Diana duduk di bangku barisan kedua dari depan, sesekali melirik ke arah Firman yang duduk tiga kursi di belakangnya. Suara Bu Indah yang sedang menjelaskan materi Bahasa Indonesia seperti menjadi background noise baginya. Pikirannya masih terjebak pada percakapan kemarin di kantin tentang rencana pendakian Gunung Rinjani yang ekstrem itu.
Jantung Diana berdebar setiap kali Firman tertawa dengan teman sebangkunya. Cowok itu memang selalu bisa membuat suasana kelas menjadi lebih hidup. Diana sudah menyimpan perasaan ini sejak kelas sepuluh, tapi tidak pernah berani mengungkapkannya karena takut merusak persahabatan mereka. "Diana, kamu bisa jawab pertanyaan nomor tiga?" suara Bu Indah tiba-tiba memecah lamunannya. Diana tersentak kaget, mukanya langsung memerah. "Maaf Bu, bisa diulang pertanyaannya?" Tawa kecil terdengar dari beberapa teman sekelas. Firman ikut menoleh ke arahnya dengan senyum jahil, membuat Diana semakin gugup. Bu Indah menggeleng sambil tersenyum maklum, kemudian mengulang pertanyaannya tentang unsur intrinsik dalam cerita pendek. "Unsur intrinsiknya ada tokoh, alur, setting, tema, dan amanat, Bu," jawab Diana dengan suara pelan. Meski gugup, dia masih bisa menjawab dengan benar. Ketika bel istirahat berbunyi, Diana langsung membereskan buku-bukunya dengan terburu-buru. Dia berencana ke perpustakaan untuk mencari informasi tentang pendakian gunung, meski sebenarnya lebih karena ingin menghindari Firman. "Di, mau ke mana? Temen-temen udah nungguin di kantin," panggil Sinta, sahabat dekatnya. "Katanya Firman mau cerita hasil ngomong sama orang tuanya kemarin." Diana menggeleng sambil memasukkan buku terakhir ke dalam tas. "Gue mau ke perpus dulu, Sin. Ada tugas yang harus dicari referensinya." Bohong, sebenarnya dia tidak ada tugas apa-apa. "Lo duluan aja sama yang lain." "Yakin nggak mau ikut? Katanya Firman excited banget, papanya udah kasih green light," kata Sinta sambil menatap Diana dengan tatapan menggoda. Sahabatnya ini sudah lama tahu tentang perasaan Diana terhadap Firman. "Atau jangan-jangan lo takut kedekatannya sama Firman?" Wajah Diana langsung memerah. "Nggak ada hubungannya sama Firman! Gue emang takut naik gunung, udah gitu aja." Dia berjalan keluar kelas dengan langkah cepat. "Lagian gue harus mikir matang-matang, ini kan keputusan penting." Perpustakaan sekolah terasa sejuk dan sepi ketika Diana masuk. Dia langsung menuju ke bagian referensi dan mencari buku-buku tentang olahraga ekstrem dan pendakian gunung. Tangannya gemetar sedikit ketika membuka buku pertama yang berjudul "Panduan Mendaki Gunung Indonesia". Halaman demi halaman dibacanya dengan seksama. Foto-foto pendaki yang tersenyum di puncak gunung memang terlihat bahagia. Tapi ada juga foto-foto yang menunjukkan betapa beratnya perjalanan mendaki, pendaki yang terlihat kelelahan, cuaca yang ekstrem, dan medan yang berbahaya. "Resiko yang paling sering terjadi dalam pendakian gunung adalah hipotermia, altitude sickness, dehidrasi, dan tersesat," bacanya dalam hati. Setiap kata-kata itu seperti menambah rasa takutnya. Diana membuka buku kedua yang lebih spesifik membahas Gunung Rinjani. Tinggi gunung 3.726 meter di atas permukaan laut, jalur pendakian yang curam dan berbatu, cuaca yang bisa berubah drastis dalam hitungan menit. "Kenapa harus Rinjani sih, Firman," gumam Diana sambil membalik halaman buku. Matanya berhenti di sebuah foto danau Segara Anak yang indah sekali. Airnya berwarna biru tosca dengan latar belakang gunung kecil di tengahnya. Pemandangan itu memang sangat menawan, tapi Diana tetap tidak bisa menghilangkan rasa takutnya. Tiba-tiba ponselnya bergetar, ada pesan masuk di grup W******p mereka. Firman mengirim foto selfie di kantin sambil tersenyum lebar dengan caption: "Guys! Papa mama udah setuju! Kita jadi ke Rinjani! Budget unlimited dari papa, yang penting safety first!" Diana menatap foto Firman di layar ponselnya. Senyum cowok itu begitu menawan dan penuh semangat. Dia bisa membayangkan betapa kecewanya kalau Diana memutuskan untuk tidak ikut. Ucok langsung reply dengan emoji fire dan tulisan "SIAP BOSS!" Deri juga ikut reply "Papa lo emang the best, Man!" Margareta lebih tenang, hanya mengirim "Kita diskusi serius ya." Semua mata menunggu respon dari Diana. Dia menatap layar ponsel dengan bingung. Akhirnya dia cuma mengirim emoji thinking face dan tulisan "Masih mikir-mikir..." Sinta tiba-tiba muncul di belakangnya, membuat Diana kaget. "Ketemu juga lo di sini! Tadi gue cari-cari." Cewek itu duduk di kursi sebelah Diana sambil mengintip buku-buku yang sedang dibaca. "Wah, beneran research tentang pendakian gunung ya." "Iya, gue kan harus tau dulu resikonya gimana," jawab Diana sambil menutup buku. "Ternyata naik gunung itu bahaya banget, Sin. Banyak yang kecelakaan." Sinta membaca sekilas, kemudian menatap Diana dengan ekspresi serius. "Di, gue tau lo takut. Tapi jujur aja, ini tentang Firman juga kan?" Suaranya pelan. "Lo nggak mau ketinggalan momen bareng dia, makanya bimbang." Diana menggeleng keras, meski wajahnya memerah. "Nggak ada hubungannya sama Firman, Sin. Ini murni karena gue takut naik gunung." Tapi dalam hati dia tahu sahabatnya benar. "Dengerin gue, Di," kata Sinta sambil menggenggam tangan Diana. "Lo suka sama Firman dari dulu, dan ini kesempatan bagus buat deketin dia. Lagian kalian kan pergi berteman, bukan cuma berdua. Siapa tau setelah petualangan ini, Firman jadi liat lo dari sisi yang berbeda." "Tapi kalau nanti gue jadi beban gimana? Atau malah merepotkan karena takut terus?" tanya Diana dengan suara khawatir. "Nanti Firman malah kesel sama gue." "Nggak bakalan. Lo liat sendiri kan Firman orangnya gimana? Dia pasti bantuin lo, malah mungkin jadi lebih protective," jawab Sinta sambil menggoda. "Lagian lo bisa latihan dulu sebelum berangkat. Jogging, fitness, hiking ke tempat yang lebih gampang." Diana terdiam, otaknya sedang memproses semua yang dikatakan Sinta. Memang benar, ini bisa jadi kesempatan bagus untuk lebih dekat dengan Firman. "Sin, lo pernah nggak sih suka sama cowok tapi takut ngungkapin?" tanya Diana tiba-tiba. "Rasanya campur aduk banget. Mau deketin tapi takut ditolak." Sinta tersenyum lembut. "Pernah dong. Makanya sekarang gue selalu bilang, kalau suka ya tunjukin. Jangan cuma diem aja." "Gampang ngomongnya," keluh Diana sambil menyandarkan kepalanya di meja. "Gue takut banget, Sin. Takut naik gunung, takut sama perasaan gue sendiri, takut ditolak Firman." Bel masuk berbunyi, menandakan istirahat sudah berakhir. Diana dan Sinta bersiap-siap untuk kembali ke kelas. Sebelum berpisah, Sinta menepuk pundak Diana dengan lembut. "Di, lo nggak harus putuskan sekarang juga. Tapi ingat, kesempatan kayak gini nggak datang dua kali." Di kelasnya, Diana duduk dengan perasaan masih bimbang. Pelajaran Biologi berlangsung, tapi pikirannya melayang kemana-mana. Sesekali dia melirik ke arah Firman yang sedang serius mencatat. Ketika jam pelajaran terakhir berakhir, Diana memberanikan diri untuk menghampiri Firman. Jantungnya berdebar keras. "Man, bisa ngomong sebentar nggak? Tentang rencana Rinjani itu." Firman langsung tersenyum cerah. "Tentu bisa, Di! Gue seneng banget lo mau diskusi serius tentang ini." Dia mengemas buku-bukunya sambil terus bicara dengan antusias. "Papa gue udah research travel agent yang bagus." Mereka berjalan bersama menuju gerbang sekolah. Diana merasa canggung berjalan berdua saja dengan Firman, tapi juga senang mendapat kesempatan bicara empat mata. "Man, jujur aja gue masih takut banget naik gunung. Apalagi yang ekstrem kayak Rinjani." Firman berhenti berjalan dan menatap Diana dengan serius. "Gue ngerti kok, Di. Wajar kalau lo takut, ini emang bukan hal yang main-main." Suaranya lebih lembut dari biasanya. "Tapi percayalah, gue nggak bakal biarin terjadi apa-apa sama lo. Kita semua bakal saling jaga." Kata-kata Firman membuat hati Diana berbunga-bunga. "Lo yakin bakal aman? Tadi gue baca-baca di perpus, banyak banget resiko naik gunung." "Makanya kita harus persiapan yang bener-bener matang, Di. Papa udah bilang, semua peralatan harus yang terbaik, guide harus yang berpengalaman minimal sepuluh tahun." Firman menunjukkan website travel agent di ponselnya. "Lihat, mereka udah organize ratusan trip ke Rinjani tanpa kecelakaan serius." Diana melihat website yang ditunjukkan Firman. Memang terlihat profesional dan terpercaya. Tapi rasa takutnya masih belum hilang sepenuhnya. "Di, gue mau jujur sama lo," kata Firman tiba-tiba dengan nada serius. "Gue bakal kecewa banget kalau lo nggak ikut. Lo kan salah satu sahabat terbaik gue, rasanya nggak lengkap kalau nggak ada lo." Dia menatap mata Diana dengan tulus. "Tapi gue juga nggak mau maksa kalau lo emang nggak mau." Hati Diana mencelos mendengar kata-kata Firman. Cowok itu bilang dia sahabat terbaik, bukan cuma teman biasa.Bunyi peluit pelatih memecah keheningan lapangan basket SMA Negeri 15 yang sudah mulai sepi. Ucok masih berlari sprint di ujung lapangan, keringat membasahi seragam merah tim basketnya. Sore itu latihan lebih intensif dari biasanya karena persiapan untuk turnamen antar sekolah bulan depan."Ucok! Udahan dulu, kamu udah lari sepuluh putaran lebih!" teriak Pelatih Bayu dari pinggir lapangan. "Jangan dipaksa, nanti malah kelelahan berlebihan." Tapi Ucok tetap melanjutkan larinya dengan tempo konsisten, napasnya masih teratur.Satu putaran terakhir, Ucok finish dengan sprint penuh sebelum akhirnya berhenti di depan pelatih. Tinggi badannya 185 cm dengan postur atletis yang ideal untuk posisi penyerang depan, membuatnya jadi andalan tim basket sekolah sejak kelas sepuluh. "Pelatih, saya masih bisa lagi nih. Badan saya masih kuat banget."Pelatih Bayu menggeleng sambil memberikan handuk. "Kamu itu kadang terlalu keras sama diri sendiri, Cok. Atlet bagus itu tahu kapan harus menekan dan kapa
Deri turun dari angkot di depan gang sempit Perumahan Bumi Bekasi Baru. Sore itu jalanan masih ramai dengan kendaraan yang pulang kerja, asap knalpot bercampur dengan aroma gorengan dari pedagang kaki lima. Dia berjalan melewati warung-warung kecil yang sudah mulai menyalakan lampu.Rumah type 36 yang ditempati keluarganya terlihat sederhana tapi terawat. Cat tembok yang sudah agak kusam, pagar besi yang mulai berkarat, tapi halaman kecil yang selalu bersih. Deri membuka pintu dengan kunci yang sudah aus, langsung disambut aroma masakan sederhana dari dapur."Deri udah pulang?" teriak mama dari dapur. Suara wajan yang sedang menumis bercampur dengan suara televisi. "Mama lagi masak tempe orek sama sayur sop. Papa belum pulang, macet katanya.""Iya, Ma!" sahut Deri sambil melepas sepatu dan meletakkan tas sekolahnya di sofa. Rumah mereka memang tidak besar, ruang tamu, ruang makan, dan dapur jadi satu.Deri menghampiri mama yang sedang sibuk di dapur. Wanita paruh baya itu masih mengen
Diana duduk di bangku barisan kedua dari depan, sesekali melirik ke arah Firman yang duduk tiga kursi di belakangnya. Suara Bu Indah yang sedang menjelaskan materi Bahasa Indonesia seperti menjadi background noise baginya. Pikirannya masih terjebak pada percakapan kemarin di kantin tentang rencana pendakian Gunung Rinjani yang ekstrem itu.Jantung Diana berdebar setiap kali Firman tertawa dengan teman sebangkunya. Cowok itu memang selalu bisa membuat suasana kelas menjadi lebih hidup. Diana sudah menyimpan perasaan ini sejak kelas sepuluh, tapi tidak pernah berani mengungkapkannya karena takut merusak persahabatan mereka."Diana, kamu bisa jawab pertanyaan nomor tiga?" suara Bu Indah tiba-tiba memecah lamunannya. Diana tersentak kaget, mukanya langsung memerah. "Maaf Bu, bisa diulang pertanyaannya?"Tawa kecil terdengar dari beberapa teman sekelas. Firman ikut menoleh ke arahnya dengan senyum jahil, membuat Diana semakin gugup. Bu Indah menggeleng sambil tersenyum maklum, kemudian men
Sore itu jam menunjukkan pukul empat ketika Firman turun dari mobil Alphard hitam yang mengantarnya pulang dari sekolah. Pak Joko, sopir keluarganya, tersenyum ramah sambil membuka pintu. Rumah mewah bergaya minimalis modern di kawasan PIK menyambut kedatangannya dengan sejuknya pendingin ruangan."Terima kasih, Pak Joko. Besok jemput jam setengah tujuh ya," kata Firman sambil melambaikan tangan. Dia melangkah masuk melalui pintu utama yang otomatis terbuka. Aroma masakan mama sudah tercium dari dapur."Firman udah pulang?" teriak mama dari arah dapur. Suara blender bercampur dengan televisi di ruang keluarga yang menayangkan berita sore."Iya, Ma!" sahut Firman sambil melepas sepatu dan meletakkan tas sekolahnya di sofa. Dia langsung menuju dapur dimana mamanya sedang sibuk menyiapkan jus buah segar. Wanita paruh baya yang masih terlihat awet muda itu mengenakan apron cantik sambil tersenyum."Mama lagi bikin jus alpukat keju, kesukaan Firman," kata mamanya sambil menuang jus ke dala
Pagi itu seperti senin-senin lainnya di SMA Negeri 15 Jakarta. Jam menunjukkan pukul 07:30 WIB ketika bel istirahat pertama berbunyi, memecah keheningan kelas yang dipenuhi aroma spidol dan debu kapur. Firman langsung bangkit dari kursinya, meregangkan tubuh yang kaku setelah dua jam pelajaran matematika."Gila, Bu Sari kayak robot hari ini. Ngasih soal terus tanpa henti," gerutu Firman sambil merapikan buku-bukunya."Udah lah, Man. Mending kita ke kantin sekarang sebelum antriannya panjang," sahut Deri dari bangku belakang. Cowok berambut keriting itu sudah berdiri sambil menenteng tas selempangnya yang penuh dengan patch band metal.Mereka berdua keluar kelas, berjalan menyusuri koridor yang ramai dengan siswa-siswa lain. Suara langkah kaki dan obrolan remaja bercampur menjadi satu.Kantin sekolah sudah mulai ramai ketika mereka tiba. Aroma mie ayam dan bakso bercampur dengan suara penjual yang menawarkan dagangannya. Firman dan Deri langsung menuju meja sudut yang sudah menjadi tem