"Dasar kampungan!" "Jangan harap aku akan memperlakukan kamu sebagai istri di rumah ini! Aku akan membuatmu seperti hidup di neraka!" Usai lamaran romantisnya ditolak Rania, Refal terlibat kecelakaan tunggal yang mengakibatkan Savira mengalami kelumpuhan dan Ayahnya meninggal dunia. Refal dipaksa menikahi Savira atas perintah sang ayah demi menjaga reputasi keluarga dan bisnisnya. Refal sangat membenci Savira karena kecelakaan itu membuatnya tak bisa menyusul Rania ke luar negeri. Apakah Savira mampu bertahan dalam pernikahannya dengan Refal, sementara hati dan cinta Refal bukan miliknya. Ikuti kisahnya dan jangan lupa subscribe ya! Merry Heafy
더 보기"Maaf, aku nggak bisa menikah denganmu, Refal!"
Refal yang berlutut di depan gadis pujaannya, harus menerima jawaban pahit yang tak pernah ia sangka-sangka. Pria itu saat ini tengah berada di sebuah restoran mewah bersama dengan kekasih yang paling ia cinta. Ada hidangan kelas atas yang tersaji di atas meja. Ada lilin dan bunga-bunga yang menghiasi seluruh restoran. Ada alunan musik yang menggema di seluruh ruangan. Tak lupa, suara ledakan kembang api yang indah di langit juga ikut menyemarakkan suasana. Hari ini, seharusnya menjadi hari yang paling membahagiakan bagi Refal dan juga kekasihnya, Rania. Pria itu sudah bersusah payah menyiapkan kejutan romantis untuk melamar sang kekasih hati di restoran tersebut. Refal bahkan sudah menyiapkan kejutan ini dari jauh-jauh hari. Pria tampan yang sudah berusia 31 tahun itu telah menyiapkan cincin berlian dengan harga fantastis untuk diberikan pada Rania. Tak hanya itu, Refal juga membeli buket bunga super besar yang khusus ia pesan untuk Rania. Namun, sayangnya semua usaha Refal berakhir sia-sia. Alih-alih mendapatkan pelukan penuh cinta dari Rania, Refal justru harus puas dengan penolakan yang menyakitkan. "Maaf, Refal," ucap Rania lagi. Refal terkesiap. Senyum merekah yang menghiasi wajah tampan pria itu perlahan menghilang, berganti dengan ekspresi muram. "Kenapa?" tanya Refal dengan suara bergetar. "Kenapa kamu nggak bisa menikah denganku?" tanya Refal lagi. "Apa yang salah denganku? Kenapa Rania menolak lamaranku? Apa aku memilih tempat yang kurang romantis? Atau Rania tidak suka dengan cincin yang aku beli?" batin Refal kebingungan. "Dengarkan aku dulu, Refal. Aku bisa jelasin," ujar Rania. Rania mempunyai alasan tersendiri mengapa gadis itu menolak lamaran dari kekasih yang sudah ia kencani selama lebih dari 3 tahun itu. "Apa yang mau kamu jelasin?" tanya Refal dengan nada kecewa. Tentu pria itu sakit hati menerima penolakan dari wanita yang paling iya dambakan. Refal sudah menjalin hubungan cukup lama dengan Rania dan pria itu sudah sangat siap untuk membangun rumah tangga. Wajar jika Refal ingin segera membawa Rania menuju ke jenjang berikutnya. Refal benar-benar berharap, ia bisa menikah dengan Rania dan membentuk keluarga yang bahagia. "Apa kamu punya alasan bagus?" sinis Refal. "Aku dapat tawaran bagus, Refal," ungkap Rania. "Aku bisa masuk kelompok desainer untuk acara Paris Fashion Week yang akan digelar beberapa bulan lagi. Aku punya kesempatan untuk membuat kostum yang bisa dipakai sama supermodel kelas dunia. Kamu bisa bayangin 'kan gimana lonjakan karir aku nanti kalau hasil desain aku dipakai sama model-model kelas atas seperti Chrissy Teigen sama Rosie Huntington? Impian aku buat jadi desainer fashion terkenal benar-benar bisa terwujud!" Rania begitu bersemangat membahas tawaran yang ia dapatkan. Wanita berusia 29 tahun itu memang memiliki ambisi cukup tinggi untuk menjadi desainer fashion kelas dunia. Rania sangat berbakat di bidang fashion design, dan ia juga memiliki potensi tinggi untuk bisa menjadi desainer, sesuai dengan impiannya. "Jadi?" "Aku harus berangkat ke Paris besok," ujar Rania. "Aku harus pergi, Refal." Refal menatap Rania dengan lekat. "Jadi, kamu lebih pilih acara fashion konyol itu dibanding aku?" tanya Refal. Kekecewaan Refal kini mulai berubah menjadi kemarahan. Refal tidak menyangka, gadis yang ia cinta lebih memilih karir dibandingkan dengan dirinya. "Ini soal mimpi aku, Refal! Kamu nggak berhak bicara seperti itu!" Refal tersenyum kecut. "Apa Aku nggak ada artinya buat kamu? Apa mimpi kamu lebih penting dari aku?" tanya Refal. "Jangan kekanak-kanakan, Refal! Kesempatan ini nggak akan datang dua kali seumur hidup aku. Aku nggak mau menyia-nyiakan peluang ini. Aku akan menyesal seumur hidup kalau aku sampai melewatkan kesempatan ini!" seru Rania dengan tegas. Tak ada keraguan sedikitpun dalam setiap perkataan Rania. Wanita itu benar-benar mantap memilih untuk pergi ke Paris dan meninggalkan Refal. "Jadi menurut kamu, lebih baik kamu nolak lamaran aku daripada kamu nolak tawaran bodoh itu?" sinis Refal. "Ini soal masa depan aku, Refal! Aku nggak akan berhenti sampai aku bisa jadi desainer terkenal!" ujar Rania. "Kamu benar-benar akan meninggalkan aku? Kamu yakin kamu nggak akan menyesal udah nolak aku?" Rania melengos. Wanita itu tidak menjawab. Nampaknya Rania sama sekali tidak peduli dengan hati Refal yang sudah iya buat hancur berkeping-keping. Rania pergi meninggalkan restoran tanpa mengatakan apa pun lagi. Wanita itu sama sekali tidak merasa bersalah setelah mencampakkan kekasihnya yang berniat membawa dirinya melangkah menuju pelaminan. "Rania!" Suara panggilan Refal tidak dihiraukan sedikitpun oleh Rania. "RANIA!" Refal memekik kencang, kemudian melempar cincin yang ada dalam genggaman tangannya. "Sialan! Apa pentingnya acara fashion konyol itu? Kenapa kamu tega ninggalin aku cuma karena impian bodoh itu?" geram Refal. "Kamu pikir aku nggak bisa mewujudkan impian kamu? Aku punya uang, aku punya segalanya! Aku bisa kasih apa pun yang kamu mau! Kenapa kamu masih ninggalin aku?" Refal mengamuk di dalam restoran tersebut. Pria itu mengacak-acak meja makan dan menendang kursi-kursi yang ada di sana. Refal melampiaskan amarahnya pada benda-benda mati yang ada di sekitarnya. Pria itu meluapkan kekecewaan dan kesedihannya dengan amarah brutal. Sebagai seorang bos muda yang berasal dari keluarga kaya, Refal selalu mendapatkan apa yang ia inginkan. Pria itu tak pernah mendapat penolakan sebelumnya. Namun hari ini, hati Refal dipatahkan dengan mudahnya dan harga dirinya diinjak-injak oleh orang yang paling istimewa di hatinya. "Kamu nggak bisa nolak aku, Rania! Kamu nggak bisa pergi dari aku!" Selesai mengacak-acak restoran, Refal pun bergegas meninggalkan restoran itu. Bukannya pulang ke rumah, Refal justru mengunjungi sebuah bar yang menjual banyak minuman keras. Pria itu meneguk minuman beralkohol, hingga dirinya dibuat mabuk berat. Refal tak mempunyai cara lain untuk mengatasi patah hatinya saat ini kecuali melarikan diri dengan alkohol. Di sisi lain, di tempat yang tak jauh dari bar, Terlihat seorang gadis dengan pakaian sederhana sedang berteduh di pinggir jalan, menunggu jemputan. Gadis bernama Savira itu terus memandang ke arah jalan, menanti seseorang yang sudah berjanji akan menjemput dirinya di tempat kerja. "Hujannya deras banget," gumam Savira. Gadis berusia 24 tahun itu masih begitu bersemangat, meskipun saat ini ia terjebak hujan dan tubuhnya sudah kelelahan setelah bekerja seharian. Savira melambaikan tangan dengan senyum merekah, begitu ia melihat sebuah motor butut mulai mendekat ke arah tempatnya berteduh saat ini. Sang pengendara motor tua itu tak lain ialah Rahman, ayahnya yang datang menerjang hujan demi dirinya. "Ayah, kenapa pakai jas hujan yang udah bolong? Baju Ayah jadi basah semua, tuh!" omel Savira pada ayahnya yang muncul dengan pakaian yang sudah basah. "Ayah memang sengaja pakai jas hujan yang udah bolong supaya Ayah bisa hujan-hujanan," celetuk Rahman diiringi tawa kecil. "Ayah udah tua masih aja suka hujan-hujanan! Nanti kalau Ayah masuk angin, siapa yang repot?" Rahman tak berhenti tertawa mendengar omelan putri kesayangannya. "Anak Ayah galak banget sih! Cowok-cowok bisa takut sama kamu kalau kamu segalak ini," ledek Rahman. "Ih, apaan sih, Ayah!" Ayah dan anak itu masih sempat bercanda tawa di bawah guyuran hujan. Savira segera naik ke motor sang ayah, kemudian memeluk pinggang ayahnya dengan erat. "Pegangan yang kuat, ya!" Perlahan Rahman mulai melajukan kendaraannya dengan penuh hati-hati. Ayah dan anak itu terlihat begitu harmonis dan bahagia, meskipun mereka hanya menaiki motor tua dan memakai jas hujan yang sudah berlubang. "Gara-gara harus jemput aku, Ayah jadi kehujanan begini. Besok Ayah nggak perlu jemput aku kalau hujan," ujar Savira. "Mana bisa begitu? Mau hujan badai sekalipun, Ayah akan tetap jemput kamu! Ayah masih sanggup jemput kamu tiap hari. Ayah nggak akan biarin anak Ayah pulang sendiri ...." Rahman tidak melanjutkan kalimatnya. Tiba-tiba dari arah berlawanan, ada sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi menuju ke arah motor tua yang dinaiki oleh Savira dan Rahman. BRUAK!! Hanya dalam hitungan detik, motor butut yang dikendarai oleh Rahman ringsek, setelah bertabrakan dengan sebuah mobil mewah. Ayah dan anak yang tadinya bercanda ria di atas motor itu kini sudah tergeletak di aspal dengan darah yang sudah bercucuran ke mana-mana. "A-ayah ...." ***"Alhamdulillah!" gumam Savira saat tiba di rumah sakit dokter terapisnya.Keadaan rumah sakit kini tampak lebih ramai dari biasanya terlebih karena Savira sedikit terlambat. Bahkan sepanjang perjalanan pikiran Savira terus berkecamuk dengan kejadian malam sebelumnya. Ia mencoba mengusir ingatan itu, tetapi nama "Rania" yang disebut Refal saat mabuk masih terus terngiang di telinganya. Begitu sampai di tempat itu, Hadi membantu Savira turun dari mobil dan mengantarnya masuk. Saat tiba di ruang terapi, dokter Aryan sudah menunggu dengan senyuman ramah di wajahnya. Namun, kali ini ada sesuatu yang berbeda dari tatapan dokter muda itu. "Selamat pagi, Savira," sapa dokter Aryan dengan hangat.Savira pun mengangguk kecil dan tersenyum tipis. "Selamat pagi, Dokter. Maaf, saya datang agak terlambat.""Datang dengan selamat saja sudah membuat saya tenang," balas dokter Aryan, matanya tidak pernah lepas dari Savira. Savira mengalihkan pandangannya, sedikit heran dengan ucapan dokter itu. Ia
"Oke, pastiin kamu nggak bikin masalah di luar selama kamu ke rumah sakit." Luna berucap dengan nada sedikit mengancam. Savira terkesiap saat ia hanyut dalam lamunannya tentang beberapa hal yang terjadi pagi ini. Pun setelah kepergian Luna dan suasana di ruang makan terasa hening. Ia dikejutkan dengan kemunculan ibu mertua dan ocehannya yang terdengar dingin, tetapi ada ancaman tersirat dalam nada bicaranya."Kita semua ingin kamu cepat sembuh, tapi jangan sampai ada hal lain yang bikin keluarga ini tercemar," ucap bu Rosnita lagi.Savira hanya mengangguk, berusaha perasaan sesak dalam hatinya. "Aku ngerti, Ma. Aku akan fokus pada terapiku."Bu Rosnita tersenyum tipis, lalu melangkah pergi tanpa mengatakan apa-apa lagi. Savira duduk sendirian di ruang makan, menatap sarapan yang belum sempat ia sentuh karena suasana yang terus menekannya. Hatinya terasa sesak. Setiap hari ia harus menghadapi cemoohan dan sindiran dari keluarga ini. Namun, ia tahu bahwa ia harus bertahan. Satu-satunya
"Bismillahirrahmaanirrahiim ...."Savira menarik napas panjangnya, berusaha menenangkan diri sebelum menggerakkan kursi rodanya menuju ruang makan.Pagi itu suasana di rumah keluarga Adrian tampak seperti biasanya, penuh dengan aktivitas dan suasana sarapan yang sibuk. Savira mendorong kursi rodanya perlahan menuju ruang makan. Sejak semalam, ia sudah mempersiapkan dirinya untuk hari ini, mencoba menguatkan hati setelah kejadian tak terduga yang dialaminya dengan Refal. Ia berusaha melupakan hal itu meski sulit. Bahkan setiap pagi selalu menjadi momen yang sulit baginya, terutama saat harus bertemu dengan ibu mertuanya dan adik iparnya yang selalu bersikap seenaknya.Di ruang makan, bu Rosnita sudah duduk di kursinya, ditemani oleh Luna yang sedang sibuk menata rambutnya. Sedangkan Adrian tengah asyik menyesap kopinya. Refal datang tak lama setelahnya, mengenakan pakaian kerja yang rapi dengan wajah tanpa ekspresi. Lelaki itu tampak memijat-mijat pelipisnya berusaha berjalan dengan be
"Satu lagi!" teriak Refal pada bartender di hadapannya.Tanpa berlama-lama, baternder itu lekas mengisi gelas kosong milik customernya sampai penuh. Kemudian Refal segera meneguk minuman tersebut sampai habis hingga kini posisinya sudah terkulai dumi atas meja, tidak kuat menahan kepalanya karena pengaruh alkohol yang sudah mulai menguasai dirinya.Namun di sela-sela itu pula, Refal berusaha tersadar dan kembali mengacungkan gelasnya. "Beri aku satu lagi ...," pintanya, dengan suara yang sudah mulai lemah.Bartender itu pun geleng-geleng kepala tak habis pikir. "Anda sudah mabuk, Tuan.""Nggak!" Refal lalu mengerjap, seketika mengangkat kepalanya berusaha menatap bartender itu meski kesadarannya entah kemana, "aku nggak mabuk!""Ck! Merepotkan! Dengan siapa anda datang?"Refal tentu tidak akan menjawab, karena pria itu kini telah kembali terkulai lemas di atas meja, kesadarannya benar-benar sudah kacau. Entah berapa gelas minuman yang telah ia habiskan selama beberapa jam terakhir.Ba
"Astaga ... ada apa denganku!?" gumam Refal merutuki sikapnya.Di kantornya yang sepi, Refal duduk di kursi kerjanya dengan wajah muram. Pekerjaan yang biasanya bisa membuatnya tenggelam dan melupakan sejenak kehidupan rumah tangganya, kali ini tak mampu menyelamatkannya dari keresahan yang melanda hatinya. Pikirannya terus melayang pada percakapan dengan asistennya sebelumnya. Refal kemudian memijit pelipisnya, mencoba mengusir kegelisahan yang tak kunjung hilang. Mengapa ia harus merasa resah hanya karena mendengar cerita interaksi antara Savira dan dokter Aryan? Bukankah seharusnya ia tidak peduli? Toh, selama ini ia bahkan tidak pernah memedulikan kondisi Savira secara sungguh-sungguh. Namun, entah mengapa perasaan itu muncul begitu saja, mengusik ketenangannya. “Nggak mungkin ... aku nggak mungkin mikirin dia,” gumam Refal pada dirinya sendiri. Ia menutup matanya sejenak, mencoba menenangkan hati yang bergejolak. “Hatiku hanya untuk Rania. Hanya untuk kekasihku.”Refal menghela
Mobil yang Savira tumpangi akhirnya tiba di pekarangan rumah setelah sesi terapi yang cukup melelahkan. Wajahnya terlihat lebih tenang, meskipun tubuhnya masih terasa lelah akibat latihan fisik yang cukup intens. Hadi membantu mendorong kursi roda Savira hingga ke ruang tamu sebelum berpamitan untuk kembali ke kantor."Terima kasih, Hadi," ucap Savira dengan senyum tipis."Sama-sama, Nyonya. Anda bisa beristirahat agar tenaga anda cepat pulih," jawab Hadi sebelum melangkah keluar.Savira pun mengangguk pelan, sebelum akhirnya Hadi berpamitan dan pintu rumah tertutup, Savira menghela napas panjang. Ia merasakan sedikit kelegaan setelah menjalani terapi pertamanya dengan baik. Namun, perasaan lega itu tak berlangsung lama. Dari sudut ruangan, Luna muncul dengan wajah dingin dan senyum sinis yang sudah sangat dikenal Savira."Wow, Kakak iparku kelihatannya sumringah banget hari ini," ujar Luna dengan nada menyindir. "Pasti menyenangkan, ya? Keluar rumah ketemu cowok lain?"Savira menoleh
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
댓글