Share

Hamil?

Author: Queen Mikayla
last update Last Updated: 2024-09-13 11:00:52

"Kenapa, Nona? Kenapa Nona malah terlihat sedih?" tanya Siti saat ia melihat majikannya melamun.

"Tidak kenapa-napa," jawab Aluna, ia mencoba tersenyum menyembunyikan kebingungan yang kini tengah ia rasakan. "Sebaiknya Mbak Siti pulang lebih dulu saja, aku bisa pulang sendiri."

"Oh baik, Nona. Kalau begitu, saya permisi," ujar Siti.

Aluna mengangguk, segera Siti pun ke luar dari ruangan tersebut.

Setelah beberapa saat merenung, dan merasakan kondisinya baik-baik saja. Aluna memutuskan untuk kembali ke rumah. Sebelumnya, Aluna sudah memesan taksi.

Aluna akan memberitahu suaminya bahwa dia tengah hamil. Berharap, setelah Betran mengetahuinya ya mungkin saja Betran akan berubah pikiran dan mungkin suaminya akan menarik ucapannya tersebut. ia berusaha tersenyum, berusaha untuk tenang.

Hingga tidak terasa sampai juga di halaman rumah. Setelah membayar ongkosnya, Aluna ke turun dari taksi.

Saat ia melangkah, ia memersa hatinya tidak karuan. Langkah kakinya yang gontai masuk menuju rumah.

Sesampainya di ruang tengah, ada sesuatu yang sukses membuat dirinya terkesiap.

Ya, di sofa, terlihat Betran sedang duduk berdekatan dengan Veronica.

Aluna kembali merasakan sesak di dada saat ia melihat pemandangan yang menjijikan. Melihat suami dan sahabatnya sedang berciuman, saling berpelukan tanpa sedikit pun rasa malu.

Meski tadi ia sudah mendengar pengakuan dari sang suami, nyatanya Aluna tetap berdiri kaku. "Mas..." lirihnya.

Betran dan Veronica langsung melepaskan diri. Saat menyadari kehadiran Aluna.

"Eh, Aluna."

Aluna dapat melihat Veronica tersenyum sinis sambil mengibaskan rambutnya seolah tidak terjadi apa-apa.

"Kamu sudah pulang?" Betran berdiri dari sofa, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dan menatap Aluna dengan wajah datar.

"Ya, Mas," ucapnya.

Veronica berdiri di samping Betran, melingkarkan tangannya ke lengan pria itu dengan penuh percaya diri.

"Dari mana dia, Mas?" Veronica masih tersenyum sinis.

"Tadi dia pingsan. Lalu, Siti yang mengantar dia ke rumah sakit," jawab Betran.

"Kasihan sekali, Aluna. Kamu sakit apa, Aluna?" tanya Veronica dengan nada manis yang jelas sekali dibuat-buat.

Aluna mengabaikan Veronica dan langsung menatap Betran. "Ternyata aku hamil, Mas. "

Ekspresi pria itu sedikit berubah, tetapi tidak menunjukkan ekspresi bahagia seperti yang Aluna harapkan.

"Hamil?" tanyanya.

"Ya, Mas."

Betran menarik tangannya dari genggaman Veronica dan berjalan mendekati Aluna. "Berapa bulan?"

"Enam minggu," jawab Aluna dengan suara serak, “Kita–

Betran menghela napas panjang. “Aluna, jangan bilang kamu tidak mau bercerai?” ucapnya, “Maaf, Aluna. Setelah anak itu lahir, kita tetap akan berpisah. Aku sudah memutuskan untuk menikah dengan Veronica."

Perkataan itu menghantam Aluna seperti tamparan keras.

"Mas. Jadi, anak ini tidak memiliki arti apapun?" lirih Aluna, matanya memerah.

"Ya, tentu saja," jawab Betran santai.

Veronica tertawa. "Kamu dengar, kan, Aluna? Betran itu tidak mau mengakui anakmu itu! Kau harus tahu, aku dan Betran sudah lama bersama. Sadarlah jika Kau hanya jadi penghalang. Dan aku pun masih berbaik hati membiarkan kalian berpisah menunggu bayi itu lahir. Miris sekali!"

“Kau…” Tangan Aluna mengepal. Berusaha menahan diri untuk tidak melepaskan emosinya.

"Apa kau benar-benar tidak peduli pada anak kita, Betran?" tanyanya lagi. Kali ini, menatap dalam pria itu.

Ada kerutan di dahi pria itu, tapi hanya sebentar. Betran kembali menatapnya acuh, "Ya, aku memang tidak peduli, Aluna. Setelah bayi itu lahir, kamu bisa mendapatkan apa yang kamu inginkan. Rumah, uang, apapun itu, aku akan memberikannya."

"Satu lagi, Veronica akan tinggal di sini," tambahnya.

Aluna tertegun. "Apa? Dia akan tinggal di sini? Tapi, kita belum bercerai. Bagaimana bisa kamu melakukannya?"

Betran mendengus, tidak peduli. "Toh, sebentar lagi, aku dan dia akan menikah."

Aluna menahan napas. Ia tidak menyangka, suaminya akan sekejam ini padanya. Membuang dirinya setelah Betran sudah sukses. Padahal dulu Aluna yang menemani Betran dari 0.

Bahkan, Aluna sampai merelakan tabungannya, menjual restoran kedainya untuk membantu Betran. Kala itu, perusahaan Betran diambang kebangkrutan.

"Satu lagi! Veronica akan tidur di kamar utama bersamaku!" Lanjut Betran tanpa perasaan.

"Hah?"

Bagaimana bisa ia dulu sangat mencintai pria di hadapannya ini. Sungguh, dia merasa bodoh sekali. "Tidak, Mas. Aku yang berhak tinggal di kamar utama. Bukan dia!” Aluna menunjuk sinis ke arah Veronica.

Veronica langsung tertawa kecil. "Aluna, kau terlalu naif. Betran sudah memutuskannya. Kamar utama adalah milik kita berdua sekarang. Kau bisa pindah ke kamar tamu atau kau bisa menempati kamar pembantu," ucap Veronica dengan bangganya.

Aluna merasa emosinya mulai meledak, namun ia berusaha mencoba tetap tenang. "Tidak, Veronica. Kau belum resmi menikah dengan suamiku, dan aku tidak akan membiarkanmu mengambil tempat–”

Plak!

Sebelum Aluna sempat merespons, sebuah tamparan keras mendarat di pipinya.

Aluna terhuyung ke belakang, hampir jatuh, tetapi dia berhasil menahan tubuhnya. Matanya melebar, tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

"Mas!" seru Aluna, air mata mulai menggenang di matanya. "Bagaimana bisa kau melakukan ini padaku? Kau lupa apa yang sudah aku korbankan untukmu, Mas? Kau lupa?”

Baru kali ini Betran berani main tangan. Sebelumnya, dia tidak pernah menampar Aluna.

"Sudahlah, Aluna. Jangan membuat drama di sini!" Entah sejak kapan, Ibu Mertuanya muncul. Namun, ia menatap Aluna begitu sinis. "Kau hanya menjadi penghambat. Sebaiknya kau turuti saja kemauan Betran. Dan ingat, anak yang kau kandung itu tidak berguna sama sekali. Memang sebaiknya kau pergi dari sini tanpa harus menunggu anak tak berguna itu lahir!"

Aluna menatap Kania dengan tatapan sinis. "Bagaimana bisa kau mengatakan hal seperti itu? Aku mengandung cucumu, Ma!"

“Cucuku?” Kania mendekat, menatap Aluna dari atas ke bawah. "Hanya anak di kandungan Veronica yang pantas menjadi cucuku, bukan anak yang terlahir dari rahim wanita miskin seperti kamu!" ucapnya sinis.

Aluna menggigit bibirnya, mencoba menahan tangis. Dia tahu tidak ada gunanya berbicara lagi. Betran telah berubah. Tidak ada yang berpihak padanya.

"Baik, Mas, aku akan tetap bertahan demi anak ini. Demi anak kita," ucap Aluna.

Dengan langkah gontai, dia berbalik menuju kamar tamu. Tapi sebelum itu, ia akan ke kamar utama, membereskan pakaiannya.

Sesampainya di kamar tamu, tangannya memegang perutnya dengan lembut, melindungi satu-satunya hal yang masih berharga baginya di dunia ini.

Namun saat Aluna menutup pintu, air mata yang ditahan akhirnya jatuh juga. Tidak ada lagi yang bisa ia lakukan selain berjuang untuk bayi yang sedang tumbuh dalam rahimnya.

Saat Aluna duduk di ujung kasur, ia mengambil kotak tua di kopernya. Ia menggenggam erat sebuah kotak tua yang disembunyikannya di sudut lemari beberapa hari yang lalu.

Di dalam kotak itu, ada kartu nama berwarna hitam dengan tinta emas yang mengkilap dan langsung menghubungi seseorang.

“Nona Chandra?” Suara baritone tiba-tiba terdengar dari seberang telepon. “Akhirnya kau menghubungiku!”

"Siapa sebenarnya kamu?" Tanya Aluna.

"Bagaimana kalau kita ketemu saja? Tempatnya akan saya share."

Aluna terdiam, ia tampak ragu.

"Bagaimana Nona Chandra? Apakah Anda bersedia bertemu denganku?"

"Baik! Share saja lokasinya."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pesona Istri yang Dikhianati   Kamu bukan pelakor, Aluna

    Beberapa hari kemudian. Setelah melalui proses hukum yang panjang, akhirnya hari itu tiba. Di kantor polisi, seorang petugas dengan wajah serius membuka berkas di tangannya, menatap pria yang duduk di depannya."Pak Betran," ujar petugas itu, "setelah mempertimbangkan semua bukti dan kesaksian, kami memutuskan untuk membebaskan Anda. Anda sekarang resmi bebas."Betran menghela napas panjang, seolah beban berat terangkat dari pundaknya. Ia menatap petugas itu dengan mata berkaca-kaca."Terima kasih, Pak," suaranya bergetar. "Saya benar-benar tidak menyangka akan bebas secepat ini."Di luar kantor polisi, Maria, ibu Betran, sudah menunggu dengan cemas. Begitu melihat putranya melangkah keluar, air mata kebahagiaan mengalir di pipinya. Ia berlari kecil menghampiri Betran dan memeluknya erat."Anakku, syukurlah kau bebas," isaknya. "Aku tak henti berdoa untukmu."Betran membalas pelukan ibunya dengan hangat."Semua berkat Aluna," ucapnya pelan. "Tanpa bantuan Aluna, mungkin aku masih ter

  • Pesona Istri yang Dikhianati   Bab 118

    Aluna melangkah masuk ke ruang kerjanya dengan tenang, meskipun hatinya masih sedikit panas setelah insiden dengan Ratu di parkiran tadi. Ia menghela napas pelan, mencoba mengembalikan fokusnya pada pekerjaan. Begitu ia duduk di kursinya, asistennya, Hanna, segera masuk dengan membawa tablet di tangannya. "Nyonya Aluna, sesuai jadwal, pukul sepuluh pagi nanti ada pertemuan dengan klien dari Korea Utara," lapor Hansen. "Mereka ingin menawarkan kerja sama bisnis di bidang ekspor bahan baku tekstil. Saya sudah mengatur tempat pertemuan di ruang konferensi lantai tujuh." Aluna mengangguk. "Baik, pastikan semua dokumen yang diperlukan sudah siap. Aku ingin tahu lebih detail mengenai proposal mereka sebelum pertemuan dimulai." "Saya akan segera mengirimkan berkasnya ke email Anda," kata Hansen. "Terima kasih, Hansen. Itu saja?" "Satu lagi, Nyonya," lanjut Hansen. "Saya ingin memastikan apakah Anda akan menghadiri makan siang dengan investor lokal nanti?" Aluna berpikir sejenak

  • Pesona Istri yang Dikhianati   Bab 118

    Aluna baru saja hendak membuka pintu mobil saat suara seseorang memanggilnya dari belakang. "Aluna! Tunggu!" Ia menoleh dan melihat seorang wanita tua berlari kecil ke arahnya. Kania, mantan ibu mertuanya. Wajahnya tampak lelah, ada guratan cemas di sana. Aluna menghela napas. Ia sudah bisa menebak tujuan wanita itu datang menemuinya lagi. "Tolong, Aluna..." suara Kania bergetar, matanya berkaca-kaca. "Aku mohon, bebaskan Betran... Aku tahu dia salah, aku tahu dia pantas dihukum, tapi dia tetap manusia. Dia tetap ayah dari Alva..." Aluna menegang. Ia menggenggam pegangan pintu mobil erat-erat, mencoba menahan gejolak dalam dirinya. "Kania, sudah kubilang berkali-kali, aku tidak bisa begitu saja membebaskan dia. Ini masalah hukum, bukan masalah pribadi," ujar Aluna setenang mungkin. Kania terisak. "Aku mohon, Aluna... Aku sudah tua, aku tidak sanggup melihat anakku menderita seperti ini. Dia sudah menerima kesalahannya, dia menyesal. Tolonglah, Aluna..." Aluna menatap K

  • Pesona Istri yang Dikhianati   Bab 117

    Aluna berjalan menuju kamarnya dengan perasaan yang sangat sulit ia jelaskan. Senyum kecil tak bisa ia tahan saat mengingat bagaimana Kaisar tadi mencium dan memeluknya. Rasanya begitu nyata, begitu hangat, seakan waktu tak pernah memisahkan mereka. Namun, lamunannya buyar ketika suara tangisan Baby Alva terdengar. Dengan cepat, ia mendekati ranjang bayi dan mengangkatnya ke dalam pelukannya. "Alva sayang, kenapa rewelnya?" gumam Aluna sambil mengayun-ayun pelan tubuh kecil itu. Baby Alva masih merengek, tangannya yang mungil menarik baju tidur Aluna, seolah meminta lebih banyak perhatian. "Kamu mau ditimang-timang, ya?" tanya Aluna lembut. Senyum Aluna semakin mengembang saat melihat mata kecil Alva mulai terpejam dalam gendongannya. Tapi di sisi lain, pikirannya kembali teringat pada Kaisar. Ucapannya, sentuhannya, tatapan penuh kerinduan itu. Di tempat lain, Kaisar baru saja sampai di rumah. Langkahnya santai, seolah tak peduli dengan siapa yang mungkin sedang menunggun

  • Pesona Istri yang Dikhianati   Bab 116

    Tok! Tok! Tok!Aluna yang sedang duduk di tepi ranjang langsung menoleh ke arah pintu. "Nona, ada tamu," suara pelayan terdengar dari luar. "Siapa?" tanyanya sambil bangkit. "Tuan Kaisar, Nona," jawab pelayan dengan nada hati-hati. Aluna terdiam sejenak. Rasanya tak percaya Kaisar datang ke sini, ke mansionnya, setelah semua yang terjadi. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan perasaannya sebelum akhirnya melangkah keluar dari kamar. Saat sampai di ruang tamu, sosok Kaisar sudah berdiri di sana. Pria itu mengenakan kemeja putih dengan lengan digulung, tampak santai tapi tetap berwibawa. Tatapannya langsung tertuju pada Aluna begitu ia muncul. "Aluna," panggil Kaisar pelan. Aluna tidak langsung menjawab. Ia hanya berdiri di dekat tangga, menjaga jarak. Kaisar tersenyum kecil, lalu melangkah mendekat. "Aku datang untuk berterima kasih." Aluna mengangkat alis. "Untuk apa?" "Untuk semuanya," ujar Kaisar. "Untuk mengurus Amartha selama aku tidak ada, untuk tetap me

  • Pesona Istri yang Dikhianati   Bab 115

    Beberapa bulan kemudian. Aluna duduk di ruang kerjanya, menatap layar laptop yang menampilkan berita terbaru. Hampir semua portal bisnis dan ekonomi membahas satu hal yang sama—kembalinya Kaisar Amartha sebagai pemimpin perusahaan Amartha. Tak hanya itu, ada juga berita yang membahas kehidupan pribadinya, terutama soal pernikahannya dengan Ratu. Beberapa foto tersebar di media—Ratu dengan perut yang mulai membesar, Kaisar yang berdiri di sampingnya dengan ekspresi dingin, dan wawancara singkat tentang bagaimana mereka akan membangun masa depan bersama. Aluna tersenyum miris. "Jadi ini akhirnya," gumamnya pelan. Ia tidak terkejut. Sejak awal, ia tahu Kaisar akan kembali ke posisinya. Yang membuatnya sedikit tercekat adalah kenyataan bahwa dunia melihat Kaisar dan Ratu sebagai pasangan yang sempurna, sementara dirinya hanya seorang mantan yang harus puas menyaksikan dari jauh. Pintu ruangannya tiba-tiba diketuk. "Nona Aluna," suara Hansen terdengar dari balik pintu. "Masuk

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status