Alfin yang baru keluar dari kamar mandi, tampak terkejut melihat istrinya menatap tajam padanya.
"Apa?" tanyanya penuh kebingungan. "Sejak kapan ponselmu terkunci, Mas? Apa yang sedang kau sembunyikan dariku?" tanya Maira dengan tatapan penuh selidik.Alfin yang tidak siap sebelumnya menjadi gelagapan. Dia berjalan tergesa menghampiri Maira, dan segera merebut kembali ponselnya dari tangan sang Istri."Apa sih? I–ini tuh nggak sengaja kekunci," ucap Alfin asal dengan suara sedikit gugup. Tangan pria itu segera mengutak-atik ponselnya. "Nih, sudah kebuka," ucapnya lagi seraya menyodorkan kembali ponsel itu pada Maira.Maira segera menyambar ponsel itu, dan segera mengecek pesan yang tadi masuk. Alis matanya naik sebelah. Lalu tersenyum miring. "Kau pikir aku bodoh, Mas." Wanita cantik itu bangkit dari bibir ranjang, perlahan melangkah mendekati sang Suami. Langkahnya terhenti tepat di depan suaminya, kepalanya mendongak menatap manik hitam milik Alfin. "Kemana pesan yang dikirimkan oleh 'T' tadi?" ucapnya dengan nada menekan. "Siapa orang yang kamu namakan 'T' di dalam kontak ponselmu?" sambung Maira masih terus menatap suaminya.Alfin membuang muka ke sembarang arah, dia tak sanggup untuk membalas tatapan penuh intimidasi dari istrinya. Sebenarnya dalam hatinya dia mulai takut jika sang Istri mencium kedoknya. Dia takut Maira mengadu pada kedua orang tuanya disaat yang tidak tepat. Maka habislah dia.Alfin sangat paham jika Mama dan Papanya sangat menyayangi Maira. Bahkan mereka sangat menantikan kehadiran cucu dari darinya. Seharusnya kabar kehamilan Maira memang menjadi hal yang membahagiakan untuk keluarganya. Tapi bagi Alfin semua itu tak ubahnya sebuah kesialan. Kehamilan Maira hanya akan menjadi penghalang besar untuk hubungannya dengan sang mantan."Jawab, Mas! Kenapa diam saja." Alfin tersentak saat Maira kembali buka suara. "Itu bukan urusanmu, Mai. Udah deh nggak usah lancang buka-buka ponselku lagi." sentak Alfin seraya berlalu dari hadapan Maira. Maira menghela nafas panjang sebelum akhirnya dia duduk kembali di bibir ranjang. Perlahan tangannya mengelus perutnya yang masih terlihat rata. Belum ada gerak apapun dari dalam sana. Di dalam ruang kamar yang luas itu, dia menumpahkan kembali tangisnya. Meratapi nasib yang telah mempermainkannya. *******"Aku mau, besok kita temui dokter kandungan," ucap Alfin santai seraya menyendok hidangan yang telah Maira siapkan untuk makan malam mereka. Wanita cantik itu tetap melayani suaminya meski hatinya kini tengah terluka oleh ego sang Suami."Untuk apa?" tanya Maira dingin. Kepalanya menunduk, enggan menatap sang Suami. Matanya terlihat sangat bengkak akibat menangis tadi."Kan aku sudah bilang, aku belum siap untuk punya anak. Jadi aku pikir," Alfin menjeda kalimatnya sejenak, dia mengambil udara banyak-banyak untuk mengisi paru-parunya yang tiba-tiba saja terasa sesak. Sementara Maira masih diam untuk menyimak. "Aku pikir, lebih baik kandunganmu segera digugurkan saja." Maira membanting sendok yang tengah di pegang pada piring di depannya. Kilat amarah terpancar jelas dari manik mata hitam itu. "Sudah berapa kali kubilang, Mas. Aku tidak akan pernah mau menggugurkan kandungan ini. Dengan atau tanpa kamu, aku akan tetap mempertahankannya." "Jangan egois, Mai–,""Siapa yang egois, Mas? Siapa? Aku atau kamu? Untuk apa kamu memintaku menggugurkan janin tak berdosa ini? Untuk apa, Mas? Jawab! Aku yakin ada sesuatu yang kamu sembunyikan!" Maira berteriak kalap. Dia benar-benar tak habis pikir dengan jalan pikiran suaminya. "Tidak ada yang kusembunyikan, Mai. Ini murni memang aku belum siap memiliki anak," kata Alfin berdusta. Padahal memang ada niat terselubung di dalamnya.Maira tertawa sumbang, lalu menggeleng pelan."Aku tau kamu bohong, Mas!" Lirih Maira. Gegas dia bangkit dari duduknya dan segera meninggalkan Alfin yang masih bergeming."Maira! Tunggu, Mai …," kejar Alfin. Langkah kakinya berusaha menyamai Maira. Kini tangan pria itu berhasil mencekal lengan Maira.Maira menoleh, "lepaskan aku, Mas!""Nggak, Mai. Kita harus bicara," ucap Alfin setengah memaksa. "Kita duduk dulu." Alfin menuntun Maira untuk kembali duduk di kursinya.Maira terdiam dengan pandangan lurus ke depan. Kedua tangan wanita itu bersedekap di depan dada."Mai…,""Mau bicara apa? Cepat katakan!" sentak Maira. Alfin segera menghela nafas, kemudian mengeluarkannya dengan pelan."Keputusanku sudah bulat, Mai. Setuju atau tidak, besok kita harus menemui dokter kandungan. Kandunganmu harus segera digugurkan." Maira menoleh cepat pada suaminya, "aku akan bicarakan hal ini pada Mama dan Papa, bukan kah saat ini mereka tengah menanti kehadiran seorang cucu? Aku yakin, mereka akan menerima anak dalam kandunganku ini, ya … kalau ayahnya tidak bisa menerima, setidaknya ada Kakek dan Nenek yang bisa menerimanya." Suara Maira terdengar bergetar. Kedua mata bulatnya tampak berkaca-kaca. Mati-matian dia menahan diri agar tidak sampai menangis di depan suaminya. Tangan kanan wanita itu tampak mengelus perut yang masih tampak rata. "Jangan gila kamu, Mai." Alfin membentak, "awas saja kalau sampai berani mengadu pada Mama dan Papa. Orang tuamu yang jadi taruhannya!" ancamnya pada Maira. Alfin berharap Maira akan takut dengan ancamannya. Dia tahu Maira sangat menyayangi mereka. Alfin yakin dengan melibatkan orang tua Maira, wanita itu akan kembali menurut padanya."Memang pecundang kamu, Mas! beraninya main ancam! Menyesal aku telah menerima perjodohan konyol ini, pantas saja kekasihmu dulu pergi. Kamu saja memang tidak layak dijadikan Suami," balas Maira berapi-api. mendengar hinaan yang keluar dari mulut Maira, emosi pria itu langsung tersulut. Dia tidak terima dikatakan pecundang. Harga dirinya telah diinjak-injak oleh Sang Istri."Kurang ajar!" Tangan Alfin terasa panas setelah melayangkan tamparan di pipi istrinya. Entah dorongan s*tan dari mana. Untuk pertama kalinya, dia berani melayangkan tamparan pada Maira.Tubuh Maira terpelanting jatuh ke bawah. Bulir bening yang sejak tadi ditahan, kini memaksa menerobos keluar dari singgasananya, bergulir membasahi kedua sisi pipinya. Sebelah tangannya sibuk mengusap pipi kanannya yang terasa perih dan panas. Bahkan sampai telinganya terasa berdenging.Disaat bersamaan area perut bawahnya terasa begitu melilit. Perlahan cairan hangat merembes di antara kedua kakinya. Pandangan Maira kian memburam, dan gelap. Dia jatuh tak sadarkan diri.*************Kelopak mata dengan bulu lentik itu terlihat bergerak-gerak. Perlahan netra Maira kembali terbuka, dia mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan intensitas cahaya yang menerobos masuk ke dalam retinanya. Setelahnya mata bulat itu benar-benar terbuka dengan sempurna. Seorang pria tampan dengan setelan jas berwarna putih tersenyum kepadanya. "Ibu, sudah sadar?" sapanya terdengar lembut di gendang telinga Maira."Di mana Suami saya, Dok?" Kalimat pertama yang berhasil diucapkan Maira. Alih-alih menjawab pertanyaan sang dokter, dia malah menanyakan keberadaan suaminya. Kepalanya celingukkan mencari sosok Alfin. Tapi nihil, di ruangan bercat serba putih dengan aroma khas obat-obatan itu, hanya ada dirinya bersama seorang dokter tampan yang tengah memeriksanya."Tadi Suami Ibu bilang mau pulang dulu, katanya ada urusan penting yang tidak bisa ditinggalkan. Ibu istirahat saja dulu, apa ada yang dikeluhkan, Bu?" Sambil menjelaskan, dokter itu tersenyum ramah pada Maira.Maira mengangguk perlahan, "perut saya terasa sakit, Dok. Apa yang telah terjadi, apa kandungan saya baik-baik saja?" Maira menatap Dokter itu dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Dokter tampan dengan name tag 'dr. Rendi Prayoga, spOG.' Itu menghela nafas pelan sebelum menjawab pertanyaan Maira. Dia merasa iba dengan keadaan pasien di depannya yang terlihat menyedihkan."Kandungan Ibu lemah, tadi Ibu mengalami pendarahan.""Kandungan Ibu lemah, tadi Ibu mengalami pendarahan," jelas Dokter Rendi dengan suara pelan, namun begitu menyakitkan menerobos gendang telinga Maira. Hampir saja Maira menangis jika Dokter Rendi tak segera melanjutkan ucapannya."Janin Ibu masih bisa diselamatkan, untung saja Suami Ibu sigap segera mengantarkan ke rumah sakit. Terlambat sedikit saja mungkin kandungan Ibu sudah tidak bisa diselamatkan." lanjut Dokter Rendi. Kini Maira bisa bernafas lega. Janinnya selamat. Dia berjanji pada dirinya sendiri untuk lebih berhati-hati menjaga calon buah hatinya."Terima kasih, Dok, sudah membantu menyelamatkan janin saya," ucap Maira tulus. "Berterimakasihlah pada Yang Maha Kuasa, Bu. Karena semua ini berkat pertolongan–Nya." Maira begitu kagum dengan dokter tampan itu. Selain berwibawa dokter itu juga sangat bijaksana. Kedua sudut bibir wanita cantik itu terangkat membentuk seulas senyum. Kepalanya mengangguk setuju dengan apa yang diucapkan Dokter Rendi. Untuk sejenak, Maira lupa denga
Di sebuah kamar yang luas lengkap dengan ranjang berukuran king sizenya, seorang pria tengah tertidur lelap hingga jam weker di atas nakas berdering kencang, seolah mengobrak-abrik gendang telinga pria tersebut.Alfin mengucek matanya yang terasa lengket, sebelum sebelah tangannya meraih benda berisik itu. "Berisik! Udah jam berapa, sih?" gumamnya sendiri. Netranya membulat melihat jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh pagi. Gegas dia bangun dan berlari ke kamar mandi.Sekian menit berjalan, pria itu tampak lebih segar saat keluar dari kamar mandi. Melangkah menuju lemari tempat di mana Maira biasa menyimpan pakaian kerja nya.Teringat akan Maira tangan lelaki itu urung membuka lemari. Dia menatap ke arah nakas. Di sana ponsel Sang Istri tergeletak begitu saja. Pria itu mendesah pelan. "Seandainya kamu tidak keras kepala, Mai. Mungkin aku akan lebih peduli denganmu." Alfin bergumam sambil memakai pakaian kerjanya.Pagi itu Alfin menyiapkan segala kebutuhannya sendiri tanpa bant
Taksi berwarna biru berhenti tepat di depan pagar rumah mewah yang menjulang tinggi. Seorang wanita keluar dari dalam taksi itu, setelah mengucapkan terima kasih pada sopir yang mengemudi.Perlahan dia melangkah mendekat pada gerbang. Seorang satpam yang tengah berjaga di pos segera bangkit berdiri membukakan gerbang untuknya."Bu Maira sudah sembuh?" tanya satpam itu dengan senyum mengembang. Maira mengangguk seraya membalas senyum satpam yang menjaga rumahnya."Bapak tidak ada menjemput, Bu?" tanya satpam itu lagi. Maira menggeleng lemah."Lagi sibuk katanya, Pak. Makanya saya dijemput taksi," balas Maira sambil terkekeh, dia tidak mau orang-orang di sekitarnya mengetahui kemelut rumah tangganya."Saya masuk dulu, ya, Pak." pamitnya seraya melangkah pelan menuju pintu utama.Maira menghela nafas lega setelah berhasil menjatuhkan pelan bobot tubuhnya di ranjang. Perjalanan dari rumah sakit ke rumah cukup membuatnya merasa lelah. Maklum, lagi hamil muda. Dia pejamkan kembali netranya
Tubuh Maira menegang, langkah kakinya terhenti seketika. Hatinya semakin terbakar mendengar lagi dan lagi Alfin mengancamnya. Maira berbalik melayangkan tatapan tajam pada suaminya."Jangan pernah bawa-bawa orang tuaku, Mas!" desisnya dengan deru nafas memburu. Lalu segera berbalik dan melanjutkan langkahnya."Makanya jangan sok-sokan jadi nyonya disini! Tahu diri lah, dari mana kamu berasal. Wanita sepertimu memang tak pantas bersanding dengan seorang Alfin Mahendra." cibir Tania. Maira segera berlalu dan tak menghiraukan lagi apapun yang mereka ucapkan, semua cacian juga hinaan dia simpan rapat di dalam hatinya. Maira bersumpah, suatu saat nanti mereka akan mendapatkan balasan atas perbuatannya saat ini.Mengabaikan dua orang manusia yang telah mengukir luka di hatinya, Maira berusaha untuk tetap berpikir waras, dia tak mau membuat pertumbuhan janin di dalam kandungannya terganggu. Teringat tujuan awalnya tadi, Maira segera melangkah ke dapur dan mengambil makan. Ya, dia butuh maka
"Berhenti Maira!" Langkah Maira terhenti, tubuhnya terasa gemetar saat suara Alfin menggelegar menerobos masuk gendang telinganya. Dia berbalik dan melihat sesosok pria jangkung telah menyembul dari balik pintu. Sesaat pandangan mereka saling bertemu. Tak sanggup lagi menatap manik suaminya lebih lama, Maira segera menundukkan kepalanya."Apa yang sedang kamu lakukan disini, Mai?" Suara yang begitu dingin menembus indera pendengaran Maira. Wanita berwajah kalem itu menggeleng pelan, "nggak ada, Mas. Aku hanya tak sengaja menyenggol pot bunga itu saat lewat." jelasnya sambil menunjuk sebuah pot bunga yang tampak sedikit berantakan. Alfin mengikuti arah telunjuk Maira, kemudian menatap kembali istrinya dengan tatapan penuh intimidasi. Sorot mata tak bersahabat terus menghujam, seolah mampu membaca kebohongan Maira. Pria itu tak lekas menjawab. Matanya memicing penuh selidik."Jangan bohong! Apa yang sedang kamu lakukan disini, Mai?" Lagi, pertanyaan penuh intimidasi dia layangkan pada
Bab 8."Bu, Ibu baik-baik saja?" Seperti baru tersadar dari lamunan, Maira tersenyum kikuk menatap Dokter Rendi. "Ah, ya. Saya baik-baik saja, Dok," jawab Maira lugas. Dokter Rendi mengulas senyum tipis. "Baiklah, saya permisi dulu, Dok. Terima kasih atas sarannya," ucap Maira sungkan."Sama-sama, Bu." balas Dokter Rendi.*******Sepanjang perjalanan pulang, pikiran Maira terus diliputi kegelisahan. Cintanya pada Alfin memang semakin terkikis habis, tapi jika dia berpisah, Maira bingung harus pergi kemana. Dia tak ingin pulang ke rumah orang tuanya untuk sementara waktu. Maira terlalu takut membuat hati orang tuanya kecewa.Dia tak sanggup membayangkan wajah-wajah bahagia kedua orang tuanya harus sirna karena dia bercerai dari Alfin. Wanita berparas teduh itu memijat pelan pelipisnya. Menghela nafas lalu kembali mengeluarkannya. Sampai suara sopir taksi yang tengah dia tumpangi menyadarkannya dari lamunan."Sudah sampai, Mbak." Sopir taksi menoleh pada Maira."Oh, iya, Pak. Terima k
Pukul lima sore, sebuah mobil Pajero sport berwarna hitam, masuk ke dalam pekarangan rumah yang tengah dihuni oleh Maira.Seorang lelaki jangkung dengan setelan celana bahan berwarna hitam serta atasan kemeja berwarna biru muda terlihat turun dari mobil, dengan langkah lebar-lebar lelaki itu segera masuk ke dalam rumah. "Maira!" teriaknya saat sudah berada di ruang tamu.Suasana rumah tampak lenggang. Alfin segera melangkahkan kakinya menuju ke dapur, tempat dimana biasanya sang istri sedang memasak menyiapkan makan malam.Langkahnya terhenti, di dapur kosong, tidak terlihat siapa-siapa. Lelaki itu segera berbalik badan dan melangkah menuju kamarnya. Dengan tergesa dia menaiki anak tangga, karena kamarnya terletak di lantai dua.Tepat saat Alfin berada di depan pintu kamar, seseorang dari dalam membuka pintu tersebut. Sejenak netra mereka saling bertemu. Nafas Alfin semakin memburu menatap nyalang sosok di depannya."Kamu kenapa, Mas?" tanya Maira dengan dahi mengernyit, perasaan w
"Astaghfirullah," pekiknya, tubuh Bu Sofia limbung dengan tangan memegangi dadanya. Pak Mahendra yang duduk di sampingnya begitu panik dan segera memegangi sang istri."Ma, Mama kenapa?" tanya Pak Mahendra dengan raut cemas."I–ini, nggak mungkin, kan, Pa? Maira anak baik-baik. M–mama nggak percaya Maira melakukan hal serendah itu," ucap Bu Sofia terbata-bata. Pak Mahendra segera meraih kertas foto yang dipegang oleh istrinya. Tangannya tampak gemetar dengan rahang yang mulai mengetat. Netranya memerah menatap tajam pada Tania. "Apa maksud kamu memberikan foto ini? Kamu pikir saya akan percaya begitu saja? Saya bukan orang bodoh Tania!" Pak Mahendra menatap nyalang Tania.Netra Tania melebar mendengar ucapan Pak Mahendra, wanita muda dengan riasan tebal itu, tampak tak gentar oleh gertakan pria paruh baya itu. Bukannya takut wanita itu malah tersenyum meremehkan."Tapi aku punya bukti lain, Om. Tidak hanya foto-foto itu saja. Apa Om mau melihatnya juga?" sangkalnya, kemudian tangan