"Anindya, Papa nggak nyangka kamu bakal dateng ke kantor Papa hari ini!"
Ardiaz bangkit dari kursi kebesarannya. Dia menyambut kedatangan Anindya dengan pelukan hangat. Dia begitu merindukan putri satu-satunya yang memilih pergi dari rumah demi lelaki brengsek seperti Lingga. "Apa kabar, sayang?" Ardiaz melepaskan pelukannya. Dia menatap wajah Anindya dengan tatapan haru. Dia terkejut saat Liana, sekertarisnya mengatakan jika Anindya ada di depan ruangannya. Setelah Liana keluar dari ruangannya, tidak lama Anindya memasuki ruangannya. "Aku baik, Pa! Papa sama Mama gimana kabarnya selama ini?" Anindya membalas tatapan Ardiaz dengan kedua mata berkaca-kaca. Melihat tatapan rindu yang ditunjukan oleh Ardiaz padanya saat ini. Membuat rasa bersalah menyerang Anindya detik ini juga. Bohong, kalau Anindya mengatakan tidak menyesal meninggalkan keluarganya demi menikah dengan Lingga. Seharusnya saat itu, Anindya menerima perjodohan yang diberikan oleh kedua orang tuanya. Mungkin kisah rumah tangganya tidak berakhir tragis seperti ini. Sayangnya, apa yang sudsh terjadi tidak bisa diulang lagi. Setiap penyesalan selalu datang di akhir, itu bisa dijadikan sebagai pelajaran dalam hidup. "Papa sama Mama baik. Papa sama Mama seneng liat kamu hidup dengan baik selama ini!" Bohong. Ardiaz tahu betapa berantakannya kehidupan Anindya selama menikah dengan Lingga. Dia tidak bisa lepas tangan begitu saja dengan Anindya, dia tetap mengawasinya selama ini. Namun, Ardiaz tidak bisa berbuat lebih selain diam dengan rasa sakit dan kesedihan melihat kehidupan Anindya. Saat pertama kali Anindya memutuskan pergi dari rumah. Kanaya Miranda— sebagai Ibu kandung Anindya tentu kecewa melihat Anindya pergi dari rumah. Ardiaz yang melihat Kanaya selalu sedih setiap harinya menemui Anindya dan membujuknya untuk pulang dan menerima perjodohan dengan putra tunggal keluarga Alessandro. Sayangnya, Anindya sudah dibutakan oleh cinta. Anindya marah dan menyuruh Ardiaz untuk tidak mengganggu rumah tangganya dengan Lingga "Ada apa, Anindya?" Dia mengajak Anindya untuk duduk di sofa panjang yang tersedia di ruang kerjanya. Bertepatan dengan Liana, yang datang membawa nampan berisi 2 cangkir teh hangat. Liana berpamitan untuk kembali melanjutkan pekerjaannya. "Aku udah cerai sama Lingga, Pa! Dia selingkuh di belakang aku selama 3 tahun pernikahan kita. Dia punya anak kembar bersama Melani Adisti, artis papan atas yang lagi naik daun saat ini!" Suara Anindya tercekat saat mengatakan itu. Dia selama ini memendam rasa sakit dan menghadapi pahitnya pernikahan seorang diri. Bahkan setelah mereka bercerai, Lingga masih berniat menyakitinya dengan memperkosa Anindya. Itu adalah kejahatan yang tak termaafkan oleh Anindya. "Anindya, Papa tau semua penderitaan kamu selama ini. Menikah dengan Lingga adalah kesalahan terbesar dalam hidup kamu. Andai saat itu kamu mau dengerin ucapan Papa sama Mama buat nerima perjodohan dengan putra tunggal keluarga Alessandro. Mungkin, hidup kamu bakal bahagia, Anindya!" Ardiaz pada akhirnya memilih untuk jujur bahwa dia mengetahui semua yang terjadi pada Anindya. "Papa tau semuanya, Anindya! Papa selama ini ngawasin kehidupan kamu! Papa tau kamu cerai sama Lingga, setiap hari Papa sama Mama nunggu kamu datang buat minta pertolongan sama Papa. Tapi, sepertinya kamu udah bisa hidup sendiri!" Anindya mengusap air matanya kasar. Dia tidak menyangka jika Ardiaz dan Kanaya masih memperdulikannya. Dia mengira jika mereka sudah tidak menganggap kehadirannya lagi. Pemikiran Anindya selama ini salah. Anindya tersenyum tipis menatap Ardiaz. "Aku tau Papa selama ini berinvestasi dalam pembuatan film yang diangkat dari novel aku!" Ardiaz mengangguk membenarkan. "Aku mau Papa narik semua investasi dalam pembuatan film itu sekarang juga!" Kedua tangan Anindya mengepal di atas paha. Dia mengingat perlakuan buruk Melani dan Lingga di lokasi syuting tadi. **** "Dia menganggapku sebagai seorang gigolo?" Ivander tersenyum sinis membaca surat yang berada di sisi ranjangnya. Tulisan tangan rapih milik Anindya yang berhasil membuat Ivander tersinggung. Dia meremas selembar kertas itu menjadi sebuah gumpalan. Dia turun dari ranjang untuk memakai pakaiannya semalam. "Dia benar-benar nggak tau siapa aku?" Ivander terkejut saat kemejanya tidak ada. Dia melirik ke arah lain di mana gaun putih milik Anindya masih berada di lantai. Sekarang dia mengerti, jika Anindya pergi menggunakan kemeja miliknya. Ivander mengambil sebuah ponselnya di atas nakas. Dia menghubungi anak buahnya. "Bawakan pakaian ganti untuk saya sekarang juga!" Ivander segera memutuskan sambungan telpon secara sepihak. Dia menatap seprai yang terdapat noda darah yang sudah mengering. Ivander menyeringai samar. "Anindya Prameswari Danendra, aku nggak bakal lepasin kamu gitu aja!""Tapi kondisi kalian cukup mengkhawatirkan," petugas polisi menimpali. "Dan lokasi kecelakaan itu perlu kami tinjau, memastikan tidak ada hal yang mencurigakan." Rizhar merasakan detak jantungnya semakin cepat. Jika polisi menelusuri lebih jauh, mereka bisa menemukan jejak penculikan Ivander. Dan jika itu terjadi, Rizhar tahu masalah ini tidak akan berhenti di sini. "Kami sudah melewatinya, Pak." Lingga akhirnya berbicara, suaranya terdengar sedikit serak. "Kami hanya ingin pulang, bertemu keluarga, dan melupakan kejadian itu. Kami tidak ingin memperpanjang masalah." Petugas polisi saling bertukar pandang, tampaknya tidak puas dengan jawaban mereka. "Begini, Tuan Lingga—" "Tolong, Pak," Lingga memotong dengan suara yang lebih tegas. "Kami hanya ingin pulang." Keheningan mengisi ruangan. Marisa tampak semakin cemas. Sedangkan, Melani yang sejak tadi memperhatikan Lingga dari kejauhan melangkah mendekat. Dia terlalu syok melihat kehadiran Lingga dengan jarak satu meter di de
"Lingga, akhirnya kamu kembali, Nak!" Marisa yang melihat presensi Lingga yang melangkah memasuki kantor polisi segera berteriak dengan lantang. Dia berlari menerjang putranya dengan pelukan erat. "Astaga, Lingga!" Suaranya bergetar penuh emosi. Pelukannya begitu erat, seolah berusaha memastikan bahwa putranya benar-benar nyata berada di depannya. Seminggu tanpa kabar, seminggu penuh kecemasan yang menggerogoti hatinya setiap detiknya. Lingga meringis pelan saat pelukan sang Ibu menyentuh luka pada punggungnya. Pukulan besi yang dilayangkan oleh anak buah Ivander pada punggungnya menyisakan luka dengan rasa sakit yang luar biasa. Marisa yang mendengar Lingga meringis kesakitan. Buru-buru melepaskan pelukannya. Dia memeriksa tubuh Lingga dengan rasa khawatir dan panik yang begitu kentara. "Maaf, Mama nggak tau, Nak. Bilang sama Mama mana yang luka!" Marisa segera memeriksa seluruh tubuh Lingga. Untuk mengecek semua luka yang memenuhi tubuh putranya. Namun, dengan cepat Li
"Pandora — Dunia hiburan kota Pandora kembali dihebohkan dengan kabar menghilangnya Lingga Aditama, mantan sutradara ternama yang terseret dalam skandal perselingkuhan dengan aktris papan atas, Melani Adisti." Ivander mengambil duduk di samping sang istri yang tengah fokus menatap layar televisi. "Setelah skandal mereka terungkap ke publik sebulan lalu, keduanya secara resmi dipecat dari agensi masing-masing akibat pelanggaran kontrak dan pencemaran nama baik institusi. Pemecatan tersebut langsung menjadi sorotan publik dan media hiburan." Ivander yang semula terkejut. Kini terlihat sangat santai, dia menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa. Matanya menatap istrinya dari samping, mengabaikan siaran berita pagi ini di televisi. "Namun kini, perhatian publik kembali tertuju pada kasus ini. Lingga Aditama dilaporkan menghilang sejak tujuh hari yang lalu. Keluarga menyatakan bahwa sejak pekan lalu, Lingga tidak dapat dihubungi sama sekali." Anindya menoleh pada Iva
"Sayang, urusan semalam bener-bener mendadak. Jadi, mereka terpaksa hubungin aku buat bahas masalah perusahaan." Ivander mengambil duduk di samping sang istri, dia menarik pelan dagu Anindya agar menatapnya. "Udah, ya jangan marah lagi. Aku bener-bener minta maaf." Ivander membujuk Anindya dengan nada lembut, berharap istrinya akan luluh dengan bujukannya. Tidak semudah itu, Anindya masih saja kesal dengan Ivander yang meninggalkan dirinya semalaman. Entahlah, dirinya masih tidak mengerti kenapa harus sekesal ini. Padahal, tidak ada yang dirugikan sama sekali. Hanya karena dirinya menahan rasa penasaran sambil menunggu kembalinya Ivander dan berakhir ketiduran. Itu yang membuat Anindya misah-misuh sejak bangun tidur. Beruntung suaminya itu saat dirinya terbangun pagi tadi sudah berada di sisinya tengah memeluk tubuhnya dengan hangat. Jika, tidak ada Ivander di sisinya. Mungkin Anindya semakin marah besar pada Ivander. "Sayang, kita baru menikah tiga hari. Masa udah r
"Kamu semalam pulang jam berapa, Ivan?" Di dalam dapur villa yang luas dan minimalis, suasana hangat dan nyaman memenuhi ruangan. Dinding kaca besar menghadap langsung ke laut, memberikan pemandangan yang sempurna untuk memulai hari. Lantai kayu berwarna terang terasa hangat saat Ivander melangkah, sementara Anindya tengah mempersiapkan sarapan di meja marmer yang mengkilap. Dapur yang dipenuhi dengan peralatan modern dan rak terbuka berisi berbagai macam rempah dan bahan makanan segar, memberikan kesan mewah namun tetap terasa santai. Di atas meja, terdapat satu cangkir kopi hitam pekat yang mengepul, aroma kopi yang khas menyebar memenuhi udara. Di sebelahnya, roti panggang yang masih hangat diletakkan di atas piring, dengan selai buah segar dan mentega yang meleleh perlahan. "Sekitar jam sepuluh. Maaf, ya kamu sampai ketiduran nungguin aku." Ivander mendekat pada sang istri. Dia mengusap surai panjang Anindya yang kini duduk di meja makan bersiap memulai sarapan paginya. Di
"Apakah benar ini kediaman Pak Rizhar?" Salah seorang petugas polisi mendekati salah satu warga yang berkerumun mengelilingi rumah Rizhar. Rumah yang menjadi tujuannya pagi ini untuk mencari keberadaan Lingga, setelah mendapat laporan dari Marisa kemarin atas kehilangan putranya selama hampir satu Minggu. Petugas polisi melacak ponsel Lingga sore itu juga, dan ternyata ponsel Lingga berada di daerah Solora. Tepatnya berada di salah satu kediaman rumah warga di daerah Solora, pagi ini juga polisi segera menuju kediaman Rizhar lokasi ponsel Lingga berada. "Benar, Pak. Tapi, sudah hampir satu Minggu ini saya nggak liat keberadaan Rizhar. Rumahnya juga terkunci, bahkan beberapa hari ini terlihat sepi. Biasanya ada orang nongkrong di depan rumahnya." Salah satu warga bernama Nina itu menjawab apa yang dia ketahui dalam beberapa hari ini. Pasalnya, Nina merupakan tetangga dekat Rizhar. Rumah Nina berada tepat di samping rumah Rizhar. Rumah Rizhar itu tidak pernah sepi setiap