Home / Horor / Pesugihan Nyi Kukun Peliharaan / Kukun Harus Segera Diwariskan

Share

Kukun Harus Segera Diwariskan

Author: El Nurcahyani
last update Huling Na-update: 2024-11-03 21:58:22

Bab 7

“Leha!” panggil Nek Juju dari kamarnya. Dia mendengar langkah kaki Leha dan suaranya yang mencari Aminah.

“Nini, ibu ke mana?” tanya Leha, di ambang pintu kamar Juju, sambil memegang gorden lusuh yang baru ia singkap.

“Tenang... Ibumu tadi bilang mau belanja buat warung,” jawab neneknya dengan suara serak, sambil bersandar di ranjangnya. “Nggak usah khawatir, biarkan saja.”

Leha menggigit bibirnya. Ada rasa tidak nyaman yang sulit dihilangkan. “Nini... kenapa ayam-ayam itu nggak berhenti berisik dari semalam?”

Nenek mengerutkan kening. “Jangan ganggu ayam-ayam itu, Leha. Biarkan ibumu yang urus.”

Leha semakin heran. Sejak kapan ibunya mau mengurus ayam? Itu pekerjaan yang selalu ia hindari. Rasa takut mulai menggumpal dalam dirinya, tapi ia tidak berani bertanya lebih jauh.

Saat akhirnya ibunya pulang, Leha sudah mandi dan berpakaian rapi. Ia berencana pergi ke sekolah SMP di desa untuk melamar sebagai guru honorer. Namun, ketika ia berpapasan dengan ibunya yang baru saja kembali dari halaman belakang, sesuatu terasa janggal.

“Ibu... bau apa ini?” Leha bertanya dengan ragu, hidungnya mencium bau anyir yang menusuk.

Aminah menoleh sekilas, tersenyum tipis. “Bau ayam, biasa saja. Gak ada yang aneh, Leha.”

Namun, Leha tahu bau ini berbeda. Bau ini bukan bau ayam biasa—ada sesuatu yang tidak beres di rumah ini. Ia ingin bertanya lebih lanjut, tapi takut menyinggung perasaan ibunya.

“Leha, kamu mau ke mana pagi-pagi begini?” tanya ibunya, suaranya datar tanpa emosi.

“Aku mau coba melamar kerja, Bu. Doain ya,” jawab Leha sambil mencoba tersenyum, meski hatinya penuh tanda tanya.

“Ya, hati-hati di jalan. Ibu doakan, sing lancar nya, Teh.”

Kemudian Bu Aminah melangkah ke luar, lebih tepatnya menuju warung yang berada di depan rumah. Dia meninggalkan Leha yang masih berdiri dengan perasaan campur aduk. Bau anyir itu masih menempel di hidungnya, memicu perasaan takut yang semakin mencekam.

###

Leha mengendarai motornya, melewati jalan-jalan kampung yang berkelok dan penuh bebatuan. Ada rasa berat di motor itu, seperti ada yang menahan lajunya.

“Hah… kenapa berat banget ya?” gumam Leha, melirik ke belakang tanpa alasan yang jelas. Jalan sepi, hanya suara angin dan gerisik daun yang terdengar. “Padahal di kota pakai motor ini rasanya enteng-enteng aja.”

Di kejauhan, anak-anak kampung terlihat berlarian tanpa alas kaki, tawa mereka menyusup ke telinga Leha dengan nada yang janggal. Suara tawa itu aneh—datar, tanpa kebahagiaan, seolah sekadar gema di tengah kesunyian.

“Mereka... harusnya di sekolah kan?” pikir Leha, bingung. “Kenapa malah di sini?”

Satu anak perempuan berhenti berlari dan menatap Leha lurus-lurus. Matanya hitam kelam, kosong, tanpa ekspresi. Leha merasa ada yang janggal, tapi ia menepis perasaan itu dan melanjutkan perjalanan dengan perasaan tak tenang.

###

Di warung, Juju sibuk membantu menata barang-barang sembako sambil menoleh ke arah Aminah yang sedang menata beras di rak. Suara berisik dari ayam-ayam di kandang belakang terdengar makin nyaring, dan Juju mengernyit.

“Aminah,” bisik Juju sambil melirik ke arah jendela, memastikan tak ada yang mendengar. “Kenapa akhir-akhir ini ayam-ayam di belakang itu ribut terus? Apa Kukun lagi marah?”

Aminah menghela napas panjang, menutup karung beras dengan tangan gemetar. “Mungkin saja, Bu. Mereka… tidak nyaman. Ada yang… mengganggu aura mereka.”

“Leha, ya?” Juju menatap Aminah tajam. “Makanya, jangan biarkan dia terlalu sering ibadah tengah malam di sini. Mereka itu nggak suka.”

Aminah menunduk, ada perasaan bersalah di balik tatapan matanya. “Saya nggak mungkin melarang dia begitu saja, Bu. Lagipula, kalau ketahuan oleh Leha, kita bisa celaka.”

Juju mengangguk paham, tapi matanya menyiratkan ketakutan yang lebih dalam. “Kalau gitu, cepat turunkan warisan kita ke dia. Biar dia tahu, ada yang harus dijaga di sini, bukan Cuma agama dan doa-doanya.”

Sebelum Aminah menjawab, suara ayam tiba-tiba melengking dari belakang rumah, seolah ada sesuatu yang meneror mereka. Juju mendengus.

“Kukun itu nggak pernah tenang kalau ada orang asing di sini, apalagi yang auranya kayak Leha itu. Jangan bikin dia marah, Minah,” desis Juju.

Aminah memejamkan mata sejenak, suaranya merendah. “Saya tahu, Bu… tapi… kita tidak bisa langsung bicara begitu saja pada, Leha. Perlahan, Bu.”

“Tentang kematian Lisna, aku yakin Leha sebenarnya bisa merasakan. Dia bukan orang polos, meski tidak satu aliran dengan kita.” Suara Juju terdengar lemah, seperti orang putus asa.

“Kalau Leha tahu tentang Lisna… tentang yang terjadi sebenarnya…” Aminah menggantungkan kalimatnya.

Wajah Juju berubah, tegang, namun datar. “Leha memang harus tahu. Kematian Lisna… memang salah kita kan?”

Aminah mengangguk perlahan, suaranya nyaris berbisik. “Iya, Bu. Mereka marah waktu itu... aku nggak taat dengan aturan. Dan mereka menuntut sesuatu. Aku mengorbankan Lisna demi orang lain.”

Bu Aminah membayangkan kejadian saat dia mampir ke rumah mentari, seorang ibu muda yang baru melahirkan. Karena mentari lupa menyimpan darah nifas untuk Minah ambil, Kukun yang menguntit Aminah marah, dia meminta nyawa bayi itu, bayinya Mentari.

Namun, sebagai sesama wanita dan seorang ibu, Aminah tidak tega jika mengorbankan bayi Mentari. Apalagi itu anak pertama, mungkin sudah sangat didambakan ibu dan ayahnya, bahkan keluarga besar mereka. Maka, dalam ritualnya, perbincangan batin Aminah dan Kukun, nyawa bayi itu akan ditukar dengan Lisna. Kukun pun setuju. Aminah tak masalah, toh dia sudah memiliki beberapa anak. Meski pun tetap ada rasa sedih dan sakit kerena kehilangan.

Juju menelan ludah, tatapannya memburu. “Kita… nggak punya pilihan, Minah. Leha… dia harus tahu semua.”

Aminah terdiam, hatinya bergolak. Bagaimana ia bisa menjelaskan semua ini pada Leha? Bahwa ada sesuatu yang gelap dan haus kekuasaan yang hidup di desa ini, sesuatu yang memerlukan pengorbanan?

Bersambung...

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Pesugihan Nyi Kukun Peliharaan    Tatapan Aneh Mulai Tampak

    Bab 41"Astaghfirullahaladzim...," gumam Leha. Dia tahu yang didengarnya adalah halusinasi.Leha tetap melanjutkan perjalanan, melewati jalan kecil di desa yang sunyi, hanya ada beberapa orang yang terlihat di pinggir jalan. Namun, ada sesuatu yang aneh.Orang-orang itu berdiri dengan posisi kaku, kepala mereka sedikit miring, dan mata mereka kosong, seolah menatap jauh ke dalam jiwa Leha. Beberapa bahkan tersenyum lebar, tetapi senyuman itu terasa dingin dan tidak manusiawi.Saat Leha melewati mereka, ia merasakan udara dingin menusuk kulitnya. Salah satu dari mereka, seorang lelaki tua dengan topi anyaman, melambaikan tangan pelan. Leha hampir menghentikan motornya untuk membalas, tetapi ia melihat tangan lelaki itu terlalu panjang, jari-jarinya menghitam seperti hangus.Leha menghela napas, mencoba untuk tidak panik.“Ini cuma imajinasi... Cuma pikiran aku aja,” gumamnya, namun hatinya tetap gelisah.Ketika hampir sampai di tikungan menuju sekolah, ia melihat seorang perempuan muda

  • Pesugihan Nyi Kukun Peliharaan    Apa Salahnya Dendam

    Bab 40Keesokan harinya, suasana pagi di rumah Leha masih diliputi kesunyian yang terasa ganjil. Di meja makan, Leha menyiapkan diri untuk berangkat mengajar. Taryo, yang sejak tadi memperhatikan putrinya, akhirnya membuka percakapan."Leha," panggil Taryo sambil menyeduh kopi hitam. "Ayah mau ngomong. Kamu nggak capek jadi guru honorer? Gajinya kecil, tenagamu habis. Belum lagi bensin tiap hari. Gimana kalau kamu nerusin warung almarhum ibumu saja? Lebih praktis, kan?"Leha menghentikan sendoknya yang sedang mengaduk teh. Ia memandang ayahnya dengan raut wajah dilema."Ayah, Leha jadi guru bukan cuma soal uang," jawabnya pelan, mencoba menahan gejolak hatinya. "Leha ingin desa ini berubah. Anak-anak di sini butuh pendidikan, biar nggak gampang ditipu atau terjerumus pada hal-hal yang salah. Apalagi sekarang... teror ku... Em, maksud Leha, teror kemalasan dan gaptek, sudah semakin parah. Kalau Leha berhenti, siapa yang akan ngajari mereka?"Taryo meletakkan cangkirnya dengan sedikit k

  • Pesugihan Nyi Kukun Peliharaan    Siap Perang

    Bab 39 Renata yang sejak tadi terdiam, tiba-tiba mendekat dan memeluk Leha erat. Air matanya mengalir saat ia mencoba menenangkan kakaknya. "Teh, tenang, ya. Kita butuh Teh Leha. Jangan seperti ini," ujar Renata, suaranya bergetar. Dede, adik bungsu mereka, ikut bergabung dalam pelukan itu. Meskipun ia masih kecil, ia tahu keluarganya sedang menghadapi sesuatu yang besar dan menakutkan. "Teh Leha jangan marah-marah. Dede takut," gumamnya pelan. Pelukan itu membuat kemarahan Leha perlahan surut. Ia menarik napas panjang, menenangkan diri. Suara tawa di luar sana yang tadi menggema kini perlahan mereda. Namun, keheningan itu justru terasa semakin menekan. Juju dan Sastra memandang cucu-cucunya dengan tatapan cemas. Mereka menyadari bahwa suara tawa itu tak mungkin berasal dari manusia. Namun, mereka memilih diam, tak ingin membuat keadaan semakin tegang. Tentunya saja wajah cemas yang ditunjukkan kedua lansia itu, palsu. Di sisi lain, Taryo hanya mengamati dengan bingung. I

  • Pesugihan Nyi Kukun Peliharaan    Jasad Aminah Diambil Alih Kukun

    Bab 38 Setelah tiba di rumah, Renata tak mampu menahan emosinya. Tubuhnya bergetar, napasnya memburu, dan air matanya terus mengalir. Ia berlari menuju kamar ibunya, tadinya mau menumpahkan kesedihan di sana.Namun, dia melihat Kakaknya sedang duduk memandangi kain putih milik mendiang Aminah."Teh!" Renata terisak, suaranya serak oleh kesedihan yang menyesakkan dada. "Ibu... Ibu hilang! Jenazahnya tidak ada!"Leha terdiam sejenak, wajahnya yang pucat menegang. "Apa maksudmu? Hilang?!" tanyanya dengan nada tak percaya.Renata mulai menjelaskan, meski kalimatnya tak beraturan. Ia bercerita bagaimana jenazah ibu mereka menghilang dari liang lahat, diiringi suara tawa mengerikan dan keanehan yang tak masuk akal.Mata Leha menyala oleh emosi. Ia melompat dari tempat duduknya, membuka pintu kamar dengan kasar, dan berjalan keluar dengan langkah cepat. Juju, nenek mereka, yang sedang duduk di ruang tengah bersama Sastra, kaget melihat cucunya melintas dengan penuh amarah."Leha! Mau ke man

  • Pesugihan Nyi Kukun Peliharaan    Dimakamkan Makhluk Lain

    Bab 37Renata dan Dede yang terguncang berusaha bangkit, tetapi kakinya lemas. "Ibu? Ibu kemana?" teriak mereka dengan suara terbata, tubuh terasa sangat lelah dan terhimpit oleh rasa takut yang mendalam.Tak jauh dari sana, sesosok bayangan tampak melintas dengan cepat, seperti sesuatu yang menunggangi angin. Beberapa orang di bisa merasakan kehadiran makhluk asing, seolah sesuatu yang sangat kuat tengah mengawasi mereka."Ini... bukan kebetulan," pikir Juju dalam hati. "Ini adalah perbuatan mereka... makhluk-makhluk itu."Taryo mencoba tenang, namun ia tak mampu menyembunyikan kekhawatiran yang terlihat jelas di wajahnya."Nak... kita harus pulang. Ini bukan tempat yang aman," katanya, namun suara ketakutannya tak bisa ia sembunyikan.Para kerabat yang hadir tampak panik. Mereka semua mulai menjauh dari liang kubur, mencoba untuk lari dari tempat itu. Keanehan ini tidak hanya menyerang Keluarga duka, namun semua orang yang ada di sana merasakan adanya kekuatan yang tak kasat mata.T

  • Pesugihan Nyi Kukun Peliharaan    Jenazah Aminah Hilang

    Bab 36. Aminah menoleh, tapi dia tidak berbicara apa pun."Ibu, ayo. Nanti Ibu kecapean," paksa Leha.Berkali-kali Leha memaksa, karena Aminah cuma diam dan terus berjalan, setelah menatap Leha."Ibu, jangan kaya gitu. Leha gak tega kalau harus pulang sendiri. Padahal ibu kerepotan," paksa Leha sekali lagi.Aminah menggeleng pelan, dengan sorot mata redup tapi tajam. Bahkan tangannya sedikit terangkat, menandakan penolakan.Leha terdiam, ada rasa merinding melihat tatapan ibunya."Yaudah, kalau gitu Leha pulang duluan ya Bu."Aminah tidak merespon. Yang Leha lihat Aminah terus berjalan sambil menenteng kresek besar, yang kelihatannya terasa berat.Dalam perjalanan pulang, Leha berpikir. Mungkin ibunya tidak mau diajak, karena takut bau amis darah dari pembalut mengotori motor, atau membuat Leha tidak nyaman. Dia berpikir positif saja.###Ketika Leha tiba di rumah, suasana sudah berubah mencekam. Banyak orang berkerumun di halaman, beberapa bahkan menangis histeris."Bendera kuning?"

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status