Mario memasukkan kedua tanggannya ke dalam saku celana, kedua bola matanya memandang pemandangan sedih. Devi memeluk rekan-rekanya di kantor satu persatu. Semua jajaran staf dan manajer sudah berusaha untuk mengurungkan niatnya, tapi pecuma. Devi tetap ingin mengundurkan diri.
Setiap rekannya bertanya alasan ia mengundurkan diri, hanya satu kata yang terlontar “bosan”. Jawaban bohong dan tak masuk akal. Hanya Mario-lah yang tahu persis alasan Devi mengapa ia berhenti berkerja.
Devi memang terkenal dengan sikapnya yang keras kepala, ucapanya tegas dan singkat. Tidak bisa di ganggu gugat. Ya… oleh itu ia terkenal manajer paling angkuh, jangan sampai membuat kesalahan kalo tidak mau dicerca sampai tengah malam. Tapi di dalam dirinya memancarkan karisma, mungkin kalo laki-laki ia begitu berwibawa.
Dia juga terkenal baik kepada semua rekan kerja, dari jabatan office boy sampai CEO sekalipun. Tidak pelit untuk memberikan tip pada office boy yang setiap pagi mengantar teh panas untuknya.
Dialah orang pertama yang akan mengatarkan kado besar jika rekannya ulang tahun. Ya … sikapnya memang kaku, bicaranya memang kadang terdengar ketus tapi sebenarnya orang baik, penuh kasih sayang walapun bibirnya tidak pernah mengucapkan, Devi bukan seorang pemimpin jahat, sewenang-wenang macam seperti di novel roman.
Kini semua meninggalkan ruangan Devi, setelah menyadari menjadi pusat perhatian seorang Mario. Kaki panjang Mario melangkah mendekat Devi, yang sibuk menghapus air mata, berusaha tersenyum.
“Kamu tetap akan keluar dari perkerjaan yang sudah membesarkan namamu?” Mario duduk di kursi putar depan Devi.
Kepala Devi mengangguk dua kali. “Iya Pak.”
“Oke, jika kamu sudah bulat dengan keputusanmu! Aku tetap akan memberikan kamu pesangon,” ucap Mario.
“Saya sanggat terimakasih untuk hal itu Pak Mario.” Kedua bola mata Devi kembali berkaca-kaca.
“Di mana kamu tempat tinggalmu di Surabaya? Barang kali kita bisa bertemu jika saya ada acara di sana,” tanya Mario.
“Belum tahu, mungkin nanti untuk dua atau tiga hari saya akan menginap di hotel… kalo ngak di rumah sahabat saya.”
“Saya ada rumah di Surabaya, di sana hanya di jaga seorang saja. Kamu sementara bisa tinggal di sana. Itung-itung kamu bisa menghemat pengeluran.”
Devi yang merasa terharu dengan kebaikan Mario berkali-kali menganggukan kepala dan berkata, “te-terimaksih.” Lima detik Devi terdiam, bibirnya terucap kembali, “Pak Mario saya minta tolong untuk merahasikan kepergian saya dan kehamilan ini dari Devan,” pinta Devi dengan penuh harapan.
Hari semakin senja, Devi memasukan kardus kedalam mobil. Sekilas matanya menatap gedung luas nan tinggi yang tempatnya meraih kesuksesan. Beberapa saat kemudian ia memacu mobilnya di tenggah keramain jalan Slamet Riyadi kota Solo.
Empat puluh menit kemudian Devi mobil Honda Jazz warna putih sudah sampai di pekarangan rumah Namy, kemudian ia melangkah masuk rumah menujuh. Ia memanggil ibunya dua kali.
“Ibu di kamar, kemarilah! Ini masih repot.” Terdengar suara Namy dari dalam bilik kamar.
Devi lantas tak langsung masuk kamar, ia memilih duduk di kursi ruang tamu. Sejenak menyenderkan tubuhnya di badan kursi jati yang usianya lebih tua dari dirinya. Merasakan lelah yang ia rasakan.
Baru satu menit ia duduk santai, benda pintar di dalam tas terasa bergetar. Ia baru teringat seharian sama sekali belum memeriksa ponselnya. Tak ada gairah untuk mengeceknya.
Kini jatungnya berdetak lebih kencang, darahnya mendidih melihat notifikasi chat dari Devan.
Devan {sayang kamu lagi di mana? Aku kangen banget. Aku sudah di rumah, kamu sekarang di mana?}
Bangsat! Ektingmu luar biasa! kata Devi, tersenyum miris.
Devi mengambil kartu sim dari ponselnya, lalu melemparkan ke tempat sampah. Ia benar-benar tidak ingin Devan mengusik hidupnya. Tak ingin larut dalam rasa tak menentu, akirnya ia berdiri dan melangkah menuju kamar Namy.
“Gimana Ibu, sudah beres semua?” tanya Devi, menghampiri Namy, sedang sibuk memasukan baju ke koper.
“Sedikit lagi. Jam berapa kita akan berangkat ke Surabaya?”
“Selepas magrib.”
Devi benar–benar meninggalkan kota kelahiranya. Hatinnya semakin mantap untuk bisa menghapus kenangan perih di kota itu dan memulai kehidupan baru. Keputusanya sudah bulat tidak ada yang bisa menghalingi langkahnya.
Malam ini ia akan berangkat ke Surabaya bersama Namy dan Tarjo. Tarjo adalah sopir pribadi Devi waktu belum menikah, tapi setelah menikah memilih kemana-mana sendiri. Alasan lebih hemat setelah berkeluarga demi membeli rumah impiannya bersama Devan waktu itu.
Karena Devi merasa tak mampu menyetir seorang diri, ia berinisiatif menghubungi Tarjo kembali, dan menawarkan dirinya untuk jadi sopir pribadinya kembali.
*
Hari semakin gelap, azan magrip telah berkumandang. Langit yang berwarna oren kini mulai menghitam. Dua bola mata Devan memandang arah keluar rumah berharap sesuatu. Tapi ternyata belum ada tanda-tanda Devi pulang. Kini ia merasakan firasat tidak nyaman, meskipun dirinya telah mendua tapi rasa cinta masih didominasi untuk Devi. Wajar saja jika ia mulai cemas.
Devan meraih ponselnya, berkali-kali menelfon Devi tapi nomornya selalu di luar jangkauan. Dengan kasar ia mengusap rambut ikalnya, sesaat kemudian ia masuk ke rumah untuk mandi. Siapa tahu Devi pulang, dan dirinya sudah bersih, wangi.
Lima belas menit kemudian Devan keluar dari kamar mandi, dengan cepat ia meraih ponselnya. Berharap Devi telah menghubunginya, tapi ternyata nihil. Seharian sudah Devi tidak ada kabar.
Tak berfikir panjang Devan langsung berkemas, meraih kunci mobilnya menuju hotel tampat Devi berkerja. Hari mulai gelap menambah suasana hatinya gelisah tak menentu. Devan semakin resah, kembali mengambil ponsel dan mencoba menelfon Devi.
“Kamu di mana sih?” cakap Devan, sambil melihat layar ponselnya.
Sebuah mobil dari berlawanan arah hilang kendali, Devan sudah berusaha menghindar tapi naas mobil itu terlampau kencang dan menabrak mobil Devan.
Seketika itu jalanan mendadak macet, setelah terjadi kecelakanan dua mobil. Mobil Devan terbalik dan bagian body depan mobil Devan rusak parah hampir tak berbentuk. Kaca-kaca mobil berserakan.
Semua mata yang melintas tertujuh pada kengerian kecelakan maut yang menimpa dua mobil. Tidak ada satu pun orang berani mendekat, hanya berani memandang dari jauh. Bukan karena rasa tidak empati tapi takut orang yang di dalamnya meninggal, lebih baik pihak yang berwajib menangani kecelakaan itu. Beberapa orang langsung menuju kantor polis, melaporkan kecelakan maut itu.
Devan merasak sakit luar biasa di bagian lengan tangannya, panas, ngilu rasanya seperti copot. Badanya sesak, bibir tak mampuh bicara. Pandanganya mulai rabun, sekuat tenaga melambaikan tangan berharap ada manusia yang dapat menolongnya.
Segerombolan orang datang menghampiri, menekan urat nadi leher Devan.
“Ini hidup, ayo cepet tolongin!”
Segerombolan laki-laki dengan jaket hijau datang beramai-ramai, melakukam evakuasi secepat mungkin. Agar Devan cepat diselamatkan.
“Bekerja di bidang apa Bu?” tanya Max sangat kaku.“Jangan panggil Bu. Terlalu formal. Panggil saya Devi,” pungkas Devi tegas.Max menelan ludah. Dia salah lagi. “Oh maaf Devi. Kamu bekerja di bidang apa?”“Salon kecantikan. Kamu?”“Kontruksi. Pantas saja.” Max tersenyum lebar ke arah Devi sambil mengendalikan kemudi.Kening Devi sedikit mengkerut. “Pantas apa?”“Cantik.”Devi tersenyum lalu melihat ke arah jalan raya yang semakin padat. Dia tidak terlalu tertarik dengan jawaban Max, menurutnya terlalu berlebihan.Entah angin dari mana, ucapan Susi kembali mengema. Seperti kaset yang diputar berulang dengan kalimat yang sama. “Cobalah dekat dengan pria dan lunakan hatimu.”Max tidak terlalu buruk. Di usia yang sama dengan Devi yang telah memasuki kepala empat tubuhnya masih segar bugar dan tampan. Bicaranya juga sopan, memiliki anak seusia Jessy. Dia pasti juga pengalaman menjadi orang tua. Pasti cukup nyambung untuk sekedar bicara dan ngobrol lebih jauh.Devi mulai berpresepsi tentan
Devi berjalan terburu-buru setelah memarkirkan mobilnya di halaman sekolah Jessy. Dia terlambat lima menit menghadiri rapat pengambilan rapot Jessy.Akan tetapi langkah kaki itu terhenti ketika sebuah mobil sedan warna hitam melintas tepat di hadapnya kemudian berbelok hendak parkir di samping mobilnya.Suara retakan terdengar keras di belakang Devi. Kedua bola matanya melihat dengen jelas bagimana orang itu menabrak spion mobilnya. Dan kini langkah Devi benar-benar terhenti.Niat untuk segera masuk ke ruang kelas Jessy terhenti seketika. Dia perlu membuat perhitungan dengan orang tolol yang telah menabrak mobilnya.Devi berdiri di samping mobil sedan warna hitam, menunggu sang empu keluar dari dalam mobil. Orang itu harus diberi pelajaran, siapa tahu dia sebernarnya orang yang tidak mahir membawa mobil namun nekat mengendarai.Sepatu datar mengkilat dengan moncong sedikit keatas keluar terlebih dahulu dari dalam mobil. Seorang pria dengan tubuh kekar dengan kemeja yang minim keluar d
Mantan kekasih adalah belegu.Sebuah kalimat yang cocok untuk Devi saat ini. Rangga kembali datang menawarakan sebuah pertemanan, namun bukan itu sebenarnya. Devi mengerti tidak ada pertemanan murni dengan mantan.Kemungkinan untuk masuk ke jurang yang sama masih jelas ketara. Akan tetapi jika terus menerus menghindari Rangga justru semakin pria itu terpacu adrenalin.Devi harus melalukan sesuatu agar berhenti mengusiknya.“Oke. Aku memaafkanmu, kita bisa berteman. Tapi tolong beri aku ruang dan waktu. Tidak mudah aku kembali pada masalalu walau hanya untuk berteman!” Suara Devi terdengar sedikit kaku dengan dua bola mata menatap penuh ke arah Rangga.“Beri aku waktu!”Rangga berdehem. “Apa yang harus aku lakukan?”“Dua minggu saja kamu berhenti menemuiku?”“Kenapa?” tanya Rangga.“Beri aku ruang dan waktu!”Pertemuan itu berlangsung cukup sengit. Namun, membuahkan hasil bagi Devi. Pria itu pergi dari ruangan Devi, meskipun dengan perasaan yang begitu kacau.Kini yang ada hanya Devi y
Satu bulan setelah pertemuan itu Devi menolak untuk bertemu Rangga. Bahkan urusan kerja sama dengan Erlangga ia serahkan penuh ke Susi. Ia benar-benar menolak untuk bertemu dengan Rangga.Rasa tersinggung karena ucapan Rangga kala itu masih lekat di otak Devi. Namun, siapa sangka selama satu bulan itu juga Rangga tidak berhenti mengusik dirinya. Dari mengirim buket bunga sampai makanan hingga beberapa batang coklat.Akan tetapi akhir dari buket bunga-bunga itu ialah tong sampah jika untuk makanan Devi biarkan karyawan yang menghabiskan semua.Sedikit pun ia tak lagi terkesan dengan godaan yang diberikan Rangga.Sebenarnya hal itu ia lakukan agar untuk menjaga hati akan rayuan Rangga. Ia tahu pria itu sudah berubah, tidak lagi sama seperti dahulu. Kini Rangga lekat dengan alkohol dan rumor-rumor miring.Devi juga tak bisa menampik kabar yang beredar jika Rangga saat ini sedang dekat dengan beberapa model dan juga artis kontroversial. Beberapa kali Rangga datang ke kantor, tapi Devi
Berdua dengan mantan kekasih yang pernah mencintai begitu dalam adalah siksaan nyata. Urat di belakang leher Devi terasa kaku, jantung terus dipacu berdetak lebih keras. Sesekali Rangga mentap lalu buang muka, dan itu sedikit memuakan untuk Devi. Tapi itu tidak berlangsung lama ketika ponsel Devi berbunyi, meskipun itu panggilan hanya dari staf kantor dan bisa dialihkan tapi hal itu menjadi kesempatan Devi untuk keluar ruangan itu. Dan ia dengan sengaja kembali dua puluh menit kemudian ketika semua sudah berkumpul di bilik 55. Meeting dan sekaligus makan sing berlangsung singkat; dua jam. Kali ini Devi hanya berkata jika perlu, tidak banyak basa basi apalagi bercanda, terlebih lagi Rangga. Pria itu hanya menjadi pendengar, sambil terus memainkan mata ke arah Devi. Semua setuju project akan digarap satu minggu yang akan datang. Sebagai bentuk penutup acara semua yang ada dalam ruangan itu saling berjabat tangan. Termasuk Rangga dengan Devi. Akan tetapi jabat tangan kali ini Rangga d
Kurang dari tiga puluh menit pertemuan di mulai. Seorang pria dengan kacamata hitam bertubuh tinggi dengan rambut sedikit ikal berjalan memasuki bilik ruangan no 55. Di pertemuan ini pria itu sengaja mengenakan kemeja kualitas premiun berbahan flannel, dengan lengan panjang. Dan untuk celana ia mengenakan celana jins warna hitam. Pria itu juga mengenakan sepatu kanvas dengan model kasual sebuah penampilan sederhana tapi tetap modis. Untuk pertemuan dan tebar pesona. Namun langkahnya terhenti sebelum memasuki ruangan itu. Dari cela pintu kaca terlihat jelas sosok wanita yang sangat ia kenali. Dua mata Rangga kini tak lepas dari sosok wanita dengan dres berwarna hitam polos berkalung mutiara sedang duduk menatap ponsel. Bersyukur wanita itu fokus ke poselnya, hingga tidak menyadari kehadiran Rangga. Rangga bergumam, sedikit kesal ternyata Devi jauh lebih dahulu sampai restoran. Padahal pria itu percaya diri jika kehadiranya menjadi hal yang mengejutkan bagi Devi. Tapi sebaliknya ia
Devi sengaja datang lebih awal di restoran tempat ia akan meeting. Ia memilih restoran di hotel paling terkenal mewah di Surabaya dengan menu-menu ala Itali. Beberapa kali Susi dan Iqbal sedikit komentar tentang restoran yang dianggapnya sedikit berlebihan. Akan tetapi hal itu tidak jadi beban Devi. Ia rela datang satu jam lebih awal untuk memastikan semua maksinal. Menu makanan, minuman ia memilih yang paling laris dan enak. Ia bahkan berani memberi tips khusus untuk kepala staf pelayan restoran itu, untuk tidak mengecewakan dirinya apa lagi relasi bisnis. Hal itu ia lakukan bukan hanya semata-mata meeting dengan Erlangga tetapi bakal calon tiga model yang akan membintangi produknya. Semua bukan orang sembarangan. Salah satunya ia Devi kenal betul. Luar dan dalam model itu. Sepuluh tahun berlalu sejak berpisah dengan Rangga kini ia harus bertemu kembali. Bukan untuk urusan pribadi tapi untuk urusan bisnis. Hal itu ia benci tapi sulit sekali untuk ia hindari. Dan semua itu terjadi
Hari ini tidak sepenuhnya menyebalkan untuk Devi, karena sore hari pukul tiga ia telah menandatangi kontrak kerja sama dengan brand fashion terkenal di Indonesia dan dua tahun belakangan sudah masuk ke skala Internasional. ERINA, sebuah brand fashion baju yang kini sedang digadungi nyaris semua lapisan masyarakat Indonesia.Setidaknya dengan kolaborasi dengan brand ERINA, sudah dipastikan produk sekaligus salon yang Devi kelolah bakal semakin melesat. Bukan hanya di Indonesia tapi juga kawasan Asia Tenggara.“Untuk urusan model serahkan pada saya. Saya akan mencari model atau artis yang bisa membawa berlian untuk produk kita.” Pria dengan rambut hitam mengkilat itu melepas kaca matanya, dilipat lalu diselipkan ke kantong kemeja. Ialah Erlangga pria berusia empat puluh tahun, pemilik tunggal brand ERINA.“Tentu saya akan senang. Saya percaya pilihan Pak Erlangga. Semua tahu jika beberapa tahun ini ERINA tidak pernah gagal mengeluarkan produk.” Devi tersenyum puas. Begitu pula dengan Su
Perang dingin itu belum usai hingga sarapan ke esok harinya. Jessy masih dengan mulut rapat, lekuk wajah kaku. Dan hal itu sering terjadi jika Jessy sedang marah. Sebaliknya bagi Devi hal itu bukan hal yang memberatkan pikiran, ia sudah biasa dengan sikap kaku Jessy. Toh berjalan waktu nanti semua akan membaik.“Untuk sekolah SMA, mama udah dapat sekolah yang pas buat kamu Jes. Sekolah ternama, ramah untuk siswi putri dan kurikulumnya menurut mama bagus.” Devi tersenyum manis sambil memandang wajah Jessy yang semakin tertunduk. “Mama juga sudah daftarkan Jessy les matematika dan fisika juga. Mungkin nanti juga akan ada les model, Mama pengen nanti kalau Jessy udah tujuh belas tahun jadi model di salon Mama.”Jessy terdiam, lemas. Selera makan semakin menghilang bahkan semangkuk sup sedari tadi hanya ia incim kurang dari tiga kali. Dan kini benar-benar ia tak ingin melanjutkan sarapan. Perutnya terasa sudah penuh seketika sejak Devi mengatakan urusan sekolah.Dua mata Devi mulai menga