“Mbak, mohon maaf saya ganggu. Ini Dek Jessy tidur tapi seperti pingsan. Terus pengasuhnya ngak ada di rumah. Kalau bisa Mbak Devi pulang sekarang juga saya takut terjadi apa-apa sama Dek Jessy.”
Panggilan telefon dengan informasi singkat itu menjadi akhir perdebatan Devi dangan Rangga. Melahirkan perasaan yang lebih kacau dari pada berdebat dengan Rangga, kini wajah Devi tanpak tegang. Dengan gerakan cepat ia matikan komputer yang masih menyala dan bergegas meninggalkan kantor.
“Ada apa?” tanya Rangga sambil melangkah mengikuti Devi.
Devi diam tak peduli dengan pertanyaan Rangga. Dengan langkah tergopoh-gopoh ia melewati tangga sambil memesan taxi online lalu kembali menelfon ARTnya.
“Mbok, bawa Jessy ke Nasional Hospital. Saya sudah telfon taxi online. Jadi kita ketemu di rumah sakit.”
“Tapi Mbak, saya takut...” suara itu terdengar ragu.
Devi menarik napas panjang lalu bicara dengan nada keras. “Nurut apa kata saya Mbok!
Astaga, saya tidak mengira jika hampir setiap hari mendapatkan kritikan dan cemooh karena bab yang sedikit atau lambat. Oke ngak apa ini adalah cambuk untuk saya lebih semangat menulis. Terimakasih untuk kalian semua yang membaca karya ini semoga sehat selalu. Jangan lupa dukung karya ini dengan gem dan rate bintang lima.
Jessy terkapar lemas tak berdaya di ranjang rumah sakit, wajahnya lesu, bibir pucat pasi dengan kelopak mata tertutup rapat persis seorang manusia dengan mimpi indah. Di sisi lain perempuan yang berusia hampir lima puluh tahun itu duduk tepat di samping Jessy, dua matanya berkaca-kaca sambil menatap gadis kecil yang berbaring dihadapnya. Ia semakin gundah gulanan kala sang tuan tak kunjung datang. Sedangkan suster dan dokter sudah dua kali bertanya di mana orang yang bertanggung jawab atas Jessy. Dan ia hanya bisa menjawab, “tunggu ibu dari anak ini akan segera datang.” Lima belas menit terasa terlalu lama untuk hal menunggu akhirnya sosok itu datang. Devi langsung memeluk Jessy, seluruh wajah bocah itu dikecup dengan air mata berlinang. Beberapa kali ia juga memanggil nama Jessy, tapi bocah itu tidak memberikan respon apa pun. Hati Devi seketika remuk, tak pernah ia menatap putrinya dalam kondisi sedemikian mengerikan. Dan tak lama kemudian dokter kembali datang memeriksa kondisi
Kalimat terakhir yang terlontar dari bibir Rangga kembali mengelitik Devi, namun tidak memancing amarahnya kali ini. Karena ada hal yang lebih penting dari pada harus meladeni Rangga. Salah satu mata Devi melirik Rangga sejenak lalu kembali fokus pada ponsel di genggamnya. “Mungkin.” “Apa salahnya aku ingin tahu tentang Jessy?” Devi berdehem. “Sejak kapan kamu peduli dengan anakku?” Rangga terdiam, ingatnya melayang kepada kenyataan siapa sesungguhnya gadis kecil yang pernah ia anggap seperti bagian dari dirinya itu. Namun sebenarnya kenyataan yang sekarang tidak merubah rasa kasih sayang dirinya dengan Jessy. Rangga tahu benar jika Jessy adalah gadis kecil yang tak tahu mengapa ia harus hadir di antara orang dewasa yang runyam. “Saya tahu, kamu tidak akan bisa peduli dengan Jessy, setelah kamu tahu siapa sebenaranya.” Devi tersenyum sinis. “Sama seperti kamu pergi dari aku dan membesarkan egomu.” Rangga sejenak menatap Devi, lalu kembali fokus dengan kemudi. “Asal kamu tahu. Kam
Darah mengalir lebih cepat, memacu jantung semakin berdetak semakin cepat. Kini kepala Devi semakin kepayang, dengan suhu tubuh semakin panas. Kelakuhan nakal Rangga benar-benar membangunkan singa betina yang sudah lama menahan lapar. Bahkan ketika detik ini mangsa telah di dalam tikaman, Devi masih menahan lapar itu.Sedangkan Rangga semakin melayang, dua tangannya kini bergerak liar di punggung Devi, mengusap lembut penuh kasih sayang. Bibirnya pun semakin bergerak erotis. Dua menit ciuman sudah berhasil mengoyahkan bentang kokoh yang perkasa.Devi mendorong tubuh Rangga menjauh. “Kamu gila.”Sedangkan Rangga yang sedang dibakar api asmara hanya menatap Devi dengan kepayahan. Tak mungkin ia akan meraih tubuh Devi kemudian kembali melupat bibir manis itu. “Maaf.”“Tolong jangan mengambil kesempatan dalam kesusahanku.” Devi berdiri melangkah semakin menjauh, mencoba mengantur napas serta emosi yang semakin meluap-luap. camp“Aku tidak mengambil kesempatan.” Rangga ikut berdiri. Betapa
Ruang rawat inap dengan fasilitas VIP, terdiri dari dua kamar. Satu kamar yang terdiri dari sofa-sofa berbahan bludru lengkap dengan televisi besar, di tengah-tengah terdapat meja lengkap dengan buah-buahan serta beberapa botol air mineral. Di situlah sekarang Rangga berasa, memainkan ponselnya. Sedangkan ruangan satunya di mana Jessy terbaring lemah, di sampingnya Devi duduk terus memandangi wajah pucat putrinya. Tepat di sebelah Devi terdapat ranjang dengan bantal dan selimut yang masih tertata rapi. Terdengar lamat-lamat suara Rangga sedang bicara dengan seseorang, meminta di antarkan makanan dan juga pakaian. Hal itu hanya membuat kedua alis Devi mengkerut; pria itu masih sama seperti dahulu, keras kepala. Bisik hati Devi. Tubuh yang letih satu paket dengan perut yang kosong kini telah mengusai tubuh Devi. Meskipun atas nakas, di sebelahnya terdapat buah-buahan entah mengapa ia tidak berselera makan. Bahkan jika diingat sejak mendapatkan kabar Jessy di rumah sakit, setetes air
Mata Jessy masih terlihat sayu, dengan lingkar hitam kecoklatan. Tubuhnya lunglai, hanya saja senyuman di bibirnya masih sama, merekah sempurna seperti mawar yang baru mekar. Siapa pun yang melihat tawa dan senyum itu pasti akan ikut mesem bahagia.Dan kebahagiaan itu bukan saja menular ke Devi dan Rangga tapi pada semua yang ikut adil dalam merawat Jessy. Termasuk dokter dan para suster. Berkali-kali memuji bagaimana bocah itu melawan racun dalam tubuhnya, dengan banyak tersenyum ceria tanpa drama rewel. Atau entah, ia hanya anak kecil yang engan merasakan sakit.Jessy pun dengan lahap menghabiskan satu porsi sup dari tangan Rangga, khusus pria itu yang bisa menyuapi bocah itu. Apa bila Devi yang mengambil alih sendok ia menolak membuka bibir. Setelah empat jam terjaga akhirnya Jessy kembali tertidur, kali ini Devi dan Rangga membiarkan bocah kecil itu menutup mata. Karena sebenarnya sejak dua jam lalu bocah itu terus menguap, menahan kantuk. Begitu kuat efek obat yang di berikan A
Ciuman hangat lekat di pipi dan kening Jessy yang mengemaskan, dengan perasaan berat dan terpaksa Devi memberikan tubuh bocah perempuan itu dipelukan seorang pengasuh. “Mama janji nanti mama ke sini lagi jam makan siang.” Sepucuk kertas Devi keluarkan dari dalam tas, kemudian ia berikan pada pengasuh itu. “Saya sudah tulis semua makanan yang tidak boleh dikonsumsi oleh Jessy. Oh ya...jangan lupa kalo ada apa-apa segera hubungi saya.” “Oh iya Buk. Siap.” Pengasuh itu menurunkan Jessy dari pelukannya, karena bocah itu memaksa turun setelah melihat ke dalam ruangan besar di sebarang pintu. Binar mata Jessy benar-benar bersinar cerah ketika melihat sebuah play ground dengan banyak wahana bermain. Terlihat beberapa anak seusia Jessy sedang bermain ke sana kemari ditemani para pengasuh berseragam yang sama. Dan tanpa menunggu lama Jessy langsung berlari masuk ke dalam play ground. Terpaksa pembicaraan Devi dan pengasuh itu hanya sampai di situ. Karena pengasuhi itu harus mengikuti Jessy
Semua tentang Jessy sudah diatur oleh Devi tanpa ikut campur orang lain termasuk baby sister. Karena sejak Jessy masuk rumah sakit waktu itu, Devi benar-benar tidak memiliki keinginan untuk mencari baby sister baru.Bagi Devi jika perusahan dengan karyawan puluhan orang bisa diatur sedemikian rupa. Mengapa seorang bocah yang masih kecil tidak bisa ia urus? Terlebih lagi ia darah daging sendiri pasti semua akan jauh lebih mudah menyesuaikan.Toh dengan jasa day care (penitipan anak) bisa sedikit membantunya. Dan hal itu sudah Devi perhitungkan matang-matang, karena Jessy tidak akan selamanya berada di penitipan anak. Ia akan tumbuh dewasa dan jauh lebih bisa mandiri.Mimpi Devi sebagai orang tua tunggal Jessy, tidak terlalu muluk-muluk. Ia tidak mengidamkan Jessy menjadi bintang kelas atau mewakili sekolah mengikuti olymiade fisika atau matematika. Ia hanya ingin Jessy menjadi sosok perempuan mandiri, mampu beradaptasi dengan dunia yang tak pasti.Oleh sebab itu sejak usia lima tahun J
Jessy terus bertumbuh, dengan wajah berbentuk oval, mata lebar dan hidung mancung. Devi mengakui dalam hati kecil, jika bentuk hidung mancung itu tidak ia miliki bahkan orang tua Devi sendiri memiliki hidung mekar.Jelas. Hidung mancung mata bulat; mengingatkan sosok Goman. Ayah biologis Jessy, tapi perasaan itu tidak berlebihan mendominasi karena Devi mengerti dalam status sosial dan agama sekalipun. Jessy adalah anaknya.Saat ini bocah itu telah duduk di kelas enam sekolah dasar. Bentuk wajah menawan semakin tampak, dengan tubuh tinggi dan badan montok. Jika diperhatikan Jessy sosok paling tinggi di sekolah.Gundukan di dada yang mulai terlihat menonjol. Walaupun gundukan itu tidak sebesar punya wali kelas atau Devi. Akan tetapi dalam dua bulan terakhir setiap kali mandi memandang dan meraba harta berharga itu Jessy benar-benar merasa lain. Padat, berisi dan semakin muncung.Kegelisahan mulai muncul, sebenarnya setelah Jessy berfikir dan menerung ia mengerti jika dada seorang peremp