Sejak malam ketiga kematian Amira, kehidupan di Desa Misahan berubah menjadi penuh kecurigaan dan ketakutan. Peristiwa kesurupan Lastri menjadi topik hangat yang tidak kunjung reda. Tidak ada yang berani berbicara langsung pada Gibran, namun bisik-bisik tentang "Kutukan keluarga Mahoni" terdengar di mana-mana.Di rumah keluarga Mahoni, suasana semakin tegang. Gibran terus mengurung diri di kamarnya, sementara Ibunya berusaha mati-matian menjaga wibawa keluarga. Namun, gosip yang berkembang membuat keluarga Mahoni kehilangan martabat di mata warga.Ibunya Gibran memandang rumahnya yang sepi. Kehilangan Amira masih terasa begitu pahit. Dia tidak tahu harus memercayai apa gosip warga atau firasatnya sendiri. Namun, satu hal yang dia tahu pasti: keluarganya semakin terpuruk.โAku harus bicara dengan Arif,โ gumam Ibunya Gibran suatu pagi, setelah mendengar tetangga menyebut-nyebut nama keponakkan almarhum Bintan Mahoni suaminya.Dia mendatangi rumah Arif, yang kini menjadi salah satu rumah
Setelah kejadian kesurupan Bu Saminah dan gosip yang semakin menyebar, suasana di Desa Misahan benar-benar mencekam. Ustadz Harman mulai bergerak untuk menenangkan warga dan mencari solusi atas kegaduhan ini. Dia mengumpulkan para tokoh masyarakat di surau, termasuk Pak Suryanto, ayah Lila. Dalam pertemuan itu, Ustadz Harman berusaha mengingatkan mereka untuk menjaga suasana tetap kondusif dan tidak memperburuk keadaan dengan gosip yang tidak berdasar.โSaudara-saudaraku, jangan kita lupakan akhlak kita sebagai orang beriman. Apa pun yang terjadi di keluarga Mahoni, itu adalah urusan mereka. Jangan kita menambah dosa dengan menebar fitnah,โ ujar Ustadz Harman dengan nada tenang namun tegas.Pak Suryanto, yang selama ini dikenal sebagai orang yang bijak, angkat bicara. โSaya setuju dengan Ustadz. Tapi izinkan saya menambahkan sesuatu. Belakangan ini, nama menantu saya, Arif, sering disebut-sebut dalam gosip yang tidak enak. Saya ingin semua warga tahu, apa pun yang terjadi di keluarga
Lila menggenggam tangan suaminya. โArif, balas dendam tidak akan menyelesaikan apa pun. Kalau kau terus seperti ini, kau hanya akan merusak dirimu sendiri. Dan aku tidak mau anak kita lahir di tengah situasi seperti ini.โKata-kata Lila membuat Arif terdiam. Dia menyadari bahwa apa yang dia lakukan mungkin sudah melampaui batas, dan keluarganya bisa menjadi korban berikutnya.โAku tidak balas dendam, aku hanya melihat apa yang aku rasakan dahulu Lila. Semua itu bukan kehendakku.โ Arif mengelak tuduhan Lila.Keesokan harinya, Ustadz Harman memutuskan untuk melakukan pendekatan yang lebih tegas. Dia mengundang Gibran dan Ibunya ke surau untuk berbicara secara langsung. Dia ingin tahu semua detail tentang apa yang terjadi di keluarga mereka.โCeritakan semuanya tanpa ada yang disembunyikan,โ kata Ustadz Harman. โKalau kita ingin menyelesaikan masalah ini, saya perlu tahu akar permasalahannya.โGibran, meskipun awalnya ragu-ragu, akhirnya menceritakan semuanya. Dia mengaku pernah menghina
Beberapa bulan setelah keguguran kedua yang dialami Lila, suasana di rumah Arif terasa semakin penuh dengan tekanan. Lila, yang masih sangat terpukul, terus mengeluh tentang keputusannya yang mengorbankan masa depan mereka demi reputasi Arif. Arif juga mulai merasa terjepit, kutukan yang terus beredar di desa, desas-desus mengenai masa lalu keluarganya, serta ancaman yang belum sepenuhnya reda.Arif memandang Lila dengan wajah yang tegang, memikirkan solusi yang mungkin bisa menyelesaikan masalah mereka. Lila menangis di sudut ruangan, tubuhnya membungkuk dan matanya bengkak.โLila, kita harus bicara.โ Arif memulai, nadanya tenang namun penuh tekanan.Lila menatap Arif, terkejut, lalu menghapus air matanya. โTentang apa, Arif? Kau tahu aku tidak bisa menerima kenyataan ini. Aku merasa aku yang menyebabkan semua ini.โArif menghela napas panjang. โLila, kita tidak bisa terus begini. Mungkin, jika kita mengambil langkah yang berbeda, semua ini akan berubah.โLila menatap Arif dengan tat
Suara ketukan jam dinding bergema di ruangan sunyi itu. Lila duduk di sofa dengan perut yang semakin membesar, tangannya mengelus perutnya perlahan. Arif, di seberang meja, terlihat gelisah, matanya bolak-balik memandang jendela dan lantai.“Arif,” suara Lila memecah keheningan, lemah tapi penuh tekanan. “Kau sudah janji, kan? Tidak ada lagi yang aneh-aneh. Fokus kita cuma anak ini.”Arif mendongak, berusaha tersenyum tapi wajahnya pucat. “Tentu saja, Lila. Aku akan memastikan semuanya baik-baik saja.”Lila memandangnya tajam. “Kau bilang begitu sejak dulu, tapi lihat apa yang terjadi? Dua anak kita… mereka—” suara Lila serak, tenggorokannya tercekat.“Aku tahu.” Arif memotong, suaranya tiba-tiba lebih tegas. “Tapi kali ini berbeda. Kita sudah melakukan segalanya dengan benar. Ini akan berhasil.”
Rumah mereka kini lebih besar dari sebelumnya. Tapi ada sesuatu yang ganjil, pagar depan belum selesai, satu ruangan di lantai atas tak pernah diberi pintu dan dapur baru hanya setengah jadi. Lila memperhatikan setiap detail itu dengan rasa gelisah yang kian hari kian membesar.โArif, kenapa dapur itu belum selesai lagi?โ tanya Lila saat mereka duduk di ruang makan, menatap secangkir teh yang dingin.Arif, yang sibuk memeriksa catatan renovasi, hanya mendongak sekilas. โNanti, Lila. Tukangnya sibuk. Lagipula, kita bisa tunggu sebentar.โLila menyipitkan mata, meletakkan cangkirnya dengan suara berdenting. โSebentar? Ini sudah berbulan-bulan, Arif. Kamu terus mulai proyek baru tapi tak pernah menyelesaikannya.โArif menghela napas, mencoba tersenyum. โSemua akan selesai pada waktunya. Jangan terlalu dipikirkan.โโTapi aku pikirkan, Arif,โ suara Lila mulai meninggi, mencerminkan kecemasannya. โA
Malam itu, rumah Arif terasa lebih sunyi dari biasanya. Lila dan bayi mereka telah terlelap, meninggalkan Arif sendirian di ruang kerjanya yang luas. Lampu redup menyorot meja penuh catatan proyek yang setengah jadi. Arif memijat pelipisnya, mencoba mengusir lelah yang perlahan berubah menjadi kecemasan.Lalu, itu terjadi lagi.Bisikan halus menyusup dari sudut ruangan. Seolah-olah suara itu berasal dari balik dinding, bercampur dengan desah angin malam. Suara itu lembut, hampir seperti gumaman, namun cukup jelas untuk membuat bulu kuduknya meremang.โArifโฆโNama itu dipanggil perlahan, hampir seperti nyanyian. Arif menoleh, matanya menyapu ruangan kosong. Tidak ada apa-apa, hanya keheningan. Tapi bisikan itu kembali, kali ini lebih dekat, lebih mendesak.โSiapa di sana?!โ seru Arif, suaranya menggema di dinding.Tidak ada jawaban, hanya suara ketukan halus di jendela. Dengan tangan gemetar, Arif mendekati jendela dan membuka tirai. Yang terlihat hanyalah halaman gelap, diterangi caha
Arif terbangun dengan rasa cemas yang semakin mendalam, meskipun fajar mulai menyinari rumah besar mereka. Kamar itu terasa lebih sunyi dari sebelumnya, meskipun Lila masih tertidur di sebelahnya, udara di sekitar Arif terasa berat.Dalam kegelapan semalam, bisikan-bisikan itu tidak lagi terasa seperti angin yang berlalu, melainkan seperti suara yang datang dari dalam dirinya, mengalir melalui tulang dan darahnya.Pagi itu, rutinitas yang semula terasa biasa kini terasa semakin membebani. Sarapan di meja terasa hambar, tanpa kata-kata yang berarti. Lila, yang masih belum mengetahui apa yang terjadi pada suaminya, menatap Arif dengan perhatian penuh, namun dia tak bisa menangkap apa yang meresahkan hati pria itu."Arif, kamu tidak bisa terus-menerus seperti ini," kata Lila lembut. โAku tahu ada yang mengganggu pikiranmu. Apa yang terjadi?"Arif hanya menggelengkan kepala, mencoba menekan perasaan yang mulai menyeruak. "Aku hanya lelah, Lila. Hanya itu."Namun di dalam hatinya, Arif tah
Terima kasih ya, Teman-teman...Nggak kerasa, ya? Kita udah bareng-bareng dari Bab 1 sampai Bab 262. Cerita Arif Mahoni dan dunia mistis Kandang Bubrah udah nemenin kita selama berbulan-bulan (atau bahkan tahunan? hahaha maksud aku akhir tahun2024-2025 seolah tahunan). Rasanya nano-nano banget nulis cerita ini kadang aku tuh merinding, kadang nangis sendiri, kadang pengin nyubit karakter buatan sendiri.Tapi yang bikin aku terus semangat nulis sampai tamat itu kalian. Iya, kalian yang tiap update langsung baca. Yang rela ngulang bab-bab sebelumnya, yang rajin komentar, yang kirim DM /WA langsung penuh semangat, bahkan yang suka nyebutin adegan favorit, tau ngak? kalian tuh the real MVP. Tanpa kalian, cerita ini mungkin nggak akan pernah selesai.Shout-out khusus buat pembaca aktif dan penggemar setia yang dari awal udah jadi saksi hidupnya Arif. Kalian tahu siapa kalian, kan? Yang suka bikin teori, yang marah kalau tokohnya nyebelin, yang minta ending macem-macem, sampai yang suka ngan
Senja datang perlahan seperti kabut tipis yang menyelimuti perbukitan di kejauhan. Cahaya jingga merambat di dinding rumah, memantulkan warna emas pada bingkai foto dan kaca jendela yang berembun. Di beranda, Lila duduk ditemani secangkir wedang jahe dan suara angin lembut yang menyisir pohon kenanga.Hari itu, seluruh warga desa berkumpul di balai untuk doa bersama. Jatinegara diminta untuk menyampaikan sepatah dua patah kata sebagai perwakilan generasi muda. Lila tak ikut, tubuhnya sudah terlalu letih. Tapi ia tidak sendiri. Ia ditemani segala kenangan yang selama ini disimpannya dalam diam.Ia menatap foto Arif yang kini terbingkai lebih kokoh dari sebelumnya. Dalam hati, ia berbicara, seperti berbicara pada seseorang yang duduk di sampingnya."Aku nggak tahu berapa lama lagi waktu akan memberiku ruang, Rif. Tapi aku nggak takut. Aku sudah lihat kamu dalam mimpiku. Aku pernah tinggal bersama bayang-bayangmu. Dan sekarang, aku tinggal di dunia yang kita bentuk bersama... meski kau l
"Kepada Dimas...Jika kau memang pernah ada, terima kasih sudah menemani aku di dunia yang tak nyata itu. Mungkin kau hanya bayangan, bentukan dari rasa sepi dan kehilangan. Tapi dalam mimpi itu, aku merasa dicintai, aku merasa dilindungi, dan aku merasa masih punya masa depan.Kau hadir ketika aku paling rapuh, dan kau tinggal hingga aku kembali kuat. Itu lebih dari cukup.Hari ini, aku menatap hidupku apa adanya. Tak ada Dimas. Yang ada hanyalah Arif, suamiku yang telah lama tiada. Dan Jatinegara, anak kami yang kini berdiri kokoh meski tumbuh tanpa pelukan ayahnya.Aku tidak lagi bertanya kenapa hidup tak seperti dalam mimpiku. Aku hanya bersyukur, karena pernah punya keberanian untuk mencintaiโmeski hanya dalam tidur panjangku."Lila berhenti menulis. Air mata mengalir perlahan di pipinya. Tapi ia tersenyum. Ada sesuatu yang lega dalam dirinya. Seperti beban yang lama mengendap akhirnya luruh bersama hujan pagi itu.Ia melipat surat itu perlahan, lalu meletakkannya di dalam kotak
Mungkin memang tidak ada Dimas. Tapi ada Arif, yang dulu pernah ia cintai, yang memberinya Jatinegara. Ada dirinya yang kuat. Ada kenangan yang meskipun hanya mimpi, terasa nyata hingga akhir hayat.Hari itu, udara di Desa Misahan membawa aroma kenanga dan tanah basah. Lila duduk di kursi rotan di beranda rumah, selimut menutupi kakinya yang mulai sulit digerakkan. Di sampingnya, secangkir teh melati mengepul pelan. Suasana begitu hening, namun tidak sunyi. Heningnya menenangkan, seperti bisikan yang sudah akrab didengar selama puluhan tahun.Jatinegara sibuk menyapu halaman. Tubuhnya tinggi tegap, langkahnya mantap. Beberapa kali ia melirik ke arah ibunya, memastikan Lila baik-baik saja. Sesekali, ia melempar senyum. Lila membalasnya dengan anggukan kecil.โBu, nanti siang aku masak sop ya,โ seru Jatinegara dari kejauhan.โJangan lupa kasih seledri,โ jawab Lila pelan, suaranya mulai bergetar, tapi masih hangat.Jatinegara tertawa. โIya, Bu. Aku ingat.โLila menatap langit. Awan putih
Dalam perjalanan pulang, Lila dan Dimas mampir ke kebun warga. Beberapa anak muda sedang bangun rumah kaca kecil dari bilah bambu dan plastik bening."Lagi nyoba tanam tomat, Bu," kata salah satu dari mereka. "Sama cabai dikit-dikit."Lila jongkok, memperhatikan tanah yang baru dicangkul."Bagus. Rawat baik-baik ya. Ini bukan cuma kebun. Ini cara kita berdamai."Dimas membantu memasang atap plastik, ikut mengikat tali rafia. Saat selesai, mereka duduk di bawah pohon, menikmati air kelapa muda yang baru dipetik."Rasanya beda, ya," gumam Lila sambil menatap langit. "Bukan karena hutannya udah nggak ada, tapi karena sekarang, kita udah bisa narik napas tanpa takut."Dimas mengangguk. "Dan kita nggak sendiri lagi."Ia menggenggam tangan Lila. Di sekitar mereka, suara tawa, palu, dan cangkul menyatu jadi musik baru desa itu.Malamnya, Lila mencatat di buku hariannya:โHari ini aku lihat wajah-wajah yang dulu takut, sekarang tersenyum. Lengan-lengan yang dulu hanya memeluk ketakutan, sekar
Dimas duduk di sebelahnya. "Kamu ingat waktu dulu kita duduk seperti ini tapi sambil memegangi jimat dan pisau garam?"Lila tertawa pelan. "Dan merapal doa setiap kali angin bertiup terlalu kencang. Sekarang, angin hanya angin."Setelah sarapan, mereka mengajak Jatinegara ke ladang milik warga yang mulai dikelola bersama. Dulu tanah itu tak tersentuh karena diyakini โtidak bersihโ, tapi kini warga mulai menanam jagung, cabai, dan kacang panjang di sana.โTanah ini dulu menyerap banyak darah dan rahasia,โ kata Pak Suroto, warga tertua di desa. โTapi anak-anak sekarang akan menyiramnya dengan air dan tawa. Itu cukup. Lebih dari cukup.โLila membantu menanam bibit, sementara Dimas menggali parit kecil bersama pemuda desa. Jatinegara asyik bermain tanah dengan anak-anak lain.โDulu aku ingin pergi dari sini,โ kata Lila sambil menepuk tanah. โSekarang, aku ingin menua di sini.โDimas memandangnya dengan mata hangat. โKita akan menua di sini. Bersama.โSore hari, langit mulai berwarna jingg
"Apa yang harus kami lakukan?" tanya Lila.Bu Retno menggenggam tangan Lila erat."Kalian harus kembali ke tempat asal semua ini. Hutan Misahan. Di sanalah jejak terakhir Arif terkubur. Dan mungkin... hanya di sanalah kalian bisa benar-benar membebaskan diri dari bayangannya."Malam pun tiba.Lila duduk di samping tempat tidur Jatinegara, menatap wajah anaknya yang kini tampak lebih dewasa dari usianya."Besok, Ayah dan Ibu harus pergi sebentar," bisiknya."Ke mana?" tanya Jatinegara mengantuk."Ke tempat yang dulu pernah kita tinggalkan. Tapi kali ini, untuk menutup semuanya."Jatinegara menggenggam jari ibunya. "Jangan lama-lama, ya. Aku tunggu di sini."Lila mencium kening anaknya. "Kami janji akan kembali."Dan di luar rumah, pohon mangga bergoyang pelan. Angin malam membawa bisikan samar:"Tutup yang terbuka dan lepaskan yang tertinggal."Langkah Lila sudah semakin dekat. Dia sudah tidak sanggup menghadapi segala kejadian itu.Esok hari, mereka akan kembali ke hutan.Pagi itu, si
Malam itu, mereka berdua duduk di teras, menatap bintang sambil berbicara pelan."Kamu pikir ini... sisa dari dunia yang dulu?" tanya Lila, nada suaranya penuh kekhawatiran."Mungkin," jawab Dimas. "Atau mungkin, ini bentuk baru. Bentuk dari semua luka, ketakutan, dan harapan yang pernah kita alami."Lila memeluk dirinya sendiri, merasa sedikit dingin."Aku cuma takut," katanya. "Takut kalau kita belum benar-benar bebas."Dimas meraih tangan Lila, menggenggamnya erat."Apa pun yang terjadi, kita hadapi bersama. Kita sudah lewati kegelapan. Kita bisa lewati apa pun," katanya, penuh keyakinan.Lila tersenyum tipis. "Aku percaya itu."Angin malam berhembus lembut, membawa aroma tanah basah dan bunga kenanga. Di kejauhan, suara serangga malam berdengung pelan, seperti irama alam yang mengiringi percakapan mereka.Beberapa hari kemudian, saat Lila membawa Jatinegara bermain di taman kecil mereka, anak itu menunjuk ke arah tunas mangga yang kini tumbuh setinggi pinggang orang dewasa. Daunny
Namun, dalam keheningan malam, ada kalanya Lila terbangun. Bukan karena ketakutan, melainkan karena rindu. Rindu akan kenangan yang perlahan memudarโulang tahun pertama Jatinegara, suara tawa Arif di halaman, percakapan-percakapan kecil yang dulu terasa biasa tapi kini sangat berarti.Setiap kali rindu itu datang, Lila akan duduk di beranda, menatap bintang, dan berbicara dalam hati."Terima kasih, Rif. Karena cinta dan keberanianmu, kami bisa bertahan."Di dalam rumah, Jatinegara dan Dimas tidur tenang, di bawah atap yang kini benar-benar menjadi rumah, bukan lagi tempat berteduh dari kegelapan.Dan di taman kecil itu, di tempat biji mangga ditanam, sebuah tunas kecil mulai muncul, menghijau di bawah sinar matahari.Tanda kehidupan baru.Tanda bahwa di balik setiap luka, selalu ada harapan yang tumbuh.Mereka telah kehilangan banyak. Tapi mereka juga telah menemukan sesuatu yang jauh lebih berharga:Kehidupan, cinta, dan keberanian untuk melangkah maju, meski jalan itu pernah dipenuh