga ke ruang tamu sebelum berpamitan untuk kembali ke kantor."Terima kasih, Hadi," ucap Savira dengan senyum tipis."Sama-sama, Nyonya. Anda bisa beristirahat agar tenaga anda cepat pulih," jawab Hadi sebelum melangkah keluar.Savira pun mengangguk pelan, sebelum akhirnya Hadi berpamitan dan pintu rumah tertutup, Savira menghela napas panjang. Ia merasakan sedikit kelegaan setelah menjalani terapi pertamanya dengan baik. Namun, perasaan lega itu tak berlangsung lama. Dari sudut ruangan, Luna muncul dengan wajah dingin dan senyum sinis yang sudah sangat dikenal Savira."Wow, Kakak iparku kelihatannya sumringah banget hari ini," ujar Luna dengan nada menyindir. "Pasti menyenangkan, ya? Keluar rumah ketemu cowok lain?"Savira menoleh
"Kita sudah sampai, Nyonya," ujar Hadi. "Tolong tunggu sebentar, saya akan membantu anda turun."Savira lantas mengangguk pelan dan menjawab. "Terima kasih."Hadi segera keluar dari mobil dan membantu Savira turun lalu mendorong kursi rodanya memasuki rumah sakit. Tiada hentinya Savira berterima kasih kepada Hadi bahkan saat mereka menunggu di meja resepsionis.Suasana rumah sakit itu tampak ramai dan banyak dokter muda berparas tampan berlalu lalang bercampur dengan para pasien yang berdatangan. Savira pun merasa gugup hari ini meski sejak tadi berusaha menyembunyikannya."Apa dokternya belum datang?" tanya Savira, melihat ke arah Hadi yang baru saja selesai berbincang dengan salah satu petugas resepsionis.Hadi pun lekas mengalihkan pandangannya kemudian menjawab. "Sudah, Nyonya. Kita disuruh menunggu karena dokter Aryan masih ada pasien."Savira pun mengangguk paham dan tidak kembali bertanya lebih. Meski dalam pikirannya tiba-tiba terlintas sebuah nama yang baru saja disebutkan ol
"Astaghfirullah ...." Savira bergumam dalam hati, berusaha menenangkan dadanya yang bergemuruh.Savira terdiam, menatap kosong. Ia tidak pernah menyangka suaminya akan bersikap dan berkata sekejam ini. Meski mustahil, ia masih menyimpan harapan kecil bahwa mungkin seiring berjalannya waktu, Refal akan melunak dan mau bersikap tidak terlalu bersikap dingin padanya. Namun, malam ini semua harapan itu hancur berkeping-keping. Rasanya sangat mustahil seorang Refal berubah dalam memperlakukannya. Melihat Savira yang menangis dalam diam, Refal sama sekali tidak menunjukkan rasa simpati. "Besok pagi, kamu akan memulai terapi. Aku sudah mengatur semuanya," katanya tanpa melihat ke arah Savira. "Jangan pikir ini karena aku peduli padamu atau semacamnya. Aku cuma mau kamu cepat pulih biar kita bisa segera pisah."Savira menghela napas pelan. "Ya. Aku tahu ... tapi minimal kamu bisa bersikap sedikit hangat. Toh, semua ini juga karenamu."Refal lalu menaikkan sebelah alisnya, terkejut dengan pen
"Akhirnya kamu pulang, Mas." Savira tersenyum menyambut suaminya yang baru saja muncul dari balik pintu. Tetapi Refal hanya diam tak menanggapinya bahkan meneruskan langkah melewati Savira yang berada tepat di hadapannya. Savira pun tersenyum simpul, tidak menghiraukan respon suaminya yang demikian, dengan berusaha menyingkirkan perasaannya yang tak menentu, Savira tetap tersenyum dan berusaha mencairkan suasana. "Nanti kita makan malam sama-sama, ya? Aku udah masak," ucapnya lagi sembari menggerakkan kursi rodanya, berusaha menyusul langkah Refal yang tentu tidak akan terkejar olehnya. Savira pun terduduk dengan wajah penuh harap. Ia tahu bahwa malam ini adalah gilirannya untuk menyajikan makan malam bagi suaminya. Meski ia tidak sepenuhnya memasak sendiri dan masih banyak dibantu oleh Mbok Sari, ia tetap merasa senang dan berharap Refal akan menghargai usahanya. Di meja makan sudah tertata sop ayam hangat, nasi putih, dan tumis sayuran. Ia juga menyajikan teh hangat favorit Refa