Keenan baru sampai ke rumah dan mendapati Khanza sudah tidak ada di rumah. Ada note tertempel di kulkas. Dari Khanza. Dia ada panggilan operasi. Keenan jadi tersadar suatu hal. Khanza masih sibuk dengan karirnya sebagai dokter, sedangkan dia saat ini menganggur. Roman sudah memecat Keenan.
Keenan duduk terhenyak di kursi. Mulai memikirkan apa yang harus ia lakukan sekarang. Tidak mungkin dia tidak bekerja dan hanya berdiam diri di rumah. Tidak. Keenan harus tetap menjaga marwah sebagai laki-laki, terlebih saat ini dia punya istri. Pun, ibu dan adik perempuan yang harus ia jaga dengan baik. Keenan akan segera mencari pekerjaan baru.
Rasa kantuk menghinggapi Keenan. Tak sadar ia tertidur di sofa. Sekitar satu jam kemudian, Keenan terbangun mendengar suara dentingan sendok beradu dengan gelas dari arah dapur.
Tak lama Khanza muncul dari dapur sambil membawa secangkir teh untuk Keenan. Khanza tersenyum dan memegang tangan Keenan. Hal itu malah membuat Keenan semakin malu dan minder. Khanza begitu sempurna untuk laki-laki seperti dirinya.
"Mas, kenapa lagi? Kok melengos gitu?" Khanza manyun."Astaghfirullah." Keenan beristighfar seketika ingat petuah Ustadz Rizal tadi.Keenan membelai kepala Khanza yang sudah tidak mengenakan kerudung. "Maaf, ya, Khanza. Aku cuma lagi suntuk aja. Biasanya jam segini udah sibuk di kerjaan," ujar Keenan.
Khanza mengangguk. Ia paham betul apa yang sedang Keenan pikirkan hingga begitu resah.
"Khanza, kamu apa gak menyesal menikah dengan laki-laki seperti aku? Aku ini cuma laki-laki miskin. Sedangkan kamu seoramg dokter, kaya, cantik. Kamu seperti bidadari," ucap Keenan polos.
Ucapan Keenan malah membuat Khanza tertawa. Itulah yang membuatnya jatuh cinta pada Keenan. Lelaki itu memang beda dari laki-laki yang lain. Begitu polos dan jujur.
"Mas, aku menikah itu bukan untuk harta dan derajat. Aku mau menikah sama kamu karena akhlak kamu, Mas. Kalau harta itu bisa dicari. Lagi pula, harta cuma titipan Allah. Kapan aja bisa diambil sama Allah," jelas Khanza.
Keenan tersenyum. Orang tua Khanza sepertinya telah mendidik Khanza dengan baik. Namun, masih ada onak yang mengganjal di hati Keenan. Sungguh dia merasa minder dengan Khanza.
"Mas, jangan sedih gitu, dong. Yakin Mas pasti nanti dapat kerjaan lagi. Yang penting ikhtiar dan doa, Mas. Ya udah yuk makan. Aku udah masakin cumi asem manis buat Mas. Ibuk bilang Mas paling seneng makan cumi." Khanza menarik tangan Keenan ingin mengajaknya ke meja makan, tapi Keenan bergeming.
"Aku belum lapar, Sayang. Sebentar lagi ya makannya...." pinta Keenan.
Khanza menatap Keenan yang masih duduk menyandar. Rambut Keenan agak berantakan, membuatnya terlihat semakin cool. Wajah tampannya membuat jantung Khanza berdebar-debar. Pandangan Khanza beralih ke kemeja putih Keenan yang terbuka dua kancingnya. Pasti tadi Keenan tidurnya gelisah sekali sampai bajunya berantakan. Hal itu membuat darah Khanza berdesir. MasyaAllah. Sungguh mempesona suami keduanya ini.
Khanza kembali mendekat ke Keenan. Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Keenan. "Mas...." bisik Khanza lembut, nyaris tidak terdengar suaranya.
Mendadak Keenan malah gugup. Wajahnya merah, tersipu malu. Hal itu membuat Khanza terkikik geli. "Mas belum lapar, ya? Jadi pinginnya apa sekarang?" tanya Khanza.
Khanza menyentuh dada Keenan. Seketika Keenan merasakan getaran yang hebat menyelimutinya. Istrinya begitu cantik walau tanpa polesan make up. Wajah Khanza merona seperti mawar yang bersiap dipetik. Bibir ranum merahnya sedikit terbuka menunggu respons dari Keenan. Keenan sangat mengerti apa yang diinginkan Khanza saat ini. Sebenarnya, ia juga sudah mulai merasakannya.
Khanza tersenyum dan menuntun Keenan bangkit berdiri dari duduknya. Keenan menuruti langkah Khanza yang membawanya ke kamar. Ini pertama kalinya bagi mereka.
Khanza yang telah lebih dulu duduk di tepian ranjang melambaikan tangannya pada Keenan mengajak Keenan untuk turut serta di dekatnya. Keenan merasa jantungnya berdetak semakin kencang. Buru-buru ia mengunci pintu kamar, hingga tidak sengaja kakinya tersandung bufet. Keenan mengaduh pelan. Sementara Khanza tertawa. Ya. Keenan tersenyum malu sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Ini memang akan menjadi yang pertama kali bagi mereka. Khususnya bagi Keenan. Hanya Khanza, satu-satunya orang di ruangan itu yang lebih berpengalaman.
Pikiran aneh mulai muncul dalam benak Keenan. Ia melamun membayangkan adegan Khanza di masa lalunya. Huh! Tiba-tiba saja sosok Roman berkelebat. Sungguh tidak enak membayangkan istri pernah melakukan hal-hal mesra dengan mantan suaminya.
Alis Khanza bertaut bingung melihat tingkah Keenan yang hanya berdiri melamun di dekat pintu. Khanza lalu bangkit berdiri dan mendekat ke Keenan. Perlahan dia mendekatkan wajahnya lagi ke wajah Keenan.
Keenan merasakan napas Khanza kian memburu, begitu juga dengan napasnya. Keenan menyentuh wajah Khanza lembut dan langsung kagum dengan mulusnya kulit wajah Khanza. Keenan jadi semakin penasaran apa tubuh Khanza juga semulus wajahnya.
Bibir Khanza yang sedikit terbuka dan matanya yang mulai sayu membuat Keenan semakin didera gairah. Keenan menyentuh ubun-ubun Khanza dan mengucapkan doa lalu perlahan mencium bibir Khanza, mengisi ruang kosong yang diberikan Khanza padanya. Sungguh lembut dan nikmat. Keenan baru tahu rasanya mencium seorang istri akan senikmat ini.
Khanza terlihat senang dicumbu oleh Keenan. Jari jemarinya mulai menggerayangi rambut Keenan, semakin menekan Keenan agar menciumnya lebih dalam. Keenan mulai mengerti bahasa tubuh Khanza dan melanjutkan ciumannya, semakin dalam dan menggebu.
Perlahan tangan Keenan menyibakkan kimono pink tipis yang dipakai Khanza. Dalam waktu beberapa detik, di hadapannya ia melihat kulit bening mulus Khanza. Keenan mengecup bahu lengan Khanza, kemudian naik ke lehernya. Khanza bereaksi, dadanya naik turun menahan getaran yang dasyat.
Keenan memandangi Khanza yang sudah terbuka setengah pakaiannya beberapa saat. Khanza sangat cantik. Mulus, bersih, lembut, dan tubuhnya proporsional. Tidak ada satu pun yang kurang dari penampilan fisiknya.
Khanza lalu bergerak ke ranjang. Ia mulai merebahkan tubuhnya. Dengan tatapan sayu ia menatap Keenan. Menunggu suami tampannya itu menyirami dirinya dengan kehangatan.
Keenan membuka kemeja dengan cepat seperti seorang pesulap yang menyingkap pakaiannya. Terlihat tubuh Keenan yang begitu kokoh dan atletis. Keenan lalu naik ke ranjang dan melanjutkan mencium Khanza.
Selama beberapa saat mereka saling mengekspresikan kasih sayang. Sambil terbaring, Khanza tersenyum bahagia memandang wajah tampan Keenan di atasnya tengah berpacu memberinya kenikmatan, lebih tepatnya saling memberikan kenikmatan, hingga Khanza tidak dapat mengendalikan diri dan menggeliat. Desahan demi desahan keluar dari bibir Khanza, tak sanggup ia tahan. Bahkan beberapa kali ia berteriak kenikmatan dan memukul-mukul pelan bahu Keenan. Ternyata bukan hanya sangat tampan, Keenan juga begitu kokoh perkasa. Bobot tubuh Keenan terasa begitu berat, membuat Khanza megap, tapi ia sungguh menyukai setiap detiknya. Khanza merasa jadi berjuta-juta kali bertambah mencintai Keenan. Ia memeluk Keenan yang membalas mendekapnya erat. Tak peduli napas mereka tersengal, keduanya melanjutkan lagi hal-hal indah yang sudah semestinya mereka lakukan.
Bersambung
Terima kasih sudah membaca part ini. Mohon support dan vote-nya ya teman-teman 🙋
Keenan menatap handphone-nya, berharap akan segera ada panggilan telepon dari suatu perusahaan untuk menerimanya bekerja. Namun, ini sudah sebulan berlalu. Tidak ada satu pun panggilan yang datang.Setiap malam Keenan mengerjakan sholat Tahajud berdoa agar ia segera diberi pekerjaan oleh Allah. Selama sebulan itu juga Khanza selalu menyemangatinya. Tak jarang Khanza menawari untuk meminta bantuan pada temannya, tapi Keenan merasa tidak enak pada Khanza. Takut nanti jadi omongan di antara teman-teman Khanza.Handphone Keenan siang itu berbunyi. Dengan penuh semangat, Keenan langsung angkat teleponnya. Nomor tidak dikenal."Halo," sapa Keenan tanpa bisa menyembunyikan nada penuh semangat."Halo, Bro. Ini gue Tedy," sahut suara dari ujung sana. Seketika Keenan merasa tubuhnya lemas. Hah! Baru saja ia mengira dapat panggilan kerja."Oh, lo, Ted," kata Keenan.Terdengar suara tawa Tedy dari ujung sana. "Napa lo, Bro? Kok gak sem
Gaes, sebelum baca, follow dulu dong. Mohon support-nya biar makin semangat nulis. Vote ya temans. Keenan berlari cepat dan menyambar tubuh Mila tepat sebelum gadis itu melompat dari jembatan. Mila langsung memberontak dan ingin melepaskan diri, masih berkeinginan untuk melompat."Mila! Kamu kenapa, Mila? Jangan gila, Mila!" seru Keenan panik.Mila menangis dan menatap Keenan frustrasi. "Biarin aku mati, Keenan! Udah gak ada gunanya lagi aku hidup di dunia ini!" seru Mila.Keenan bingung, berusaha menenangkan Mila. "Istighfar, Mila. Sebenarnya kamu kenapa? Masalah seberat apa pun, kita bicarakan baik-baik, ya," bujuk Keenan.Mila menangis tersedu-sedu dalam pelukan Keenan. Seketika Keenan jadi enggan teringat Mila bukan mahramnya. Namun, seberapa kuat dia
Teman-teman mohon support follow dan vote, ya. Biar makin semangat nulisnya.Khanza baru selesai mengoperasi pasien. Baru saja keluar dari ruang operasi masih berpakaian operasi lengkap dengan penutup kepala. Wajah cantiknya terlihat lelah dengan peluh bertitik-titik di dahinya. Sudah tiga pasien dari pagi ke siang itu ia tangani. Yang terakhir adalah anak kecil berusia enam tahun yang sakit jantung dan menjalani operasi pemasangan ring.Masih terbayang di benak Khanza wajah anak kecil itu saat sudah dibius. Begitu kecil dan lemah. Sebenarnya tak sampai hati melihat malaikat kecil mengidap penyakit yang membuatnya tak berdaya.Khanza mendadak pusing dan limbung. Tubuhnya miring hampir terjatuh kalau saja rekan dokter dan perawat tidak menangkap tubuh Khanza."Lho? Dokter Khanza kenapa? Mukanya pucat banget," kata Suster Bunga khawatir."Iya, nih. Kamu dari kemarin kok lemes terus, Za?" tanya Dokter Anna, sahabat Khanza.
Teman-teman, sebelum baca, jangan lupa vote. Yang ikutin cerita ini, follow ya sebagai bentuk support. Makasih. Keenan bingung bukan main bagaimana lagi caranya membujuk Khanza. Sudah dua hari Khanza menolak bertemu dengannya. Jangankan membiarkan Keenan masuk ke rumah, menatap wajah Keenan saja sang istri tak sudi.Sore itu sepulang kerja Keenan, hujan turun lebat. Apes. Keenan lupa bawa jas hujan. Jadilah ia basah kuyub dari kantor."Assalamualaikum, Za. Aku pulang," kata Keenan dengan suara bergetar kedinginan di teras rumah.Tidak ada sahutan. Keenan menarik napas berat dan memilih menunggu di bangku teras ditemani rintikan hujan yang semakin deras.-oOo-Khanza mual-mual dan berlari cepat ke toilet sebelum muntah di sembarang tempat. Perasaannya campur aduk. Jadi begini rasanya jadi wanita hamil? Baru saja ia tersenyum, tapi senyum itu langsung memudar ter
Hai! Keenan dan Khanza balik lagi. Sebelum baca, jangan lupa vote dan follow, ya. Makasih. Keenan duduk merenung di sudut ruangan masjid. Rambutnya masih basah bekas air wudhu. Ia baru saja selesai melaksanakan sholat Magrib dan berencana malam itu sebaiknya tidur di masjid saja. Sudah tiga hari dia meriang tidur di luar rumah. Gemuruh badai masih menguasai hati Khanza, sang istri.Duh, pingin banget makan rujak. Udah dicari ke sana kemari gak nemu 😢 mau keluar lagi, udah kecapekanItu WhatsApp story Khanza yang baru dibaca Keenan dari nomor lain yang tidak diketahui Khanza bahwa sebenarnya itu milik Keenan juga, karena nomor Keenan sudah diblokir. Segera saja Keenan mengirim pesan SMS pada Khanza menawarkan untuk membelikan rujak, tapi tidak ada jawaban. Dugaan Keenan, mungkin nomor ponselnya juga sudah diblok."Keras kepala," gumam Keenan lalu memakai jaketnya dan melangkah meninggalka
Kafe tempat Keenan membuat janji temu dengan Roman tidak begitu ramai. Mayoritas pengunjungnya adalah pekerja sibuk yang punya waktu sesaat sebelum kembali bekerja. Keenan sudah menunggu Roman di salah satu meja di bagian pojok selama sepuluh menit. Tak lama Roman muncul dari pintu kafe. Segera Keenan membetulkan posisi duduknya dan tampak tegang. Roman menyeringai begitu melihat Keenan lalu akhirnya duduk di hadapan laki-laki yang ingin sekali ia hajar. "Ngapain lu ajak gua ketemuan di sini? Mau berubah pikiran dan nyerahin Khanza sama gua?" ujar Roman. Keenan mengepalkan tangannya hingga buku-buku jarinya terlihat menonjol. "Sama sekali bukan. Tapi gua memang mau akhiri urusan sama lu," sahut Keenan yang kemudian meletakkan koper di atas meja dan membukanya. Tampak lembaran-lembaran uang tersusun di dalamnya. Roman terperanjat dan memandang Keenan dan uang bergantian kelihatan heran dan tak menyangka. "Apa ini?"
Kehamilan Khanza sudah memasuki usia tiga bulan. Selama itu pula kebahagiaan meliputi kehidupan Khanza dan Keenan. Tidak sedetik pun Keenan luput memperhatikan kebutuhan Khanza. Berbagai kebutuhan wanita hamil seperti makanan bergizi, vitamin, dan juga kegiatan yang menyenangkan untuk wanita hamil.Siang itu Keenan sengaja mengajak Khanza jalan-jalan ke mall untuk memilih beberapa keperluan bayi."Ini bagus, Sayang. Cocok buat anak kita," ujar Keenan seraya menunjukkan box bayi berwarna biru kepada Khanza saat mereka ada di toko perlengkapan bayi.Khanza manyun lalu menunjuk ke arah box bayi lain yang berwarna merah muda. "Tapi aku sukanya yang itu, Sayang."Keenan malah tertawa. "Kok pink sih? Kalau anak kita cowok kan nggak banget. Masa jadi ehem ehem gimana gitu. Takara ah!"Khanza mencubit Keenan gemas. "Apaan sih? Ya jangan dong. Lagian kamu kok tahunya bahasa begituan? Jangan-jangan gaulnya sama lagibete! Atau jangan-jangan
Sudah seminggu Mila tinggal di rumah Bu Ida, ibu Keenan. Selama itu juga Hani memperlakukan Mila dengan baik. Namun tidak dengan Bu Ida yang sejak kedatangan Mila hatinya berat menerima Mila. Siang itu, Bu Ida sedang menyiapkan sop iga yang baru matang, menata rapi ke dari panci ke mangkuk. Hani datang menghampiri ibunya di dapur sambil membawa sayuran yang baru dibeli di pasar. "Wah, kayaknya ada yang masak-masak enak nih." Hani dengan ceria menggandeng tangan ibunya. Bu Ida menarik tangannya tidak sabar. "Haduh, kamu ini. Ya awas, nggak lihat apa ibunya lagi sibuk nyiapin makanan." "Tumben masak sop iga, Bu. Kan kita di rumah nggak ada yang doyan." Hani menatap bingung sop iga. Bu Ida tersenyum sambil mengambil rantang empat susun dan mulai menempatkan sog iga ke salah satu rantang. "Ya memang bukan buat kita. Ini kan buat menantu ibu Khanza." Hani tersenyum. Ia mengerti ibunya begitu menyayangi Khanza kak