“Kenalkan! Dia adalah kekasihku, dan kami berencana akan menikah dua tahun lagi.”
Queen terdiam dengan mulut menganga seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Ageng Jati Wardana, pria yang tadi malam resmi menjadi tunangannya itu dengan penuh percaya diri membawa wanita lain dan memperkenalkannya sebagai kekasih.“Maaf! Bisa diulang?” tanya Queen seraya meminta penjelasan lebih lanjut, meskipun sebenarnya dia sangat yakin jika telinganya tidak salah dengar.Queen mengalihkan pandangannya ke seisi ruangan private restaurant mewah, dengan kepala yang sedikit mendongak untuk menahan agar air mata tidak jatuh. Beberapa kali Queen menghela napas dalam-dalam untuk menenangkan pikirannya, dan setelahnya dia kembali memberanikan diri menatap Ageng dengan seulas senyum di bibirnya seolah ingin menunjukkan dirinya yang tegar.“Kau tidak salah dengar,” sahut Ageng seolah bisa membaca isi hati Queen. “Namanya Davianna, kami sudah menjalin hubungan selama tiga tahun terakhir. Dan yang pasti kami saling mencintai.” Detail sekali Ageng memberikan informasi tentang hubungannya dengan sang kekasih tanpa mempedulikan perasaan Queen sedikitpun.Sebenarnya tanpa Ageng menyebut nama, Queen sudah hafal di luar kepala nama lengkap wanita yang saat ini duduk di hadapannya. Davianna Aneira Rinjani, seorang artis yang sedang naik daun, dengan citra cantik dan cerdas, karena di tengah kesibukannya sebagai artis dia berhasil lulus S1 dengan predikat summa cum laude. Dan berita yang santer terdengar, saat ini dia sudah diterima di dua universitas terbaik di luar negeri untuk jenjang pendidikan S2.“Baik … lalu ….” Queen menjeda kalimatnya menatap secara bergantian Ageng dan Davianna yang duduk tepat di hadapannya. “Kalau kalian saling mencintai, bahkan sudah berencana untuk menikah, buat apa kau bertunangan denganku? Mengapa tidak bertunangan dengannya atau … menikah saja sekalian?” cecar Queen dengan memamerkan senyum yang sangat dipaksakan hingga memperlihatkan rasa getir di hatinya.“Karena saya ingin fokus dengan pendidikan saya dulu, mengejar karir baru berumah tangga.”Davianna mencoba menjelaskannya dengan santun dan lembut, hampir semua gerak-geriknya terlihat anggun dan elegan. Tidak heran jika beberapa saat yang lalu dia berhasil masuk sepuluh besar dalam sebuah ajang ratu-ratuan.Tidak bisa dipungkiri, jika saat ini Queen merasa rendah diri kala menatap pasangan kekasih di hadapannya. Mereka terlihat begitu serasi, tampan dan cantik, kaya dan cerdas, seolah mereka berdua telah memonopoli semua keindahan dunia. Dan di sini Queen merasa layaknya Upik Abu yang hanya menjadi penonton saja.“Rencana yang sangat bagus, matang.” Meskipun Queen terlihat tetap tenang dan berbicara tanpa meninggikan suara, tetapi terlihat jelas luka yang menganga di sorot mata yang tajam. “Tapi yang saya tanyakan, buat apa Mas Ageng yang … brengsek itu masih terlalu baik untuk menyebutnya.”Kembali Queen menjeda kalimatnya dan menghela napas panjang berusaha agar tetap tenang. Meskipun sebenarnya dalam hati sudah ingin memaki dengan segala kosakata kasar, menyebut penghuni kebun binatang, atau kata-kata kotor lainnya yang tiba-tiba memenuhi kepalanya. Tetapi akal sehat masih membimbing Queen untuk bisa memilih dan memilah kata agar dia tetap bisa menjaga harga dirinya.“Buat apa pesta pertunangan tadi malam?” Queen menatap Ageng dengan tatapan penuh tanya dan seakan berharap mendapat jawaban sesegara mungkin. Masih lekat dalam ingatan Queen betapa mewah dan meriahnya pesta pertunangan tersebut, bahkan lebih mewah dari pesta pernikahan beberapa temannya.“Buat apa kita merencanakan pernikahan bulan depan … jika dua tahun yang akan datang kau akan menikah dengan wanita lain? Jujur saja … aku tidak mau dipoligami.” Queen berusaha mempertahankan harga dirinya. Meskipun dia sadar jika dalam pernikahannya dengan Ageng, dirinya bukan hanya tidak dicintai tetapi juga tidak diinginkan.“Tidak akan ada poligami.”Ageng terlihat tetap tenang, bahkan tanpa sungkan dia membalas tatapan mata Queen. Tatapan memuja penuh binar bahagia yang dilihatnya tadi malam kini berubah kilatan amarah. Tetapi tidak ditemukannya cemburu di sana, karena sepertinya Queen juga tidak mencintainya.“Lalu … kita bercerai begitu?” Queen mencoba memastikan apakah yang dia pikirkan saat ini sama dengan yang dipikirkan oleh Ageng dan Davianna.“Ya, kita akan menikah hanya selama dua tahun, selama Davi menjalani pendidikan S2-nya di luar negeri. Setelah Davi lulus dan kembali ke Indonesia, kita bercerai dan saya akan menikah dengan Davi.”“Mengapa harus begitu?” Suara Queen tergetar, tetapi dia berusaha untuk tetap terlihat tegar.“Davi ingin menyelesaikan pendidikannya terlebih dahulu, tetapi kedua orang tuaku sudah memaksaku untuk menikah. Dan aku rasa menikah denganmu adalah sebuah jalan tengah. Hanya dua tahun … dan saya akan memberikan kompensasi yang layak untukmu.”Bagi Queen, sepasang kekasih di hadapannya sungguh gila dan tidak berperasaan. Entah apa yang membuat keduanya merasa bisa mempermainkan masa depannya.“Mengapa harus saya?”“Karena orang tua kita sudah membicarakan perjodohan kita, di belakang kita tentunya.”Queen menoleh ke belakang dan tidak menemukan apa-apa. Sebenarnya Queen tahu ucapan Ageng hanyalah sebuah kiasan, tetapi dia ingin menularkan rasa kesal di hatinya kepada pasangan kekasih yang berada tepat di hadapannya. “Kalau memang tidak cinta, dan tidak siap berkomitmen … bukan begini caranya.” Berulang kali Queen harus menghela napas panjang lalu membuangnya dengan perlahan, sepertinya sebentar lagi amarah akan meledak. “Saya mundur dari pertunangan kita. Dan untuk alasan di hadapan keluarga, kita cari masing-masing. Masalah … selesai, dan saya tidak ingin berurusan lagi dengan kalian.”Queen bergegas bangkit dari duduknya, lalu diraihnya tas ransel yang berisi berbagai keperluan kerjanya. Baginya pembicaraan ini sangat tidak berguna dan hanya membuang waktu saja. Seharusnya saat ini dia sudah berada di tempat kos mengistirahatkan diri sambil bermain game atau membaca novel online.“Saya rasa kita bisa membicarakan hal ini secara baik-baik.” Davianna memberanikan diri berbicara untuk mencegah Queen keluar dari ruangan tersebut, karena dia tidak ingin rencana dan impiannya hancur berantakan. Citra diri cantik, cerdas dan berpendidikan, serta peluang untuk menjadi menantu di keluarga Wardana harus tetap dia jaga demi masa depannya.“Sebaik apapun pembicaraan kita, hasilnya tetap buruk untuk saya.” Tidak ada lagi yang dipedulikan oleh Queen, tas ransel sudah berada di punggungnya dan dia siap untuk pergi. “Jika mengikuti rencana ini, dua tahun lagi kau akan menjadi wanita terhormat dengan gelar magister, sedangkan aku … akan mendapat gelar janda. Asal kalian tahu, bagi sebagian orang, gelar janda itu merupakan kasta terendah wanita setelah pelakor. Bagiku ini sangat tidak adil.”Queen mulai melangkahkan kakinya meninggalkan sepasanga kekasih dengan pikiran gila mereka. Tampaknya Ageng belum putus asa untuk mewujudkan apa pun yang menjadi keinganan dan cita-cita Davianna, sebagai bukti cintanya kepada sang kekasih, Ageng akan melakukan apa pun untuk mewujudkannya.“Kita bisa membuat kesepakatan, dan saya akan berusaha agar kesepakatan itu tidak akan merugikanmu.”Queen menghentikan langkahnya dengan tangan yang sudah siap untuk memutar knop pintu. Sejenak Queen mencoba untuk berpikir, menimbang lagi dan mencari celah keuntungan yang bisa dia dapatkan dari kesepakatan yang coba Ageng tawarkan,Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Suasana rumah sakit hening, hanya terdengar detak jantung yang dipantau oleh mesin di sebelah ranjang Queen. Ageng duduk di sampingnya, menggenggam tangan istrinya erat.Meskipun ini bukan kali pertama mereka menunggu momen kelahiran, ketegangan tetap terasa menyesakkan dada. Queen berusaha tetap tenang, namun sesekali wajahnya meringis menahan kontraksi yang semakin sering datang."Semua akan baik-baik saja."Dunia rasanya sudah terbalik, saat Queen yang sedang berjuang masih bisa bersikap tenang, bahkan menenangkan sang suami yang sejak tadi terlihat panik.Tatapan mereka bertemu, dan Queen tersenyum kecil, meski tampak jelas di wajahnya bahwa rasa sakit mulai semakin tak tertahankan. Dia mengerti kegelisahan suaminya, namun dia berusaha tegar. Ageng selalu menjadi penopangnya, dan kali ini, Queen ingin terlihat kuat untuknya.Kontraksi datang lebih cepat, napas Queen mulai tersengal. Para dokter dan perawat sudah siap di ruangan, namun
Beberapa hari setelah kejadian di kantor, Ageng dan Queen menerima tamu yang tak terduga. Orang tua Davianna datang, wajah mereka penuh kekhawatiran dan penyesalan. Suasana di ruang tamu terasa canggung saat mereka duduk berhadapan dengan Ageng dan Queen. Ibu Davianna, dengan mata berkaca-kaca, membuka pembicaraan."Kami minta maaf atas apa yang terjadi dengan Davianna. Dia ... dia tidak dalam kondisi yang baik," ucap wanita paruh baya itu dengan suara lirih dan bergetar dibarengi isak tangis.Ayah Davianna mengangguk setuju, ekspresinya berat. “Setelah dia pulang dari London, ada banyak masalah yang menimpa dirinya.”Ayah Davianna tidak melanjutkan kalimatnya. Ada rasa malu untuk mengungkap masalah yang sudah sama-sama mereka ketahui. Tetapi dia harus mengungkap semua agar Ageng dan Queen bisa memahami keadaan Davianna saat ini.“Masalah yang terjadi dengan Fajri, masalah yang terjadi denganmu, ditambah serangan netizen akibat postingan Megan, benar-benar menghancurkan hidupnya. Itu
Ageng merasa kesal dan risih saat Davianna memeluknya erat. Tangan Davianna menempel di punggungnya, tubuhnya seakan-akan tidak mau melepaskan."Mas Fajri! Mengapa kau menolak cintaku? Aku mencintaimu, Mas!" Davianna menangis tersedu-sedu, memanggil nama pria lain, Fajri.Ageng tersentak. Dia mencoba melepaskan dirinya dari pelukan Davianna, tetapi dia tidak ingin melakukan tindak kekerasan yang bisa saja menjadi celah munculnya kasus baru untuk menjatuhkan reputasinya.Rasa jijik dan amarah membuncah di dada Ageng. Dia melirik ke arah pintu, berharap Queen segera membantunya, tetapi yang ia lihat justru adalah ekspresi aneh di wajah istrinya.Queen, yang tadinya mendidih dengan amarah ketika melihat suaminya berpelukan dengan mantan kekasihnya, kini justru merasa kebingungan. Ada sesuatu yang ganjil. Davianna terus memanggil Ageng dengan nama lain, Fajri. Nama itu jelas bukan nama suaminya. Rasa marah yang semula menguasai dirinya kini berubah menjadi rasa penasaran bercampur khawati
“Davi.” Lirih Ageng menyebut nama mantan kekasihnyaPerempuan itu tak bergerak, hanya menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kemarahan, ada kesedihan, dan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang membuat udara di sekitar mereka terasa berat.Tanpa berkata sepatah kata pun, Davianna perlahan melangkah mendekat, dan Ageng berusaha tetap tenang meskipun dia tidak bisa mengabaikan ketegangan yang mendera. Tepat saat dia hendak membuka mulut untuk berbicara, Davianna berhenti tepat di depannya, menatapnya tajam.“Ada yang harus kita bicarakan, Geng,” bisiknya dengan nada dingin, membuat udara di sekeliling mereka terasa beku.Ageng masih terpaku di tempat, Davianna berdiri begitu dekat, terlalu dekat hingga jarak di antara mereka terasa mengikatnya seperti jerat yang tak terlihat. Kenangan tentang Davianna, yang lama terkubur dalam-dalam, tiba-tiba muncul di permukaan. Wajahnya, senyumnya, dan suara tawa yang dulu mengisi hari-harinya kini hadir kembali, membawa serta semua ras
Keduanya masih bayi, kalau sampai ada yang memukul yang salah ada orang tua dari kedua belah pihak yang lalai menjaga mereka. Itulah yang terjadi pada Danar dan Alma saat bersama.Ardan pun yang pernah berjanji akan menjaga adik-adiknya justru lebih sering terlihat asik bermain sendiri. Apa yang bisa diharapkan dari anak kelas dua sekolah dasar dalam menjaga dua batita.Alma dan Danar, dua batita keluarga Wardana, duduk berseberangan di lantai ruang keluarga yang luas. Suasana yang seharusnya damai sering kali berubah menjadi ajang perebutan mainan, perhatian, dan cinta dari kakek mereka, Arya Suta.Alma, dengan rambutnya yang masih lembut dan ikal, memandang boneka beruang yang sedang dipegang Danar dengan tatapan penuh tekad. Danar, meskipun belum pandai berbicara dengan jelas, bisa merasakan ancaman dari tatapan sepupunya yang sedang mengincar boneka itu.Dalam hitungan detik, Alma sudah menarik boneka tersebut dari tangan Danar, membuat si bocah laki-laki langsung merengut dan ber
Ageng duduk di sebuah restoran mewah di pusat kota. Hari itu, dia akan bertemu dengan salah satu klien penting perusahaannya, seorang pengusaha ternama yang selama ini menjadi mitra strategis dalam berbagai proyek. Ageng selalu mempersiapkan segala sesuatu dengan matang, termasuk pertemuan bisnis seperti ini. Restoran sudah dipilih dengan saksama, meja terbaik sudah dipesan, dan suasana yang tenang menjadi tempat yang sempurna untuk mendiskusikan kerja sama ke depan.Sambil menunggu, Ageng memeriksa ponselnya, melihat pesan dari Queen yang mengabarkan bahwa Alma sedang bermain dengan bonekanya di rumah. Senyum kecil terukir di wajahnya. Namun, sebelum sempat membalas, kliennya datang. Pria itu, yang bernama Sean Mahendra Wismoyojati, tampak santai dalam setelan jas hitam. Di belakangnya, sekretarisnya yang selalu setia, seorang perempuan bernama Bella, mengikuti dengan langkah cepat."Maaf membuat Anda menunggu," sapa Sean sambil mengulurkan tangan."Tidak masalah, Pak Sean," jawab Age
Rumah Queen dan Ageng dipenuhi dengan suasana kebahagiaan dan kehangatan, begitu berbeda dari masa-masa sulit yang pernah mereka lewati. Hari ini, semua kesedihan dan kekhawatiran seolah sirna, digantikan oleh keceriaan yang terpancar di setiap sudut ruangan. Ulang tahun pertama baby Alma menjadi momen penting yang ingin mereka rayakan dengan penuh suka cita, bersama orang-orang terdekat.Ruang tamu rumah mereka dihiasi dengan dekorasi cantik bernuansa pastel. Balon-balon berwarna lembut melayang di udara, menggantung dengan anggun di setiap sudut. Kue ulang tahun Alma yang besar, dihiasi dengan hiasan bunga-bunga kecil dan figur berbentuk peri, berdiri megah di tengah ruangan, siap menjadi pusat perhatian. Di atas meja, tertata rapi hidangan-hidangan manis dan camilan ringan untuk tamu-tamu kecil yang akan hadir.Queen, yang mengenakan gaun sederhana namun elegan berwarna krem, tampak begitu bahagia sambil menggendong Alma. Senyum tak pernah lepas dari wajahnya. Sesekali, dia mencium
Ageng duduk di ruang keluarga, memandangi Baby Alma yang terbaring di atas selimut lembut. Gadis kecil itu tampak lincah, mencoba tengkurap dan mengangkat kepalanya yang mungil dengan usaha keras. Setiap kali Alma berhasil menyeimbangkan tubuhnya, wajah Ageng berseri-seri."Lihat, dia semakin kuat," gumam Ageng, bangga. Meskipun tahu Alma belum bisa benar-benar mengerti, Ageng tetap senang berbicara padanya, seperti mengajak berdiskusi soal hal-hal besar dalam hidup.Queen datang dengan secangkir teh, duduk di samping Ageng sambil tersenyum melihat suaminya begitu terpesona pada perkembangan kecil Alma. "Dia sudah semakin besar, ya?" kata Queen sambil menatap putri kecil mereka yang terus bergerak aktif di atas selimut.Ageng mengangguk. "Iya, nggak terasa. Rasanya baru kemarin dia lahir, sekarang sudah bisa tengkurap sendiri. Nggak sabar lihat dia belajar berjalan nanti."Queen tertawa kecil. "Kamu pasti bakal kejar-kejar dia nanti di seluruh rumah. Semangat deh!" candanya sambil men
Ageng melangkah menuju rumah dengan langkah yang ringan. Hati dan pikirannya dipenuhi rasa syukur. Seluruh perjuangan, kesulitan, dan pengorbanan yang ia dan sahabat-sahabatnya lewati akhirnya terbayar. Mereka semua telah menemukan cinta, mewujudkan impian-impian mereka, dan kehidupan kini memberikan kebahagiaan yang sejati.Ageng tersenyum kecil saat melihat Queen berdiri di depan pintu dengan senyum yang meneduhkan, menimang Baby Alma yang ceria di pelukannya. Dua perempuan yang sangat berarti dalam hidupnya telah berdiri di hadapannya.“Tuh, daddy sudah pulang,” ucap Queen lembut sambil menggerakkan tangan putrinya, suaranya begitu hangat, membuat hati Ageng terasa damai.Ageng mendekat dan mencium kening Queen dengan lembut. Kemudian, tatapannya beralih ke Baby Alma yang melihatnya dengan mata berbinar yang sangat menggemaskan. Tawa kecil bayi itu terdengar begitu polos, seolah menyambut sang ayah dengan kebahagiaan yang sama.“Bagaimana hari kalian?” tanya Ageng sambil mengelus l