"Memangnya kenapa? Aku udah jadi milik kamu, kamu boleh menyentuh aku kapan aja. Aku bebaskan. Di mana letak kesalahan aku?" Suara Karin tak kalah membentak.
"Kamu pikir cukup dengan itu semua?"Frans menarik bahu Karin, meremasnya sekuat tenaga hingga pemilik bahu itu meringis kesakitan. "Sakit, Mas.""Sakit? Cuma seperti ini kamu bilang sakit? Apakah kamu pikir sikap kamu ini tidak menyakiti perasaan aku? Khah!"Karin memejamkan mata dengan erat seraya menahan rasa sakit akibat dari cengkraman kedua tangan Frans. Tidak tega melihat wanita yang dicintainya kesakitan, Frans pun melepaskan cengkeramannya sambil mendorong secara kasar hingga ia terhuyun satu langkah ke belakang dan hampir jatuh. Tentu hal itu sangat mengejutkan."Mas Frans," lirih Karin."Keluar dari kamarku!""Maafkan aku, Mas. Aku belum bisa menjadi seperti yang kamu inginkan."Tidak ingin mendengarkan Karin bicara, Frans kembali meminta Karin kBelum sempat Karin menjawab, datang Frans berjalan ke arah pintu sambil menyapa Bella. "Hai, Sayang.""Sayang?" gumam Karin di dalam hati. Panggilan itu cukup mengejutkan. Dia berjalan mundur, lalu Frans berjalan maju menghampiri Bella."Terima kasih kamu mau memenuhi panggilan aku." Frans bicara sambil memeluk Bella, mengecup singkat pipinya di depan Karin."Mana pernah aku menolak panggilan kamu, kamunya aja yang susah aku temui akhir-akhir ini," jawab Bella seraya membalas pelukan Frans.Frans melepaskan pelukannya, lalu mengajak Bella masuk sambil menggandeng tangannya. "Ayo masuk!"Bella masuk, berjalan beriringan dengan Frans, sedangkan Karin berjalan di belakang mereka. "Aku punya firasat buruk atas sikap baik mas Frans setelah marah tidak terkendali, lalu berubah baik dalam sekejap. Apakah ini salah satu dari rencana dia ingin memperlakukan aku dengan semena-mena?" Terus ia bergumam tanpa menghentikan langkah kakinya menuju ruang
"Izin tidur dengan wanita lain kepada istrimu sendiri? Apa Aku nggak salah dengar? Aku yang mabuk atau kamu yang mabuk, Mas?""Bella bisa memberikan apa yang tidak bisa kamu berikan," ujar Frans tanpa melakukan pergerakan. Dia masih berdiri di depan pintu dan pakaiannya pun masih sama seperti tadi."Kalau begitu, Kenapa harus meminta izin dariku?""Aku terlalu basa-basi, sebetulnya bukan izin dari kamu yang aku minta. Aku datang menemuimu hanya untuk memberitahukan kamu, kalau malam ini aku akan tidur bersama Bella dan kamu boleh tidur di sofa."Pergilah, lakukan apa pun sesuka hati kamu.""Terima kasih."Setelah itu Frans pun pergi, Karin kembali duduk di sofa.***Pagi hari, Karin bangun pagi seperti biasa. Dia pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka, lalu pergi ke dapur mencari bahan apa pun di dalam lemari pendingin yang bisa diolah untuk sarapan. Akan tetapi, di dalam kulkas hanya ada beberapa makanan ringa
"Nggak perlu juga kan aku jelaskan kenapa sampai menyalahkan kamu?""Apa pun alasannya, kamu tetap pria brengsek, Mas. Nggak tau malu.""Terserah kamu mau anggap aku seperti apa, aku nggak perduli. Bersiap-siaplah, setelah ini kamu ikut aku ke kantor. Pakai pakaian yang pantas.""Ke kantor? Mau ngapain?"Tidak menjawab, Frans langsung pergi menutup pintu dengan kasar, kembali menemui wanita itu yang saat ini sedang menunggunya di ruang makan. Menunggu upah atas jasanya."Ini bayaran kamu." Amplop berukuran sedang berwarna putih itu ia serahkan.Wanita itu menerimanya seraya berterimakasih. "Terima kasih. Apakah pekerjaan saya sudah selesai?""Iya, pakai kembali pakaianmu, lalu pergi.""Baiklah." Wanita itu berdiri, melangkah menghampiri Frans hendak menciumnya, tetapi Frans menghindar."Saya butuh kamu saat di depan Karin, sekarang dia tidak ada jadi pergilah.""Oke, oke. Jangan lupa untuk meng
Karin memasuki kantor dengan langkah tegap di samping Frans, suaminya yang tampan dan berkarisma. Penampilannya hari itu begitu mencolok dengan balutan dress bunga yang dikenakannya, disempurnakan dengan riasan wajah yang tidak terlalu tebal dan rambut terurai dengan indah. Tidak bisa dipungkiri bahwa hari ini ia menjadi pusat perhatian karyawan di kantor, karena kecantikannya.Frans tahu berapa banyak karyawan yang memperhatikan Karin. Dia mencoba menahan tawa saat melihat ekspresi terkejut dari rekan-rekan kantor mereka. Tak peduli dengan pandangan Frans, Karin melanjutkan langkahnya sambil tersenyum lebar, menikmati sorot mata semua orang yang tertuju padanya.Saat berjalan menuju lift, tidak sengaja Karin menjatuhkan berkas yang ia bawa hingga isinya berserakan di lantai dan Frans bukannya membantu malah memarahinya."Kamu gimana sih, Rin. Hati-hati dong."Kalau saja saat ini mereka sedang ada di rumah, Karin pasti sudah melawannya. Karena ini
"Kamu nggak punya hak untuk mengajukan pertanyaan. Sana buatkan aku kopi," titah Frans dengan ketus."Gengsi banget sih," gerutu Karin dengan suara pelan sambil berjalan keluar dari ruangan hendak membuatkan kopi di pentry.Setelah keluar dari ruangan, Karin bingung harus ke kama mencari letak pentry. Dia berjalan menuju meja sekretaris Frans, lalu bertanya kepadanya. "Permisi, Mbak."Wanita berusia dua puluh lima tahun bernama Michael itu pun menengok. "Iya, Mbak? Ada apa, ya?""Saya asisten pribadinya pak Frans, boleh tunjukkan kepada saya di mana pentry?""Oh, mau bikin kopi ya, Mbak. Maaf saya telat, Mbak bisa bilang sama pak Frans, saya buatkan kopinya sekarang. Ini barusan tanggung siapkan berkas meeting." Michael bicara sambil merapikan berkas."Oh jangan, Mbak. Biarin saya aja yang buat kopi, Mbak terusin aja siap-siapnya.""Serius nih?""Iya, tunjukkan aja di mana letak pentry.""Di sana," tunj
"Aw ...!" Frans merintih ketika Karin terpaksa harus menggigit bibir bawahnya. Saat cengkraman Frans melonggarkan, Karin pun mendorong tubuh Frans, hingga akhirnya dia berhasil melepaskan diri."Apa yang kamu lakukan?" pekik Karin sambil berdiri, mengusap bibirnya yang basah akibat permainan brutal sang suami. Sedangkan Frans masih duduk di atas sofa sambil mengusap bibir bawahnya yang mengeluarkan darah segar."Kamu istriku, Karin. Apa aku salah kalau aku mau melakukannya denganmu?" Sudah tiga tissue dia habiskan untuk mengusap darah yang tidak mau berhenti mengalir. Dia juga bicara tanpa melihat ke arah Karin."Tapi nggak dengan cara yang kasar kayak gini.""Apakah kalau aku bersikap lembut kamu akan melakukannya?" Karin diam, Frans kembali bicara. "Nggak, kan?""Aku kan udah bilang. Aku butuh waktu.""Sampai kapan?" Suara Frans membentak sambil melempar kotak tisu ke lantai dengan kasar, kali ia bicara sambil menatap tajam ke
"Boleh." Frans mengeluarkan handphone dari saku jas, lalu menyerahkannya kepada Karin. "Silakan.""Terima kasih, Mas," ucap Karin seraya menerima handphone milik Frans dan langsung menghubungi putranya di kampung."Halo, Ibu.""Rin, ini kamu?" tanya sang ibu di seberang sana. Bingung karena hanya mengenal suara, tetapi tidak dengan nomer teleponnya."Iya ini Karin, Bu. Ibu lagi apa?""Ini lagi nemenin Rafa main mobil-mobilan. Kamu mau ngomong sama Rafa?""Boleh, Bu."Setelah bicara dengan sang ibu, Karin bicara dengan putranya."Halo, Ibu.""Iya, Nak. Rafa lagi apa?" Senyum Karin mengembang sempurna setelah mendengar suara putranya."Rafa lagi betulin mobilan, Ibu. Mobilnya rusak.""Rusak?""Iya, Ibu.""Kenapa rusak? Pasti mainnya dibanting-banting, ya?""Nggak, kok. Ini mainannya udah lama, udah nggak bagus lagi, udah ketinggalan jaman. Masa mobilan Rafa masih ditarik pake tali sih? Temen Rafa aja mobilannya pake remot," keluh Rafa seperti anak pada umumnya."Oh gitu, ya?""Iya, Rin.
"Karin, Apa kamu udah tahu mainan apa yang mau kamu belikan untuk Rafa?" tanya Frans saat mereka masuk ke pintu mall."Iya, Rafa mau mobil-mobilan remote yang bisa dinaikin bareng teman-temannya.""Banyak. Selain itu apa lagi?" tanya Frans lagi."Menurut kamu?" Karin balik bertanya. Saat ini mereka sedang berdiri di depan pintu lift."Apa, ya? Kita lihat aja nanti di toko mainan. Yang penting nanti kita beli dulu aja mobil-mobilannya, habis itu kita cari mainan yang lain. Aku pikir putramu suka dengan action figures dan lego."Tidak lama pintu lift terbuka, Frans tiba-tiba meraih tangan Karin, masuk ke dalam lift sambil bergandengan tangan. Hal itu membuat karin terkejut, tetapi dia tidak bisa melakukan apa-apa kecuali diam. Lagi pula, tidak mungkin juga kan Karin menghempaskan tangan suaminya, apalagi setelah perdebatan tadi saat di kantor.Mereka berdua tiba di lantai tiga Mall Arjuna, tempat toko mainan yang menjadi tujuan mereka berdua. Di pintu masuk yang penuh dengan poster dan