Sore itu jam menunjukkan pukul empat ketika Firman turun dari mobil Alphard hitam yang mengantarnya pulang dari sekolah. Pak Joko, sopir keluarganya, tersenyum ramah sambil membuka pintu. Rumah mewah bergaya minimalis modern di kawasan PIK menyambut kedatangannya dengan sejuknya pendingin ruangan.
"Terima kasih, Pak Joko. Besok jemput jam setengah tujuh ya," kata Firman sambil melambaikan tangan. Dia melangkah masuk melalui pintu utama yang otomatis terbuka. Aroma masakan mama sudah tercium dari dapur. "Firman udah pulang?" teriak mama dari arah dapur. Suara blender bercampur dengan televisi di ruang keluarga yang menayangkan berita sore. "Iya, Ma!" sahut Firman sambil melepas sepatu dan meletakkan tas sekolahnya di sofa. Dia langsung menuju dapur dimana mamanya sedang sibuk menyiapkan jus buah segar. Wanita paruh baya yang masih terlihat awet muda itu mengenakan apron cantik sambil tersenyum. "Mama lagi bikin jus alpukat keju, kesukaan Firman," kata mamanya sambil menuang jus ke dalam gelas. Firman memeluk mamanya dari belakang dengan manja. "Wah, mama tau banget. Hari ini capek banget, Bu Sari kasih ulangan mendadak matematika." Mama mengelus rambut Firman dengan sayang. "Malam ini menu tumis kangkung sama ayam goreng. Papa belum pulang, katanya ada meeting sampai jam enam. Firman mandi dulu, nanti makan bareng-bareng." Firman mengambil jus alpukat keju yang sudah disiapkan mamanya, meminumnya sambil berdiri. Rasa creamy dan manisnya langsung menyegarkan tenggorokannya. "Ma, nanti Firman mau ngomong sesuatu sama papa dan mama. Penting banget." "Memangnya ada apa, sayang? Jangan bilang nilainya jelek lagi," kata mama dengan nada khawatir. "Bukan, Ma. Justru kabar baik," jawab Firman sambil tersenyum misterius. "Nanti aja Ma, tunggu papa pulang biar sekalian." Firman naik ke kamarnya di lantai dua, melewati tangga marmer yang mengkilap. Kamarnya yang luas dan nyaman sudah tertata rapi, tempat tidur king size dengan sprei biru laut. Dia langsung menyalakan laptop dan melempar tubuhnya ke kasur empuk. Jari-jarinya mengetik dengan cepat, mencari informasi tentang Gunung Rinjani. Berbagai website travel dan blog pendakian bermunculan di layar. Mata Firman berbinar membaca deskripsi tentang keindahan danau Segara Anak dan puncak Rinjani yang menantang. Pemandangan sunrise dari puncak terlihat sangat memukau. "Gila, keren banget ini," gumamnya sambil scroll down melihat foto-foto pendaki yang berhasil mencapai puncak. Tiba-tiba sebuah artikel menarik perhatiannya. Judulnya cukup mengkhawatirkan: "Pendaki Asal Jakarta Tewas Tersesat di Gunung Rinjani, Ditemukan Setelah 5 Hari Pencarian." Firman merasa dadanya berdebar, tapi rasa penasarannya lebih besar. Dia mengklik artikel tersebut dan mulai membaca. Artikel itu menceritakan tentang seorang pendaki solo bernama Agus yang tersesat karena cuaca buruk dan berkabut tebal. Tim SAR baru menemukannya setelah lima hari pencarian intensif, dalam kondisi sudah meninggal dunia karena hipotermia. Firman menelan ludah membaca detail kejadian yang mengerikan itu. "Tapi dia kan solo, kalau kita berempat plus guide pasti aman," gumam Firman mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Bunyi pintu mobil di halaman depan membuat Firman menutup laptopnya. Papanya sudah pulang, terdengar suara langkah kaki di tangga. Firman turun ke bawah, menemukan papanya yang sedang melepas jas kantor. "Papa, Firman!" sapa papanya sambil memeluk Firman. Pria berusia empat puluhan itu masih terlihat segar meski baru pulang dari kantor. "Gimana sekolahnya hari ini?" tanya papa sambil mengendurkan dasinya. "Mama bilang kamu mau ngomong sesuatu yang penting." Firman duduk di sebelah papanya, tiba-tiba merasa gugup. "Papa, Firman sama temen-temen mau liburan bareng setelah ujian semester nanti. Kita mau naik Gunung Rinjani di Lombok." Papa menurunkan korannya, menatap Firman dengan ekspresi terkejut. "Naik gunung? Firman yakin? Itu kan berbahaya, nak. Papa sering denger berita kecelakaan pendaki di gunung-gunung Indonesia." Mama yang sedang menyiapkan makan malam juga menghentikan aktivitasnya. "Tapi kita akan pakai guide profesional, Pa. Dan perginya juga sama temen-temen, bukan sendirian," jawab Firman mencoba meyakinkan. "Margareta, Diana, Ucok, sama Deri. Kita udah berteman sejak kelas satu." Papa masih terlihat ragu. "Firman tau nggak sih, naik gunung itu bukan main-main? Cuacanya bisa berubah tiba-tiba, medannya berat, belum lagi resiko altitude sickness." Dia melipat korannya dan fokus menatap anaknya. "Papa nggak melarang, tapi papa khawatir sama keselamatan Firman." "Justru karena itu kita perlu persiapan yang matang, Pa," jawab Firman. "Firman udah research di internet, banyak travel agent yang nyediain paket pendakian Rinjani yang aman dan profesional." Dia mengambil laptop dan menunjukkan website-website yang sudah dibookmark. Mama ikut duduk di ruang keluarga, wajahnya menunjukkan kekhawatiran. "Sayang, mama sih percaya sama Firman. Tapi naik gunung itu kan olahraga ekstrem. Firman udah pernah latihan atau gimana?" "Kita bisa latihan dulu, Ma. Mulai jogging pagi, ke gym, atau hiking ke Puncak dulu buat adaptasi," jawab Firman dengan antusias. "Lagian ini kesempatan bagus buat Firman belajar mandiri dan tanggung jawab." Papa terdiam sejenak, seperti sedang mempertimbangkan. "Berapa biayanya kalau mau pendakian yang bener-bener aman dan profesional?" Mata Firman langsung berbinar. "Sekitar lima belas juta per orang, Pa. Udah include transportasi, penginapan, guide berpengalaman, peralatan lengkap, dan asuransi kecelakaan." "Lima belas juta per orang?" ulang mama dengan nada terkejut. "Itu kan total tujuh puluh lima juta untuk berlima." Papa menggeleng sambil tersenyum. "Bukan masalah uang, sayang. Papa lebih khawatir sama keselamatan Firman dan temen-temannya." Dia menatap Firman dengan serius. "Kalau memang mau pergi, papa mau ketemu sama orang tua temen-temen Firman dulu. Kita diskusi bareng soal persiapan dan keamanannya." "Serius, Pa? Papa setuju?" tanya Firman dengan mata berbinar. "Mama gimana?" Mama menghela napas panjang. "Mama sih sebenarnya takut, sayang. Tapi mama percaya sama Firman, dan kalau papa udah bilang oke, mama nggak bisa melarang." Dia memeluk Firman dengan erat. "Yang penting Firman janji hati-hati, selalu lapor, dan kalau ada apa-apa langsung hubungi papa mama." "Janji, Ma! Firman janji bakalan hati-hati banget," jawab Firman sambil membalas pelukan mamanya. "Makasih ya Papa, Mama." "Tapi ada syaratnya," kata papa dengan nada tegas. "Pertama, kalian harus ikut kursus dasar-dasar mendaki gunung. Kedua, medical check up lengkap. Ketiga, pakai guide dan porter yang berpengalaman minimal sepuluh tahun. Keempat, asuransi jiwa dan kecelakaan yang komprehensif." Firman mengangguk-angguk semangat. "Siap, Pa! Semua persyaratan papa bakalan Firman ikuti." Mereka makan malam dengan suasana yang hangat. Papa dan mama terus memberikan nasihat dan tips keselamatan. Sesekali mama masih menunjukkan kekhawatirannya, tapi dia sudah mulai menerima keputusan ini. Setelah makan malam, Firman langsung berlari ke kamarnya. Dia mengambil handphone dan menelpon Margareta. Suara nada sambung berdering beberapa kali sebelum akhirnya teman perempuannya mengangkat. "Halo, Firman? Ada apa nelpon malam-malam?" "Gre! Kabar bagus banget nih," kata Firman dengan suara excited. "Papa mama udah setuju buat pendakian Rinjani! Bahkan papa mau kasih budget unlimited asal kita pergi dengan persiapan yang bener-bener professional." Margareta terdiam sejenak. "Serius, Man? Orang tua lo setuju gitu aja? Padahal ini kan rencana yang cukup ekstrem." "Awalnya sih papa khawatir juga. Tapi setelah gue jelasin kalau kita bakalan pakai guide profesional dan peralatan lengkap, papa malah dukung," jawab Firman. "Yang penting sekarang lo udah mau ikut atau belum?" "Gue masih harus diskusi sama orang tua gue, Man. Tapi kalau emang serius dan persiapannya matang, kayaknya gue tertarik juga," kata Margareta. "Lo udah ngomong sama yang lain belum?" "Belum, gue telpon lo dulu. Nanti gue WA grup deh." Dia sudah mulai mengetik pesan di grup W******p mereka. "Oh ya, Gre, tadi gue baca artikel tentang kecelakaan pendaki di Rinjani." "Lah, malah bikin takut dong," sahut Margareta. Firman menceritakan artikel yang dibacanya tadi sore. Margareta mendengarkan dengan serius. "Makanya kita harus prepare banget, Gre. Nggak boleh ada yang sembarangan. Papa udah bilang, semua harus yang terbaik dan teraman." "Oke deh, Man. Gue bakalan diskusi serius sama orang tua gue malam ini juga," kata Margareta. "Kalau mereka setuju, berarti kita beneran bakalan jadi dong?" "Insya Allah. Gue yakin ini bakalan jadi petualangan terbaik kita," jawab Firman dengan penuh optimisme. Dia sudah tidak sabar menunggu respon dari teman-temannya yang lain dan memulai persiapan untuk petualangan ekstrem yang akan mengubah hidup mereka.Bunyi peluit pelatih memecah keheningan lapangan basket SMA Negeri 15 yang sudah mulai sepi. Ucok masih berlari sprint di ujung lapangan, keringat membasahi seragam merah tim basketnya. Sore itu latihan lebih intensif dari biasanya karena persiapan untuk turnamen antar sekolah bulan depan."Ucok! Udahan dulu, kamu udah lari sepuluh putaran lebih!" teriak Pelatih Bayu dari pinggir lapangan. "Jangan dipaksa, nanti malah kelelahan berlebihan." Tapi Ucok tetap melanjutkan larinya dengan tempo konsisten, napasnya masih teratur.Satu putaran terakhir, Ucok finish dengan sprint penuh sebelum akhirnya berhenti di depan pelatih. Tinggi badannya 185 cm dengan postur atletis yang ideal untuk posisi penyerang depan, membuatnya jadi andalan tim basket sekolah sejak kelas sepuluh. "Pelatih, saya masih bisa lagi nih. Badan saya masih kuat banget."Pelatih Bayu menggeleng sambil memberikan handuk. "Kamu itu kadang terlalu keras sama diri sendiri, Cok. Atlet bagus itu tahu kapan harus menekan dan kapa
Deri turun dari angkot di depan gang sempit Perumahan Bumi Bekasi Baru. Sore itu jalanan masih ramai dengan kendaraan yang pulang kerja, asap knalpot bercampur dengan aroma gorengan dari pedagang kaki lima. Dia berjalan melewati warung-warung kecil yang sudah mulai menyalakan lampu.Rumah type 36 yang ditempati keluarganya terlihat sederhana tapi terawat. Cat tembok yang sudah agak kusam, pagar besi yang mulai berkarat, tapi halaman kecil yang selalu bersih. Deri membuka pintu dengan kunci yang sudah aus, langsung disambut aroma masakan sederhana dari dapur."Deri udah pulang?" teriak mama dari dapur. Suara wajan yang sedang menumis bercampur dengan suara televisi. "Mama lagi masak tempe orek sama sayur sop. Papa belum pulang, macet katanya.""Iya, Ma!" sahut Deri sambil melepas sepatu dan meletakkan tas sekolahnya di sofa. Rumah mereka memang tidak besar, ruang tamu, ruang makan, dan dapur jadi satu.Deri menghampiri mama yang sedang sibuk di dapur. Wanita paruh baya itu masih mengen
Diana duduk di bangku barisan kedua dari depan, sesekali melirik ke arah Firman yang duduk tiga kursi di belakangnya. Suara Bu Indah yang sedang menjelaskan materi Bahasa Indonesia seperti menjadi background noise baginya. Pikirannya masih terjebak pada percakapan kemarin di kantin tentang rencana pendakian Gunung Rinjani yang ekstrem itu.Jantung Diana berdebar setiap kali Firman tertawa dengan teman sebangkunya. Cowok itu memang selalu bisa membuat suasana kelas menjadi lebih hidup. Diana sudah menyimpan perasaan ini sejak kelas sepuluh, tapi tidak pernah berani mengungkapkannya karena takut merusak persahabatan mereka."Diana, kamu bisa jawab pertanyaan nomor tiga?" suara Bu Indah tiba-tiba memecah lamunannya. Diana tersentak kaget, mukanya langsung memerah. "Maaf Bu, bisa diulang pertanyaannya?"Tawa kecil terdengar dari beberapa teman sekelas. Firman ikut menoleh ke arahnya dengan senyum jahil, membuat Diana semakin gugup. Bu Indah menggeleng sambil tersenyum maklum, kemudian men
Sore itu jam menunjukkan pukul empat ketika Firman turun dari mobil Alphard hitam yang mengantarnya pulang dari sekolah. Pak Joko, sopir keluarganya, tersenyum ramah sambil membuka pintu. Rumah mewah bergaya minimalis modern di kawasan PIK menyambut kedatangannya dengan sejuknya pendingin ruangan."Terima kasih, Pak Joko. Besok jemput jam setengah tujuh ya," kata Firman sambil melambaikan tangan. Dia melangkah masuk melalui pintu utama yang otomatis terbuka. Aroma masakan mama sudah tercium dari dapur."Firman udah pulang?" teriak mama dari arah dapur. Suara blender bercampur dengan televisi di ruang keluarga yang menayangkan berita sore."Iya, Ma!" sahut Firman sambil melepas sepatu dan meletakkan tas sekolahnya di sofa. Dia langsung menuju dapur dimana mamanya sedang sibuk menyiapkan jus buah segar. Wanita paruh baya yang masih terlihat awet muda itu mengenakan apron cantik sambil tersenyum."Mama lagi bikin jus alpukat keju, kesukaan Firman," kata mamanya sambil menuang jus ke dala
Pagi itu seperti senin-senin lainnya di SMA Negeri 15 Jakarta. Jam menunjukkan pukul 07:30 WIB ketika bel istirahat pertama berbunyi, memecah keheningan kelas yang dipenuhi aroma spidol dan debu kapur. Firman langsung bangkit dari kursinya, meregangkan tubuh yang kaku setelah dua jam pelajaran matematika."Gila, Bu Sari kayak robot hari ini. Ngasih soal terus tanpa henti," gerutu Firman sambil merapikan buku-bukunya."Udah lah, Man. Mending kita ke kantin sekarang sebelum antriannya panjang," sahut Deri dari bangku belakang. Cowok berambut keriting itu sudah berdiri sambil menenteng tas selempangnya yang penuh dengan patch band metal.Mereka berdua keluar kelas, berjalan menyusuri koridor yang ramai dengan siswa-siswa lain. Suara langkah kaki dan obrolan remaja bercampur menjadi satu.Kantin sekolah sudah mulai ramai ketika mereka tiba. Aroma mie ayam dan bakso bercampur dengan suara penjual yang menawarkan dagangannya. Firman dan Deri langsung menuju meja sudut yang sudah menjadi tem