Share

Bab 3

Penulis: Tama Fernandez
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-01 15:58:27

Diana duduk di bangku barisan kedua dari depan, sesekali melirik ke arah Firman yang duduk tiga kursi di belakangnya. Suara Bu Indah yang sedang menjelaskan materi Bahasa Indonesia seperti menjadi background noise baginya. Pikirannya masih terjebak pada percakapan kemarin di kantin tentang rencana pendakian Gunung Rinjani yang ekstrem itu.

Jantung Diana berdebar setiap kali Firman tertawa dengan teman sebangkunya. Cowok itu memang selalu bisa membuat suasana kelas menjadi lebih hidup. Diana sudah menyimpan perasaan ini sejak kelas sepuluh, tapi tidak pernah berani mengungkapkannya karena takut merusak persahabatan mereka.

"Diana, kamu bisa jawab pertanyaan nomor tiga?" suara Bu Indah tiba-tiba memecah lamunannya. Diana tersentak kaget, mukanya langsung memerah. "Maaf Bu, bisa diulang pertanyaannya?"

Tawa kecil terdengar dari beberapa teman sekelas. Firman ikut menoleh ke arahnya dengan senyum jahil, membuat Diana semakin gugup. Bu Indah menggeleng sambil tersenyum maklum, kemudian mengulang pertanyaannya tentang unsur intrinsik dalam cerita pendek.

"Unsur intrinsiknya ada tokoh, alur, setting, tema, dan amanat, Bu," jawab Diana dengan suara pelan. Meski gugup, dia masih bisa menjawab dengan benar.

Ketika bel istirahat berbunyi, Diana langsung membereskan buku-bukunya dengan terburu-buru. Dia berencana ke perpustakaan untuk mencari informasi tentang pendakian gunung, meski sebenarnya lebih karena ingin menghindari Firman.

"Di, mau ke mana? Temen-temen udah nungguin di kantin," panggil Sinta, sahabat dekatnya. "Katanya Firman mau cerita hasil ngomong sama orang tuanya kemarin."

Diana menggeleng sambil memasukkan buku terakhir ke dalam tas. "Gue mau ke perpus dulu, Sin. Ada tugas yang harus dicari referensinya." Bohong, sebenarnya dia tidak ada tugas apa-apa. "Lo duluan aja sama yang lain."

"Yakin nggak mau ikut? Katanya Firman excited banget, papanya udah kasih green light," kata Sinta sambil menatap Diana dengan tatapan menggoda. Sahabatnya ini sudah lama tahu tentang perasaan Diana terhadap Firman. "Atau jangan-jangan lo takut kedekatannya sama Firman?"

Wajah Diana langsung memerah. "Nggak ada hubungannya sama Firman! Gue emang takut naik gunung, udah gitu aja." Dia berjalan keluar kelas dengan langkah cepat. "Lagian gue harus mikir matang-matang, ini kan keputusan penting."

Perpustakaan sekolah terasa sejuk dan sepi ketika Diana masuk. Dia langsung menuju ke bagian referensi dan mencari buku-buku tentang olahraga ekstrem dan pendakian gunung. Tangannya gemetar sedikit ketika membuka buku pertama yang berjudul "Panduan Mendaki Gunung Indonesia".

Halaman demi halaman dibacanya dengan seksama. Foto-foto pendaki yang tersenyum di puncak gunung memang terlihat bahagia. Tapi ada juga foto-foto yang menunjukkan betapa beratnya perjalanan mendaki, pendaki yang terlihat kelelahan, cuaca yang ekstrem, dan medan yang berbahaya.

"Resiko yang paling sering terjadi dalam pendakian gunung adalah hipotermia, altitude sickness, dehidrasi, dan tersesat," bacanya dalam hati. Setiap kata-kata itu seperti menambah rasa takutnya.

Diana membuka buku kedua yang lebih spesifik membahas Gunung Rinjani. Tinggi gunung 3.726 meter di atas permukaan laut, jalur pendakian yang curam dan berbatu, cuaca yang bisa berubah drastis dalam hitungan menit.

"Kenapa harus Rinjani sih, Firman," gumam Diana sambil membalik halaman buku. Matanya berhenti di sebuah foto danau Segara Anak yang indah sekali. Airnya berwarna biru tosca dengan latar belakang gunung kecil di tengahnya. Pemandangan itu memang sangat menawan, tapi Diana tetap tidak bisa menghilangkan rasa takutnya.

Tiba-tiba ponselnya bergetar, ada pesan masuk di grup W******p mereka. Firman mengirim foto selfie di kantin sambil tersenyum lebar dengan caption: "Guys! Papa mama udah setuju! Kita jadi ke Rinjani! Budget unlimited dari papa, yang penting safety first!"

Diana menatap foto Firman di layar ponselnya. Senyum cowok itu begitu menawan dan penuh semangat. Dia bisa membayangkan betapa kecewanya kalau Diana memutuskan untuk tidak ikut.

Ucok langsung reply dengan emoji fire dan tulisan "SIAP BOSS!" Deri juga ikut reply "Papa lo emang the best, Man!" Margareta lebih tenang, hanya mengirim "Kita diskusi serius ya."

Semua mata menunggu respon dari Diana. Dia menatap layar ponsel dengan bingung. Akhirnya dia cuma mengirim emoji thinking face dan tulisan "Masih mikir-mikir..."

Sinta tiba-tiba muncul di belakangnya, membuat Diana kaget. "Ketemu juga lo di sini! Tadi gue cari-cari." Cewek itu duduk di kursi sebelah Diana sambil mengintip buku-buku yang sedang dibaca. "Wah, beneran research tentang pendakian gunung ya."

"Iya, gue kan harus tau dulu resikonya gimana," jawab Diana sambil menutup buku. "Ternyata naik gunung itu bahaya banget, Sin. Banyak yang kecelakaan."

Sinta membaca sekilas, kemudian menatap Diana dengan ekspresi serius. "Di, gue tau lo takut. Tapi jujur aja, ini tentang Firman juga kan?" Suaranya pelan. "Lo nggak mau ketinggalan momen bareng dia, makanya bimbang."

Diana menggeleng keras, meski wajahnya memerah. "Nggak ada hubungannya sama Firman, Sin. Ini murni karena gue takut naik gunung." Tapi dalam hati dia tahu sahabatnya benar.

"Dengerin gue, Di," kata Sinta sambil menggenggam tangan Diana. "Lo suka sama Firman dari dulu, dan ini kesempatan bagus buat deketin dia. Lagian kalian kan pergi berteman, bukan cuma berdua. Siapa tau setelah petualangan ini, Firman jadi liat lo dari sisi yang berbeda."

"Tapi kalau nanti gue jadi beban gimana? Atau malah merepotkan karena takut terus?" tanya Diana dengan suara khawatir. "Nanti Firman malah kesel sama gue."

"Nggak bakalan. Lo liat sendiri kan Firman orangnya gimana? Dia pasti bantuin lo, malah mungkin jadi lebih protective," jawab Sinta sambil menggoda. "Lagian lo bisa latihan dulu sebelum berangkat. Jogging, fitness, hiking ke tempat yang lebih gampang."

Diana terdiam, otaknya sedang memproses semua yang dikatakan Sinta. Memang benar, ini bisa jadi kesempatan bagus untuk lebih dekat dengan Firman.

"Sin, lo pernah nggak sih suka sama cowok tapi takut ngungkapin?" tanya Diana tiba-tiba. "Rasanya campur aduk banget. Mau deketin tapi takut ditolak."

Sinta tersenyum lembut. "Pernah dong. Makanya sekarang gue selalu bilang, kalau suka ya tunjukin. Jangan cuma diem aja."

"Gampang ngomongnya," keluh Diana sambil menyandarkan kepalanya di meja. "Gue takut banget, Sin. Takut naik gunung, takut sama perasaan gue sendiri, takut ditolak Firman."

Bel masuk berbunyi, menandakan istirahat sudah berakhir. Diana dan Sinta bersiap-siap untuk kembali ke kelas. Sebelum berpisah, Sinta menepuk pundak Diana dengan lembut. "Di, lo nggak harus putuskan sekarang juga. Tapi ingat, kesempatan kayak gini nggak datang dua kali."

Di kelasnya, Diana duduk dengan perasaan masih bimbang. Pelajaran Biologi berlangsung, tapi pikirannya melayang kemana-mana. Sesekali dia melirik ke arah Firman yang sedang serius mencatat.

Ketika jam pelajaran terakhir berakhir, Diana memberanikan diri untuk menghampiri Firman. Jantungnya berdebar keras. "Man, bisa ngomong sebentar nggak? Tentang rencana Rinjani itu."

Firman langsung tersenyum cerah. "Tentu bisa, Di! Gue seneng banget lo mau diskusi serius tentang ini." Dia mengemas buku-bukunya sambil terus bicara dengan antusias. "Papa gue udah research travel agent yang bagus."

Mereka berjalan bersama menuju gerbang sekolah. Diana merasa canggung berjalan berdua saja dengan Firman, tapi juga senang mendapat kesempatan bicara empat mata. "Man, jujur aja gue masih takut banget naik gunung. Apalagi yang ekstrem kayak Rinjani."

Firman berhenti berjalan dan menatap Diana dengan serius. "Gue ngerti kok, Di. Wajar kalau lo takut, ini emang bukan hal yang main-main." Suaranya lebih lembut dari biasanya. "Tapi percayalah, gue nggak bakal biarin terjadi apa-apa sama lo. Kita semua bakal saling jaga."

Kata-kata Firman membuat hati Diana berbunga-bunga. "Lo yakin bakal aman? Tadi gue baca-baca di perpus, banyak banget resiko naik gunung."

"Makanya kita harus persiapan yang bener-bener matang, Di. Papa udah bilang, semua peralatan harus yang terbaik, guide harus yang berpengalaman minimal sepuluh tahun." Firman menunjukkan website travel agent di ponselnya. "Lihat, mereka udah organize ratusan trip ke Rinjani tanpa kecelakaan serius."

Diana melihat website yang ditunjukkan Firman. Memang terlihat profesional dan terpercaya. Tapi rasa takutnya masih belum hilang sepenuhnya.

"Di, gue mau jujur sama lo," kata Firman tiba-tiba dengan nada serius. "Gue bakal kecewa banget kalau lo nggak ikut. Lo kan salah satu sahabat terbaik gue, rasanya nggak lengkap kalau nggak ada lo." Dia menatap mata Diana dengan tulus. "Tapi gue juga nggak mau maksa kalau lo emang nggak mau."

Hati Diana mencelos mendengar kata-kata Firman. Cowok itu bilang dia sahabat terbaik, bukan cuma teman biasa.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Petaka Di Gunung Rinjani   Bab 82

    Jalur pendakian, sekitar lima ratus meter dari tebing timur. Firman dan Diana sedang duduk beristirahat di atas batu besar, menyeka keringat dari dahi mereka. Pagi yang melelahkan setelah bermalam dengan mimpi buruk.Firman menatap peta yang terbuka di pangkuannya, mencoba mencari rute alternatif untuk turun. Diana duduk di sampingnya, memeluk lututnya sendiri, mata menatap kosong ke depan."Kita harus buat keputusan, Diana," Firman berbicara pelan. "Kalau Margareta tidak membaik, kita harus turun hari ini juga."Diana mengangguk lemah. "Aku tahu. Aku cuma... aku tidak menyangka perjalanan ini akan berakhir seperti ini."Tiba-tiba—"TOLONG!"Suara itu datang dari kejauhan, memecah keheningan pagi. Suara yang penuh kepanikan dan ketakutan.Firman dan Diana langsung berdiri, kepala mereka menoleh ke arah sumber suara."Itu suara Pak Darto!" Diana berteriak, wajahnya memucat."TOLONG! MARGARETA JATUH! DIA JATUH KE JURANG!"Deg.Jantung Firman berhenti berdetak sejenak. Dunia seakan berhe

  • Petaka Di Gunung Rinjani   Bab 81

    Tepi tebing. Angin bertiup kencang. Margareta tergantung di ambang kehidupan dan kematian—secara harfiah. Kakinya melayang di udara kosong, hanya ujung jari tangannya yang mencengkeram tanah berbatu.Pak Darto berdiri tegak di hadapannya, bayangan tubuhnya menutupi matahari pagi. Wajahnya tenang, terlalu tenang untuk seseorang yang akan melakukan pembunuhan."Kamu terlalu pintar untuk kebaikanmu sendiri, Margareta." Suaranya datar, tanpa emosi, seperti menyatakan fakta sederhana.Margareta menatapnya dengan mata yang hampir kehilangan cahaya. Napasnya pendek-pendek, tubuhnya gemetar hebat—kombinasi dari kesakitan fisik, ketakutan, dan kelelahan total."Pak... kumohon..." suaranya serak, hampir tidak terdengar. "Jangan..."Pak Darto menggeleng pelan. "Terlambat. Kamu sudah tahu terlalu banyak. Kamu sudah melihat terlalu jauh."Dia mengangkat kakinya, menekan dada Margareta dengan sepatu boots-nya.Margareta merasakan tekanan itu. Jantungnya berdegup kencang thump thump thump seperti dr

  • Petaka Di Gunung Rinjani   Bab 80

    Margareta menatap tali itu dengan mata terbelalak. Napasnya memburu, dada naik-turun dengan cepat. Setiap insting dalam tubuhnya berteriak untuk lari, tapi kakinya tidak bergerak—terlalu lemah, terlalu ketakutan."Jangan..." suaranya gemetar. "Pak, kumohon..."Pak Darto tidak menjawab. Dia melangkah maju dengan tenang, seperti sedang melakukan pekerjaan rutin. Tangannya menggenggam tali dengan kuat.Margareta mencoba merangkak mundur, tangannya mengais-ngais tanah berbatu kres, kres mencari pegangan apa pun. Punggungnya menekan batu besar di belakangnya. Tidak ada jalan keluar."TOLONG!" Margareta berteriak sekeras yang dia bisa. Suaranya bergema di antara tebing dan jurang, tapi hanya kembali sebagai gema kosong. "FIRMAN! DIANA! TOLONG AKU!"Pak Darto berhenti sejenak, menyeringai."Teriaklah sepuasmu. Mereka terlalu jauh. Mereka tidak akan mendengar." Dia melirik ke arah jalur di kejauhan. "Bahkan jika mereka mendengar, mereka akan pikir kamu sedang mengamuk lagi. Gadis gila yang be

  • Petaka Di Gunung Rinjani   Bab 79

    "Pak... tolong... saya butuh bantuan..." suaranya parau, hampir berbisik.Pak Darto tersenyum. Bukan senyum hangat yang biasa dia tunjukkan. Ini berbeda. Senyum dingin, tanpa kehangatan, tanpa kemanusiaan. Matanya—yang selama ini tampak bijaksana—kini memancarkan kekosongan yang mengerikan."Bantuan?" Pak Darto tertawa pelan. Suara tawanya bergema di antara bebatuan. "Kamu pikir aku akan membantumu, Margareta?"Hening sesaat. Angin bertiup pelan, membawa aroma tanah basah dan dedaunan lapuk."Tidak ada yang akan membantumu di sini." Pak Darto melangkah lebih dekat, sepatu boots-nya menginjak kerikil kecil kres... kres... kres. "Kamu tahu kenapa?"Margareta menggeleng lemah, air mata mulai mengalir di pipinya."Karena akulah yang membunuh mereka semua." Kata-kata itu keluar dengan tenang, seperti seseorang yang sedang membicarakan cuaca. "Setiap. Satu. Orang."Deg.Jantung Margareta seakan berhenti berdetak. Dunia berputar. Meski dia sudah menduga, mendengar pengakuan langsung dari mul

  • Petaka Di Gunung Rinjani   Bab 78

    Ini dia. Hari terakhirku.Pikiran itu datang jernih, tajam, tidak bisa disangkal lagi.Ciit, ciit, ciit.Burung-burung pagi mulai berkicau di luar. Suara yang indah, yang biasanya membawa harapan. Tapi pagi ini, suara itu terdengar seperti lagu duka.Srek.Ritsleting tenda terbuka. Diana muncul dengan senyum yang dipaksakan."Pagi, Margareta. Ayo bangun. Pak Darto sudah siapkan sarapan spesial untukmu."Margareta duduk perlahan. Setiap gerakan terasa berat, seperti bergerak di dalam air."Spesial?""Iya. Katanya kamu butuh energi untuk sesi konseling nanti."Diana mengulurkan tangan, membantu Margareta berdiri. Sentuhan tangannya hangat, tapi ada kekhawatiran di matanya—kekhawatiran untuk orang yang dia anggap sakit mental.Margareta keluar dari tenda. Udara pagi dingin menusuk kulit. Langit masih berwarna ungu pucat di timur, berubah gradasi menjadi merah jambu, lalu oranye.Matahari terbit. Indah. Dramatis.Matahari terakhir yang akan kulihat.Pak Darto berdiri di dekat api unggun y

  • Petaka Di Gunung Rinjani   Bab 77

    Margareta berbaring kaku di sleeping bag. Matanya terbuka menatap kegelapan atap tenda. Jantungnya berdetak tidak teratur.Thump-thump... thump-thump-thump... thump.Ada sesuatu yang salah malam ini. Udara terasa lebih dingin, lebih mencekam. Seperti ada yang menunggu di luar sana sesuatu yang gelap dan lapar.Wuuush.Angin gunung berhembus, membuat kain tenda bergerak-gerak. Bayangan-bayangan menari di dinding.Lalu dia mendengar suara. Pelan. Berbisik. Datang dari luar tenda."...besok pagi."Suara Pak Darto."Yakin aman, Pak?"Suara Firman.Margareta membekukan. Napasnya tertahan. Telinganya menajam, menangkap setiap kata."Tenang saja. Aku sudah melakukan ini berkali-kali."Krek.Suara langkah kaki bergeser."Sesi besok akan membantu dia... satu cara atau yang lain."Jeda panjang. Margareta membayangkan Firman mengangguk, menerima kata-kata itu tanpa pertanyaan."Terima kasih sudah percaya, Firman. Kamu sahabat yang baik.""Sama-sama, Pak. Yang penting Margareta bisa pulih."Langk

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status