Share

Bab 2. Perdebatan Membawa Petaka

Alfin yang baru keluar dari kamar mandi, tampak terkejut melihat istrinya menatap tajam padanya.

"Apa?" tanyanya penuh kebingungan. 

"Sejak kapan ponselmu terkunci, Mas? Apa yang sedang kau sembunyikan dariku?" tanya Maira dengan tatapan penuh selidik.

Alfin yang tidak siap sebelumnya menjadi gelagapan. Dia berjalan tergesa menghampiri Maira, dan segera merebut kembali ponselnya dari tangan sang Istri.

"Apa sih? I–ini tuh nggak sengaja kekunci," ucap Alfin asal dengan suara sedikit gugup. Tangan pria itu segera mengutak-atik ponselnya. "Nih, sudah kebuka," ucapnya lagi seraya menyodorkan kembali ponsel itu pada Maira.

Maira segera menyambar ponsel itu, dan segera mengecek pesan yang tadi masuk. Alis matanya naik sebelah. Lalu tersenyum miring. "Kau pikir aku bodoh, Mas." 

Wanita cantik itu bangkit dari bibir ranjang, perlahan melangkah mendekati sang Suami. Langkahnya terhenti tepat di depan suaminya, kepalanya mendongak menatap manik hitam milik Alfin. "Kemana pesan yang dikirimkan oleh 'T' tadi?" ucapnya dengan nada menekan. "Siapa orang yang kamu namakan 'T' di dalam kontak ponselmu?" sambung Maira masih terus menatap suaminya.

Alfin membuang muka ke sembarang arah, dia tak sanggup untuk membalas tatapan penuh intimidasi dari istrinya. Sebenarnya dalam hatinya dia mulai takut jika sang Istri mencium kedoknya. Dia takut Maira mengadu pada kedua orang tuanya disaat yang tidak tepat. Maka habislah dia.

Alfin sangat paham jika Mama dan Papanya sangat menyayangi Maira. Bahkan mereka sangat menantikan kehadiran cucu dari darinya. Seharusnya kabar kehamilan Maira memang menjadi hal yang membahagiakan untuk keluarganya. Tapi bagi Alfin semua itu tak ubahnya sebuah kesialan. Kehamilan Maira hanya akan menjadi penghalang besar untuk hubungannya dengan sang mantan.

"Jawab, Mas! Kenapa diam saja." Alfin tersentak saat Maira kembali buka suara. 

"Itu bukan urusanmu, Mai. Udah deh nggak usah lancang buka-buka ponselku lagi." sentak Alfin seraya berlalu dari hadapan Maira. 

Maira menghela nafas panjang sebelum akhirnya dia duduk kembali di bibir ranjang. Perlahan tangannya mengelus perutnya yang masih terlihat rata. Belum ada gerak apapun dari dalam sana. Di dalam ruang kamar yang luas itu, dia menumpahkan kembali tangisnya. Meratapi nasib yang telah mempermainkannya. 

*******

"Aku mau, besok kita temui dokter kandungan," ucap Alfin santai seraya menyendok hidangan yang telah Maira siapkan untuk makan malam mereka. Wanita cantik itu tetap melayani suaminya meski hatinya kini tengah terluka oleh ego sang Suami.

"Untuk apa?" tanya Maira dingin. Kepalanya menunduk, enggan menatap sang Suami. Matanya terlihat sangat bengkak akibat menangis tadi.

"Kan aku sudah bilang, aku belum siap untuk punya anak. Jadi aku pikir," Alfin menjeda kalimatnya sejenak, dia mengambil udara banyak-banyak untuk mengisi paru-parunya yang tiba-tiba saja terasa sesak. Sementara Maira masih diam untuk menyimak. 

"Aku pikir, lebih baik kandunganmu segera digugurkan saja." 

Maira membanting sendok yang tengah di pegang pada piring di depannya. Kilat amarah terpancar jelas dari manik mata hitam itu. 

"Sudah berapa kali kubilang, Mas. Aku tidak akan pernah mau menggugurkan kandungan ini. Dengan atau tanpa kamu, aku akan tetap mempertahankannya." 

"Jangan egois, Mai–,"

"Siapa yang egois, Mas? Siapa? Aku atau kamu? Untuk apa kamu memintaku menggugurkan janin tak berdosa ini? Untuk apa, Mas? Jawab! Aku yakin ada sesuatu yang kamu sembunyikan!" Maira berteriak kalap. Dia benar-benar tak habis pikir dengan jalan pikiran suaminya. 

"Tidak ada yang kusembunyikan, Mai. Ini murni memang aku belum siap memiliki anak," kata Alfin berdusta. Padahal memang ada niat terselubung di dalamnya.

Maira tertawa sumbang, lalu menggeleng pelan.

"Aku tau kamu bohong, Mas!" Lirih Maira. Gegas dia bangkit dari duduknya dan segera meninggalkan Alfin yang masih bergeming.

"Maira! Tunggu, Mai …," kejar Alfin. Langkah kakinya berusaha menyamai Maira. Kini tangan pria itu berhasil mencekal lengan Maira.

Maira menoleh, "lepaskan aku, Mas!"

"Nggak, Mai. Kita harus bicara," ucap Alfin setengah memaksa. "Kita duduk dulu." Alfin menuntun Maira untuk kembali duduk di kursinya.

Maira terdiam dengan pandangan lurus ke depan. Kedua tangan wanita itu bersedekap di depan dada.

"Mai…,"

"Mau bicara apa? Cepat katakan!" sentak Maira. Alfin segera menghela nafas, kemudian mengeluarkannya dengan pelan.

"Keputusanku sudah bulat, Mai. Setuju atau tidak, besok kita harus menemui dokter kandungan. Kandunganmu harus segera digugurkan." 

Maira menoleh cepat pada suaminya, "aku akan bicarakan hal ini pada Mama dan Papa, bukan kah saat ini mereka tengah menanti kehadiran seorang cucu? Aku yakin, mereka akan menerima anak dalam kandunganku ini, ya … kalau ayahnya tidak bisa menerima, setidaknya ada Kakek dan Nenek yang bisa menerimanya." Suara Maira terdengar bergetar. Kedua mata bulatnya tampak berkaca-kaca. Mati-matian dia menahan diri agar tidak sampai menangis di depan suaminya. Tangan kanan wanita itu tampak mengelus perut yang masih tampak rata. 

"Jangan gila kamu, Mai." Alfin membentak, "awas saja kalau sampai berani mengadu pada Mama dan Papa. Orang tuamu yang jadi taruhannya!" ancamnya pada Maira. Alfin berharap Maira akan takut dengan ancamannya. Dia tahu Maira sangat menyayangi mereka. Alfin yakin dengan melibatkan orang tua Maira, wanita itu akan kembali menurut padanya.

"Memang pecundang kamu, Mas! beraninya main ancam! Menyesal aku telah menerima perjodohan konyol ini, pantas saja kekasihmu dulu pergi. Kamu saja memang tidak layak dijadikan Suami," balas Maira berapi-api. mendengar hinaan yang keluar dari mulut Maira, emosi pria itu langsung tersulut. Dia tidak terima dikatakan pecundang. Harga dirinya telah diinjak-injak oleh Sang Istri.

"Kurang ajar!" Tangan Alfin terasa panas setelah melayangkan tamparan di pipi istrinya. Entah dorongan s*tan dari mana. Untuk pertama kalinya, dia berani melayangkan tamparan pada Maira.

Tubuh Maira terpelanting jatuh ke bawah. Bulir bening yang sejak tadi ditahan, kini memaksa menerobos keluar dari singgasananya, bergulir membasahi kedua sisi pipinya. Sebelah tangannya sibuk mengusap pipi kanannya yang terasa perih dan panas. Bahkan sampai telinganya terasa berdenging.

Disaat bersamaan area perut bawahnya terasa begitu melilit. Perlahan cairan hangat merembes di antara kedua kakinya. Pandangan Maira kian memburam, dan gelap. Dia jatuh tak sadarkan diri.

*************

Kelopak mata dengan bulu lentik itu terlihat bergerak-gerak. Perlahan netra Maira kembali terbuka, dia mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan intensitas cahaya yang menerobos masuk ke dalam retinanya. Setelahnya mata bulat itu benar-benar terbuka dengan sempurna. 

Seorang pria tampan dengan setelan jas berwarna putih tersenyum kepadanya. "Ibu, sudah sadar?" sapanya terdengar lembut di gendang telinga Maira.

"Di mana Suami saya, Dok?" Kalimat pertama yang berhasil diucapkan Maira. Alih-alih menjawab pertanyaan sang dokter, dia malah menanyakan keberadaan suaminya. Kepalanya celingukkan mencari sosok Alfin. Tapi nihil, di ruangan bercat serba putih dengan aroma khas obat-obatan itu, hanya ada dirinya bersama seorang dokter tampan yang tengah memeriksanya.

"Tadi Suami Ibu bilang mau pulang dulu, katanya ada urusan penting yang tidak bisa ditinggalkan. Ibu istirahat saja dulu, apa ada yang dikeluhkan, Bu?" Sambil menjelaskan, dokter itu tersenyum ramah pada Maira.

Maira mengangguk perlahan, "perut saya terasa sakit, Dok. Apa yang telah terjadi, apa kandungan saya baik-baik saja?" Maira menatap Dokter itu dengan perasaan yang sulit dijelaskan. 

Dokter tampan dengan name tag 'dr. Rendi Prayoga, spOG.' Itu menghela nafas pelan sebelum menjawab pertanyaan Maira. Dia merasa iba dengan keadaan pasien di depannya yang terlihat menyedihkan.

"Kandungan Ibu lemah, tadi Ibu mengalami pendarahan."

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Mom's Aqaz Aqilazka
abis ditampar ditinggal sndiri d'RS pula,,suaminya super tega......penasaran kisah selanjutnya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status