Sudah dua jam lamanya Dewi menunggu Devi, duduk di pojokan teras seorang diri. Beberapa kali melihat jam tangan warna silver yang melingkar di lengannnya. Sebenarnya Dewi tahu ini jadwal sidang gugatan perceraian Devi dan Devan, perkiraannya siang hari sudah kelar.
Namun sampai lewat jam makan siang sosok yang ditunggu Dewi tak kunjung kelihatan. Benar-benar diluar dugaan Dewi.
Ditahannya rasa bosan Dewi masih menunggu, ditambah cuaca panas membuat keringat menyatu dengan bedak di wajah. Saking derasnya keringat dia bisa merasakan kucuran itu melewati di antara dadanya membasahi bawah bra yang ia kenakan. Kalo buka demi Devan, dia pasti akan segera pergi mencari tempat berAC.
Ia masih punya waktu hingga pukul empat sore-sebelum Devan pulang kerja. Toh, dirinya hanya butuh lima menit untuk berbicara dengan Devi apapun yang terjadi dia akan menunggu.
Di lain tempat setelah makan siang yang penu
Untuk pembaca yang budiman terima kasih telah membaca karya saya. Kalian bisa memberi komentar yang positif, serta bintang lima dan juga gem agar karya ini selalu hadir di beranda Good Novel dan mudah dikenali pembaca lain. Terima kasih. Salam sayang Zedanzee
Hanya saja sikap Rangga terlewat lembut dan santun mampu membuat Devi nyaman. Salah paham di antara mereka juga tidak membuat Rangga berubah sikap walaupun kadang obrolanya kadang terasa kaku. Sidang yang baru saja selesai membuat Devi mengerti jika Rangga tak seburuk yang ia pikirkan sebelumnya. “Bolehkah aku cium Jessy sebelum berpisah.” Devi mengangguk pelan mempersilahakan Rangga mencium Jessy. Perlahan tubuh tinggi Rangga membungkuk, wajahnya mendekati pipi Jessy yang menempel di dada Devi. Ketika bibir Rangga bertemu dengan pipi cubby Jessy, hidungnya mencium aroma parfum wangi vanilla dari tubuh Devi. Benar-benar wangi membuat Rangga merasakan sesuatu yang sulit dijelaskan. Ketika matanya tak sengaja melihat gundukan yang terapit tubuh Jessy semakin membuat detak jantungnya berdetak cepat. Benar-benar perasaan aneh yang Rangga rasakan atau naluri seorang pria? Du
Tatapan Dewi teramat tenang nyaris tidak terpancing emosi Devi. Dirinya tetap duduk tenang, wajahnya mengoreskan senyuman hangat saat tubuh Devi menjulang berdiri di hadapannya. Dia paham benar jika situasi ini bakal ia alami.Seolah-olah Dewi sudah mempersiapakan mental sekuat baja untuk menghadapi seekor induk macam yang anaknya diambil tiba-tiba. Di mata Dewi induk macan ialah Devi yang sekarang.“Saya hanya ingin yang terbaik untuk Jessy Mbak, hidup dengan keluarga lengkap, masa depan terjamin. Jika Jessy tetap bersama Mbak Devi dia hanya mendapatkan kasih sayang seorang ibu tanpa ayah. Tapi kalo hidup dengan Mas Devan dia akan mendapatkan kasih sayang yang sempurna dan lengkap.” Lemasnya bibir Dewi mengucapkan itu semua.Trik seekor ular memang kalem, tenang dan mematikan. Ya, dengan cara meminta Jessy dengan dalil merawat anak itu, secara tidak langsung dia bisa menjauhkan Devan dengan Devi.&nbs
Susi sudah siap-siap dengan gaun merah cabe di depan cermin di kamar Devi tepat pukul empat. “Kamu beneran ngak mau ikut?” tanya Susi sambil menyemprotkn pafrum ke leher.Devi yang sedang menyisir rambut Jessy sehabis mandi hanya mengeleng dua kali.“Oke, tidak ada manusia yang bisa memaksamu.” Kali ini Susi sudah menyerah membujuk Devi, memilih berangkat reuni bersama teman-temannya seorang diri.“Jika hidupmu masih bisa dikendalikan orang lain, sebenarnya separuh tubuhmu mati.”Bibir Devi berkata dengan lantang, berlagak seperti motivator abal-abal yang membuat Susi tertawa terpingkal-pingkal. Beberapa saat kemudian, Susi meninggalkan rumah dengan mengendari mobil Devi.Di lain tempat telah terjadi perang dingin antara Devan dengan Dewi. Sejak pulang dari dalam mobil Dewi tak berhenti mengumpat bahkan sampai rumah pintu di banting denga
Udara malam kali ini terasa dingin seakan dinginya menembus tulang namun hal itu tidak dirasa oleh dua orang yang sedang asik saling menatap dan berbincang. Kedatangan Rangga malam ini seolah pengobat sepi yang dirasakan Devi saat tidak ada Susi yang menemani atau renyah tawa Jessy.Semuanya mengalir begitu saja di antara mereka, semua hal bisa jadi topik pembicaraan yang menarik untuk dibahas. Rangga yang usianya lima tahun lebih muda mampu mengimbangi kedewasaan Devi. Setelah hampir satu jam berlalu mereka mulai mengingat kesalah pahaman yang terjadi kemarin.“Maaf kemarin aku benar-benar terbawa suasana!” Devi memaksa bibirnya tersenyum. “Itu benar-benar di luar kendali.”Rangga tersenyum dua matanya melihat Devi dengan tatapan hangat. “Ya, semoga aku bisa memaafkan.”Devi tidak menjawab apa pun hanya saja bibirnya cemberut, membuat wajahnya terkesan sangat lucu
Seekor cicak sebesar telunjuk orang dewasa berlari mengejar cicak betina di pojok dinding rumah Devi seakan iri melihat ciuman mesra yang terjadi di ruang tamu. Cicak jantan terus berusaha mendekati cicak betina sampai di sudut tembok. Si Cicak jantan dengan suaranya yang nyaring mengkecik sambil menindih tubuh cicak betina. Dan terjadilah kawin paksa.Sialnya, kecikan itu cukup menganggu dua manusia yang sedang larut dalam emosi. Kecikan keras si cicak membuat Rangga Dan Devi tersadar kemudian melepas bibir yang telah menyatu. Rangga yang salah tingkah meraih teh dingin di meja. Devi yang menyadari kesalahanya berdiri. “Aku ke kamar mandi dulu!” Tanpa menunggu jawaban Rangga dirinya meninggalkan lelaki tersebut.Keresahan bukan itu saja Rangga yang merasakan pusakanya bereaksi setelah ciuman panas dengan Devi membuat celananya terasa sesak. Di tambah Devi yang tiba-tiba ke kamar mandi membuat dirinya sedikit gusar dan malu
Pukul delapan pagi saat mentari hangat menyinari bumi dengan sinar surya hangat penuh vitamin D, Susi dengan sangat malas memasukan koper ke bagasi. Dengan sangat terpaksa dirinya menuruti pemintaan Devi yang ingin balik Surabaya pagi itu juga.Bukan tak mau balik ke Surabaya hanya saja membayangkan mengemudikan mobil antar kota dan baru pertama kali membuatnya sedikit cemas. Terlebih lagi bersama seorang anak kecil yang sedang aktif bergerak. Membayangkan saja sudah membuatnya lelah, namun biar bagaimana pun dia harus balik. Karena tak ingin sendirian tinggal di Solo.Yang semangat meningalkan kota Solo hanyalah Devi, karena dengan cara itu dia bisa menghindari Devan dan juga adiknya.Devi mulai berfikir jika kedekatanya dengan Rangga tak dicegah mungkin hal buruk akan terjadi. Kejadian semalam mungkin saja akan terulang kembali, jika masih menghabiskan waktu dengan bersama. Oleh karena itu Devi memutuskan minggat
Kesedihan Devan sangat mendalam, bahkan Dewi tak pernah menemui suaminya sekalut itu. Malam itu Devan insomania dirundung rindu putrinya. Dewi yang melihat suaminya nampak sedih mencoba menghibur dengan cara melepas baju menyisakan BH yang melingkar di dada. Kemudian memeluk dan mencium Devan.Berharap Devan terangsang dan mau berhubungan badan agar sejenak melupakan kesedihan itu. Namun, Devan sama sekali tak berekasi. Pusakanya pun masih tetap lemas setelah Dewi sentuh beberapa kali.“Aku lagi capek,” ucap Devan memberi isyarat halus pada Dewi untuk menghentikan aksi nakalnya.Dengan kecewa Dewi menjauh lalu turun dari tempat tidur mengambil sesuatu dari dalam laci.Devan melirik sekilas penasaran dengan sesuatu yang Dewi telan. “Apa itu?”Tangan Dewi meletakan gelas yang telah kosong. “Obat tidur. Kau mau?” jawab sengit Dewi.&n
“Maafkan aku.”Hanya kalimat singkat itu yang tertulis di kertas ini membuat Devi benar-benar binggung siapa orang misterius yang mengirim buket bunga itu.Buket bunga di atas meja kerja kini dibiarkan pindah ke tangan kecil Jessy. Warna merah menyala dari bunga mawar itu berhasil menarik perhatian Jessy. Jemari kecil Jessy menarik satu demi satu kelopak mawar membuat ruangan kerja Devi begitu kotor penuh kelopak mawar.Devi yang masih binggung dengan kejadian aneh yang terjadi belakangan ini memilih merenung sambil melihat Jessy asik bermain buket mawar merah. Entah mengapa kali ini perasaan penarasan telah berubah menakutkan.Mungkin benar apa kata Susi jika orang itu penggemar rahasia yang terobsesi dengan Devi. Rasa itu semakin merong-rong kedalam otaknya menghasilkan ketakutan di luar nalar.Bahkan Devi mulai membayangkan orang itu bukan hanya mengirimkan makanan ke kantornya,