Ki Praja memberi Bagas bungkusan kain merah. "Le!" panggil Ki Praja. "Ini adalah jimat pengikat perjanjianmu dengan Genderuwo!" ucap Ki Praja.
Bagas memandang benda tersebut dengan ragu. “Apa ini, Ki? Apa dari perjanjian tadi?”
Ki Praja mengangguk sambil menyerahkan jimat itu. "Bener. Ini adalah jimat yang akan melindungi perjanjianmu, Le!" ujar Ki Praja, lanjutnya, "jimat ini pengingat mu agar nggak melanggar perjanjian yang udah dibuat. Selama, memegangnya, kamu akan dilindungi oleh kekuatan dari Genderuwo, dan kekayaan yang di harapkan akan segera datang."
Bagas menerima jimat itu dan pulang saat matahari mulai terbit. Bagas langsung tertuju ke ladang di depan rumahnya, dan dia tertegun. Lahan yang dulu tandus dan gersang kini berubah menjadi hijau, dengan tanaman yang mulai tumbuh subur. Hampir tak percaya, dia berjalan mendekat dan meraba daun-daun segar yang tampak sehat.
Bagas merasakan kenikmatan hasil dari perjanjian dengan Genderuwo.
"Ratih! Ratih, cepetan ke sini!" panggil Bagas dengan antusias.
Ratih keluar dari rumah, terlihat heran mendengar panggilan suaminya yang begitu semangat. Dengan langkah cepat, dia mendekati Bagas dan mengikuti pandangan suaminya ke arah ladang.
"Mas ... Ini bener ladang kita? Ladang kita berubah," ucap Ratih sambil tersenyum lebar. "Dulu, sekeras apa pun tanah ini tetap tandus."
Bagas mengangguk dengan bangga. "Aku juga nggak menyangka, Ratih. Seperti ada keajaiban yang terjadi di sini."
Bagas menatap ladang yang kini mulai hijau. Dalam hatinya, dia merasakan kegelisahan. Dia tahu bahwa perubahan ini bukan semata hasil dari kerja keras tetapi juga perjanjiannya dengan Genderuwo.
Beberapa tetangga kebetulan lewat dan melihat perubahan di ladang Bagas. Mereka berhenti sejenak, mengamati tanaman yang tumbuh subur.
Suara riuh rendah terdengar di ladang milik Bagas. Semakin banyak yang berdatangan. Penduduk desa berkumpul, membantu Bagas memanen hasil kerja kerasnya.
Tanaman padi di ladangnya tampak sehat dan berlimpah, dengan bulir-bulir yang gemuk dan berwarna kuning keemasan. Ini adalah panen yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya, bahkan jauh lebih banyak dari yang pernah dirasakannya.
Ratih mendekati Bagas yang sedang sibuk memotong batang padi. Wajahnya berseri-seri melihat suaminya tampak bersemangat. “Mas, lihat hasil panen kita! Semua orang desa sampai kagum melihatnya,” ucap Ratih sambil tersenyum lebar.
Bagas mengangguk sambil tersenyum kecil, meski dalam hatinya ada sesuatu yang tak tenang. “Ya, Ratih. Ini bener dii luar dugaan kita. Mungkin kerja keras kita akhirnya terbayarkan.”
Ratih menepuk bahu suaminya dengan penuh rasa bangga. “Mas, aku seneng akhirnya kita bisa merasakan hasil dari kerja keras selama ini.”
Bapak Maman, salah satu tetangga mereka yang membantu memanen, menghampiri dan memuji. “Le! aku belum pernah lihat panen sebesar ini di desa kita. Apa rahasianya, sih?”
Bagas tertawa kecil, menahan rasa gelisah yang mendesak di dalam dadanya. “Nggak ada rahasia, Pak dhe. Mungkin hanya keberuntungan dari kerja keras.”
Bapak Maman mengangguk setuju. “Ya, bener. Yang penting kita selalu berusaha. Tapi serius, Le, hasil panenmu ini luar biasa. Mungkin nanti kamu bisa jual sebagian ke kota.”
Bagas hanya mengangguk sambil tersenyum, berusaha menyembunyikan ketidaknyamanan yang mulai membuncah. Kemakmuran yang ia nikmati sekarang tidak datang begitu saja. Ada harga yang harus dia bayar dalam perjanjiannya dengan Genderuwo.
***
Malamnya, setelah suasana rumah mulai sepi, Bagas duduk di depan rumah, merenungi ladangnya yang kini subur. Angin malam berhembus lembut, tetapi tiba-tiba dia mendengar suara samar dari arah ladang, seperti bisikan yang memanggil namanya.
"Bagas! Ingat perjanjian kita!" suara itu terdengar berat dan serak, seakan berasal dari kedalaman bumi.
Bagas menggigil, bulu kuduknya berdiri. Dia tahu suara itu pasti dari Genderuwo yang pernah ditemuinya.
Dia bergumam pelan, "Aku nggak akan melupakan janjiku! Nggak akan!"
Ratih yang kebetulan mendengar suaminya berbicara sendiri, keluar dari rumah dan duduk di samping Bagas.
"Mas, kamu ngomong apa barusan?" tanya Ratih dengan nada lembut.
Bagas tersentak, lalu berusaha tersenyum. “Ah, nggak ada, Ratih. Mungkin aku hanya sedang memikirkan ladang kita.”
Ratih menatap suaminya dengan cemas. "Kalau ada yang kamu rasakan, Mas, jangan dipendem sendiri. Kita kan selalu bersama dalam susah maupun senang."
Bagas hanya tersenyum ragu. Malam semakin larut, Bagas bermaksud untuk beristirahat. Belum sempat terlelap, Bagas mendengar suara samar di luar jendela, seperti ada sesuatu yang bergerak di sekitar rumah mereka.
Langkah berat terdengar juga dari ruang tamunya. Terasa suara itu semakin mendekat di pintu kamar. Di atap rumahnya terdengar benda keras yang jatuh.
Dia juga melihat sekelebat bayangan dari luar rumah. Dia bangkit dari tempat tidur dan berjalan ke jendela, menatap ke luar.
Tampak dari kejauhan, bayangan hitam besar berdiri di ladang miliknya.
"Apa itu? Astaga! Itu Genderuwo!" Seketika rasa merinding menyambar tubuhnya. "Apa, ini udah mulai melakukan persyaratan itu?"
"Abah... mereka semua meninggal!" Keringat dingin mengucur deras di pelipis Feri. Tubuhnya gemetar menyaksikan pemandangan mengerikan di hadapannya. Puluhan, bahkan ratusan mayat warga Desa Karangjati tergeletak tak bernyawa di sekitar ladang milik Bagas. Tidak satu pun yang selamat. Tanah coklat itu kini berubah menjadi lautan merah. Darah segar meresap ke dalam bumi, dan bau anyir menyengat memenuhi udara malam. Angin berembus pelan, seakan membawa bisikan kutukan yang tak akan pernah berhenti. "Ratih... dan anak-anaknya mana?" tanya Feri dengan suara lirih, matanya liar menatap sekeliling. Kyai Ahmad menoleh ke kanan dan kiri, mencoba menemukan tanda-tanda keberadaan mereka. Namun tak ada jejak Ratih, Jagat, ataupun Kala. Seolah mereka lenyap ditelan kegelapan. "Apa yang harus kita lakukan sekarang, Abah?" Kyai Ahmad menghela napas panjang. Matanya yang tua menyiratkan kepedihan dan penyesalan mendalam. "Siapkan kuburan massal untuk mereka semua," ucapnya pelan. Saat matahar
"Jangan takut! Bakar istri dan anaknya, cepat!" Warga yang berlarian kembali ke balai desa. Mereka menyeret Ratih dan membawa kotak yang berisi kedua anak Ratih. Kali ini, nyawa Ratih benar-benar di ujung tanduk. Warga sudah tidak punya rasa iba lagi terhadap mereka. Pengalihan dan penjelasan yang dikatakan Kyai Ahmad bagai angin lalu. Tidak ada ampun, bahkan pengampunan pun tidak. "Seret dia ke ladang!" perintah seseorang yang sejak tadi menjadi provokator warga. Feri, yang dulu sempat menjadi korban Bagas, hanya bisa diam. Ia tidak bisa berbuat apa pun. Usahanya menghalangi warga justru berbuah pukulan keras. "Abah, bagaimana ini? Mereka sudah tidak mau mendengarkan kita!" ujar Feri. Sementara itu, Ratih dijambak dan diseret ke ladang miliknya dulu yang kini tandus. Injakkan keras bertubi-tubi menghantam badan dan wajahnya. Darah mulai mengucur cukup banyak. Ratih melemah, tak ada pergerakan yang bisa menghalangi setiap pukulan. Warga membabi buta. Sementara itu, sosok
"Ratih! Kamu harus bertanggung jawab! Suamimu penyebab semua ini!” Suara ricuh terdengar di depan rumah Ratih. Bebrapa warga telah menyalakan obor. Hal ini sama persis dengan kejadian ketika Bagas hampir di eksekusi oleh seluruh warga desa. "Tenang ... harap tenang!" ucap Feri. Namun, ucapan itu hanya menenagkan sekian detik amarah seluruh warga desa. Setelahnya mereka mendobrak pintu rumah Ratih tanpa aba-aba. Terlihat jelas, Ratih ketakutan sambil menggendong kedua anak kembarnya. Ratih beruaha untuk melarikan diri. Tapi, apalah daya, semua warga desa telah mengepung rumahnya. Ratih di geret dan di lepaskan dari kedua anak iblisnya. Beberapa pukulan melayang ke wajah Ratih. Sedangkan anaknya di masukkan ke dalam box yang telah berisikan beberapa mantra dari dukun. Kyai Ahmad serta beberapa santrinya menarik paksa Ratih."Serahkan Ratih! Biar dia menebus dosanya!” Suara-suara keras menggema di tengah alun-alun desa, diiringi obor-obor yang berkobar liar, menciptakan bayang-ba
“Kenapa kau lihat aku begitu, Sarman?” “Kau... kau mau bunuh aku, kan? Aku tahu! AKU TAHU!” “Gila kau, Wati! Aku nggak mau apa-apa—ARGH!!” Suara jeritan dan suara benda tajam menghantam tubuh manusia mulai menggema... di tengah pertemuan yang seharusnya mencari keselamatan."_ Setelah malam penuh teror, warga Desa Karangjati yang tersisa berkumpul di balai desa pagi itu. Wajah-wajah lelah, mata merah, luka-luka yang belum sempat sembuh — semua berkumpul dengan satu tujuan: mencari solusi. Taufik, Bagus, Mila, dan beberapa orang lainnya berdiri di tengah-tengah, mencoba menenangkan semua orang yang mulai kalap. "Kita harus bersatu!" seru Taufik lantang. "Kalau kita pecah, kita habis satu per satu!" Namun, suasana di dalam balai desa itu, aneh. Udara terasa berat. Panas. Seperti ada sesuatu yang tidak terlihat, menekan dada mereka. Bisikan-bisikan kecil mulai terdengar —bukan dari mulut manusia, tapi dari dalam pikiran mereka masing-masing. "Lihat dia... Dia mengincarmu.
“Kenapa tanganku berdarah...? Aku... aku mimpi membunuh seseorang...” “Aku juga... Aku bangun dengan pisau di tanganku! Apa yang terjadi malam ini?!” Angin malam bertiup dingin, menyapu reruntuhan Desa Karangjati yang kini lebih mirip kuburan massal. Suara-suara burung malam pun seakan enggan terdengar, digantikan desau kabut tebal yang menyelimuti segalanya. Taufik dan Bagus, bersama beberapa warga yang masih selamat, berusaha bertahan di sebuah rumah kosong yang masih utuh sebagian. Mereka memberi pintu dengan papan, mengunci semua jendela, dan berkumpul di satu ruangan sambil menyalakan lilin kecil. Tak ada yang berani tidur. Tidak setelah apa yang terjadi hari itu. Namun kelelahan akhirnya menaklukkan mereka. Satu per satu, mata-mata yang penuh ketakutan mulai tertutup. Tak ada yang sadar, bahwa ketika mereka terlelap, teror akan muncul. Sekitar tengah malam, Taufik terbangun mendadak. Tubuhnya berkeringat dingin, napasnya memburu. Ia baru saja bermimpi. Mimpi yang te
"“Dengar suara itu?” “Suara apa? Aku... aku dengar tawa anak-anak...” “Bukan... itu suara bisikan. Mereka... mereka masuk ke dalam kepala kita!” Kabut belum juga terangkat dari atas tanah Desa Karangjati, seolah desa itu dikurung dalam dunia lain. Bau anyir darah masih begitu tajam menusuk hidung. Taufik dan Bagus, meski selamat dari pengaruh Jagat dan Kala malam sebelumnya, belum benar-benar bebas. Ada sesuatu yang tertinggal di dalam kepala mereka — bisikan-bisikan halus, tawa kecil yang kadang muncul tiba-tiba di telinga. Dan kini... mereka melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana bencana yang lebih besar mulai terjadi. Warga yang tersisa, mereka yang semalam selamat karena bersembunyi, satu per satu mulai bertingkah aneh. Mula-mula hanya tatapan kosong. Kemudian suara-suara gumaman. Akhirnya jeritan, teriakan, kekerasan tanpa alasan. Pagi itu, Seorang ibu-ibu tiba-tiba menyerang suaminya dengan pisau dapur, berteriak-teriak seolah melihat setan di hadapannya. Anak-a