Share

Pesona Istri yang Dicampakkan
Pesona Istri yang Dicampakkan
Author: Phina1901

Bab 1. Permintaan Alfin

"Apa yang menjadi alasanmu memintaku menggugurkan janin ini, Mas? Bukankah setiap orang yang menikah menginginkan hadirnya buah hati sebagai penerus generasi mereka kelak? Lalu, ada apa dengan kamu? Apa salahku sehingga kau meminta janinku untuk digugurkan?" Maira menatap Alfin–sang Suami dengan berurai air mata. Bulir-bulir bening terus saja menerobos keluar dari kedua kelopak matanya. kedua tangannya meremas kuat sprei yang terpasang di ranjang tempatnya duduk. Kabar kehamilan yang seharusnya menjadi hal paling membahagiakan, kini tak ubahnya seperti sebuah kutukan bagi Maira.

Tampak pria di sampingnya menjambak rambutnya sendiri layaknya orang tengah frustasi, deru nafas pria itu terdengar lebih cepat dari biasanya. "Tolong lah Mai, kamu turuti saja apa mauku. Lagipula, aku juga belum siap memiliki anak." Dia menatap Maira dengan wajah memohon.

"Kalau nggak siap punya anak, kenapa setiap malam kau mengajakku berhubungan, Mas? Seharusnya kau pikirkan juga resikonya! Bukan malah seperti ini. Ini sama saja kau mempermainkan ku!" teriak Maira. Alfin tersentak mendengar istrinya berbicara dengan intonasi tinggi. Belum pernah dia melihat Maira semarah ini.

"Turunkan intonasi bicaramu, aku ini suamimu. Tak pantas kau berbicara lantang di depanku!" ucap Alfin menatap tajam Maira. Netranya beradu dengan manik hitam Sang Istri yang juga tengah menyorotnya, memancarkan kilat amarah yang begitu besar.

Maira tersenyum miring, dia menggeleng pelan seraya menatap suaminya. "Suami macam apa yang meminta istrinya menggugurkan darah daging sendiri? Suami macam apa, Mas? Bahkan disaat seperti ini, kau masih memintaku menghormatimu? Kau memang sudah g1la, Mas!" Maira berteriak kalap. Membuat Alfin semakin murka padanya. Dia tidak menyangka sang istri berani mengatakannya g1la. Tangannya terayun ke udara, namun harus terhenti saat suara Maira kembali menginterupsi.

"Mau nampar aku? Ayo tampar! Ternyata selain pecundang, kamu juga suka main kekerasan ya, Mas. Sungguh saat ini kau tak ada bedanya dengan seorang banc1!" desis Maira. Netranya menatap penuh kebencian pada sang Suami. 

Alfin seperti ditampar oleh tangan tak kasat mata. Perkataan Maira benar-benar telah melukai harga dirinya sebagai seorang lelaki. Tangan yang tadi sempat berhenti di udara, dia hempaskan dengan kuat.

Maira tidak bersalah, dirinya lah yang salah. Alfin mengakui itu. Namun bagaimana, egonya terlalu tinggi untuk mau mengalah pada sang Istri. 

"Tak bisakah kau turuti mauku saat ini, Mai?" 

"Nggak bisa!" jawab Maira cepat, "dengan atau tanpa kamu, aku akan tetap mempertahankan janin ini, Mas."

"Arghh …." teriak Alfin frustasi. "Kenapa sih, Mai, kau begitu keras kepala?" Kepala pria itu menoleh pada lawan bicaranya. 

"Siapa yang kau bilang keras kepala, Mas? Aku?" Maira menunjuk dirinya sendiri. "Nggak salah? Aku seperti ini karena mempertahankan hak hidup calon anakku, Mas! Kamu yang keras kepala, egois, demi kemauanmu yang tidak jelas itu, bahkan kau rela mau mengorbankan darah dagingmu sendiri!" Jari telunjuk Maira menunjuk Alfin. Netranya memerah menahan amarah. Deru nafas wanita cantik itu terdengar begitu cepat.

"Dasar kepala batu!" umpat Alfin. Dia bangkit berdiri, kemudian melangkahkan kakinya menuju kamar mandi. Suara gemericik air terdengar setelahnya.

Sementara itu Maira masih terpekur menatap lantai. Pikirannya melanglang buana menembus masa lalu. Penyesalan demi penyesalan perlahan menyusup dalam hatinya. 

'Ah, seandainya dulu aku menolak perjodohan ini, mungkin saat ini air mataku tak akan terbuang sia-sia' batin Maira.

**Flashback on**

"Maira, Bapak mohon selamatkan nama baik keluarga Bapak, Nak. Bapak janji akan menjamin kehidupanmu bersama kedua orang tuamu. Berbesar hatilah menerima Alfin–anak saya untuk menjadi suamimu. Tolong lah Bapak, Nak," ucap Pak Mahendra kala itu. 

Saat itu Pak Mahendra bersama sang Istri–Bu Sofia terus saja membujuk Maira agar mau menerima perjodohan dadakan mereka. 

Tania–sang calon menantu pergi meninggalkan Alfin satu Minggu setelah acara pertunangan mereka digelar secara besar-besaran. Kabar kepergian Tania meluas sampai ke sanak family juga rekan bisnis Pak Mahendra. 

Tidak mau menjadi bahan gunjingan, buru-buru Pak Mahendra mencarikan jodoh pengganti untuk Alfin. Dia juga tidak tega melihat anaknya terus-terusan meratapi kepergian Tania. Berharap dengan menghadirkan Maira dalam hidup Alfin, Alfin bisa mendapatkan kembali semangat hidupnya.

"Mau ya, Nak," bujuk Bu Sofia. Netra wanita paruh baya itu menatap lekat Maira. Sementara yang ditatap tetap bergeming.

"Mai." Pak Cahyo–Ayah Maira menyentuh bahu anaknya. Maira terkesiap. Dia menoleh pada Ayahnya.

"Ada apa, Yah?" tanya gadis cantik itu dengan polos. Terlihat Pak Cahyo mendesah seraya menggeleng pelan. Rupanya sang putri dari tadi hanya melamun. 

"Itu Pak Mahendra sama Bu Sofia dari tadi menunggu jawaban kamu, Nak," jelas Pak Cahyo pada sang putri. Sementara sang putri kembali menunduk.

"Bagaimana, Nak?" Pak Mahendra kembali buka suara. Sementara sang istri terlihat harap-harap cemas menatap Maira.

"Saya punya mimpi sendiri, Pak. Maafkan saya. Sungguh saya tidak bisa menerima perjodohan ini begitu saja. Siapa yang menjamin saya bahagia atas pernikahan saya kelak." Maira menjawab dengan suara lembut namun terdengar tegas. 

"Saya berjanji akan menjamin kebahagiaanmu, Nak. Apapun yang kamu inginkan, selama kami mampu. Pasti akan kami turuti maumu." Pak Mahendra berusaha meyakinkan Maira, "kami juga akan menyayangimu layaknya anak kami sendiri. Iya 'kan, Ma?" sambungnya seraya menoleh pada Bu Sofia–sang istri.

Bu Sofia mengangguk setuju dengan suaminya, "benar itu, Nak. Menikahlah dengan anak kami."

Maira segera menoleh pada ayahnya. Gadis cantik itu meminta pendapat sang Ayah. Pak Cahyo mengangguk mengiyakan. 

"Baiklah, saya bersedia," ucap Maira akhirnya. Walaupun hatinya diselimuti keraguan yang cukup besar, Maira berusaha tetap berpikir positif.

"Terima kasih, Nak, terima kasih. Soal Alfin anak kami tak usah kamu ambil pusing. Biarkan kami yang mengurus semuanya." Pak Mahendra sangat bersyukur akhirnya Maira mau menerima perjodohan dadakan itu.

Dan detik itu juga, Maira mulai menguburkan semua mimpi-mimpinya. Dia berusaha untuk fokus menjadi menantu keluarga Mahendra.

***Flashback of***

 

Biipp ….

Suara notifikasi pesan yang berasal dari ponsel Alfin membuyarkan lamunan panjang Maira. Setelah memastikan sang suami masih berada di dalam kamar mandi. Tangan mungilnya segera meraih benda pipih tersebut. Satu balon percakapan muncul di atas layar.

[Jangan lupa, besok jemput aku di bandara] Begitu isi pesan dari kontak bernama 'T'.

Sepasang mata bulat itu terbelalak sempurna membaca isi pesan tersebut. Keningnya berkerut tanda dia sedang berpikir. Dia mulai mengutak-atik benda pipih itu namun gagal. Ponsel itu terkunci. 

"Sejak kapan Mas Alfin mengunci ponselnya?" gumam Maira. Lalu netranya menatap tajam pintu kamar mandi yang perlahan terbuka dari dalam.

"Apa?" tanya Alfin kebingungan, karena baru keluar dari kamar mandi sudah mendapatkan tatapan tajam dari istrinya. Ternyata amarah Maira belum reda juga. Begitu pikirnya.

"Sejak kapan ponselmu terkunci, Mas?" tanya Maira dengan tatapan penuh selidik. "Apa yang sedang kau sembunyikan dariku?" sambungnya lagi.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Azizah Orizadasanova
awal yg menyenangkan ..
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status