“Arif!” Suara Sungkai Mahoni terdengar melengking dari luar rumah.
"Buat malu Ayah saja! Kamu selalu jadi bahan cerita di keluarga," omel Sungkai begitu masuk ke rumah. Dia menutup pintu dengan keras.
Malam itu, langit di Desa Misahan berwarna kelam. Awan tebal menggantung rendah menandakan datangnya hujan. Suara cicada melengking di udara, dan menciptakan suasana tegang yang menyelimuti rumah Arif.
"Ada apa, Yah?" tanya Misna Bengkirai, ibunya Arif.
Ayahnya kemudian bercerita panjang lebar sambil meremas rambutnya. Di ruang tamu yang sempit, Arif berusaha mencuri dengar pokok permasalahan yang membuat ayahnya marah-marah.
Sungkai duduk bersama istrinya. "Tanya sama anakmu! Dia selalu bikin malu saja! Dia mau melamar Lila Cendana, tapi nggak punya pekerjaan."
Arif menghela napas. Dia menahan emosinya.
"Untung saja yang menegurku mas Bintan Mahoni, kakakku yang kaya dan pelit itu. Malu! malu! Mau ditaruh di mana wajah Ayah?!"
Keluhan Sungkai memancing emosi Misna.
"Kamu ini, Arif! Selalu jadi beban! Apa kamu tidak malu dengan dirimu sendiri?!" teriak Misna. Wajahnya memerah, dan matanya menyala penuh kekecewaan.
Arif duduk meresapi setiap kata pedih yang terlontar dari mulut orang tuanya. Teriakan Misna mampu membuat lampu minyak bergetar di sudut ruangan, memantulkan bayangan wajah-wajah tegang. Suasana pun semakin mencekam.
"Mimpi yang tinggi itu hanya akan membuatmu jatuh lebih dalam! Tidak ada yang bisa kamu banggakan!" sambung Sungkai. Nada suaranya menekan dan wajahnya keras seperti batu.
Setiap kata seperti pisau tajam yang menghujam jiwanya. Arif merasa semakin terasing dan tidak dihargai di rumahnya sendiri. Dia menahan amarah yang berkobar, dan berjuang melawan keinginan untuk berteriak.
Dalam hatinya, perasaan cinta kepada orang tua masih terikat. Namun, penghinaan yang terus-menerus membuatnya ingin pergi jauh dari tempat ini.
"Apalagi, mimpi nikah sama Lila Cendana. Ingat, dia itu anak juragan! Lihat aja! Keluarga Ayahmu jadi menghina kita. Kalau Gibran Mahoni, anak pakdemu yang mau melamar Lila itu wajar. Karena dia orang kaya. Seharusnya sebelum kamu bicara sama pakdemu, dipikir dulu!" Ibunya terus mengomel.
Dengan langkah berat, Arif bangkit dari kursi kayu yang berderit dan berjalan ke jendela. Di luar, kegelapan hutan seolah memanggilnya.
Bayangan pohon-pohon tinggi menjulang seperti tangan-tangan meraih, siap menyambut Arif dan menariknya ke dalam kegelapan. Angin malam berhembus dingin dan menggoyangkan daun-daun, seolah menyiratkan sesuatu yang tidak baik.
Dalam hatinya, Arif merasakan desakan untuk melarikan diri, lalu mencari tempat di mana dia bisa diterima.
Tiba-tiba, suara ketukan keras menggema di pintu depan, memecah ketegangan. Arif menoleh, jantungnya berdegup kencang.
"Siapa itu?!" tanya ibunya masih dengan emosi.
Arif ingin membuka pintu, namun langkahnya terhenti. "Jangan dibuka!" teriak ibunya lagi, suaranya kini panik.
Arif terhenti. Matanya melebar, bingung dan ketakutan. Suara ketukan itu kembali terdengar, lebih keras dan lebih mendesak.
"Bu?" tanya Arif meminta persetujuan ibunya. Tapi wajah panik ibunya seolah menjawab.
Arif kembali terdiam, rasa ingin tahunya mendorongnya maju, tetapi ketakutan akan konsekuensi membuatnya ragu. Dia menatap wajah orang tuanya yang cemas. Bayangan di balik pintu seolah memanggilnya, menggoda dengan janji-janji yang tak jelas dalam pikirannya.
"Jangan-jangan, itu pakdemu! Kamu sudah membuat mereka malu. Karena berani-beraninya ingin melamar gadis pujaan anaknya." Suara ayahnya kembali terdengar pelan, dengan berbagai pikiran konyol di kepala.
Arif merasakan angin yang masuk dari luar sangat dingin dan terasa kencang, mendesaknya untuk mengambil keputusan.
“Tapi kalau benar itu pakde, udara dingin sekali, Yah." Arif memberanikan diri berbicara.
Ibu dan Ayahnya melirik tajam, lalu menggelengkan kepala. Arif yang bingung semakin merasakan dorongan untuk keluar, menjawab panggilan yang tak bisa dia jelaskan.
Apa yang tersembunyi di balik pintu malam itu? Ketika ketukan semakin keras, suara hatinya membisikkan, “Apa kau akan tetap terkurung di sini, atau berani menghadapi apa yang ada di luar?”
Akhirnya, tanpa berpikir panjang, Arif mengulurkan tangan dan membuka pintu. Di luar, hutan menunggu, dan suara-suara malam menyambutnya. Arif menatap ke arah jalan setapak yang terbentang menuju kegelapan.
‘Aku butuh udara segar,’ bisiknya dalam hati. ‘Jika hanya mereka yang mengerti,' lanjutnya lagi.
Dengan langkah mantap, Arif melangkah menjauh dari rumah yang penuh dengan kenangan pahit. Setiap langkah terasa berat, tetapi di dalam hatinya ada dorongan kuat untuk menemukan tempat di mana dia bisa diterima, dan di mana mimpi-mimpinya bukan lagi bahan ejekan.
“Mau ke mana Rif?” tanya Dimas yang melintas.
Arif hanya tersenyum dan menunjuk ke arah hutan Misahan yang berada di desanya. Sekitar lima langkah Arif berjalan baru dia tersadar, Arif menoleh ke arah Dimas berjalan.
“Loh, Dimas tadi ke mana? Seharusnya dia saat ini sampai tepat di depan rumahku?” tanya Arif yang tidak lama diikuti pekikan burung hantu yang bersautan dengan lengkingan suara cicada.
Terima kasih ya, Teman-teman...Nggak kerasa, ya? Kita udah bareng-bareng dari Bab 1 sampai Bab 262. Cerita Arif Mahoni dan dunia mistis Kandang Bubrah udah nemenin kita selama berbulan-bulan (atau bahkan tahunan? hahaha maksud aku akhir tahun2024-2025 seolah tahunan). Rasanya nano-nano banget nulis cerita ini kadang aku tuh merinding, kadang nangis sendiri, kadang pengin nyubit karakter buatan sendiri.Tapi yang bikin aku terus semangat nulis sampai tamat itu kalian. Iya, kalian yang tiap update langsung baca. Yang rela ngulang bab-bab sebelumnya, yang rajin komentar, yang kirim DM /WA langsung penuh semangat, bahkan yang suka nyebutin adegan favorit, tau ngak? kalian tuh the real MVP. Tanpa kalian, cerita ini mungkin nggak akan pernah selesai.Shout-out khusus buat pembaca aktif dan penggemar setia yang dari awal udah jadi saksi hidupnya Arif. Kalian tahu siapa kalian, kan? Yang suka bikin teori, yang marah kalau tokohnya nyebelin, yang minta ending macem-macem, sampai yang suka ngan
Senja datang perlahan seperti kabut tipis yang menyelimuti perbukitan di kejauhan. Cahaya jingga merambat di dinding rumah, memantulkan warna emas pada bingkai foto dan kaca jendela yang berembun. Di beranda, Lila duduk ditemani secangkir wedang jahe dan suara angin lembut yang menyisir pohon kenanga.Hari itu, seluruh warga desa berkumpul di balai untuk doa bersama. Jatinegara diminta untuk menyampaikan sepatah dua patah kata sebagai perwakilan generasi muda. Lila tak ikut, tubuhnya sudah terlalu letih. Tapi ia tidak sendiri. Ia ditemani segala kenangan yang selama ini disimpannya dalam diam.Ia menatap foto Arif yang kini terbingkai lebih kokoh dari sebelumnya. Dalam hati, ia berbicara, seperti berbicara pada seseorang yang duduk di sampingnya."Aku nggak tahu berapa lama lagi waktu akan memberiku ruang, Rif. Tapi aku nggak takut. Aku sudah lihat kamu dalam mimpiku. Aku pernah tinggal bersama bayang-bayangmu. Dan sekarang, aku tinggal di dunia yang kita bentuk bersama... meski kau l
"Kepada Dimas...Jika kau memang pernah ada, terima kasih sudah menemani aku di dunia yang tak nyata itu. Mungkin kau hanya bayangan, bentukan dari rasa sepi dan kehilangan. Tapi dalam mimpi itu, aku merasa dicintai, aku merasa dilindungi, dan aku merasa masih punya masa depan.Kau hadir ketika aku paling rapuh, dan kau tinggal hingga aku kembali kuat. Itu lebih dari cukup.Hari ini, aku menatap hidupku apa adanya. Tak ada Dimas. Yang ada hanyalah Arif, suamiku yang telah lama tiada. Dan Jatinegara, anak kami yang kini berdiri kokoh meski tumbuh tanpa pelukan ayahnya.Aku tidak lagi bertanya kenapa hidup tak seperti dalam mimpiku. Aku hanya bersyukur, karena pernah punya keberanian untuk mencintai—meski hanya dalam tidur panjangku."Lila berhenti menulis. Air mata mengalir perlahan di pipinya. Tapi ia tersenyum. Ada sesuatu yang lega dalam dirinya. Seperti beban yang lama mengendap akhirnya luruh bersama hujan pagi itu.Ia melipat surat itu perlahan, lalu meletakkannya di dalam kotak
Mungkin memang tidak ada Dimas. Tapi ada Arif, yang dulu pernah ia cintai, yang memberinya Jatinegara. Ada dirinya yang kuat. Ada kenangan yang meskipun hanya mimpi, terasa nyata hingga akhir hayat.Hari itu, udara di Desa Misahan membawa aroma kenanga dan tanah basah. Lila duduk di kursi rotan di beranda rumah, selimut menutupi kakinya yang mulai sulit digerakkan. Di sampingnya, secangkir teh melati mengepul pelan. Suasana begitu hening, namun tidak sunyi. Heningnya menenangkan, seperti bisikan yang sudah akrab didengar selama puluhan tahun.Jatinegara sibuk menyapu halaman. Tubuhnya tinggi tegap, langkahnya mantap. Beberapa kali ia melirik ke arah ibunya, memastikan Lila baik-baik saja. Sesekali, ia melempar senyum. Lila membalasnya dengan anggukan kecil.“Bu, nanti siang aku masak sop ya,” seru Jatinegara dari kejauhan.“Jangan lupa kasih seledri,” jawab Lila pelan, suaranya mulai bergetar, tapi masih hangat.Jatinegara tertawa. “Iya, Bu. Aku ingat.”Lila menatap langit. Awan putih
Dalam perjalanan pulang, Lila dan Dimas mampir ke kebun warga. Beberapa anak muda sedang bangun rumah kaca kecil dari bilah bambu dan plastik bening."Lagi nyoba tanam tomat, Bu," kata salah satu dari mereka. "Sama cabai dikit-dikit."Lila jongkok, memperhatikan tanah yang baru dicangkul."Bagus. Rawat baik-baik ya. Ini bukan cuma kebun. Ini cara kita berdamai."Dimas membantu memasang atap plastik, ikut mengikat tali rafia. Saat selesai, mereka duduk di bawah pohon, menikmati air kelapa muda yang baru dipetik."Rasanya beda, ya," gumam Lila sambil menatap langit. "Bukan karena hutannya udah nggak ada, tapi karena sekarang, kita udah bisa narik napas tanpa takut."Dimas mengangguk. "Dan kita nggak sendiri lagi."Ia menggenggam tangan Lila. Di sekitar mereka, suara tawa, palu, dan cangkul menyatu jadi musik baru desa itu.Malamnya, Lila mencatat di buku hariannya:“Hari ini aku lihat wajah-wajah yang dulu takut, sekarang tersenyum. Lengan-lengan yang dulu hanya memeluk ketakutan, sekar
Dimas duduk di sebelahnya. "Kamu ingat waktu dulu kita duduk seperti ini tapi sambil memegangi jimat dan pisau garam?"Lila tertawa pelan. "Dan merapal doa setiap kali angin bertiup terlalu kencang. Sekarang, angin hanya angin."Setelah sarapan, mereka mengajak Jatinegara ke ladang milik warga yang mulai dikelola bersama. Dulu tanah itu tak tersentuh karena diyakini ‘tidak bersih’, tapi kini warga mulai menanam jagung, cabai, dan kacang panjang di sana.“Tanah ini dulu menyerap banyak darah dan rahasia,” kata Pak Suroto, warga tertua di desa. “Tapi anak-anak sekarang akan menyiramnya dengan air dan tawa. Itu cukup. Lebih dari cukup.”Lila membantu menanam bibit, sementara Dimas menggali parit kecil bersama pemuda desa. Jatinegara asyik bermain tanah dengan anak-anak lain.“Dulu aku ingin pergi dari sini,” kata Lila sambil menepuk tanah. “Sekarang, aku ingin menua di sini.”Dimas memandangnya dengan mata hangat. “Kita akan menua di sini. Bersama.”Sore hari, langit mulai berwarna jingg
"Apa yang harus kami lakukan?" tanya Lila.Bu Retno menggenggam tangan Lila erat."Kalian harus kembali ke tempat asal semua ini. Hutan Misahan. Di sanalah jejak terakhir Arif terkubur. Dan mungkin... hanya di sanalah kalian bisa benar-benar membebaskan diri dari bayangannya."Malam pun tiba.Lila duduk di samping tempat tidur Jatinegara, menatap wajah anaknya yang kini tampak lebih dewasa dari usianya."Besok, Ayah dan Ibu harus pergi sebentar," bisiknya."Ke mana?" tanya Jatinegara mengantuk."Ke tempat yang dulu pernah kita tinggalkan. Tapi kali ini, untuk menutup semuanya."Jatinegara menggenggam jari ibunya. "Jangan lama-lama, ya. Aku tunggu di sini."Lila mencium kening anaknya. "Kami janji akan kembali."Dan di luar rumah, pohon mangga bergoyang pelan. Angin malam membawa bisikan samar:"Tutup yang terbuka dan lepaskan yang tertinggal."Langkah Lila sudah semakin dekat. Dia sudah tidak sanggup menghadapi segala kejadian itu.Esok hari, mereka akan kembali ke hutan.Pagi itu, si
Malam itu, mereka berdua duduk di teras, menatap bintang sambil berbicara pelan."Kamu pikir ini... sisa dari dunia yang dulu?" tanya Lila, nada suaranya penuh kekhawatiran."Mungkin," jawab Dimas. "Atau mungkin, ini bentuk baru. Bentuk dari semua luka, ketakutan, dan harapan yang pernah kita alami."Lila memeluk dirinya sendiri, merasa sedikit dingin."Aku cuma takut," katanya. "Takut kalau kita belum benar-benar bebas."Dimas meraih tangan Lila, menggenggamnya erat."Apa pun yang terjadi, kita hadapi bersama. Kita sudah lewati kegelapan. Kita bisa lewati apa pun," katanya, penuh keyakinan.Lila tersenyum tipis. "Aku percaya itu."Angin malam berhembus lembut, membawa aroma tanah basah dan bunga kenanga. Di kejauhan, suara serangga malam berdengung pelan, seperti irama alam yang mengiringi percakapan mereka.Beberapa hari kemudian, saat Lila membawa Jatinegara bermain di taman kecil mereka, anak itu menunjuk ke arah tunas mangga yang kini tumbuh setinggi pinggang orang dewasa. Daunny
Namun, dalam keheningan malam, ada kalanya Lila terbangun. Bukan karena ketakutan, melainkan karena rindu. Rindu akan kenangan yang perlahan memudar—ulang tahun pertama Jatinegara, suara tawa Arif di halaman, percakapan-percakapan kecil yang dulu terasa biasa tapi kini sangat berarti.Setiap kali rindu itu datang, Lila akan duduk di beranda, menatap bintang, dan berbicara dalam hati."Terima kasih, Rif. Karena cinta dan keberanianmu, kami bisa bertahan."Di dalam rumah, Jatinegara dan Dimas tidur tenang, di bawah atap yang kini benar-benar menjadi rumah, bukan lagi tempat berteduh dari kegelapan.Dan di taman kecil itu, di tempat biji mangga ditanam, sebuah tunas kecil mulai muncul, menghijau di bawah sinar matahari.Tanda kehidupan baru.Tanda bahwa di balik setiap luka, selalu ada harapan yang tumbuh.Mereka telah kehilangan banyak. Tapi mereka juga telah menemukan sesuatu yang jauh lebih berharga:Kehidupan, cinta, dan keberanian untuk melangkah maju, meski jalan itu pernah dipenuh