Deri turun dari angkot di depan gang sempit Perumahan Bumi Bekasi Baru. Sore itu jalanan masih ramai dengan kendaraan yang pulang kerja, asap knalpot bercampur dengan aroma gorengan dari pedagang kaki lima. Dia berjalan melewati warung-warung kecil yang sudah mulai menyalakan lampu.
Rumah type 36 yang ditempati keluarganya terlihat sederhana tapi terawat. Cat tembok yang sudah agak kusam, pagar besi yang mulai berkarat, tapi halaman kecil yang selalu bersih. Deri membuka pintu dengan kunci yang sudah aus, langsung disambut aroma masakan sederhana dari dapur. "Deri udah pulang?" teriak mama dari dapur. Suara wajan yang sedang menumis bercampur dengan suara televisi. "Mama lagi masak tempe orek sama sayur sop. Papa belum pulang, macet katanya." "Iya, Ma!" sahut Deri sambil melepas sepatu dan meletakkan tas sekolahnya di sofa. Rumah mereka memang tidak besar, ruang tamu, ruang makan, dan dapur jadi satu. Deri menghampiri mama yang sedang sibuk di dapur. Wanita paruh baya itu masih mengenakan seragam kerja sebagai staff administrasi di klinik, rambutnya diikat rapi meski sudah terlihat lelah. "Mama hari ini gimana? Capek nggak?" "Biasa aja, nak. Tadi ada pasien yang rewel, tapi ya dijalanin aja," jawab mama sambil tersenyum. Dia mengaduk sayur sop dengan sayang. "Deri makan dulu, nanti kalau papa udah pulang kita makan bareng lagi." Deri duduk di meja makan kecil sambil melihat mama yang masih sibuk memasak. Hatinya terasa berat setiap kali melihat orang tuanya bekerja keras. Papa kerja sebagai teknisi AC di sebuah perusahaan, mama sebagai staff klinik. Gaji mereka cukup untuk hidup sehari-hari, tapi tidak ada yang berlebih. "Ma, tadi di sekolah temen-temen ngomongin rencana liburan semester," kata Deri sambil menyendok nasi. "Pada mau kemana-mana gitu." Mama menoleh sambil mengelap tangannya. "Emang mau kemana? Jangan yang mahal-mahal ya, Deri. Mama papa lagi nabung buat bayar SPP semester depan." Nada suaranya khawatir. "Nggak kok, Ma. Cuma ngobrolin aja," bohong Deri sambil melanjutkan makannya. Sebenarnya hatinya sudah berdebar membayangkan harus menceritakan rencana pendakian Rinjani yang pasti akan menghabiskan belasan juta rupiah. Suara motor papa terdengar dari depan rumah. Deri langsung selesai makan dan mencuci piringnya sendiri. Papa masuk rumah dengan wajah lelah, seragam kerjanya basah kena keringat karena seharian bekerja di bawah terik matahari. "Assalamualaikum," sapa papa sambil melepas sepatu. "Hari ini sial banget, AC di mall Kelapa Gading rusak total. Gue sama tim harus kerja sampai sore." "Udah mandi dulu, Pa. Mama udah siapin baju bersih di kamar," kata mama sambil menyiapkan piring untuk papa. Keluarga kecil ini sudah terbiasa dengan rutinitas saling membantu. Setelah papa mandi dan ganti baju, mereka makan malam bersama di meja kecil. Suasana hangat keluarga sederhana yang saling menyayangi, meski dengan keterbatasan ekonomi. Deri duduk diam sambil memikirkan cara terbaik untuk menyampaikan keinginannya. "Pa, Ma, Deri mau cerita tentang rencana liburan temen-temen," kata Deri akhirnya sambil menarik napas dalam-dalam. "Temen-temen mau naik Gunung Rinjani di Lombok, dan mereka ngajak Deri ikut." Papa berhenti mengunyah, menatap Deri dengan ekspresi terkejut. "Naik gunung? Deri bisa naik gunung? Yang bener aja, nak." Dia tertawa kecil, tapi matanya menunjukkan kekhawatiran. "Lagian naik gunung kan mahal banget." "Makanya Deri mau cerita, Pa," kata Deri sambil berusaha tenang. "Firman, temen Deri yang papa mamanya businessman, dia bilang papa mamanya mau sponsor seluruh biaya. Jadi Deri nggak perlu bayar apa-apa." Mata mama langsung berbinar. "Beneran nggak bayar apa-apa? Wah, temannya Deri baik banget ya." Dia menatap papa dengan ekspresi lega. "Kalau gratis sih nggak papa ya, Pa." Papa masih terlihat ragu. "Tapi naik gunung itu berbahaya, nak. Papa sering nonton berita kecelakaan pendaki di televisi. Cuacanya ekstrem, medannya berat, kalau terjadi apa-apa gimana?" "Tenang aja, Pa. Kita bakalan pakai guide profesional, peralatan lengkap, semuanya udah diatur sama travel agent yang berpengalaman," jawab Deri mencoba meyakinkan. "Lagian kita perginya berteman, jadi saling jaga." Mama ikut mendukung. "Papa, ini kan kesempatan bagus buat Deri. Jarang-jarang ada yang mau kasih sponsor gratis kayak gini. Lagian Deri udah besar, harus belajar mandiri juga." "Tapi tetep aja bahaya, Ma. Ini bukan piknik biasa," kata papa masih dengan nada khawatir. "Kalau terjadi kecelakaan, kita nggak punya uang buat biaya rumah sakit yang mahal-mahal." Deri merasa dadanya sesak. "Papa, tenang aja. Kata Firman, mereka juga udah siapin asuransi kesehatan yang lengkap. Jadi kalau ada apa-apa, semua ditanggung asuransi." "Asuransi juga?" tanya mama dengan mata semakin berbinar. "Wah, keluarga temannya Deri emang kaya banget ya." Dia sudah mulai terlihat yakin. "Deri beruntung banget punya teman kayak gitu." Papa terdiam sejenak. "Deri, papa bukan nggak mau kasih izin. Papa cuma khawatir sama keselamatan anak papa satu-satunya ini." Suaranya terdengar lembut dan penuh kasih sayang. "Kalau sampai terjadi apa-apa sama Deri, papa mama nggak tau harus gimana." Hati Deri terasa perih. "Papa, Deri janji bakalan hati-hati banget. Deri nggak akan nakal atau bandel." "Terus kapan berangkatnya?" tanya mama sambil mulai membersihkan meja makan. "Mama harus siapin baju-baju dan keperluan Deri dari sekarang." "Setelah ujian semester, Ma. Masih sekitar sebulan lagi," jawab Deri. "Tapi sebelum berangkat, kita harus latihan fisik dulu. Jogging, fitness, hiking ke tempat yang lebih gampang." Papa akhirnya mengangguk perlahan. "Baiklah, kalau memang semua biaya ditanggung temannya dan ada asuransinya, papa izinkan. Tapi papa punya syarat. Deri harus selalu lapor setiap hari, jangan sampai hilang kontak." "Siap, Pa! Deri bakalan lapor terus," jawab Deri sambil memeluk papa dengan senang. Perasaan bersalah karena berbohong bercampur dengan kegembiraan. "Makasih ya Pa, Ma. Deri sayang banget sama papa mama." "Iya, nak. Papa mama juga sayang sama Deri," kata mama sambil ikut memeluk. "Yang penting Deri jaga diri baik-baik, jangan bikin papa mama khawatir." Setelah orang tuanya tidur, Deri berbaring di kamarnya sambil menatap langit-langit yang retak. Kamar kecil dengan tempat tidur sederhana, meja belajar yang sudah lama, dan lemari kayu yang cat-nya sudah mengelupas. Ponselnya bergetar, ada pesan dari Firman di grup chat. "Guys, papa gue udah contact travel agent yang recommended. Biayanya 15 juta per orang, all inclusive. Siapa yang udah pasti ikut?" Mata Deri langsung terbelalak membaca angka 15 juta. Uang sebesar itu sama dengan gaji papa selama empat bulan. Dia langsung menghitung-hitung di kalkulator ponsel. Tabungan yang dikumpulkan dari uang saku selama dua tahun hanya sekitar 800 ribu. Belum cukup bahkan untuk seperseratus dari biaya yang dibutuhkan. Bagaimana dia bisa mengumpulkan uang sebesar itu dalam waktu sebulan? "Gimana caranya gue ngumpulin 15 juta?" gumam Deri dalam hati. Dia mulai panik memikirkan kebohongan yang sudah diucapkannya. Kalau sampai ketahuan dia bohong, papa mama pasti kecewa besar. Deri membuka laptop lama untuk browsing lowongan kerja part-time. Mata letih membaca berbagai iklan: pelayan restoran, SPG weekend, jaga counter pulsa. Tapi semuanya tidak mungkin menghasilkan 15 juta dalam sebulan dengan tetap bersekolah. Tiba-tiba dia teringat om Budi, adik papa yang kerja sebagai kontraktor kecil. Om Budi sering butuh tenaga tambahan untuk proyek-proyek weekend. Mungkin dia bisa minta bantuan kerja sambil tetap sekolah. Tapi apakah cukup untuk mengumpulkan uang sebanyak itu? "Atau gue bilang aja jujur sama Firman?" pikir Deri. "Mungkin dia mau bantu bayarin, kan dia bilang papa mamanya kasih budget unlimited." Tapi kemudian dia ingat, Firman pasti akan kasihan dan mungkin malah merasa awkward. Persahabatan mereka bisa berubah menjadi hubungan yang tidak setara. Jam di ponselnya sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Deri bisa mendengar suara papa yang mendengkur pelan di kamar sebelah. Dia merasa bersalah telah berbohong kepada mereka yang selalu jujur dan bekerja keras untuk keluarga. "Pokoknya gue harus cari cara," tekad Deri dalam hati. "Nggak mungkin gue mengecewakan papa mama yang udah percaya sama gue." Dia mulai membuat rencana di buku kecil. Kerja part-time di weekend, jual barang-barang yang nggak diperlukan, mungkin juga minta bantuan saudara-saudara yang lain. Malam itu Deri tidur dengan mimpi yang dipenuhi angka-angka dan kekhawatiran. Di satu sisi dia excited dengan petualangan yang menanti, tapi di sisi lain dia stress memikirkan bagaimana caranya mewujudkan impian itu tanpa mengecewakan orang tua atau merusak persahabatan dengan teman-temannya yang lebih beruntung secara ekonomi.Bunyi peluit pelatih memecah keheningan lapangan basket SMA Negeri 15 yang sudah mulai sepi. Ucok masih berlari sprint di ujung lapangan, keringat membasahi seragam merah tim basketnya. Sore itu latihan lebih intensif dari biasanya karena persiapan untuk turnamen antar sekolah bulan depan."Ucok! Udahan dulu, kamu udah lari sepuluh putaran lebih!" teriak Pelatih Bayu dari pinggir lapangan. "Jangan dipaksa, nanti malah kelelahan berlebihan." Tapi Ucok tetap melanjutkan larinya dengan tempo konsisten, napasnya masih teratur.Satu putaran terakhir, Ucok finish dengan sprint penuh sebelum akhirnya berhenti di depan pelatih. Tinggi badannya 185 cm dengan postur atletis yang ideal untuk posisi penyerang depan, membuatnya jadi andalan tim basket sekolah sejak kelas sepuluh. "Pelatih, saya masih bisa lagi nih. Badan saya masih kuat banget."Pelatih Bayu menggeleng sambil memberikan handuk. "Kamu itu kadang terlalu keras sama diri sendiri, Cok. Atlet bagus itu tahu kapan harus menekan dan kapa
Deri turun dari angkot di depan gang sempit Perumahan Bumi Bekasi Baru. Sore itu jalanan masih ramai dengan kendaraan yang pulang kerja, asap knalpot bercampur dengan aroma gorengan dari pedagang kaki lima. Dia berjalan melewati warung-warung kecil yang sudah mulai menyalakan lampu.Rumah type 36 yang ditempati keluarganya terlihat sederhana tapi terawat. Cat tembok yang sudah agak kusam, pagar besi yang mulai berkarat, tapi halaman kecil yang selalu bersih. Deri membuka pintu dengan kunci yang sudah aus, langsung disambut aroma masakan sederhana dari dapur."Deri udah pulang?" teriak mama dari dapur. Suara wajan yang sedang menumis bercampur dengan suara televisi. "Mama lagi masak tempe orek sama sayur sop. Papa belum pulang, macet katanya.""Iya, Ma!" sahut Deri sambil melepas sepatu dan meletakkan tas sekolahnya di sofa. Rumah mereka memang tidak besar, ruang tamu, ruang makan, dan dapur jadi satu.Deri menghampiri mama yang sedang sibuk di dapur. Wanita paruh baya itu masih mengen
Diana duduk di bangku barisan kedua dari depan, sesekali melirik ke arah Firman yang duduk tiga kursi di belakangnya. Suara Bu Indah yang sedang menjelaskan materi Bahasa Indonesia seperti menjadi background noise baginya. Pikirannya masih terjebak pada percakapan kemarin di kantin tentang rencana pendakian Gunung Rinjani yang ekstrem itu.Jantung Diana berdebar setiap kali Firman tertawa dengan teman sebangkunya. Cowok itu memang selalu bisa membuat suasana kelas menjadi lebih hidup. Diana sudah menyimpan perasaan ini sejak kelas sepuluh, tapi tidak pernah berani mengungkapkannya karena takut merusak persahabatan mereka."Diana, kamu bisa jawab pertanyaan nomor tiga?" suara Bu Indah tiba-tiba memecah lamunannya. Diana tersentak kaget, mukanya langsung memerah. "Maaf Bu, bisa diulang pertanyaannya?"Tawa kecil terdengar dari beberapa teman sekelas. Firman ikut menoleh ke arahnya dengan senyum jahil, membuat Diana semakin gugup. Bu Indah menggeleng sambil tersenyum maklum, kemudian men
Sore itu jam menunjukkan pukul empat ketika Firman turun dari mobil Alphard hitam yang mengantarnya pulang dari sekolah. Pak Joko, sopir keluarganya, tersenyum ramah sambil membuka pintu. Rumah mewah bergaya minimalis modern di kawasan PIK menyambut kedatangannya dengan sejuknya pendingin ruangan."Terima kasih, Pak Joko. Besok jemput jam setengah tujuh ya," kata Firman sambil melambaikan tangan. Dia melangkah masuk melalui pintu utama yang otomatis terbuka. Aroma masakan mama sudah tercium dari dapur."Firman udah pulang?" teriak mama dari arah dapur. Suara blender bercampur dengan televisi di ruang keluarga yang menayangkan berita sore."Iya, Ma!" sahut Firman sambil melepas sepatu dan meletakkan tas sekolahnya di sofa. Dia langsung menuju dapur dimana mamanya sedang sibuk menyiapkan jus buah segar. Wanita paruh baya yang masih terlihat awet muda itu mengenakan apron cantik sambil tersenyum."Mama lagi bikin jus alpukat keju, kesukaan Firman," kata mamanya sambil menuang jus ke dala
Pagi itu seperti senin-senin lainnya di SMA Negeri 15 Jakarta. Jam menunjukkan pukul 07:30 WIB ketika bel istirahat pertama berbunyi, memecah keheningan kelas yang dipenuhi aroma spidol dan debu kapur. Firman langsung bangkit dari kursinya, meregangkan tubuh yang kaku setelah dua jam pelajaran matematika."Gila, Bu Sari kayak robot hari ini. Ngasih soal terus tanpa henti," gerutu Firman sambil merapikan buku-bukunya."Udah lah, Man. Mending kita ke kantin sekarang sebelum antriannya panjang," sahut Deri dari bangku belakang. Cowok berambut keriting itu sudah berdiri sambil menenteng tas selempangnya yang penuh dengan patch band metal.Mereka berdua keluar kelas, berjalan menyusuri koridor yang ramai dengan siswa-siswa lain. Suara langkah kaki dan obrolan remaja bercampur menjadi satu.Kantin sekolah sudah mulai ramai ketika mereka tiba. Aroma mie ayam dan bakso bercampur dengan suara penjual yang menawarkan dagangannya. Firman dan Deri langsung menuju meja sudut yang sudah menjadi tem