"Landon, jangan melucu." Marjorie jelas saja akan tertawa. "Kau baru tiba. Memangnya kau tahu apa?" "Kata siapa aku baru datang?" tanya Landon terlihat sudah mulai bicara serius. "Aku sudah lumayan lama dan menyadari kalau Bastian sempat diseret dua anak nakal pergi ke arah menuju hutan." "Mana buktinya?" balas Marjorie dengan mata melotot. "Lagi pula, kau kan pernah mengincar Anna. Mana aku tahu kalau kau ingin melindungi selingkuhanmu itu." "Ya, Tuhan." Anna langsung mengeluh ketika mendengar masalah yang semula hanya tentang anak kecil, kini merambat ke mana-mana. "Apa aku boleh memukul orang?" "Tidak boleh." Sayangnya, Alaric melarang. "Kalau ada orang yang ingin kau pukul, bilang saja. Aku akan memukul mereka untukmu." "Bung, tolong jangan mengatakan hal berbahaya seperti itu." Landon yang mendengar jelas saja akan mencegah. "Ini masih dalam masa kampanye dan kau bisa kena masalah." Anna langsung menahan lengan sang suami mendengar hal itu. Dia jelas tidak ingin Alari
"Tolong aku." Marjorie nyaris saja berteriak pada ponselnya. "Aku membutuhkan bantuanmu untuk menyingkirkan Anna. Bunuh dia." "Bunuh katamu?" Lelaki yang menemani Marjorie berbicara malah tertawa. "Apa aku tidak salah dengar, atau kau mungkin lupa dengan perjanjian kita." "Oh, ayolah Pak Tua." Marjorie menggeram pelan. "Banyak perempuan lain di luar sana, kenapa harus Anna?" "Karena dia adalah Anna," jawab lelaki itu. "Jawaban yang sangat singkat, padat dan jelas bukan? Tapi sayangnya, kau tidak berhasil melakukan apa pun." "Aku berhasil membuatnya diculik, kehilangan anak, bahkan membuat dia jadi korban pemerkosaan. Apa lagi yang kurang?" tanya Marjorie dengan dua alis terangkat. "Itulah masalahnya Marjorie," desis lelaki yang hanya terdengar suaranya itu. "Aku memintamu menjauhkan mereka dan sedikit mengancamnya, tapi yang kau lakukan malah melukai barang milikku." "Aku rasa itu hanya luka kecil." "Bagimu kecil, tapi bagiku itu adalah kerugian yang cukup besar. Kau har
"Oh, Tuhan! Aku tiba-tiba saja merasa takut." "Tidak perlu takut." Alaric tersenyum miring melihat kelakuan istrinya yang seperti murid baru di sekolah yang baru. "Aku ada di sampingmu. Lebih tepatnya, kau hanya perlu menempel padaku." "Yakin tidak ada yang perlu aku lakukan?" tanya Anna dengan mata melebar. "Biar bagaimana, ini kampanyemu kan? Setidaknya aku harus melakukan sesuatu." Kali ini, Anna menemani sang suami untuk melakukan kampanye yang tinggal beberapa hari lagi. Dia bersedia untuk ikut, karena merasa bosan kalau harus di rumah terus. Lagi pula, mereka bisa sekalian jalan-jalan, karena tentu saja Alaric akan berkeliling. "Kau tidak perlu melakukan apa pun," balas Alaric dengan senyum lebar. "Cukup berdiri dan mengekoriku saja." "Aku kan bukan anak anjing, kenapa harus mengekorimu terus?" Anna pura-pura cemberut, hanya untuk mengganggu suaminya. "Tentu saja agar aku bisa menjagamu dengan benar," jawab Alaric tanpa ragu. "Apalagi nanti pasti akan sangat ramai, j
"Pindah warga negara?" tanya Anna dengan mata melotot. "Ya, biar bagaimana kau itu kan istriku." Alaric mengangguk, sambil melepas dasinya karena tangan Anna berhenti bergerak. "Aneh jika kau belum mengurus sesuatu seperti itu, walau tidak bisa langsung juga." "Bukannya proses pindah warga negara itu butuh beberapa tahun ya?" tanya Anna kembali membantu sang suami merapikan pakaian yang sudah dibuka. "Sebenarnya ya." Kini Alaric beralih duduk di sofa panjang yang ada di depan ranjang. "Tapi karena kau istriku, mungkin ini bisa sedikit dipermudah. "Mungkin tidak perlu menunggu selama bertahun-tahun. Mungkin setahun sudah bisa." "Itu namanya menyalahgunakan kekuasaan, Al." Anna berdecak pelan. "Itu tidak baik." "Aku tidak melakukannya." Alaric mengedikkan bahu dengan santai. "Yang aku lakukan hanya menjamin dirimu sebagai suami, apalagi kau sudah tinggal cukup lama bukan? Mungkin sudah lebih setengah tahun?" Kedua mata Anna berkedip mendengar apa yang diucapkan sang suami.
"Pak Alaric, bagaimana pendapatmu tentang kasus ini?" "Apa benar ada perselisihan antara korban dan dirimu sebelumnya?" "Atau mungkin ada perselisihan dengan istrimu, terutama karena korban adalah mantan tunanganmu." "Pak Alaric, tolong berikan sepatah dua patah kata." Alih-alih menjawab semua pertanyaan dari wartawan yang menyerbu, Alaric memilih untuk memeluk istrinya yang tampak sedikit ketakutan. Biar bagaimana, mereka tidak bisa terus diam di tempat dan harus bergegas masuk ke dalam kantor polisi. "Bereskan yang ada di luar sini," ucap Alaric tidak terlalu keras, memberi perintah pada asistennya. Tanpa perlu diperintah dua kali, Caspian langsung membalikkan badan ketika tuannya sudah masuk ke dalam kantor polisi. Dia yang akan bertugas menjawab pertanyaan wartawan hari ini, sementara Darcy akan masuk dan mendampingi dua tuannya. "Kau tidak apa-apa?" tanya Alaric melepas pelukannya dengan pelan. "Peganganku tidak membuatmu sakit kan?" "Tidak." Anna menggeleng pel
"Tidak bisakah kalian lebih lembut sedikit?" Alaric melotot ketika melihat sendiri apa yang terjadi dengan sang istri, dari balik kaca satu arah. Hanya dia yang bisa melihat ke dalam ruangan, sementara Anna tidak bisa melihatnya. "Kami hanya menjalankan prosedur, Tuan." Polisi lelaki yang menemani Alaric hanya bisa tersenyum. "Lagi pula, itu sudah sangat lembut." "Kalau istriku sampai ketakutan dan muncul trauma, aku akan menuntut kalian." Tentu saja Alaric tidak akan tinggal diam begitu saja. "Yah, terserah kau saja." Si polisi mengedikkan bahu dengan santainya. "Lagi pula, status kalian berdua itu sama. Sama-sama terduga pelaku, jadi aku tidak akan takut." "Luar biasa sekali." Alaric mendengus pelan. "Hanya karena Marjorie punya masalah dengan kami, kalian langsung menuduh seenak hati." "Tenang saja, karena kalian bukan satu-satunya. Ada si mantan suami, bahkan ayah kandung korban. Satu lagi, status kalian masih saksi sih." Alaric menggeram kesal. Kalau bisa, dia ingi
"Bagaimana?" Fritz bertanya dengan ponsel yang dipegang oleh seorang lelaki. "Baik, Tuan." Suara perempuan terdengar dari seberang sambungan telepon. "Hasilnya justru di luar dugaan. Alaric dan Anna malah ikut terseret kasus ini, bahkan menjadi terduga pelaku." "Ingat, aku masih butuh Anna." Fritz mengingatkan. "Tapi kau jangan lupa untuk membuat Alaric tersudut dalam kasus ini. Aku tidak peduli apa yang terjadi dengan dia, tapi Anna harus utuh." "Tentu saja Tuan." Si perempuan penelepon menyanggupi. "Aku akan berusaha sebaik mungkin." "Jangan jadi Marjorie kedua, Fiona," ucap Fritz sebelum menutup teleponnya dan melirik ke arah lelaki yang tadi memegang benda pipih itu. "Apakah Tuan masih butuh sesuatu?" tanya lelaki itu setelah menelan liur dengan ekspresi gugup, bahkan matanya nyaris melotot. "Haruskah kau bertanya?" tanya Fritz dengan sebelah alis terangkat. "Kita sedang kekurangan perempuan untuk memuaskanku, jadi tentu saja kau yang harus melakukan semuanya." ***
"Maaf, Tuan." Caspian terpaksa harus menggeleng. "Aku rasa, akan sulit bagi kita untuk bergerak atau memberi tekanan lebih pada kasus ini.""Sialan." Alaric tidak segan melempar pena yang dia gunakan. "Kenapa juga harus ada kasus di masa penting seperti sekarang ini. Mana Anna juga habis kena musibah.""Jujur saja, kalau bisa aku ingin sekali memaki mendiang Marjorie. Sayangnya bukan hal baik memaki orang yang sudah meninggal." Caspian ikut menunjukkan rasa kesalnya. "Kalau bukan dia yang terus mengejarmu, mungkin kita tidak akan tersangkut kasus.""Aku tidak masalah, tapi bagaimana dengan Anna?" tanya Alaric yang kini menyugar rambutnya dengan frustrasi dan asal. "Dia tidak terbiasa menghadapi tekanan."Caspian hanya bisa mengembuskan napas. Dia ingin protes kalau tekanan yang mereka dapatkan juga besar, tapi sepertinya sang atasan tidak akan mendengar. Sepertinya. Alaric kini hanya akan memedulikan istrinya saja.Untungnya saja, Alaric tidak berlama-lama merasa frustrasi. Itu
"Tunggu dulu, Nona." Seorang lelaki, menghalangi seorang perempuan yang memaksa masuk melewati pagar. "Kau tidak bisa masuk seenaknya.""Apa yang kau maksud dengan tidak bisa masuk seenaknya?" tanya Megumi dengan mata melotot. "Aku ini datang dengan undangan pemilik rumah, aku ini pacarnya.""Kami mengerti kau mungkin pacar Tuan." Lelaki yang lain mencoba untuk menjelaskan dengan lebih pelan. "Tapi biar bagaimana, sekarang ini Tuan kami sedang tidak bisa diganggu. Jadi mungkin ....""Omong kosong." Megumi malah mendorong lelaki yang baru saja bicara. "Kalau kau tidak ingin aku dan mobilku masuk, maka biarkan aku masuk sendiri saja. Aku bisa jalan kaki, walau nanti kakiku bisa lecet.""Nona, kami mohon." Lelaki kedua kembali mencoba dengan lembut."Kalau kau tidak ingin celaka, mungkin lebih baik kau pergi saja." Berbeda dengan lelaki kedua, lelaki pertama memilih cara yang lebih kasar. "Kau bahkan tidak mau membiarkan kami melapor pada Tuan.""Oh, kau berani kurang ajar padaku
"Dia meminta pembalut?" tanya Fritz dengan sebelah alis terangkat. "Memangnya ada masalah dengan itu?" "Bukankah Tuan ingin memanfaatkan tubuh Nona Anna?" tanya asisten Fritz dengan kedua alis yang terangkat. "Kau tidak mungkin melakukannya saat dia sedang mendapat tamu bulanan bukan?" "Kenapa memangnya? Tidak boleh?" Si tua Fritz malah balas bertanya. "Itu jelas bukan hal yang sehat, Tuan." Kini si asisten makin mengerutkan kening. "Memangnya kau pikir apa gunanya karet pengaman?" Kini giliran Fritz yang menaikkan kedua alis. "Lagi pula kau pikir kenapa sampai sekarang aku masih sehat, walau sudah meniduri banyak lelaki dan perempuan? Aku tidak pernah melewatkan menggunakan proteksi." "Jadi kau berhentilah membicarakan masalah kesehatan dan lakukan sesuai rencana. Masukkan obat ke dalam apa pun yang dimakan oleh Anna dan beritahu aku kalau obatnya sudah bekerja." "Aku akan meminta orang-orang agar memantau CCTV di kamar itu lebih seksama." Mau tidak mau, si asisten menurut
"Maaf, aku membutuhkan pembalut. Apa kalian punya yang cukup panjang dan bersayap?" tanya Anna menggunakan telepon interkom yang tergantung di dekat pintu. "Sekalian saja bawakan aku pakaian dalam baru dan lebih banyak cokelat, air, juga camilan." Setelah mengatakan apa yang dia inginkan, Anna berjalan menuju jendela lagi. Hari kini sudah mulai makin malam, tapi untungnya penerangan masih bagus. Setidaknya, Anna masih bisa melihat penjaga yang sedang bertugas. "Aku membawakan yang kau minta." Seorang perempuan berbeda dari yang pertama kali, masuk dengan wajah masam. "Lalu tolong tahu dirilah sedikit." "Apa ada masalah?" tanya Anna dengan kedua alis yang terangkat. "Bukankah si Tua Bangka Fritz itu membebaskan aku melakukan dan meminta apa pun, selagi aku ada di dalam kamar ini." "Itu benar, tapi setidaknya tahu dirilah," hardik pelayan perempuan tadi, sama sekali tidak menyembunyikan amarahnya. "Jangan hanya karena kau adalah mainan baru dan masih disayang, lantas kau berniat
"Untuk sementara ini, aku akan membiarkanmu istirahat. Tapi besok, kau harus bekerja keras, agar aku bisa menghancurkan Alaric." Kalimat Fritz terngiang-ngiang di kepala Anna. Demi apa pun, dia sama sekali tidak menyangka kalau pria tua yang dulu dijodohkan dengannya adalah iparnya. Sekarang, Anna tahu kenapa dia merasa familiar dengan foto keluarga sang suami. "Padahal mereka sama sekali tidak mirip," gumam Anna yang kini sudah bisa bebas mondar-mandir di dalam kamar. "Dari segi tampang dan sifat, mereka sama sekali tidak mirip." "Tapi masalahnya sekarang bukan itu, Anna. Sekarang masalahnya adalah kau harus segera kabur." Kini Anna mendekat ke arah jendela untuk melihat keadaan. Kabur lewat jendela jelas bukan sesuatu yang aman. Selain karena kamarnya berada di lantai tiga, Anna bisa melihat ada penjaga yang lalu-lalang di bawah jendela kamarnya. Mereka tidak terlihat membawa senjata, tapi tetap saja berbahaya. Pilihan berikutnya jelas adalah pintu kamar, tapi itu juga jel
"Sepertinya kau sudah melupakanku ya?" ucap Fritz dengan senyum miring yang membuat lawan bicaranya gemetar. "Padahal rasanya, aku sudah memberitahumu dengan jelas bukan?" "Layani aku atau mati," lanjut Fritz dalam desisan pelan. Anna sampai perlu menjauhkan wajahnya, karena wajah pria tua yang berbicara dengannya itu terlalu dekat. Wajah yang terlalu dekat itu, membuat Anna makin ketakutan saja. Dia bahkan nyaris mengigit lidah sendiri karenanya. "Kenapa kau malah gemetar?" tanya Fritz yang kini membelai wajah perempuan di depannya, kali ini membuat Anna berjengit pelan. "Apa kau takut?" "Menurutmu?" tanya Anna setelah menelan liur sebanyak dua kali, berusaha sekuat tenaga untuk terlihat biasa saja. "Apa kau pantas ditakuti?" "Tentu saja," balas pria tua itu, menepuk pipi sanderanya dengan pelan. "Sudah seharusnya semua orang patuh dan takut padaku." "Sayang sekali, tapi aku tidak," balas Anna makin mengeraskan kepalan tangannya, demi memupuk sedikit saja keberanian. "Bag
"Aku sedang membayar," jawab Anna memaksakan senyum. "Tapi aku melihat kau sedang menelepon." Pak sopir yang menghampiri, langsung membantah. "Memangnya aku tidak boleh menelepon?" tanya Anna berusaha untuk tenang. Petugas kasir yang merasa bingung, hanya bisa memperhatikan dua orang yang sepertinya sedang berdebat itu. Dia sebenarnya ingin menyela dan segera meminta bayaran, tapi situasi tidak begitu mendukung. "Sayangnya, kau tidak diizinkan untuk menelepon." Ekspresi ramah sang sopir, kini berubah menjadi lebih kaku. Dia bahkan tidak segan untuk merampas ponsel Anna. "Hei, itu ponselku." Tentu saja Anna berusaha untuk mengambil kembali miliknya. Sayang sekali, sepertinya sang sopir sudah kehabisan kesabaran dan memilih untuk menodongkan pistol. "Bersikap baiklah, atau kau akan tahu akibatnya," ucapnya terlihat sedikit kesal. Mau tidak mau, Anna mengangkat kedua tangan tanda menyerah. Bahkan petugas kasir minimarket pun melakukan hal yang sama. "Sekarang, jalan di de
Langkah Anna terlihat cepat ketika melintasi koridor penjara. Dia tentu saja sudah ingin pulang dan segera menelepon sang suami untuk mengkonfirmasi sesuatu. Namun, Anna tidak ingin melakukannya di area rumah sakit. "Nona Anna?" Seseorang tiba-tiba saja menghampiri, saat perempuan yang disebut namanya itu keluar dari pintu utama penjara. "Maaf, tapi aku tidak mengenalimu." Tentu saja Anna akan menghindar sebisa mungkin. "Aku tahu kau mungkin akan khawatir, tapi aku bukan orang jahat. Aku datang menjemputmu atas perintah ...." "Oh, apakah Megumi?" Tiba-tiba saja Anna memotong ucapan lelaki di depannya. "Apakah kau salah satu ... teman dekatnya?" "Ya." Lelaki tadi menganggu. "Lebih tepatnya hanya seorang sopir dari teman dekat Nona Megumi, jadi mari biar aku antar kau." Kening Anna berkerut mendengar ucapan lelaki di depannya. Terdengar meyakinkan, tapi dia juga sedikit ragu. Biar bagaimana, dia sudah pernah diculik dan tidak ingin hal itu terulang lagi. "Biar aku menghubu
"Dasar bedebah sialan." Alaric mendesis pelan, dengan sebelah tangan di kepala dan tangan yang satunya lagi memegang ponsel yang diarahkan ke wajahnya. "Kenapa kau tidak bilang kalau tujuanmu dan Anna sama?" "Tentu saja karena aku ingin mengerjaimu," jawab Levi diikuti dengan tawa keras yang jelas-jelas saja mengejek. "Sialan." Alaric tidak behenti mengumpat. "Sekarang aku menyesal mengangkat panggilan videomu." "Apa pun yang terjadi, kau pasti akan mengangkatnya." Levi masih saja tertawa. "Kau tidak lupa kalau semalam kau itu mabuk kan? Sopirku sampai mengantarmu pulang loh." Alaric kini menggeram marah. Dia rasanya masih ingin memaki, tapi ada hal yang jauh lebih penting untuknya. "Apakah kau bertemu dengan Anna? Atau mungkin kau punya cukup banyak waktu untuk mengunjungi rumahnya?" "Hei, kau pikir tempat ini kecil?" Levi memutar bola matanya dengan gemas. "Sudah pesawat kami berbeda, aku juga datang ke sini untuk bekerja. Aku sibuk tahu." "Kau kan punya waktu luang sa
"Bagaimana mungkin kau malah meneleponku untuk datang menjemputmu? Memangnya kau tidak punya teman atau keluarga lagi?" Seorang perempuan mengeluh dengan kedua tangan di pinggang. "Aku punya teman, tapi rasanya tidak enak juga merepotkan mereka," ucap Anna dengan senyum lebar. "Apalagi, papaku kan pernah membuat masalah di tempat mereka. Aku jadi tidak enak." "Lalu aku?" Perempuan yang lebih tua dari Anna itu kembali bersuara, kali ini dengan tatapan melotot. "Aku bahkan tidak akrab denganmu dan kau malah meminta tolong padaku? Lagi pula, dari mana kau tahu nomor teleponku?" "Aku rasa sekarang kau pasti sudah tahu siapa suamiku kan?" Alih-alih menjawab, Anna malah balik bertanya. "Menurutmu, bagaimana cara kami mencari tahu data orang?" "Ya. Ya." Perempuan teman bicara Anna memutar bola matanya karena gemas. "Aku rasa, kau hanya akan jadi makin besar kepala kalau aku bicara. Jadi ayo." "Terima kasih ya, Megumi." Setelah mengucapkan rasa terima kasihnya, Anna dengan senang