Share

Bab 2

Penulis: Tama Fernandez
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-01 15:58:00

Sore itu jam menunjukkan pukul empat ketika Firman turun dari mobil Alphard hitam yang mengantarnya pulang dari sekolah. Pak Joko, sopir keluarganya, tersenyum ramah sambil membuka pintu. Rumah mewah bergaya minimalis modern di kawasan PIK menyambut kedatangannya dengan sejuknya pendingin ruangan.

"Terima kasih, Pak Joko. Besok jemput jam setengah tujuh ya," kata Firman sambil melambaikan tangan. Dia melangkah masuk melalui pintu utama yang otomatis terbuka. Aroma masakan mama sudah tercium dari dapur.

"Firman udah pulang?" teriak mama dari arah dapur. Suara blender bercampur dengan televisi di ruang keluarga yang menayangkan berita sore.

"Iya, Ma!" sahut Firman sambil melepas sepatu dan meletakkan tas sekolahnya di sofa. Dia langsung menuju dapur dimana mamanya sedang sibuk menyiapkan jus buah segar. Wanita paruh baya yang masih terlihat awet muda itu mengenakan apron cantik sambil tersenyum.

"Mama lagi bikin jus alpukat keju, kesukaan Firman," kata mamanya sambil menuang jus ke dalam gelas. Firman memeluk mamanya dari belakang dengan manja. "Wah, mama tau banget. Hari ini capek banget, Bu Sari kasih ulangan mendadak matematika."

Mama mengelus rambut Firman dengan sayang. "Malam ini menu tumis kangkung sama ayam goreng. Papa belum pulang, katanya ada meeting sampai jam enam. Firman mandi dulu, nanti makan bareng-bareng."

Firman mengambil jus alpukat keju yang sudah disiapkan mamanya, meminumnya sambil berdiri. Rasa creamy dan manisnya langsung menyegarkan tenggorokannya. "Ma, nanti Firman mau ngomong sesuatu sama papa dan mama. Penting banget."

"Memangnya ada apa, sayang? Jangan bilang nilainya jelek lagi," kata mama dengan nada khawatir.

"Bukan, Ma. Justru kabar baik," jawab Firman sambil tersenyum misterius. "Nanti aja Ma, tunggu papa pulang biar sekalian."

Firman naik ke kamarnya di lantai dua, melewati tangga marmer yang mengkilap. Kamarnya yang luas dan nyaman sudah tertata rapi, tempat tidur king size dengan sprei biru laut. Dia langsung menyalakan laptop dan melempar tubuhnya ke kasur empuk.

Jari-jarinya mengetik dengan cepat, mencari informasi tentang Gunung Rinjani. Berbagai website travel dan blog pendakian bermunculan di layar. Mata Firman berbinar membaca deskripsi tentang keindahan danau Segara Anak dan puncak Rinjani yang menantang. Pemandangan sunrise dari puncak terlihat sangat memukau.

"Gila, keren banget ini," gumamnya sambil scroll down melihat foto-foto pendaki yang berhasil mencapai puncak.

Tiba-tiba sebuah artikel menarik perhatiannya. Judulnya cukup mengkhawatirkan: "Pendaki Asal Jakarta Tewas Tersesat di Gunung Rinjani, Ditemukan Setelah 5 Hari Pencarian." Firman merasa dadanya berdebar, tapi rasa penasarannya lebih besar. Dia mengklik artikel tersebut dan mulai membaca.

Artikel itu menceritakan tentang seorang pendaki solo bernama Agus yang tersesat karena cuaca buruk dan berkabut tebal. Tim SAR baru menemukannya setelah lima hari pencarian intensif, dalam kondisi sudah meninggal dunia karena hipotermia. Firman menelan ludah membaca detail kejadian yang mengerikan itu.

"Tapi dia kan solo, kalau kita berempat plus guide pasti aman," gumam Firman mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

Bunyi pintu mobil di halaman depan membuat Firman menutup laptopnya. Papanya sudah pulang, terdengar suara langkah kaki di tangga. Firman turun ke bawah, menemukan papanya yang sedang melepas jas kantor.

"Papa, Firman!" sapa papanya sambil memeluk Firman. Pria berusia empat puluhan itu masih terlihat segar meski baru pulang dari kantor.

"Gimana sekolahnya hari ini?" tanya papa sambil mengendurkan dasinya. "Mama bilang kamu mau ngomong sesuatu yang penting."

Firman duduk di sebelah papanya, tiba-tiba merasa gugup. "Papa, Firman sama temen-temen mau liburan bareng setelah ujian semester nanti. Kita mau naik Gunung Rinjani di Lombok."

Papa menurunkan korannya, menatap Firman dengan ekspresi terkejut. "Naik gunung? Firman yakin? Itu kan berbahaya, nak. Papa sering denger berita kecelakaan pendaki di gunung-gunung Indonesia." Mama yang sedang menyiapkan makan malam juga menghentikan aktivitasnya.

"Tapi kita akan pakai guide profesional, Pa. Dan perginya juga sama temen-temen, bukan sendirian," jawab Firman mencoba meyakinkan. "Margareta, Diana, Ucok, sama Deri. Kita udah berteman sejak kelas satu."

Papa masih terlihat ragu. "Firman tau nggak sih, naik gunung itu bukan main-main? Cuacanya bisa berubah tiba-tiba, medannya berat, belum lagi resiko altitude sickness." Dia melipat korannya dan fokus menatap anaknya. "Papa nggak melarang, tapi papa khawatir sama keselamatan Firman."

"Justru karena itu kita perlu persiapan yang matang, Pa," jawab Firman. "Firman udah research di internet, banyak travel agent yang nyediain paket pendakian Rinjani yang aman dan profesional." Dia mengambil laptop dan menunjukkan website-website yang sudah dibookmark.

Mama ikut duduk di ruang keluarga, wajahnya menunjukkan kekhawatiran. "Sayang, mama sih percaya sama Firman. Tapi naik gunung itu kan olahraga ekstrem. Firman udah pernah latihan atau gimana?"

"Kita bisa latihan dulu, Ma. Mulai jogging pagi, ke gym, atau hiking ke Puncak dulu buat adaptasi," jawab Firman dengan antusias. "Lagian ini kesempatan bagus buat Firman belajar mandiri dan tanggung jawab."

Papa terdiam sejenak, seperti sedang mempertimbangkan. "Berapa biayanya kalau mau pendakian yang bener-bener aman dan profesional?"

Mata Firman langsung berbinar. "Sekitar lima belas juta per orang, Pa. Udah include transportasi, penginapan, guide berpengalaman, peralatan lengkap, dan asuransi kecelakaan."

"Lima belas juta per orang?" ulang mama dengan nada terkejut. "Itu kan total tujuh puluh lima juta untuk berlima."

Papa menggeleng sambil tersenyum. "Bukan masalah uang, sayang. Papa lebih khawatir sama keselamatan Firman dan temen-temannya." Dia menatap Firman dengan serius. "Kalau memang mau pergi, papa mau ketemu sama orang tua temen-temen Firman dulu. Kita diskusi bareng soal persiapan dan keamanannya."

"Serius, Pa? Papa setuju?" tanya Firman dengan mata berbinar. "Mama gimana?"

Mama menghela napas panjang. "Mama sih sebenarnya takut, sayang. Tapi mama percaya sama Firman, dan kalau papa udah bilang oke, mama nggak bisa melarang." Dia memeluk Firman dengan erat. "Yang penting Firman janji hati-hati, selalu lapor, dan kalau ada apa-apa langsung hubungi papa mama."

"Janji, Ma! Firman janji bakalan hati-hati banget," jawab Firman sambil membalas pelukan mamanya. "Makasih ya Papa, Mama."

"Tapi ada syaratnya," kata papa dengan nada tegas. "Pertama, kalian harus ikut kursus dasar-dasar mendaki gunung. Kedua, medical check up lengkap. Ketiga, pakai guide dan porter yang berpengalaman minimal sepuluh tahun. Keempat, asuransi jiwa dan kecelakaan yang komprehensif."

Firman mengangguk-angguk semangat. "Siap, Pa! Semua persyaratan papa bakalan Firman ikuti."

Mereka makan malam dengan suasana yang hangat. Papa dan mama terus memberikan nasihat dan tips keselamatan. Sesekali mama masih menunjukkan kekhawatirannya, tapi dia sudah mulai menerima keputusan ini.

Setelah makan malam, Firman langsung berlari ke kamarnya. Dia mengambil handphone dan menelpon Margareta. Suara nada sambung berdering beberapa kali sebelum akhirnya teman perempuannya mengangkat. "Halo, Firman? Ada apa nelpon malam-malam?"

"Gre! Kabar bagus banget nih," kata Firman dengan suara excited. "Papa mama udah setuju buat pendakian Rinjani! Bahkan papa mau kasih budget unlimited asal kita pergi dengan persiapan yang bener-bener professional."

Margareta terdiam sejenak. "Serius, Man? Orang tua lo setuju gitu aja? Padahal ini kan rencana yang cukup ekstrem."

"Awalnya sih papa khawatir juga. Tapi setelah gue jelasin kalau kita bakalan pakai guide profesional dan peralatan lengkap, papa malah dukung," jawab Firman. "Yang penting sekarang lo udah mau ikut atau belum?"

"Gue masih harus diskusi sama orang tua gue, Man. Tapi kalau emang serius dan persiapannya matang, kayaknya gue tertarik juga," kata Margareta. "Lo udah ngomong sama yang lain belum?"

"Belum, gue telpon lo dulu. Nanti gue WA grup deh." Dia sudah mulai mengetik pesan di grup W******p mereka. "Oh ya, Gre, tadi gue baca artikel tentang kecelakaan pendaki di Rinjani."

"Lah, malah bikin takut dong," sahut Margareta.

Firman menceritakan artikel yang dibacanya tadi sore. Margareta mendengarkan dengan serius. "Makanya kita harus prepare banget, Gre. Nggak boleh ada yang sembarangan. Papa udah bilang, semua harus yang terbaik dan teraman."

"Oke deh, Man. Gue bakalan diskusi serius sama orang tua gue malam ini juga," kata Margareta. "Kalau mereka setuju, berarti kita beneran bakalan jadi dong?"

"Insya Allah. Gue yakin ini bakalan jadi petualangan terbaik kita," jawab Firman dengan penuh optimisme. Dia sudah tidak sabar menunggu respon dari teman-temannya yang lain dan memulai persiapan untuk petualangan ekstrem yang akan mengubah hidup mereka.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Petaka Di Gunung Rinjani   Bab 82

    Jalur pendakian, sekitar lima ratus meter dari tebing timur. Firman dan Diana sedang duduk beristirahat di atas batu besar, menyeka keringat dari dahi mereka. Pagi yang melelahkan setelah bermalam dengan mimpi buruk.Firman menatap peta yang terbuka di pangkuannya, mencoba mencari rute alternatif untuk turun. Diana duduk di sampingnya, memeluk lututnya sendiri, mata menatap kosong ke depan."Kita harus buat keputusan, Diana," Firman berbicara pelan. "Kalau Margareta tidak membaik, kita harus turun hari ini juga."Diana mengangguk lemah. "Aku tahu. Aku cuma... aku tidak menyangka perjalanan ini akan berakhir seperti ini."Tiba-tiba—"TOLONG!"Suara itu datang dari kejauhan, memecah keheningan pagi. Suara yang penuh kepanikan dan ketakutan.Firman dan Diana langsung berdiri, kepala mereka menoleh ke arah sumber suara."Itu suara Pak Darto!" Diana berteriak, wajahnya memucat."TOLONG! MARGARETA JATUH! DIA JATUH KE JURANG!"Deg.Jantung Firman berhenti berdetak sejenak. Dunia seakan berhe

  • Petaka Di Gunung Rinjani   Bab 81

    Tepi tebing. Angin bertiup kencang. Margareta tergantung di ambang kehidupan dan kematian—secara harfiah. Kakinya melayang di udara kosong, hanya ujung jari tangannya yang mencengkeram tanah berbatu.Pak Darto berdiri tegak di hadapannya, bayangan tubuhnya menutupi matahari pagi. Wajahnya tenang, terlalu tenang untuk seseorang yang akan melakukan pembunuhan."Kamu terlalu pintar untuk kebaikanmu sendiri, Margareta." Suaranya datar, tanpa emosi, seperti menyatakan fakta sederhana.Margareta menatapnya dengan mata yang hampir kehilangan cahaya. Napasnya pendek-pendek, tubuhnya gemetar hebat—kombinasi dari kesakitan fisik, ketakutan, dan kelelahan total."Pak... kumohon..." suaranya serak, hampir tidak terdengar. "Jangan..."Pak Darto menggeleng pelan. "Terlambat. Kamu sudah tahu terlalu banyak. Kamu sudah melihat terlalu jauh."Dia mengangkat kakinya, menekan dada Margareta dengan sepatu boots-nya.Margareta merasakan tekanan itu. Jantungnya berdegup kencang thump thump thump seperti dr

  • Petaka Di Gunung Rinjani   Bab 80

    Margareta menatap tali itu dengan mata terbelalak. Napasnya memburu, dada naik-turun dengan cepat. Setiap insting dalam tubuhnya berteriak untuk lari, tapi kakinya tidak bergerak—terlalu lemah, terlalu ketakutan."Jangan..." suaranya gemetar. "Pak, kumohon..."Pak Darto tidak menjawab. Dia melangkah maju dengan tenang, seperti sedang melakukan pekerjaan rutin. Tangannya menggenggam tali dengan kuat.Margareta mencoba merangkak mundur, tangannya mengais-ngais tanah berbatu kres, kres mencari pegangan apa pun. Punggungnya menekan batu besar di belakangnya. Tidak ada jalan keluar."TOLONG!" Margareta berteriak sekeras yang dia bisa. Suaranya bergema di antara tebing dan jurang, tapi hanya kembali sebagai gema kosong. "FIRMAN! DIANA! TOLONG AKU!"Pak Darto berhenti sejenak, menyeringai."Teriaklah sepuasmu. Mereka terlalu jauh. Mereka tidak akan mendengar." Dia melirik ke arah jalur di kejauhan. "Bahkan jika mereka mendengar, mereka akan pikir kamu sedang mengamuk lagi. Gadis gila yang be

  • Petaka Di Gunung Rinjani   Bab 79

    "Pak... tolong... saya butuh bantuan..." suaranya parau, hampir berbisik.Pak Darto tersenyum. Bukan senyum hangat yang biasa dia tunjukkan. Ini berbeda. Senyum dingin, tanpa kehangatan, tanpa kemanusiaan. Matanya—yang selama ini tampak bijaksana—kini memancarkan kekosongan yang mengerikan."Bantuan?" Pak Darto tertawa pelan. Suara tawanya bergema di antara bebatuan. "Kamu pikir aku akan membantumu, Margareta?"Hening sesaat. Angin bertiup pelan, membawa aroma tanah basah dan dedaunan lapuk."Tidak ada yang akan membantumu di sini." Pak Darto melangkah lebih dekat, sepatu boots-nya menginjak kerikil kecil kres... kres... kres. "Kamu tahu kenapa?"Margareta menggeleng lemah, air mata mulai mengalir di pipinya."Karena akulah yang membunuh mereka semua." Kata-kata itu keluar dengan tenang, seperti seseorang yang sedang membicarakan cuaca. "Setiap. Satu. Orang."Deg.Jantung Margareta seakan berhenti berdetak. Dunia berputar. Meski dia sudah menduga, mendengar pengakuan langsung dari mul

  • Petaka Di Gunung Rinjani   Bab 78

    Ini dia. Hari terakhirku.Pikiran itu datang jernih, tajam, tidak bisa disangkal lagi.Ciit, ciit, ciit.Burung-burung pagi mulai berkicau di luar. Suara yang indah, yang biasanya membawa harapan. Tapi pagi ini, suara itu terdengar seperti lagu duka.Srek.Ritsleting tenda terbuka. Diana muncul dengan senyum yang dipaksakan."Pagi, Margareta. Ayo bangun. Pak Darto sudah siapkan sarapan spesial untukmu."Margareta duduk perlahan. Setiap gerakan terasa berat, seperti bergerak di dalam air."Spesial?""Iya. Katanya kamu butuh energi untuk sesi konseling nanti."Diana mengulurkan tangan, membantu Margareta berdiri. Sentuhan tangannya hangat, tapi ada kekhawatiran di matanya—kekhawatiran untuk orang yang dia anggap sakit mental.Margareta keluar dari tenda. Udara pagi dingin menusuk kulit. Langit masih berwarna ungu pucat di timur, berubah gradasi menjadi merah jambu, lalu oranye.Matahari terbit. Indah. Dramatis.Matahari terakhir yang akan kulihat.Pak Darto berdiri di dekat api unggun y

  • Petaka Di Gunung Rinjani   Bab 77

    Margareta berbaring kaku di sleeping bag. Matanya terbuka menatap kegelapan atap tenda. Jantungnya berdetak tidak teratur.Thump-thump... thump-thump-thump... thump.Ada sesuatu yang salah malam ini. Udara terasa lebih dingin, lebih mencekam. Seperti ada yang menunggu di luar sana sesuatu yang gelap dan lapar.Wuuush.Angin gunung berhembus, membuat kain tenda bergerak-gerak. Bayangan-bayangan menari di dinding.Lalu dia mendengar suara. Pelan. Berbisik. Datang dari luar tenda."...besok pagi."Suara Pak Darto."Yakin aman, Pak?"Suara Firman.Margareta membekukan. Napasnya tertahan. Telinganya menajam, menangkap setiap kata."Tenang saja. Aku sudah melakukan ini berkali-kali."Krek.Suara langkah kaki bergeser."Sesi besok akan membantu dia... satu cara atau yang lain."Jeda panjang. Margareta membayangkan Firman mengangguk, menerima kata-kata itu tanpa pertanyaan."Terima kasih sudah percaya, Firman. Kamu sahabat yang baik.""Sama-sama, Pak. Yang penting Margareta bisa pulih."Langk

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status