Home / Romansa / Pesona Panas Sang CEO / BAB 7 : KETAKUTAN DAN RASA PENASARAN

Share

BAB 7 : KETAKUTAN DAN RASA PENASARAN

Author: NightEve
last update Last Updated: 2025-03-19 13:00:58

Siang itu, kantin perusahaan tampak ramai karena banyak karyawan menikmati waktu istirahat mereka. Anessa dan Rena duduk di sudut ruangan, tempat favorit mereka.

Tetapi, entah mengapa pikirannya melayang entah kemana. Sampai nasi yang ada di piringnya dibiarkan dingin dan tangannya sibuk menganduk minuman tanpa berniat meminumnya.

Rena meliriknya sekilas penuh keheranan melihat sikap Anessa yang terlihat murung dari pagi. "Kamu gak apa-apa kan, Nes? Dari tadi diam aja. Kayak orang lagi nelen masalah besar aja."

Anessa menghela napas, lalu tersenyum. "Aku tidak apa-apa, Ren. Cuma kurang tidur aja."

"Apa ini ada hubungannya dengan Pak Edward?" tebak Rena tajam.

"Enggak, ini gak ada hubungannya dengan Pak Edward, Ren," jawab Anessa.

"Masa sih?" tanya Rena penuh kecurigaan. "Aku tadi lihat kamu keluar dari ruangannya lho."

Mata Anessa membelalak kaget, ternyata ada orang yang melihatnya. Tapi, bukankah wajar jika seorang karyawan masuk ke ruangan atasannya. Mungkin saja masalah pekerjaan atau hal penting.

Ia lalu menundukkan kepalanya, berusaha menutupinya. "Lihat wajah kamu aja, aku udah tahu. Dia ngapain lagi? Aku tahu dia itu orangnya licik," lanjut Rena bernada pelan.

Saking terngiang-ngiangnya kata-kata Edward di ruangan tadi masih terngiang di kepalanya, ia tidak memperhatikan perkataan Rena.

Cara pria itu berbicara, nada suaranya yang tenang tapi menusuk, seolah sengaja ingin mengacaukan pikirannya.

"Hei, Nessa. Aku ini ngomong sama kamu lho," kata Rena menyadarkan Anessa yang cepat melamun.

"Iya, maafkan aku, Rena," kata Anessa.

"Iya gak apa-apa. Sepertinya kamu akan tertekan karena dia," kata Rena berusaha memahami.

"Aku nggak ngerti mau dia itu apa," gumannya.

"Dia memang enggak bisa ketebak, Nes. Harusnya kamu berhati-hati dengan dia," ujar Rena.

Anessa mengangguk pelan dan kembali memikirkan maksud perkataan Edward.

===

Setelah istirahat siang berakhir, Anessa kembali ke ruangannya. Namun, belum sempat ia benar-benar fokus pada pekerjaannya, ponselnya di mejanya berbunyi.

Menampilkan nama panggilan yang nomornya tidak Anessa ketahui sejak kapan ada di kontak ponselnya.

["Masuk ke ruangan saya sekarang."]

Belum sempat Anessa menjawab, Edward langsung mengakhiri panggilan tersebut. Jantung Anessa kembali berdebar. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuatnya gelisah. Meski berat, dia tetap melangkah menuju ruangannya.

Begitu masuk ke dalam, pintu di belakangnya tertutup rapat. Edward menarik tangannya lalu memeluknya erat, menatapnya dengan ekspresi yang sulit dibaca.

"Apa kamu sakit? Wajahmu sejak tadi kelihatan pucat," kata Edward berubah khawatir.

"Apakah atasanku ini orang yang normal?" tanya Anessa dalam hati penuh tanda tanya.

Anessa mendorongnya pelan, menegaskan batasan mereka sekarang dan sedang ada dimana mereka. "Maaf, Pak Edward. Ada apa memanggil saya kemari ya?" tanya Anessa canggung.

Edward tersenyum kecil, lalu perlahan berjalan menuju meja dan berbalik memberikan sebuah kantung berisikan beberapa vitamin dan obat.

Tatapan matanya tajam, penuh intensitas yang membuat Anessa mau tak mau harus menerimanya. "Ini diminum obatnya ... aku gak tahu kamu sakit apa. Aku harap ini membantu," ungkap Edward memanggilnya kemari.

Dengan tangan sedikit gemetar, Anessa menerima kantung itu. "Terima kasih atas perhatiannya, Pak Edward. Karena telah mengkhawatirkan keadaan saya."

Namun, gerakan Edward semakin mendekat. Dengan santai, ia melonggar dasi di lehernya, lalu melepas jasnya, melemparnya ke sofa yang tidak jauh dari mereka berdiri.

"Pak?" panggil Anessa yang refleks mundur ke belakang.

"Tahu nggak, Anessa?" suaranya terdengar rendah, penuh tekanan. "Aku suka melihat ekspresi kamu saat merasa terpojok."

Anessa menegang. "Pak Edward, ini tidak pantas."

Pria itu terkekeh pelan, lalu mencondongkan tubuhnya lebih dekat. "Kenapa? Kamu takut?"

Anessa menggigit bibir, mencoba mempertahankan kewaspadaannya. Edward tidak menyentuhnya, tapi gerakan dan tatapannya cukup untuk membuat napasnya tercekat.

Menurutnya, pria itu ingin memancingnya, menguji seberapa lama dirinya bisa bertahan sebelum kehilangan kendali.

Dengan hati-hati, jari tangan Edward menyentuh sudut bibir Anessa. Seketika, tubuh Anessa menegang, refleksnya memejamkan mata, seolah bersiap menghadapi sesuatu yang tak terduga.

Satu detik, dua detik, tiga detik berlalu, tidak ada terjadi. Ia perlahan membuka matanya dan melihat Edward yang menatapnya heran.

"Ada sisa saus di sudut bibirmu," katanya. Anessa langsung menyentuh sudut bibirnya.

Edward menyipitkan matanya, lalu tersenyum kecil, "Kamu boleh pergi sekarang."

Tanpa berkata apapun, Anessa segera keluar dan berlari menuju ruangannya. "Ada-ada saja, tidak mungkin aku mau melakukannya disini, Anessa," gumam Edward kembali duduk sambil tersenyum.

Anessa berjalan cepat menuju ruangannya, dadanya masih terasa sesak akibat pertemuannya dengan Edward.

Tangannya menggenggam kantung kecil berisi vitamin dan obat yang tadi diberikan pria itu. Dia menatap benda itu dengan ekspresi campur aduk, antara bingung, kesal, dan ... sedikit tersentuh.

Ia menggeleng cepat kepalanya, "Tidak, Anessa. Jangan terpengaruh," gumamnya pada diri sendiri, buru-buru memasukkan kantung itu ke dalam laci.

Dia menghela napas panjang, mencoba mengalihkan pikirannya kembali ke pekerjaan. Namun, pikirannya masih dipenuhi oleh sosok Edward. Tatapan tajamnya. Cara dia berbicara. Dekatnya jarak di antara mereka barusan, membuatnya tidak bisa berpikir jernih.

Anessa meremas jemarinya, merasa frustrasi dengan dirinya sendiri. "Kenapa harus bereaksi berlebihan? Itu hanya trik liciknya!" katanya dalam hati.

Belum sempat dia benar-benar fokus, suara notifikasi ponselnya kembali berbunyi. Sebuah pesan dari Edward.

["Jangan lupa minum obatnya. Aku tidak mau melihatmu lemas saat bekerja."]

Anessa memelototi layar ponselnya, lalu menaruhnya kembali di meja dengan kasar.

"Apa maunya pria itu, sih?" gerutunya kesal.

Seakan semesta tidak membiarkannya tenang, pintu ruangannya terbuka sedikit. Rena mengintip dengan tatapan penuh kecurigaan. "Jujur ... aku yakin tadi kamu dipanggil sama dia lagi. Ngapain aja?" tanyanya sambil masuk dan duduk di kursi depan meja Anessa.

Anessa ragu sejenak, lalu menggeleng. "Nggak ada yang aneh. Dia cuma ... kasih file dokumen untuk aku periksa."

Rena menatapnya curiga. "Cuma itu?"

Anessa mengangguk, tidak ingin membahas lebih jauh. "Oke, baiklah ... " jawab Rena kembali duduk di kursinya. Anessa menghela nafas, memikirkan bagaimana nasibnya untuk hari-hari ke depan, belum lagi keluarganya.

"Aku benar-benar bingung," katanya dalam hati.

Anessa menghela napas panjang, mencoba menenangkan debaran jantungnya. Namun, pikirannya tetap berputar-putar, terjebak dalam kebingungan antara ketakutan dan rasa penasaran terhadap Edward.

Ia kembali membuka lacinya dan menatap kantung obat sekali lagi sebelum menutupnya dengan cepat.

Kenapa dia repot-repot peduli?

Di luar, suara obrolan rekan kerja samar-samar terdengar, tapi rasanya seperti dunia Anessa hanya berisi dia dan bayang-bayang Edward saja hari ini.

Ponselnya bergetar lagi. Pesan dari Edward.

["Jangan berpikir terlalu banyak. Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja."]

Anessa menggigit bibir bawahnya. Ia hanya membaca tanpa membalasnya. Dan dari mana pria itu tahu semuanya? Apakah ia bisa membaca pikiran?

Satu hal yang pasti, Edward adalah badai yang sulit dihindari.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pesona Panas Sang CEO   BAB 34 : TIDAK SUKA AKU

    Edward memijat pelipisnya yang terasa berdenyut. Perdebatan dengan Ayahnya sangat menguras energi dan pikirannya. Edward tidak pernah memahami, mengapa Ayahnya begitu keras kepala dalam urusan ini. Padahal Edward hanya ingin menjalankan perusahaan dengan profesional. "Ayah, Pak Harto itu sudah tidak bisa bekerja seperti dulu. Beliau sendiri pernah bilang ingin menghabiskan waktu dengan cucunya," kata Edward menjelaskan ulang. Namun, Samuel tidak peduli. Pria paruh baya itu tetap bersikeras agar Edward memperkerjakan Pak Harto kembali dan menggantikan Anessa dari posisi sebagai sekretaris pribadi.Menurut Samuel, wanita muda seperti Anessa tidak cukup pantas berada di posisi strategis perusahaan."Menurut Ayah, dia terlalu muda ... terlalu kaku, bukan orang yang bisa dipercaya di lingkungan bisnis," kata Samuel dingin. Perkataan itu menusuk hati Edward. Ia tahu maksud Ayahnya, bahwa dia tidak menyukai Anessa, tapi juga menilainya tanpa memberi kesempatan dalam kapasitas diri. Berka

  • Pesona Panas Sang CEO   BAB 33 : DESAS-DESUS BARU

    Pagi ini Edward selesai merapikan penampilannya di depan cermin. Kemeja putih yang disetrika rapi dipadukan dengan jas hitam klasik dan menyemprotkan sedikit parfum, membuat aura profesionalnya semakin memancar keluar. Ia mengambil kunci mobil, lalu melangkah keluar dari apartemennya, berjalan menuju unit Anessa. Anessa yang sudah siap menunggunya di depan pintu dengan senyum hangat dan sebuah tas bekal di tangannya. "Sarapan dan bekal spesial, untuk orang yang spesial," kata Anessa menyodorkan tas bekal itu kepada Edward. "Salad, buah, terus nasi ayam tim, dan telur dadar spesial," jelas Anessa. Edward tersenyum kecil, menerima tas bekal itu, lalu menggenggam tangan Anessa dengan lembut, "Terima kasih. Kamu tahu aja cara membuat hariku terasa sempurna," kata Edward. "Tentu saja, bisa," jawab Anessa semakin mengeratkan genggaman tangannya. Tanpa memperdulikan orang yang berlalu-lalang, mereka lewati lorong apartemen, mereka berjalan bergandengan tangan menuju parkiran. N

  • Pesona Panas Sang CEO   BAB 32 : TERLALU BERKESAN

    Hujan turun pelan membasahi trotoar kota yang mulai lenggang. Di bangku panjang yang berdiri di bawah lampu jalan, Andren duduk membisu. Jaket hitam yang dipakainya, basah kuyup menempel di tubuhnya. Ia menunduk, membiarkan setetes air hujan menelusuri wajahnya, menyatu dengan emosi yang menbanjiri dadanya.Di tangannya tergenggam botol minuman keras yang hampir habis. Rasanya pahit, namun tidak sepahit kenyataan yang harus ia teguk malam ini.Edward.Nama itu terus terngiang dalam benaknya. Nama orang yang seharusnya tidak muncul dalam hidupnya. "Anessa ... semua ini terjadi karena dia," bisik Andrean nyaris tidak terdengar.Perlahan, potongan-potongan kejadian mulai terangkai dari banyaknya informasi yang ia ketahui. Anessa meninggalkan rumah, tinggal di tempat yang kini jauh lebih mewah, jabatan barunya yang begitu cepat, semuanya masuk akal. Dan semua itu mengarah pada satu orang.Edward. Rasa iri menyelinap seperti duri di bawah kulit, dengan rasa pedih yang begitu menyiksa. Ed

  • Pesona Panas Sang CEO   BAB 31 : CUMA TAKUT

    Anessa duduk di sebrang Edward dalam sebuah restoran kecil yang suasananya tenang, namun hatinya tidak seiring suasana sekitar.Wajahnya terlihat lesu, matanya redup, seolah pikirannya masih terjebak pada masalah yang seakan punya kejutan di hari esok.Tatapan kosongnya menatap meja makan, bahkan sudah lima belas menit berlalu, daging steak di depannya masih terlihat sepenuhnya utuh. Sejak ia terbangun dari tidur siang tadi, pikirannya tidak berhenti memikirkan Shera. Ia yakin, masalah itu sudah menyebar di perusahaan. Bukan cuma ia dan Edward saja yang tahu, ada seseorang bahkan lebih yang ikut memperkeruh suasana. Edward menatap Anessa dengan khawatir. Ia tidak pernah melihatnya setenang itu dalam artian yang negatif. Diam-diam ia mengulurkan tangan dan menyentuh jari Anessa, mencoba mengalihkan pikirannya. "Nggak nafsu makan, ya? Mau aku pesankan yang lain?" tanya Edward pelan. Anessa hanya menggeleng kecil tanpa suara, Edward yang tidak mengerti hanya tersenyum kecil. Edward me

  • Pesona Panas Sang CEO   BAB 30 : DIBLOKIR

    Dulu, Shera adalah gadis biasa yang duduk di samping Anessa sewaktu duduk di bangku SMP. Mereka bersahabat, tapi dalam hatinya, Shera tahu bahwa dunia lebih condong pada Anessa.Anessa dikenal sebagai siswi yang cerdas, cekatan, dan selalu punya jawaban untuk semua pertanyaan guru. Sementara Shera, meskipun ia mencoba, seringkali terlambat dalam memahami pelajaran dan sering gugup saat bicara di depan kelas.Dalam hening pikirannya, Shera menyadari bahwa ia bukan pemeran utama dari kisah hidup setiap peristiwa yang terjadi di sekolah. Bahkan gurunya sendiri lebih mengapresiasi tugas yang diselesaikan oleh Anessa, ketimbang dirinya."Anessa, kamu luar biasa!""Anessa, Ibu nanti mau daftarin kamu ikut lomba cerdas cermat buat mewakili sekolah kita, ya.""Anessa, tolong bantu Shera. Mungkin ada bagian yang tidak dimengerti olehnya."Kalimat itu terekam jelas dalam ingatannya dan semakin sering terdengar, semakin samar keberadaan dirinya di dalam kelas. Tapi ada di saat-saat di mana She

  • Pesona Panas Sang CEO   BAB 29 : MELEWATINYA BERSAMA-SAMA

    Anessa menggigit bibirnya keras saat tubuh Edward terus menghantamnya dari belakang, satu tangannya menahan kepala ranjang, dan tangan satunya lagi mencengkeram pinggang Anessa erat."Lihat aku, Anessa ... " suara Edward terdengar berat, penuh hasrat. "Aku mau lihat wajahmu pas ngerasain semua ini."Edward menarik rambut Anessa lembut hingga wajah mereka berhadapan lewat pantulan cermin besar di sisi ranjang. "Kamu lihat itu" bisiknya dengan senyum setan. "Kalung itu ... jadi saksi gimana kamu jadi milikku malam ini."Anessa hanya bisa mengangguk lemah, napasnya putus-putus. Tubuhnya sudah tidak mampu lagi menolak tiap gerakan Edward yang semakin dalam dan cepat. Rintihannya tumpah tanpa bisa dikontrol."Ahh Edward ... cukup ... " Desah Anessa sambil memejamkan matanya, kenikmatan.Di balik rintihannya, Anessa tahu bahwa ia tidak lagi bisa menyangkal perasaannya pada Edward. Ini lebih dari sekadar kenikmatan fisik.Tidak lama, Edward membalik tubuhnya, menarik Anessa dalam pelukannya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status