"Jangan mencoba menyentuhku!" tekan Naina memberikan tatapan tajamnya kepada Arka sebagai peringatan agar lelaki itu tidak lancang menyentuhnya.
"Apa kau tidak tahu kalau ayahku telah menuliskan sebuah wasiat bahwa dia mewariskan hartanya sekaligus dirimu kepadaku? Bukankah itu artinya kau juga menjadi milikku? Aku berhak menikmati tubuhmu dan melakukan apapun kepadamu dengan sesuka hatiku," jelas Arka.
Sebelum kecelakaan itu terjadi, Guntur memang membuat sebuah surat wasiat yang dia serahkan kepada pengacaranya. Lalu setelah Guntur meninggal, pengacara itu pun memberitahukan soal wasiat yang dituliskan untuknya.
Dimana isi surat wasiat itu adalah Guntur memiliki jumlah besar kekayaan sebanyak 10 triliun. Yang kemudian akan diberikan tiga puluh persen kepada Naina, dan tujuh puluh persennya untuk Arka. Begitupun dengan real estate yang dimilikinya, Guntur memberikan masing-masing apartmen dan lahan miliknya kepada mereka berdua. Guntur berharap istri dan anaknya bisa saling mendukung untuk membangun keluarga dan perusahaan mereka bersama.
Naina merasa dia harus segera pergi dari rumah keluarga Arka. Dia juga tidak ingin melibatkan adiknya yang sedang dirawat, masuk ke dalam konflik intrinsik keluarga kaya ini.
Sambil melipat kedua tangannya di depan dada, Arka kemudian melanjutkan kata-katanya. "Kau boleh saja pergi, tapi tidak boleh membawa uang sepeser pun dari keluargaku!" tegas Arka, sudut bibirnya terangkat karena dia merasa telah berhasil mempermainkan Naina.
Sekarang wajah Naina terlihat kebingungan.
"Adikku masih memerlukan perawatan di rumah sakit. Dia masih koma. Sedangkan aku tidak akan sanggup menanggung biaya pengobatannya yang begitu besar. Aku membutuhkan harta dan warisan itu," gumam Naina dalam hati.
Naina lalu mengangkat kepalanya menatap Arka. Dia kembali membalas ucapan lelaki itu.
"Aku istri dari mendiang ayahmu. Tidak mungkin aku pergi dari rumah ini tanpa membawa uang sepeserpun. Aku akan pergi ke pengadilan untuk mengambil warisan yang menjadi hakku!"
Mendengar itu, Arka semakin tersenyum sinis. "Ternyata dugaanku benar. Kau menikah dengan ayahku dan masuk ke dalam keluarga ini hanya demi uang. Silakan saja cari pengacara sesukamu! Aku ingin lihat seperti apa reaksimu di pengadilan nanti saat kau tidak berhasil mendapat apa yang menjadi hakmu," ucap Arka sambil menyeringai.
***
Naina kemudian menjenguk Raffan yang sedang dirawat dan menceritakan semuanya kepada adiknya itu.
Hatinya merasa pilu, sedih sekali rasanya melihat Raffan yang biasanya selalu terlihat ceria, kini justru hanya terbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit.
Peralatan medis menghiasi tubuhnya, kondisi Raffan sungguh menyedihkan. Tetapi Naina berusaha kuat demi adiknya. Ia yakin, Raffan masih bisa sembuh.
"Fan. Maaf karena kakak baru bisa mengunjungimu lagi. Pak Guntur baru saja dimakamkan. Kita tidak akan pernah bisa melihat orang baik itu lagi," kata Naina yang sedang bercerita di samping ranjang rawat adiknya.
Dengan duduk di kursi, Naina mengusap lembut punggung tangan Raffan, berharap ada satu jemarinya yang bergerak.
"Sekarang Arka sudah pulang. Ternyata dia tidak seperti yang kakak pikirkan. Arka jauh berbeda dengan ayahnya. Dia sangat kejam, tidak berperasaan, bahkan dia juga melemparkan tuduhan yang bukan-bukan kepada kakak. Lalu dia mempersulit kakak untuk mendapatkan warisan dari Pak Guntur. Padahal kakak akan menggunakannya untuk membayar biaya pengobatanmu," ucap Naina, mengangkat jemarinya, mengusap halus rambut cepak adiknya. Kedua kelopak mata Raffan terpejam rapat, Naina sangat sedih melihatnya.
"Kau harus sembuh. Berjanjilah pada kakak kalau kau akan berjuang untuk sembuh demi kakakmu. Seperti kakak yang akan memperjuangkan biaya pengobatanmu," lanjut Naina, mengusap sudut matanya yang berair.
Di saat yang sama, Maurin datang untuk menjenguk Raffan. Maurin adalah teman kuliah Raffan, tetapi dia juga dekat dengan Naina.
Kabar meninggalnya Guntur pun sudah sampai ke telinganya. Yang Maurin tahu, saat ini keadaan perusahaan sedang kacau. Entah siapa yang akan menggantikan Guntur sebagai pemimpin perusahaan.
Maurin senang melihat Naina berada di ruang rawat Raffan. Jadi dia bisa bertanya banyak hal kepada wanita itu.
"Naina. Aku turut berduka cita atas kepergian Pak Guntur. Kau pasti sedih dan merasa sangat kehilangan," ucap Maurin berbasa-basi, setelah menarik kursi dan duduk di samping Naina.
Naina mengangguk. "Terimakasih, Maurin. Terimakasih juga karena kau sudah mau menjenguk Raffan."
Maurin memaksakan senyum di bibirnya. Berpura-pura bersikap manis.
"Kau ini bilang apa, aku ini teman dekatnya Raffan, aku juga teman dekatmu. Sudah pasti aku akan menyempatkan waktu untuk menjenguk temanku," sahut Maurin.
"Naina. Aku ini bukan orang asing bagimu, 'kan? Aku ingin tanya, bagaimana kehidupanmu di dalam keluarga kaya itu sekarang?" Maurin merasa khawatir posisinya tidak akan aman.
Sebelumnya dia masuk ke dalam perusahaan keluarga Arka karena direkomendasikan oleh Raffan.
Naina menghembuskan napasnya pelan, sebelum kemudian dia menjawab.
"Aku sedang berusaha memperebutkan warisan dengan Arka. Dia adalah anak tunggal dari Pak Guntur. Dia sudah kembali dari luar negeri dan dia bilang, dia akan membiarkanku pergi dari rumahnya asalkan aku tidak membawa uang sepeser pun. Tentu saja aku tidak bisa keluar dari sana tanpa membawa uang. Karena aku sangat membutuhkan warisan dari Pak Guntur untuk membayar biaya pengobatan Raffan," jelas Naina, lalu mengusap wajahnya dengan telapak tangan. Wajahnya tampak gusar.
Demi keuntungannya guna mempertahankan posisi di perusahaan, Maurin menyarankan kepada Naina untuk bersabar dan menurut saja kepada Arka.
"Saat ini Raffan membutuhkan biaya perawatan, Naina. Dengan kau tetap tinggal di rumah itu dan menuruti ucapan Arka, aku yakin dia pasti akan membayar biaya rawatnya Raffan," bujuk Maurin.
Secara kebetulan, Liana-putri dari pamannya Arka, juga datang untuk menjenguk Raffan. Dia mendengar percakapan di antara Naina dan Maurin.
Karena merasa tak setuju dengan ucapan Maurin, Liana pun segera masuk dan berdiri di depan Naina.
"Jangan, Naina! Kau jangan mencoba untuk bertahan di rumah itu! Sepupuku adalah seorang iblis. Aku sarankan, sebaiknya kau segera mengambil hak warisanmu dan pergi dari Arka dan rumah itu," kata Liana, yang berhasil membuat Naina melebarkan matanya.
Maurin dan Liana dulunya adalah saingan dalam memperebutkan Raffan, dan sekarang persaingan di antara mereka semakin menjadi.
“Kau menyuruh Naina pergi dari rumah besar itu karena peduli pada Naina atau karena kau memang tidak suka dengan kehadiran Naina di sana?” Maurin memulai perdebatan. Setiap kali bertemu dengan Liana, dia tidak pernah bisa membiarkan wanita itu tenang. Apalagi sekarang Maurin ingin mempertahankan posisinya.
“Apa maksudmu? Ini urusanku dengan Naina! Kau bukan siapa-siapa! Jadi kau tidak berhak ikut campur dalam urusan keluargaku!” tegas Liana, matanya menatap sebal pada Maurin yang memutar bola matanya.
Maurin mencibir, berpangku tangan. “Kau juga tidak berhak ikut campur! Biarkan Naina yang memutuskannya sendiri. Jangan bertingkah seolah kau peduli pada Naina dan Raffan! Dasar tukang mencari muka!”
“Apa kau bilang? Kurang ajar! Kau yang suka mencari muka! Bukan aku!” kesal, Liana memukulkan tas Louis Vuitton miliknya ke kepala Maurin. Hingga Maurin terkejut dan memegangi kepalanya yang terasa sakit. Tapi kemudian dia tertawa.
“Haha … kau sangat kasar, Liana. Kau benar-benar mirip iblis seperti yang kau katakan,” ejek Maurin yang masih saja menertawakan Liana.
Liana melebarkan matanya, ia hendak mengangkat tangannya untuk menampar Maurin. Namun Naina mencegahnya.
“Sudah cukup! Jangan membuat kegaduhan di sini! Raffan sedang sakit. Jika kalian masih ingin bertengkar, silakan lanjutkan di luar!” Naina menyerah, dia menunjuk ke arah pintu, meminta agar Liana dan Maurin meninggalkan ruang perawatan Raffan.
Setelahnya kedua orang itu pergi, Naina kembali menghampiri adiknya dan mengusap punggung tangan Raffan. Sesaat, Naina teringat dengan apa yang Liana pesankan padanya. Katanya dia harus berhati-hati pada Arka.
"Sekejam apa lelaki itu, sampai sepupunya sendiri menyebutnya sebagai iblis?" gumam Naina.
Sebelum Naina pergi dari rumah sakit, pihak rumah sakit tiba-tiba memanggilnya.
"Apa?! Adikku akan diusir dari rumah sakit ini? Tapi kenapa? Jika ini karena soal biaya, aku janji akan segera mendapatkan uang untuk membayarnya. Kalian bisa memegang ucapanku," mohon Naina, wajahnya sudah nyaris menangis.
Tetapi lelaki di depannya tetap menggeleng dengan tegas.
"Maaf. Ini bukan hanya soal biaya. Tapi rumah sakit ini adalah milik keluarga Pak Arka. Dan atasan kami tidak ingin adik Anda dirawat di sini! Sekali lagi maaf, kami hanya menjalankan perintah untuk segera mengusir adik Anda dari rumah sakit ini!"
Seketika Naina terdiam. Dia sulit untuk berkata-kata. Ternyata rumah sakit ini adalah milik keluarga Arka.
Naina pasrah, namun juga marah.
“Jadi, apakah ini perintah dari iblis itu?”
Sepulang dari rumah Pak Sardi, entah mengapa ada perasaan hangat yang perlahan menyelinap ke dalam hati Naina.Naina menyunggingkan senyum tipis membayangkan bahwa Arka telah menyediakan tempat usaha untuk lelaki setengah baya itu, juga uang yang cukup banyak sebagai tanda jasanya yang telah mengabdi selama puluhan tahun di keluarga Arka.“Aku tidak tahu kalau ternyata di balik sifatnya yang sesuka hati, Arka masih memiliki sisi baik dalam dirinya,” gumam Naina sambil mengaduk sup yang sedang ia masak.Naina memang sedang di dapur, menyiapkan makan malam untuk Arka. Ini sudah pukul tujuh malam. Masih ada waktu sampai Arka pulang dari kantor.Akan tetapi, saat Naina masih sibuk mengaduk supnya yang mengepulkan uap panas, tiba-tiba tangan kekar seseorang terasa memeluknya dari belakang. Membuat Naina terhenyak dan menoleh ke belakang.“Arka?!” pekik Naina melebarkan mata, ia tak menyangka jika Arka ternyata pulang lebih cepat
Sampai detik ini, Naina masih merasa bersalah atas apa yang menimpa Pak Sardi.Sambil melamun, Naina membereskan kamar Arka."Kasihan, Pak Sardi. Aku merasa tidak punya wajah saat bertemh dengannya nanti. Tapi bagaimana pun aku harus datang ke rumahnya dan meminta maaf. Karena aku lah penyebab mengapa Arka memecatnya." Naina mendesah pelan, sambil membereskan ranjang kamar Arka dan menepuk-nepuk bantalnya hingga menggembung.Namun, di saat yang sama, Naina menemukan sebuah benda yang berada di bawah bantal.Keningnya berkerut menatap pada benda itu yang tak lain adalah sebuah bingkai foto."Ini 'kan foto Pak Guntur." Naina meraihnya, sejenak menghentikan kegiatannya merapikan ranjang Arka.Kini ia sibuk memandangi foto Guntur yang ditemukannya.Perlahan, seulas bibir Naina mengukir senyum."Apa semalam Arka merindukan ayahnya hingga ia tidur dengan memeluk foto Pak Guntur?" gumam Naina sambil manik matanya masih menatap pada foto mendian
Hari ini Naina merasa ada yang aneh. Tadi pagi ia sempat keluar rumah sebentar untuk menyiram tanaman. Akan tetapi, ia tak melihat Pak Sardi.Padahal biasanya setiap pagi lelaki setengah baya itu selalu duduk di dekat garasi, atau sedang meminum kopi dan akan menyapa Naina saat mata mereka berpapasan.Tapi hari ini, Naina tak melihat batang hidung Pak Sardi. “Nyonya, mengapa melamun?” tepukan pelan Bik Atin di pundak kirinya membuat Naina terhenyak dan mengerjap menatapnya.“Ah, tidak Bik. Tidak apa-apa.” Naina menggeleng, kemudian tersenyum kecil.Tapi ia tak bisa menahan rasa penasarannya untuk tak bertanya pada Bik Atin yang kini kembali menyibukkan diri mencuci sayuran.“Bik, mengapa aku tidak melihat Pak Sardi pagi ini ya? Apa hari ini Pak Sardi tidak bekerja?” tanya Naina dengan raut penasaran menatap Bik Atin.Pertanyaan Naina itu berhasil membuat Bik Atin menghentikan gerakannya mencuci sayuran. Bi
Dalam perjalanan pulang menuju rumahnya, Arka melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. Darahnya mendidih saat benaknya kembali teringat pada video yang tadi Rustam tunjukan padanya.rka meremas setir dengan kuat, rahangnya yang tegas itu kini merapat. Bahkan urat-urat lehernya pun bertonjolan, menampilkan emosi yang meluap-luap.“Lihat saja, Naina. Lihat. Apa yang akan kulakukan padamu nanti setelah aku sampai rumah.” Arka mengepalkan sebelah tangannya di atas paha, menarik napas panjang kemudian menghembuskannya dengan kasar.“Sopir itu juga harus mendapatkan balasannya. Beraninya dia tak menjalankan perintahku dengan benar.” Arka masih menggerutu sepanjang jalan, ia mempercepat laju mobilnya, menyalip kendaraan-kendaraah roda empat yang merambat di depan sana.Sampai kemudian ia tiba di depan gerbang rumahnya yang berwarna hitam dan kokoh. Satpam langsung membukakan pintu, membiarkan mobil Arka masuk ke dalam.“Selamat m
Meski telah mengatakan pada Rustam agar tak ikut campur dalam urusannya, tapi Arka tak memungkiri bahwa setelah melihat video itu ia sangat geram. Sekarang sudah waktunya jam makan siang. Namun Arka tak berniat untuk keluar dari ruang kerjanya sedikit pun. Ia lebih memilih menetralkan amarahnya di balik meja kerjanya. Sambil menatap tajam ke depan sana dengan bola mata yang menggelap karena amarah.“Naina, kau berani bermain-main denganku. Lihat saja akibat apa yang akan kau dapatkan karena berani bertemu dengannya di belakangku,” gumam Arka sambil menautkan kedua tangannya di bawah dagu.***Di jam makan siang, biasanya Maurin makan siang di pantry yang khusus untuk para pekerja di lantai atas.api karena hari ini Maurin sudah janji bertemu dengan teman-temannya dulu ketika ia masih menjadi karyawan biasa, maka Maurin pun memutuskan untuk makan siang di kantin perusahaan dan bergabung dengan mereka.Ada sekitar empat oran
Arka baru saja selesai meeting. Ia melangkah keluar dari ruang meeting, dan berjalan menuju lift untuk naik ke ruang kerja CEO.Akan tetapi, Rustam yang juga ikut meeting, segera mempercepat langkah dan menyusul Arka dari belakang.Sampai kemudian ia bisa menyentuh pundak kanan Arka dan membuat Arka menghentikan langkah sejenak lalu menatapnya dengan kening yang berkerut.“Paman?” “Arka, kita ke ruang kerjamu sekarang. Ada sesuatu yang ingin Paman beritahukan padamu.” Rustam berkata, wajahnya terlihat begitu serius.Hingga menubuhkan kernyitan di kening Arka. Benak Arka menebak-nebak tentang apa yang ingin dikatakan oleh pamannya itu.“Sepenting apa?” Arka cukup sibuk hari ini, tentu jika apa yang hendak dikatakan Rustam tidaklah penting, lebih baik Arka mengerjakan pekerjaannya.“Ini sangat penting. Kau harus mengertahuinya.” namun wajah Rustam masih terlihat serius, membuat Arka mengang