“Kamu akan tahu, setelah sampai di sana. Temui Mbah Niah, dia yang akan menuntunmu selanjutnya.” Mbah Mijan setelahnya tertawa, lalu melanjutkan kata-katanya lagi.
“Kamu hanya perlu ke Dusun Misahan sebelum jam 2.00 malam dini hari kalian harus segera keluar dari tempat itu, Desa Srengege hanya akan terbuka malam ini, di arah tenggelamnya matahari batas Dusun Misahan. Ingat, tidak dapat berbalik lagi jika kamu sudah sampai di sana,” ujarnya dengan mata yang tajam.
Saat Arif melihat jam di pergelangan tangannya, waktu sudah sangat terbatas. Arif kembali ingin berbicara dengan Mbah Mijan.
“Tapi, Mbah....” Arif terdiam melihat sosok Mbah Mijan yang menghilang.
Dengan wajah panik, Arif langsung mengajak Dimas sambil menarik pria itu bersamanya, “Kita harus bergegas, sudah tidak ada waktu. Saat ini sudah menunjukkan hampir jam 12 malam.”
Akhirnya, Arif dan Dimas melanjutkan perjalanan ke Desa Misahan, terjebak dalam suasana malam yang kelam. Setiap langkah terasa berat, tertekan oleh kegelapan hutan yang seakan ingin menelan mereka. Di tengah bayang-bayang, Arif terus bergelut dengan pikirannya.
“Aku tidak punya pilihan lain,” bisiknya, berusaha menepis rasa takut yang menyelinap dalam jiwa.
Dimas berjalan di sampingnya, gelisah. “Arif, apakah kau yakin ini keputusan yang tepat? Mbah Mijan bisa saja menjebak kita.”
Namun, semangat Arif tak surut. “Jika kita tidak mencobanya, kita tidak akan pernah tahu. Aku sudah hidup terlalu lama dalam bayang-bayang kemiskinan. Kamu belum pernah merasakan sakitnya dihina dan direndahkan, bahkan oleh keluarga yang seharusnya mendukungmu, Dim!” tegasnya, meski dalam hati, keraguan terus menggerogoti.
Ketika malam semakin dalam, suara binatang malam yang biasa terdengar akrab kini berubah mengancam. Dedaunan berdesir, seolah memperingatkan bahwa mereka sedang mendekati sesuatu yang tidak beres.
Tiba-tiba, Dimas menunjuk ke arah cahaya samar di antara pepohonan. “Lihat! Di sana!”
Arif merasa harapan menyala dalam hatinya. “Apa itu? Apakah kita mendekati Desa Srengege?” tanyanya antusias.
Langkahnya semakin cepat, tetapi Dimas tetap waspada. “Hati-hati, cahaya itu bisa jadi jebakan.”
Mereka berdua terus maju hingga menemukan sebuah bangunan tua yang disinari cahaya lilin berkedip. Arif merasa seolah bangunan itu memanggilnya.
“Ini pasti Desa Srengege yang berbatasan dengan Dusun Misahan,” bisiknya.
Namun, saat melangkah lebih dekat, aura dingin menyelimuti mereka. Dimas menghentikan langkahnya.
“Arif, aku tidak suka ini. Kita sebaiknya kembali,” ajak Dimas.
“Tapi kita harus mencari Mbah Niah! Dia bisa membantuku.” Arif bersikeras, semangatnya tak pudar meskipun ketakutan mengintai.
Saat mereka memasuki bangunan, aroma dupa menyengat menyambut, dan dindingnya dipenuhi simbol-simbol aneh. Di tengah ruangan terdapat altar dengan berbagai sesaji yang ditata rapi.
Tiba-tiba, suara lembut namun menyeramkan datang dari arah altar. “Selamat datang, anak-anak muda,” sapa seorang wanita.
Wanita tua muncul, wajahnya dipenuhi kerutan dan matanya berkilau penuh pengetahuan. “Apa yang kalian cari di tempat ini?” tanyanya antusias.
Wanita itu melihat Arif dengan sangat teliti, setiap jengkal tubuh Arif seolah tak luput dari pandangannya, bahkan dia setelahnya tersenyum misterius, membuat Arif gemetar. Arif menelan ludah, bingung antara rasa takut dan harapan.
“Kami mencari Mbah Niah. Aku ingin mengubah hidupku,” jawabnya, suaranya bergetar.
Wanita tua itu tersenyum misterius. “Kekayaan bukan hanya tentang harta. Terkadang, yang kau cari bisa membawa bahaya.”
Tapi Arif berusaha menenangkan dirinya kembali, “Aku siap, di mana aku bisa menemukan Mbah Niah?”
Wanita tua itu tidak menjawab pertanyaan yang Arif lontarkan. Tapi dia tertawa melengking, membuat bulu kuduk dan semua makhluk di dalam tubuh Arif ingin kabur berlari dan bersembunyi.
Tiba-tiba, wanita tua itu sduah berada tepat di belakan arif dan berbisik. Dengan suara yang halus dan menyeramkan. Tangannya yang hitam dengan kuku- kuku yang tidak terawat mulai menunjuk ke arah lurus di hadapan Arif.
“Bukalah matamu anak muda, tatapanmu akan melihat keramaian di depan sana. Lihatlah, begitu banyak manusia yang datang kemari untuk mencari yang mereka inginkan.” Arif menelan saliva, melihat jemari dan kuku yang menyeramkan itu bahkan sesekali Arif merasakan sesuatu yang mebuat tengkuknya bergidik.
“Tapi!” Seketika suara wanita tua itu melengking.
Arif memberanikan diri untuk bicara, “Tapi, apa?” tanyanya pelan dan berbisik seseklai menelan saliva. Merasakan seluruh tubuhnya seolah tidak bersahabat.
“Kamu tidak akan bisa mundur lagi, setelah melewati pintu altar itu. Semua yang kamu beli di bayar dengan cara yang berbeda, kamu akan tau setelah pulang dari tempat ini,” bisiknya dengan embusan angin dingin yang seketika membuat Arif terdiam sejenak.
Arif dan Dimas seketika tercengang, melihat cahaya dan keramaian yang tidak jauh dari hadapannya. Bahakan mereka sampai mengabaikan, kepergian si wanita tua yang menunjukkan arah pada mereka.
Terlihat sosok Mbah Niah berdiri di pasar malam Desa Srengege, di tengah kerumunan yang ramai. Suara tawar-menawar dan gelak tawa penduduk setempat berpadu dengan aroma rempah-rempah. Namun, di balik keramaian itu, Arif merasa ada yang janggal.
Sosok mbah Niah ini sangat cantik seperti wanita muda seusia dengannya, bahkan wajahnya ada kemiripan seperti wanita tua yang mereka jumpai pertama kali. ‘Apa itu cucunya?’ batin Arif.
Tapi Arif kembali mengabaikan hal itu, saat kakinya akan melangkah dai mendapat bisikan entah dari mana bagai terbawa angin. “Jangan Arif, kamu akan menyesal...” bisikan itu hilang seketika.
Terima kasih ya, Teman-teman...Nggak kerasa, ya? Kita udah bareng-bareng dari Bab 1 sampai Bab 262. Cerita Arif Mahoni dan dunia mistis Kandang Bubrah udah nemenin kita selama berbulan-bulan (atau bahkan tahunan? hahaha maksud aku akhir tahun2024-2025 seolah tahunan). Rasanya nano-nano banget nulis cerita ini kadang aku tuh merinding, kadang nangis sendiri, kadang pengin nyubit karakter buatan sendiri.Tapi yang bikin aku terus semangat nulis sampai tamat itu kalian. Iya, kalian yang tiap update langsung baca. Yang rela ngulang bab-bab sebelumnya, yang rajin komentar, yang kirim DM /WA langsung penuh semangat, bahkan yang suka nyebutin adegan favorit, tau ngak? kalian tuh the real MVP. Tanpa kalian, cerita ini mungkin nggak akan pernah selesai.Shout-out khusus buat pembaca aktif dan penggemar setia yang dari awal udah jadi saksi hidupnya Arif. Kalian tahu siapa kalian, kan? Yang suka bikin teori, yang marah kalau tokohnya nyebelin, yang minta ending macem-macem, sampai yang suka ngan
Senja datang perlahan seperti kabut tipis yang menyelimuti perbukitan di kejauhan. Cahaya jingga merambat di dinding rumah, memantulkan warna emas pada bingkai foto dan kaca jendela yang berembun. Di beranda, Lila duduk ditemani secangkir wedang jahe dan suara angin lembut yang menyisir pohon kenanga.Hari itu, seluruh warga desa berkumpul di balai untuk doa bersama. Jatinegara diminta untuk menyampaikan sepatah dua patah kata sebagai perwakilan generasi muda. Lila tak ikut, tubuhnya sudah terlalu letih. Tapi ia tidak sendiri. Ia ditemani segala kenangan yang selama ini disimpannya dalam diam.Ia menatap foto Arif yang kini terbingkai lebih kokoh dari sebelumnya. Dalam hati, ia berbicara, seperti berbicara pada seseorang yang duduk di sampingnya."Aku nggak tahu berapa lama lagi waktu akan memberiku ruang, Rif. Tapi aku nggak takut. Aku sudah lihat kamu dalam mimpiku. Aku pernah tinggal bersama bayang-bayangmu. Dan sekarang, aku tinggal di dunia yang kita bentuk bersama... meski kau l
"Kepada Dimas...Jika kau memang pernah ada, terima kasih sudah menemani aku di dunia yang tak nyata itu. Mungkin kau hanya bayangan, bentukan dari rasa sepi dan kehilangan. Tapi dalam mimpi itu, aku merasa dicintai, aku merasa dilindungi, dan aku merasa masih punya masa depan.Kau hadir ketika aku paling rapuh, dan kau tinggal hingga aku kembali kuat. Itu lebih dari cukup.Hari ini, aku menatap hidupku apa adanya. Tak ada Dimas. Yang ada hanyalah Arif, suamiku yang telah lama tiada. Dan Jatinegara, anak kami yang kini berdiri kokoh meski tumbuh tanpa pelukan ayahnya.Aku tidak lagi bertanya kenapa hidup tak seperti dalam mimpiku. Aku hanya bersyukur, karena pernah punya keberanian untuk mencintai—meski hanya dalam tidur panjangku."Lila berhenti menulis. Air mata mengalir perlahan di pipinya. Tapi ia tersenyum. Ada sesuatu yang lega dalam dirinya. Seperti beban yang lama mengendap akhirnya luruh bersama hujan pagi itu.Ia melipat surat itu perlahan, lalu meletakkannya di dalam kotak
Mungkin memang tidak ada Dimas. Tapi ada Arif, yang dulu pernah ia cintai, yang memberinya Jatinegara. Ada dirinya yang kuat. Ada kenangan yang meskipun hanya mimpi, terasa nyata hingga akhir hayat.Hari itu, udara di Desa Misahan membawa aroma kenanga dan tanah basah. Lila duduk di kursi rotan di beranda rumah, selimut menutupi kakinya yang mulai sulit digerakkan. Di sampingnya, secangkir teh melati mengepul pelan. Suasana begitu hening, namun tidak sunyi. Heningnya menenangkan, seperti bisikan yang sudah akrab didengar selama puluhan tahun.Jatinegara sibuk menyapu halaman. Tubuhnya tinggi tegap, langkahnya mantap. Beberapa kali ia melirik ke arah ibunya, memastikan Lila baik-baik saja. Sesekali, ia melempar senyum. Lila membalasnya dengan anggukan kecil.“Bu, nanti siang aku masak sop ya,” seru Jatinegara dari kejauhan.“Jangan lupa kasih seledri,” jawab Lila pelan, suaranya mulai bergetar, tapi masih hangat.Jatinegara tertawa. “Iya, Bu. Aku ingat.”Lila menatap langit. Awan putih
Dalam perjalanan pulang, Lila dan Dimas mampir ke kebun warga. Beberapa anak muda sedang bangun rumah kaca kecil dari bilah bambu dan plastik bening."Lagi nyoba tanam tomat, Bu," kata salah satu dari mereka. "Sama cabai dikit-dikit."Lila jongkok, memperhatikan tanah yang baru dicangkul."Bagus. Rawat baik-baik ya. Ini bukan cuma kebun. Ini cara kita berdamai."Dimas membantu memasang atap plastik, ikut mengikat tali rafia. Saat selesai, mereka duduk di bawah pohon, menikmati air kelapa muda yang baru dipetik."Rasanya beda, ya," gumam Lila sambil menatap langit. "Bukan karena hutannya udah nggak ada, tapi karena sekarang, kita udah bisa narik napas tanpa takut."Dimas mengangguk. "Dan kita nggak sendiri lagi."Ia menggenggam tangan Lila. Di sekitar mereka, suara tawa, palu, dan cangkul menyatu jadi musik baru desa itu.Malamnya, Lila mencatat di buku hariannya:“Hari ini aku lihat wajah-wajah yang dulu takut, sekarang tersenyum. Lengan-lengan yang dulu hanya memeluk ketakutan, sekar
Dimas duduk di sebelahnya. "Kamu ingat waktu dulu kita duduk seperti ini tapi sambil memegangi jimat dan pisau garam?"Lila tertawa pelan. "Dan merapal doa setiap kali angin bertiup terlalu kencang. Sekarang, angin hanya angin."Setelah sarapan, mereka mengajak Jatinegara ke ladang milik warga yang mulai dikelola bersama. Dulu tanah itu tak tersentuh karena diyakini ‘tidak bersih’, tapi kini warga mulai menanam jagung, cabai, dan kacang panjang di sana.“Tanah ini dulu menyerap banyak darah dan rahasia,” kata Pak Suroto, warga tertua di desa. “Tapi anak-anak sekarang akan menyiramnya dengan air dan tawa. Itu cukup. Lebih dari cukup.”Lila membantu menanam bibit, sementara Dimas menggali parit kecil bersama pemuda desa. Jatinegara asyik bermain tanah dengan anak-anak lain.“Dulu aku ingin pergi dari sini,” kata Lila sambil menepuk tanah. “Sekarang, aku ingin menua di sini.”Dimas memandangnya dengan mata hangat. “Kita akan menua di sini. Bersama.”Sore hari, langit mulai berwarna jingg