Tubuh sexy hanya terbalut kutang dan tengtop warna hitam, langkah meninggalkan Susi yang masih asik bermain ponsel. Waktu menunjukan pukul satu dini hari, dengan melepas kaos yang ia kenakan berharap tubuh Devi lebih nyaman untuk tidur. Tubuh Devi meringkuk di sebelah Jessy memejamkan mata. Bukan ngantuk justru fikir terus berhalusiansi lompat kesana kemari. Merenungi nasibnya yang begitu buruk kehilangan seorang ayah, suami dan sekarang kehilangan ibu saat memerlukan dukungan penuh dari orang dicinta. Ditambah Susi menyebut nama Goman memicu pemikiran baru.
Teman pria Devi waktu SMA berhasil mengusik otaknya kembali. Mengingat suatu kejadian yang tak terpikirkan sebelumnya.
Mulai gemas, Devi kembali bangkit merogoh tas miliknya mengambil obat batuk kemudian minum satu biji. Kembali merebahkan diri di samping Jessy berharap bisa tidur pulas di bawah pengaruh obat. Tak punya cara lain untuk bisa membuang semua pikiran negatif di mal
Terimakasih untuk pembaca yang budiman telah menikmati karya saya, semoga bisa menghibur kita semua. Jangan lupa tinggalkan jejak kalian dan bentuk apresiasi kalian untuk saya dengan cara memberi komentar yang positif, rate bintang lima dan gem. Terimakasih.
Sebenarnya pria tak pernah takut dengan istri, secara fisik dan logika laki-laki selalu unggul dari pada wanita. Pria yang dihadapkan dengan seorang manusia yang bernama istri saat marah lantas nyalinya lansung menciut, bukan takut tapi malas mendengar ocehan yang begitu panjang kadang melebar kesalahan A-Z diungkit kembali. Seperti Devan hal yang paling membuatnya malas dan tak bergairah omelan yang keluar dari bibir Dewi. Ya, justru setelah menjadi istir sah secara agama dia begitu sensitif dan dihantui rasa takut.Takut Devan selingkuh, sama seperti masa lalu yang dijalani berdua. Persis seorang pencuri takut hasil curian dimaling.Takut Devi kembali dan merebut Devan dari pelukan hangat yang selama ini terjalin.Ketakutan yang berlebihan itu melahirkan sikap negatif yang memuakkan Devan. Selalu curiga, cemas dan posesif.Setelah membaca surat pengadilan ada rasa
Pagi-pagi sudah gusar! Bagaimana tidak gelisah, tidak resah? Bukan hanya Devan yang membuat suasana hati Dewi berantakan tapi sebuah kenyataan yang harus di terima, malaikat maut lebih awal ketemu Dr. Haris ketimbang dirinya, meskipun Dewi sudah janjian lebih dulu bahkan siap membayar dua kali lipat. “Dr. Haris meninggal baru saja,” ucap Dewi pada Devan. “Kita cari dokter lain.” Dewi tertunduk. “Dokter kandungan mana yang buka di hari libur jika belum janjian.” Devan kembali terdiam, memilih tak banyak bicara dari pada salah berucap karena saat ini wanita di sebelahnya sedang kacau. “Apakah aku akan jadi satu-satunya atau madu?” terdengar ucapan Dewi halus dan sangat berhati-hati dengan pandangan ke arah kertas di tangan. Devan menoleh kemudian tersenyum manis. “Kamu memang satu-satunya dan kamu maduku, manisku.” Tangan Devan mencoba menyentuh pipi Dewi, merayu sekuat tenaga. Kata-kata Devan seperti palu yang jatuh tepat di ubun-ubun Dewi, sangat menyakitkan. Devan berkata san
Cukup lama Devi terdiam, berusaha menetralkan pikiranya. Agus yang sedari tadi memandang rakus semakin gemas ketika melihat leher mulus dan bibir sensual Devi meskipun dengan gincu warna netral. Memandangnya saja membuat ke jantannya mengeras apalagi menyentuh. Bisa-bisa mati di pelukan Devi.“Gimana Mbak Devi? Bukannya sudah lama tak dipeluk? Ngak pengen dipuaskan?”Wajah Devi sangat datar, senyuman Agus begitu manis diacuhkan begitu saja berusaha mengakat wajah sambil manahan marah.“Begini saja, saya tinggalkan nomor telefon saya. Semua bisa diatur. Jika hal pribadi dibahas di sini itu sangat memalukan. Malu sama seragam Bapak dibeli dari uang rakyat.”Jawaban Devi sangat ketus bahkan kata-kata terakir membuat Agus tersinggung, tapi Agus puas dengan jawaban Devi itu artinya setuju dengan tawarannya. Ngopi di hotel sambil berendam bersama janda muda yang tubuhnya masih langs
Tangan kanan Dewi menarik selimut menutupi tubuh yang berbalut lingerie merah jamu dilirik pria di sampingnya sudah tertidur pulas. Sudah dua hari Dewi tak bisa tidur nyeyak setelah mengetahui Devan telah mempunyai anak dari Devi, yang membuatnya semakin sakit kepala adalah Devan tetap ingin bertanggung jawab atas anak tersebut meskipun nantinya sudah bercerai.Ada sesuatu yang Dewi rasakan, yang sulit dijelaskan namun dapat dimengerti semua wanita dewasa.Sekarang mulai timbul ragu bahkan hampir menjurus rendah diri ‘mengapa dirinya tak kunjung hamil’. Padahal tak pernah sekalipun mengunakan kontrasepsi selama ini, apa lagi kondom? Sudah lama tak mengunakan karet itu lagi untuk mencegah kehamilan sejak menikah.Pikirnya Dewi terus melayang-layang memikirkan hal yang sama, sepupunya menikah baru dua minggu sudah hamil tapi mengapa hal itu tidak terjadi pada rahimnya juga. Tidak ada bedanya badan miliknya atau
Jessy bermain pasir yang sudah bercampur tanah di bawah sinar mentari pagi yang menghangatkan, menghasilkan uap keringat yang membuat keningnya berembun. Satu tanganya memegang serokan kecil dan tangan lainnya mencekam wadah kecil yang berisi pasir. Wadah itu diisi lalu dibuang dan begitu terus berulang. Sedangkan Sang ibu duduk santai melihat putri kecilnya asik sendiri, di sebelahnya Susi ikut duduk sambil menikmati suasana berjemur pagi yang jarang mereka dapatkan kesempatan itu di tengah bisnis yang berkembang.Sejak ditinggal mati Namy, Devi memilih cepat untuk bangkit dan menerima. Mau diratapi atau tidak Namy tetap mati dan tubuhnya tetap hancur di makan belatung. Jadi pilihan hidup Devi sekarang meneruskan hidup yang tersisa tanpa seorang anggota keluaga. Tak bisa dipungkiri Jessy masih terlalu kecil untuk mengartikan sebuah kesedihan karena kehilangan. Emosinya masih tahap perkembangan hal itulah yang membuat Devi ingin anaknya tumbuh dengan mental yang
Wajah Dewi cukup tenang setelah mendengar ucapan pedas Devi, jelas yang tampak tegang dan gugup adalah Devan. Biar bagaimana pun Devan sadar akan kesalahan yang sudah berlalu terlebih lagi kelancangan dan tidak sopan dirinya datang bersama Dewi bertemu dengan Devi semata-mata untuk bertanya tentang anak. Itu sungguh tidak manusiawi. Tapi Devan tak perduli semua itu. Dalam diam Devan berdoa semoga Dewi mampu membawa diri, berkata lemah lembut sebagai sesama wanita hingga saat yang tepat Devan akan buka mulut. “Saat kamu tiba-tiba pergi Mas Devan kecelakaan hingga koma beberapa hari setelah itu ibu meninggal satu minggu kemudian, terpaksa aku yang merawat Mas Devan hingga kami menikah. Maafkan keegoisan kami.” Suara Dewi terdengar tegas dan lantang, tak bisa dipungkiri jantungnya nyaris copot mengucapkan hal itu. Tiba-tiba Devi tertawa dengan suara keras, seperti mendengar sebuah l
Jessy bersorak gembira dengan suaranya yang teramat renyah setelah memanggil Devan dengan sebuatan Rangga. Perlahan tubuh mungil Jessy berpindah ke pelukan Devan. Wajah Devan memang mirip dengan Rangga meskipun tubuh Devan sedikit lebih berisi, jangankan Jessy yang terkecoh ibunya saja jika memadang Rangga bak melihat foto copy Devan.Devi membiarkan Jessy jatuh di pelukan Devan dan juga tetap diam dengan celoteh Jessy yang salah menyebut orang. Hatinya tertawa puas dengan sikap Jessy, dengan keyakinan penuh pasti Devan terluka.Devan acuh tak acuh dengan tatapan sinis Devi seolah-olah tak rela Jessy berada di rangkulanya terlebih lagi saat memandang bibir Devan berkali-kali mencium penuh kehangat di kening mungil Jessy. Dada yang sedari tadi panas kini terasa dingin segar memeluk putri kecilnya. Kerinduan dan keharuan telah bercampur menjadi satu meliputi dirinya.
Pertemuan Devan dan Jessy bukan hal terakhir tapi masih berlanjut dengan pertemuan-pertemuan yang berlanjut di kemudian hari. Seperti biasa membawa banyak mainan dan makanan untuk Jessy. Dan, hal yang sama terjadi ketika Devan sudah pulang, Devi membakar semua mainan yang Devan berikan bahkan tanpa melihat isi bikisan makanan dirinya langsung melempar ke tong sampah. Susi yang melihat hal itu lantas tertawa, terlebih lagi ketika Devi membakar mainan dari Devan sambil mengumpat kasar dan kadang meludah ke api yang berkobar. “Ratusan bonekah yang kamu berikan pada anakku akan kubakar, bangsat!” Devi menyiram minyak tanah ke bonekah babi warna pink dengan penuh gairah. Yang paling setia adalah Dewi, yang masih terus menemani Devan bertemu dengan Jessy meskipun tak pernah menyentuh bahkan mengajak bicara Jessy dan juga mengabaikan tatapan menjijikan seorang Devi. Seolah-olah dirinya sudah kebal muka di hadapan Devi.