Di perusahaan, Anessa sedang duduk di mejanya dengan pandangan kosong. Otaknya masih berusaha mencerna kejadian semalam. Tidak mungkin atasannya dengan begitu mudah mau melakukan hal seperti itu pada karyawannya sendiri.
Tapi, apa boleh buat jika sudah sama-sama nafsu? Ditambah lagi dengan wajah Anessa yang begitu pucat dan sangat kelelahan. Anessa akui untuk pengalaman pertama melakukan hal seperti itu, Edward cukup perkasa sampai membuatnya kewalahan. Sampai ia sendiri tidak ingat, mereka selesai jam berapa. Ciuman itu, sentuhan itu, tatapan Edward pagi tadi. Membuat napasnya tercekat setiap kali pikirannya berputar kembali ke momen yang seharusnya tidak pernah terjadi. Kepalanya berdenyut pelan, entah karena kelelahan atau karena emosinya yang masih berantakan. "Anessa!" Suara kepala divisi menyadarkannya. Anessa tersentak dan buru-buru menoleh. "Eh? Iya Pak?" "Kalau sakit, jangan masuk kerja!" bentak sang kepala divisi sambil membanting dokumen ke meja Anessa. "Baik Pak, saya akan berusaha berkonsentrasi dengan pekerjaan saya," jawabnya pelan. Kepala divisi mengangkat alis tetapi tidak bertanya lebih jauh, lalu kembali sibuk dengan pekerjaannya. Anessa menarik napas dalam dan mencoba fokus, tapi pikirannya terus berlari ke arah Edward. Bagaimana pria itu menatapnya pagi tadi sebelum ia kabur. Ada sesuatu di matanya yang tidak bisa ia artikan? Tapi, apakah Edward juga merasakan hal yang sama? Atau itu hanya dirinya saja yang terlalu terbawa perasaan? Sementara itu, di ruangan luas di lantai atas, Edward duduk di belakang meja kerjanya dengan ekspresi datar. Matanya terpaku pada layar ponselnya, mengamati CCTV perusahaan yang menampilkan Anessa di mejanya. Dia tahu betul bahwa Anessa tidak fokus hari ini. Tatapannya kosong, tangannya bahkan beberapa kali berhenti mengetik tanpa sadar. Edward menyesap kopinya perlahan, tetap mengawasi layar. Apakah dia menyesalinya atau terlalu lelah? Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari asistennya. ["Meeting dengan investor jam 1 siang. Anda ingin saya siapkan dokumen?"] ["Siapkan. Dan panggil Anessa ke ruanganku dalam 10 menit."] Ia meletakkan ponselnya dan menatap layar CCTV sekali lagi, sudut bibirnya terangkat tipis. Dia ingin melihat bagaimana Anessa bereaksi saat bertemu dengannya hari ini. TING! Anessa terlonjak kecil ketika layar komputernya menampilkan notifikasi. Sebuah pesan masuk dari asisten Edward. ["CEO ingin Anda ke ruangannya dalam 10 menit."] Tangan Anessa gemetar saat membaca pesan itu. Jantungnya berdegup lebih cepat dari sebelumnya. Sejak pagi ia sudah berusaha menghindari kemungkinan bertemu Edward, tapi ternyata pria itu justru memanggilnya. Ia menggigit bibir, mencoba berpikir jernih. Haruskah ia menolak dengan alasan pekerjaan? Tidak, itu tidak mungkin. Alasan seperti itu tidak akan masuk akal, apalagi pesan itu datang dari seorang sekretaris CEO. "Anessa?" panggil Rena yang kelihatan mengkhawatirkan Anessa sedari tadi. "Kamu kenapa sih? Dari tadi bengong terus. Kamu ada masalah ya? Coba cerita sama aku." Anessa menelan ludah, mencoba tersenyum. "Nggak apa-apa. Aku cuma kurang tidur." Rena mendesah pelan. "Kamu harus jaga kesehatan. Kerja boleh, tapi jangan sampai nyusahin diri sendiri. Kalau nanti kamu sakit, siapa yang susah? Kan kamu sendiri yang susah. Nanti siang aku beliin makan ya, kamu mau makan apa?" Anessa hanya mengangguk tanpa benar-benar mendengarkan nasihat itu, "Aku mau makan nasi pakai ayam goreng aja deh." "Baiklah kalau begitu, nanti aku belikan. Aku pergi fotokopi berkas dulu, nanti jam 12 aku membelinya," kata Rena tersenyum lalu pergi meninggalkan kursinya. Anessa kembali membalasnya dengan mengangguk. Sekarang, pikirannya hanya terfokus pada Edward. 10 Menit Kemudian Anessa berdiri di depan pintu ruangan CEO. Tangannya yang dingin mengepal di sisi tubuhnya, hatinya berdebar kencang. "Tarik napas, Anessa. Tenang ..." gumamnya dalam hati. Setelah menarik napas dalam, ia mengetuk pintu dua kali. "Masuk." Suara Edward terdengar dari dalam. Dalam sekejap, suara itu saja sudah cukup untuk membuat perutnya terasa mual sehabis jalan jauh. Anessa menarik nafas sebanyak-banyaknya. Kemudian ia membuka pintu perlahan dan melangkah masuk dengan penuh kehati-hatian. Dan pintu mulai tertutup di belakangnya, meninggalkan mereka berdua dalam ruangan yang hanya diterangi cahaya dari jendela besar di belakang Edward. Kakinya tiba-tiba membeku di tempat. Pria itu duduk di kursinya dengan ekspresi dingin, tetapi matanya tajam, mengunci gerakan Anessa begitu ia berdiri di depan meja. "Duduk," perintahnya singkat. Anessa berjalan mendekat dan menuruti tanpa berkata-kata. Tangannya semakin kuat mengepal di pangkuannya, berusaha menenangkan dirinya sendiri. Edward sendiri berusaha menyembunyikannya tawanya dibalik wajah datar, karena melihat baru kali ini Anessa gemetar ketakutan. "Sial, kenapa tatapan itu membuatnya gugup?" kata Anessa dalam hati sambil agak tertunduk. Beberapa detik berlalu dalam keheningan. Edward tidak langsung bicara, hanya menatapnya dengan intens. "Apa kau menyesal?" tanya Edward seketika memecah keheningan. Pertanyaan itu menghantamnya begitu saja. Anessa langsung mengangkat wajah, menatap Edward dengan mata terbelalak. "Apa?" tanyanya, seakan tidak yakin dengan apa yang baru saja ia dengar. Edward menyandarkan tubuhnya ke kursi, ekspresinya tetap sulit ditebak. "Kejadian semalam ... apa kau menyesalinya?" tanyanya pelan. Anessa terdiam. Pertanyaan itu terlalu langsung, terlalu menusuk. Ia kembali menundukkan kepalanya dan mulai berpikir. Jika, menjawab 'iya' berarti ia menolak perasaan yang kini campur aduk dan sangat sulit dijelaskan dalam dirinya. Tapi, jika ia berkata 'tidak' ... Edward bangkit dari kursinya dan berjalan mendekat, menunggu jawaban yang akan keluar. Anessa menghembus kasar nafasnya, "Aku ... " Ia menutup matanya sejenak, lalu kembali mengangkat kepala dan menatap Edward yang sudah berdiri di depannya. "Aku tidak tahu." Sontak Edward mengangkat alisnya, bukan jawaban itu yang ingin ia dengar. "Tidak tahu?" tanya Edward. Anessa menggigit bibirnya, merasa frustasi dengan perasaannya sendiri. Haruskah ia mengatakan yang sejujurnya padahal dirinya masih bingung. "Aku hanya ... aku tidak tahu harus bilang apa" Keheningan kembali mengisi ruangan, membuat Anessa semakin gugup. "Kalau begitu ... biarkan aku mencari membantumu mencari tahu," kata Edward mengangkat perlahan dagu Anessa. Anessa menahan napas sesaat. Ia sudah menduga sejak awal melangkahkan kaki ke ruangan ini, hidupnya mulai tidak aman. Ia dapat merasakan dengan jelas hawa panas dari nafas Edward, membuat jarak diantara mereka terasa sempit. "Aku tidak tahu apa yang kamu maksud, Pak Edward," jawab Anessa mencoba menjaga profesionalitasnya. Edward menyunggingkan senyum miring nan tipis. Tatapannya begitu tajam dan dalam, seolah mencari tahu lebih apa isi pikiran Anessa. "Aku akan memberimu waktu untuk memikirkannya," katanya lalu mendekati telinga Anessa. "Tapi satu hal yang harus kamu tahu ... aku tidak akan berpura-pura." Anessa yang mendengar itu langsung mengalihkan pandangannya dan beranjak dari tempat duduk. Ia harus segera pergi, sebelum keadaan semakin diluar kendali. "Saya mengerti, Pak Edward. Kalau tidak ada hal yang lain, saya akan kembali bekerja." "Tidak ada," jawab Edward kembali menatapnya beberapa detik lalu mempersilahkan Anesaa keluar dari ruangannya. "Lama-lama bisa gila aku," gumam Anessa mengatur nafas.Edward memijat pelipisnya yang terasa berdenyut. Perdebatan dengan Ayahnya sangat menguras energi dan pikirannya. Edward tidak pernah memahami, mengapa Ayahnya begitu keras kepala dalam urusan ini. Padahal Edward hanya ingin menjalankan perusahaan dengan profesional. "Ayah, Pak Harto itu sudah tidak bisa bekerja seperti dulu. Beliau sendiri pernah bilang ingin menghabiskan waktu dengan cucunya," kata Edward menjelaskan ulang. Namun, Samuel tidak peduli. Pria paruh baya itu tetap bersikeras agar Edward memperkerjakan Pak Harto kembali dan menggantikan Anessa dari posisi sebagai sekretaris pribadi.Menurut Samuel, wanita muda seperti Anessa tidak cukup pantas berada di posisi strategis perusahaan."Menurut Ayah, dia terlalu muda ... terlalu kaku, bukan orang yang bisa dipercaya di lingkungan bisnis," kata Samuel dingin. Perkataan itu menusuk hati Edward. Ia tahu maksud Ayahnya, bahwa dia tidak menyukai Anessa, tapi juga menilainya tanpa memberi kesempatan dalam kapasitas diri. Berka
Pagi ini Edward selesai merapikan penampilannya di depan cermin. Kemeja putih yang disetrika rapi dipadukan dengan jas hitam klasik dan menyemprotkan sedikit parfum, membuat aura profesionalnya semakin memancar keluar. Ia mengambil kunci mobil, lalu melangkah keluar dari apartemennya, berjalan menuju unit Anessa. Anessa yang sudah siap menunggunya di depan pintu dengan senyum hangat dan sebuah tas bekal di tangannya. "Sarapan dan bekal spesial, untuk orang yang spesial," kata Anessa menyodorkan tas bekal itu kepada Edward. "Salad, buah, terus nasi ayam tim, dan telur dadar spesial," jelas Anessa. Edward tersenyum kecil, menerima tas bekal itu, lalu menggenggam tangan Anessa dengan lembut, "Terima kasih. Kamu tahu aja cara membuat hariku terasa sempurna," kata Edward. "Tentu saja, bisa," jawab Anessa semakin mengeratkan genggaman tangannya. Tanpa memperdulikan orang yang berlalu-lalang, mereka lewati lorong apartemen, mereka berjalan bergandengan tangan menuju parkiran. N
Hujan turun pelan membasahi trotoar kota yang mulai lenggang. Di bangku panjang yang berdiri di bawah lampu jalan, Andren duduk membisu. Jaket hitam yang dipakainya, basah kuyup menempel di tubuhnya. Ia menunduk, membiarkan setetes air hujan menelusuri wajahnya, menyatu dengan emosi yang menbanjiri dadanya.Di tangannya tergenggam botol minuman keras yang hampir habis. Rasanya pahit, namun tidak sepahit kenyataan yang harus ia teguk malam ini.Edward.Nama itu terus terngiang dalam benaknya. Nama orang yang seharusnya tidak muncul dalam hidupnya. "Anessa ... semua ini terjadi karena dia," bisik Andrean nyaris tidak terdengar.Perlahan, potongan-potongan kejadian mulai terangkai dari banyaknya informasi yang ia ketahui. Anessa meninggalkan rumah, tinggal di tempat yang kini jauh lebih mewah, jabatan barunya yang begitu cepat, semuanya masuk akal. Dan semua itu mengarah pada satu orang.Edward. Rasa iri menyelinap seperti duri di bawah kulit, dengan rasa pedih yang begitu menyiksa. Ed
Anessa duduk di sebrang Edward dalam sebuah restoran kecil yang suasananya tenang, namun hatinya tidak seiring suasana sekitar.Wajahnya terlihat lesu, matanya redup, seolah pikirannya masih terjebak pada masalah yang seakan punya kejutan di hari esok.Tatapan kosongnya menatap meja makan, bahkan sudah lima belas menit berlalu, daging steak di depannya masih terlihat sepenuhnya utuh. Sejak ia terbangun dari tidur siang tadi, pikirannya tidak berhenti memikirkan Shera. Ia yakin, masalah itu sudah menyebar di perusahaan. Bukan cuma ia dan Edward saja yang tahu, ada seseorang bahkan lebih yang ikut memperkeruh suasana. Edward menatap Anessa dengan khawatir. Ia tidak pernah melihatnya setenang itu dalam artian yang negatif. Diam-diam ia mengulurkan tangan dan menyentuh jari Anessa, mencoba mengalihkan pikirannya. "Nggak nafsu makan, ya? Mau aku pesankan yang lain?" tanya Edward pelan. Anessa hanya menggeleng kecil tanpa suara, Edward yang tidak mengerti hanya tersenyum kecil. Edward me
Dulu, Shera adalah gadis biasa yang duduk di samping Anessa sewaktu duduk di bangku SMP. Mereka bersahabat, tapi dalam hatinya, Shera tahu bahwa dunia lebih condong pada Anessa.Anessa dikenal sebagai siswi yang cerdas, cekatan, dan selalu punya jawaban untuk semua pertanyaan guru. Sementara Shera, meskipun ia mencoba, seringkali terlambat dalam memahami pelajaran dan sering gugup saat bicara di depan kelas.Dalam hening pikirannya, Shera menyadari bahwa ia bukan pemeran utama dari kisah hidup setiap peristiwa yang terjadi di sekolah. Bahkan gurunya sendiri lebih mengapresiasi tugas yang diselesaikan oleh Anessa, ketimbang dirinya."Anessa, kamu luar biasa!""Anessa, Ibu nanti mau daftarin kamu ikut lomba cerdas cermat buat mewakili sekolah kita, ya.""Anessa, tolong bantu Shera. Mungkin ada bagian yang tidak dimengerti olehnya."Kalimat itu terekam jelas dalam ingatannya dan semakin sering terdengar, semakin samar keberadaan dirinya di dalam kelas. Tapi ada di saat-saat di mana She
Anessa menggigit bibirnya keras saat tubuh Edward terus menghantamnya dari belakang, satu tangannya menahan kepala ranjang, dan tangan satunya lagi mencengkeram pinggang Anessa erat."Lihat aku, Anessa ... " suara Edward terdengar berat, penuh hasrat. "Aku mau lihat wajahmu pas ngerasain semua ini."Edward menarik rambut Anessa lembut hingga wajah mereka berhadapan lewat pantulan cermin besar di sisi ranjang. "Kamu lihat itu" bisiknya dengan senyum setan. "Kalung itu ... jadi saksi gimana kamu jadi milikku malam ini."Anessa hanya bisa mengangguk lemah, napasnya putus-putus. Tubuhnya sudah tidak mampu lagi menolak tiap gerakan Edward yang semakin dalam dan cepat. Rintihannya tumpah tanpa bisa dikontrol."Ahh Edward ... cukup ... " Desah Anessa sambil memejamkan matanya, kenikmatan.Di balik rintihannya, Anessa tahu bahwa ia tidak lagi bisa menyangkal perasaannya pada Edward. Ini lebih dari sekadar kenikmatan fisik.Tidak lama, Edward membalik tubuhnya, menarik Anessa dalam pelukannya
Sisa makanan berserakan di atas meja makan rumah itu. Hendra menyandarkan tubuh di kursi reyot sambil menyeruput sebotol minuman keras yang baru saja ia beli, sementara Mila duduk di seberangnya dengan wajah puas, mengunyah ayam goreng yang didapatkan dari dalam kantong merah besar, kantong yang dibawa Anessa tadi. "Anak itu cuman membuat masalah," gumam Hendra dengan suara serak. "Melihatnya saja aku sudah muak." Mila mendengus, menyeka tangan berminyak ke kain lap kotor di pangkuannya. "Harusnya dia nggak usah balik kalau cuma bawa uang sedikit dan aib, dibelain sama orang luar lagi." "Amplop isiannya gede juga, ya," kata Hendra menyeringai dan mengayunkan amplop putih ke udara. "Lumayan buat stok rokok sama minum minggu ini." Tanpa ada rasa bersalah di hati mereka, mereka hanya kenikmatan sesaat yang mereka reguk tanpa mengingat luka yang baru saja mereka ciptakan. "Aku curiga, deh," suara Mila mulai merendah, alisnya bertaut. "Pria tadi ... yang bawa dia pergi. Wajahnya ngg
Edward melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, membiarkan kesunyian menyelimuti kabin mobil. Lampu jalan menyinari wajah Anessa yang pucat dan setiap kali ia melirik, hati Edward seperti diremas. Tatapan kosong pada mata Anessa bukan hanya karena lelah. Ada luka yang tak kasat mata yang begitu menghunus begitu dalam. "Aku antar kamu ke rumah sakit, ya?" tanyanya dengan nada pelan. Edward bermaksud tidak mau menambah beban pikiran Anessa, tapi kondisinya jelas mengkhawatirkan.Anessa menggeleng lemah, "Nggak usah ... aku cuma ingin pulang dan istirahat."Edward menatapnya sejenak, enggan menyerah, "Tapi Anessa ... ""Aku nggak apa-apa, Edward," jawab Anessa lebih tegas yang terdengar lirih. Ia tidak ingin diperiksa dokter, ia hanya ingin merasa aman dan sekarang satu-satunya tempat yang terasa demikian bukan rumahnya, tapi Edward. Edward dengan berat hati menuruti keinginannya. Begitu sampai di apartemen, ia turun dulu, lalu membuka pintu untuk Anessa.Namun, sebelum Anessa sem
Anessa menghentikan langkah kakinya saat seorang karyawan wanita yang tak dikenalinya memanggil namanya. Suaranya terdengar ramah, namun sorot matanya yang membuat Anessa merasa sedikit waspada. "Selamat atas kenaikan jabatanmu, Anessa," ujarnya sambil tersenyum tipis dan mengulurkan tangan.Anessa menjabat tangan karyawan wanita itu sebelum akhirnya membalas dengan anggukan kecil, "Iya, terima kasih. Maaf, aku belum mengenalmu, kamu siapa?"Wanita itu menarik tangan dan menyilangkannya di depan dada. "Aku bekerja di divisi A. Namaku Karin."Anessa mengangguk perlahan, Karin kemudian memiringkan kepalanya sedikit. Matanya terus menelisik wajah Anessa. "Aku hanya penasaran ... sudah berapa lama kamu dan Pak Edward berhubungan? Kalian sangat dekat sekali," katanya yang berubah nada sinis.Seketika Anessa terasa sedikit kesal. Sejak awal, ia sudah tahu bahwa kedekatannya dengan Edward bisa menimbulkan pembicaraan. Anessa menghela napas sebelum akhirnya menjawab, "Aku dan Pak Edward hany