"Kenapa Uda? Uda ... Uda percaya jika aku mencuri?" tanya Laila menatap mata bosnya."Tidak La. Saya yakin kamu bukan pencuri!" jawabnya tegas."Lalu? Kenapa Uda berbicara seperti itu. Saya masih bekerja disini kan?" tanya Laila berharap sangat bosnya tidak menghukumnya."Saya minta maaf La. Saya tidak bisa menahanmu disini. Saya takut La, warung kecil saya ini bermasalah dengan keluarga Bu Anggraini. Kamu tahu bukan bagaimana kekuasaannya besar di daerah ini?" tanya Uda Ridho."Iya Uda," jawab Laila lemas."Itu sebabnya saya tidak bisa mempertahankan kamu disini. Saya harus mengambil sikap tegas untuk kamu, semua ini bukan keinginan saya La. Tapi, saya masih butuh warung ini untuk menghidupi anak istri saya," jawab Uda sedih.Laila terdiam. Ia sadar, Uda Ridho takkan bisa membantunya. Justru Laila kasian karenanya Uda Ridho harus berurusan dengan manusia jahat itu."Baiklah Uda. Saya ikhlas jika memang saya harus dipeca
"Ya Allah kenapa aku melakukan itu!" sesal Laila.Didalam gubuk kehidupannya, Laila mondar-mandir kesana-kemari tak tenang, pasalnya ia baru saja melakukan tindakan kejahatan kepada Zidan. Sebenarnya Laila belum tahu pasti apakah keluarga Zidan yang membuat ia dipecat? Atau hanya kebetulan saja, semua itu diluar pikirannya. Bagi Laila, keluarga Zidan sering menyakiti hatinya, maka dari itu ia berpikir mungkin semua yang terjadi oleh tangan keluarga itu. Laila menyesal seharusnya ia bisa mengendalikan diri untuk tidak melukai Zidan."Laaaa, kamu kenapa?" tanya Bu Susi. Sejak tadi ia memperhatikan putrinya mondar-mandir tak tentu arah, ada gurat kecemasan yang terpancar dari wajah cantik itu. Namun tidak bisa dibohongi olehnya.Sejak kedatangan putrinya pulang, Laila diam saja. Bahkan, ia tak tenang seperti tengah memikirkan sesuatu. Bu Susi mencoba mendekati putrinya, menanyakan apa yang terjadi."Ibuuuuu. Tolong Laila Bu," luruh air mata Laila di pelukan sang ibu. Ia tak kuasa menaha
Seketika itu, kedua anggota polisi itu mendekati Laila."Anda harus ikut kami. Mempertanggung jawabkan perbuatan Anda!" ucap salah satu anggota polisi dengan tegas."Jangan Pak! Anak saya tidak mungkin melakukan itu!""Jangan Pak. Putri saya tidak mungkin melakukan itu, huhuhu," isak tangis Bu Susi terdengar pilu."Bawa dia Pak!" teriak Jonathan lagi. Menyuruh kedua polisi itu membawa Laila.Tanpa basa-basi, keduanya langsung memborgol Laila dan membawanya ke kantor polisi. Kedua orang tua Laila terus memohon agar putrinya tidak dibawa. Namun, kedua polisi itu seakan tak memperdulikan. Laila terus digiring sampai ke mobilnya."YaAllah itu si Laila kenapa?""Kasian anak itu, hidupnya tambah susah.""Iya. Kasian sekali."Warga penduduk memandang iba pada kejadian sore ini, ada yang mendekati Bu Susi dan pak Anton untuk menenangkan. Ada juga yang hanya memandang iba tanpa melakukan apapun.
"Cerita Nak. Ada apa? Kenapa kamu bisa sampai dituduh seperti itu?" tanya Anton yang memang penasaran dengan kejadian yang sebenarnya. Anton yakin apa yang dituduhkan tidak benar.Laila melepas pelukannya, ia mulai menceritakan semua yang terjadi padanya. Kali ini, Laila sudah lebih tenang dan bisa menceritakan semua tanpa ketakutan."Ya Allah. Kenapa kamu melakukan itu?" tanya Susi syok. Pak Anton hanya bisa diam, ia bingung meski bersikap seperti apa. Ia sendiri geram saat mengetahui jika Laila dipecat ulah keluarga sombong itu lagi. Entah kenapa mereka tak henti-hentinya menyakiti Laila. Padahal Laila sudah mereka campakkan. Apalagi yang mereka inginkan setelah putrinya sudah hancur justru masih disiksa."Ayah akan cari cara untuk membebaskan kamu.""Bagaimana caranya Yah?" tanya Susi."Laila ikhlas Yah, Bu. Titip Fatih. Jangan biarkan dia kurang kasih sayang," ucap Laila tertegun. Ia terbayang wajah putra semata wayangnya.
"Bu, pagi ini kita akan kedatangan sahabat lama Ayah. Dia Pak Rudi namanya, rumahnya di kota, kebetulan ia datang kesini untuk menjenguk anaknya. Hari ini, Ayah ada janji dengan Pak Rudi juga," terang Anton."Untuk apa Ayah bertemu Pak Rudi?" tanya Susi masih belum paham."Lho, kok Ibu tanya lagi. Ayah 'kan sudah bilang akan menjual rumah ini untuk membebaskan Laila Bu.""Jadi kita beneran akan jual rumah ini Yah?" tanya Susi masih belum tak percaya dengan niatan suaminya."Beneran Bu. Tidak ada cara lain. Rumah dan tanah belakang rumah kita ini harta satu-satunya yang bisa menolong Laila!""Apa tidak ada cara lain Yah? Lantas jika rumah ini dijual, kita akan tinggal dimana?" tanya Susi."Itu akan kita pikirkan lagi. Hari ini Ayah mohon, beli makanan terbaik untuk menjamu sahabat Ayah. Semoga dia mau membeli gubuk kita ini," ucap Anton menelisik rumahnya secara bergantian. Ada bulir bening yang keluar dari matanya. Ia tak menyangka rumah yang sudah menjadi saksi hidupnya itu, akan ia
"Bu, sudah siap?" tanya Anton."Sudah Yah. Mari kita berangkat sekarang," ajak Susi."Iya Bu. Ra, seperti biasa Ayah dan Ibu titip Fatih yah. Kita mau bebaskan Mbak-mu," ucap Anton."Iya Yah. Kalian hati-hati, semoga Mbak Laila cepat bebas," jawab Rara dengan bijak. Meski umurnya belum genap dua belas tahun. Tapi ia sudah bisa berpikir dewasa.Kedua orang tua itu pantas berangkat menuju kantor kepolisian. Namun hari ini tidak seperti biasa ia berangkat dengan sepeda tuanya. Melainkan memakai kendaraan umur agar cepat sampai. Setelah sampai kantor polisi, seperti biasa mereka melontarkan keinginan mereka menjenguk dan juga membebaskan Laila dengan uang jaminan."Bagaimana Pak. Apa bisa anak saya bebas?" tanya anton penuh harap."Bisa Pak. Namun biayanya cukup besar," jawab salah seorang anggota."Tidak masalah bagi saya. Yang penting anak saya bebas," jawab Anton tegas dan penuh keyakinan.Akhirnya proses pembebasan Laila pun berjalan cukup baik. Tidak ada hambatan atau kesulitan. Ua
"Fitri, ini saya titip untuk Ayahmu karena pernah meminjam uangnya saat membawa Fatih berobat waktu itu," sodor Anton memberi beberapa uang lembar berwarna biru pada Fitri, anak dari pak Kasman."Tidak usah Pak. Biarkan saja, saya akan bilang Ayah saya untuk mengikhlaskannya," tolak Fitri."Tidak Nak. Terimalah, saya sudah bersyukur Pak Kasman mau membantu saya saat itu. Disaat orang-orang acuh, beliau saja yang mengulurkan tangannya untuk membantu kami. Tolong terimalah," pinta Anton lagi."Tapi ...""Terimalah Fitri. Hutang tetaplah hutang, aku mohon." Kali ini Laila yang berucap.Mau tidak mau Fitri tak bisa menolak, ia lantas menerima uang itu dengan terpaksa. Meski sebenarnya Fitri kasian kepada keluarga Laila, mereka pasti lebih membutuhkan uang itu untuk kelangsungan hidupnya setelah ini. Namun, Fitri tak bisa berbuat apa-apa. Menolak pun segan baginya, karena takut keluarga Laila tersinggung jika terus ditolak. Fitri menyimpan uang itu di saku celananya dan terus membantu meng
Dikediaman yang megah bak istana dongeng, Anggraini tengah mengepal tangannya penuh amarah. Bola matanya bergerak kesana-kemari, seakan amarah itu tengah menggerogoti hatinya."Brengsek! Berani sekali jalang itu pergi dari kampung ini. Dan ... Aarrrrghhh!" Ia berteriak bak kesetanan dirumahnya itu. Membuat penghuni lainnya berlari ke arahnya."Ada apa sih Ma! Kenapa teriak-teriak!" tanya Fernando yang baru keluar dari kamarnya."Bukan urusan kamu! Lebih baik Papa masuk aja ke kamar! Jangan buat amarahku meradang!" teriaknya, menatap Fernando sinis.Fernando hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dengan sikap sang istri. Ia berjalan kembali memasuki kamarnya."Kemana perginya si jalang itu! Aku ngga bisa diam aja. Padahal kemarin baru aja aku merasa senang karena si jalang itu mendekam di penjara. Tapi aku ceroboh dan bodoh! Dia bisa-bisanya bebas dari sana!" ucapnya geram. Tangan masih mengepal menampakan buku-buku di jemari putih nan lentik itu. Yang setiap hari ia rawat di salon kecan