Share

Bab 4

Penulis: Tama Fernandez
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-01 15:58:51

Deri turun dari angkot di depan gang sempit Perumahan Bumi Bekasi Baru. Sore itu jalanan masih ramai dengan kendaraan yang pulang kerja, asap knalpot bercampur dengan aroma gorengan dari pedagang kaki lima. Dia berjalan melewati warung-warung kecil yang sudah mulai menyalakan lampu.

Rumah type 36 yang ditempati keluarganya terlihat sederhana tapi terawat. Cat tembok yang sudah agak kusam, pagar besi yang mulai berkarat, tapi halaman kecil yang selalu bersih. Deri membuka pintu dengan kunci yang sudah aus, langsung disambut aroma masakan sederhana dari dapur.

"Deri udah pulang?" teriak mama dari dapur. Suara wajan yang sedang menumis bercampur dengan suara televisi. "Mama lagi masak tempe orek sama sayur sop. Papa belum pulang, macet katanya."

"Iya, Ma!" sahut Deri sambil melepas sepatu dan meletakkan tas sekolahnya di sofa. Rumah mereka memang tidak besar, ruang tamu, ruang makan, dan dapur jadi satu.

Deri menghampiri mama yang sedang sibuk di dapur. Wanita paruh baya itu masih mengenakan seragam kerja sebagai staff administrasi di klinik, rambutnya diikat rapi meski sudah terlihat lelah. "Mama hari ini gimana? Capek nggak?"

"Biasa aja, nak. Tadi ada pasien yang rewel, tapi ya dijalanin aja," jawab mama sambil tersenyum. Dia mengaduk sayur sop dengan sayang. "Deri makan dulu, nanti kalau papa udah pulang kita makan bareng lagi."

Deri duduk di meja makan kecil sambil melihat mama yang masih sibuk memasak. Hatinya terasa berat setiap kali melihat orang tuanya bekerja keras. Papa kerja sebagai teknisi AC di sebuah perusahaan, mama sebagai staff klinik. Gaji mereka cukup untuk hidup sehari-hari, tapi tidak ada yang berlebih.

"Ma, tadi di sekolah temen-temen ngomongin rencana liburan semester," kata Deri sambil menyendok nasi. "Pada mau kemana-mana gitu."

Mama menoleh sambil mengelap tangannya. "Emang mau kemana? Jangan yang mahal-mahal ya, Deri. Mama papa lagi nabung buat bayar SPP semester depan." Nada suaranya khawatir.

"Nggak kok, Ma. Cuma ngobrolin aja," bohong Deri sambil melanjutkan makannya. Sebenarnya hatinya sudah berdebar membayangkan harus menceritakan rencana pendakian Rinjani yang pasti akan menghabiskan belasan juta rupiah.

Suara motor papa terdengar dari depan rumah. Deri langsung selesai makan dan mencuci piringnya sendiri. Papa masuk rumah dengan wajah lelah, seragam kerjanya basah kena keringat karena seharian bekerja di bawah terik matahari.

"Assalamualaikum," sapa papa sambil melepas sepatu. "Hari ini sial banget, AC di mall Kelapa Gading rusak total. Gue sama tim harus kerja sampai sore."

"Udah mandi dulu, Pa. Mama udah siapin baju bersih di kamar," kata mama sambil menyiapkan piring untuk papa. Keluarga kecil ini sudah terbiasa dengan rutinitas saling membantu.

Setelah papa mandi dan ganti baju, mereka makan malam bersama di meja kecil. Suasana hangat keluarga sederhana yang saling menyayangi, meski dengan keterbatasan ekonomi. Deri duduk diam sambil memikirkan cara terbaik untuk menyampaikan keinginannya.

"Pa, Ma, Deri mau cerita tentang rencana liburan temen-temen," kata Deri akhirnya sambil menarik napas dalam-dalam. "Temen-temen mau naik Gunung Rinjani di Lombok, dan mereka ngajak Deri ikut."

Papa berhenti mengunyah, menatap Deri dengan ekspresi terkejut. "Naik gunung? Deri bisa naik gunung? Yang bener aja, nak." Dia tertawa kecil, tapi matanya menunjukkan kekhawatiran. "Lagian naik gunung kan mahal banget."

"Makanya Deri mau cerita, Pa," kata Deri sambil berusaha tenang. "Firman, temen Deri yang papa mamanya businessman, dia bilang papa mamanya mau sponsor seluruh biaya. Jadi Deri nggak perlu bayar apa-apa."

Mata mama langsung berbinar. "Beneran nggak bayar apa-apa? Wah, temannya Deri baik banget ya." Dia menatap papa dengan ekspresi lega. "Kalau gratis sih nggak papa ya, Pa."

Papa masih terlihat ragu. "Tapi naik gunung itu berbahaya, nak. Papa sering nonton berita kecelakaan pendaki di televisi. Cuacanya ekstrem, medannya berat, kalau terjadi apa-apa gimana?"

"Tenang aja, Pa. Kita bakalan pakai guide profesional, peralatan lengkap, semuanya udah diatur sama travel agent yang berpengalaman," jawab Deri mencoba meyakinkan. "Lagian kita perginya berteman, jadi saling jaga."

Mama ikut mendukung. "Papa, ini kan kesempatan bagus buat Deri. Jarang-jarang ada yang mau kasih sponsor gratis kayak gini. Lagian Deri udah besar, harus belajar mandiri juga."

"Tapi tetep aja bahaya, Ma. Ini bukan piknik biasa," kata papa masih dengan nada khawatir. "Kalau terjadi kecelakaan, kita nggak punya uang buat biaya rumah sakit yang mahal-mahal."

Deri merasa dadanya sesak. "Papa, tenang aja. Kata Firman, mereka juga udah siapin asuransi kesehatan yang lengkap. Jadi kalau ada apa-apa, semua ditanggung asuransi."

"Asuransi juga?" tanya mama dengan mata semakin berbinar. "Wah, keluarga temannya Deri emang kaya banget ya." Dia sudah mulai terlihat yakin. "Deri beruntung banget punya teman kayak gitu."

Papa terdiam sejenak. "Deri, papa bukan nggak mau kasih izin. Papa cuma khawatir sama keselamatan anak papa satu-satunya ini." Suaranya terdengar lembut dan penuh kasih sayang. "Kalau sampai terjadi apa-apa sama Deri, papa mama nggak tau harus gimana."

Hati Deri terasa perih. "Papa, Deri janji bakalan hati-hati banget. Deri nggak akan nakal atau bandel."

"Terus kapan berangkatnya?" tanya mama sambil mulai membersihkan meja makan. "Mama harus siapin baju-baju dan keperluan Deri dari sekarang."

"Setelah ujian semester, Ma. Masih sekitar sebulan lagi," jawab Deri. "Tapi sebelum berangkat, kita harus latihan fisik dulu. Jogging, fitness, hiking ke tempat yang lebih gampang."

Papa akhirnya mengangguk perlahan. "Baiklah, kalau memang semua biaya ditanggung temannya dan ada asuransinya, papa izinkan. Tapi papa punya syarat. Deri harus selalu lapor setiap hari, jangan sampai hilang kontak."

"Siap, Pa! Deri bakalan lapor terus," jawab Deri sambil memeluk papa dengan senang. Perasaan bersalah karena berbohong bercampur dengan kegembiraan. "Makasih ya Pa, Ma. Deri sayang banget sama papa mama."

"Iya, nak. Papa mama juga sayang sama Deri," kata mama sambil ikut memeluk. "Yang penting Deri jaga diri baik-baik, jangan bikin papa mama khawatir."

Setelah orang tuanya tidur, Deri berbaring di kamarnya sambil menatap langit-langit yang retak. Kamar kecil dengan tempat tidur sederhana, meja belajar yang sudah lama, dan lemari kayu yang cat-nya sudah mengelupas.

Ponselnya bergetar, ada pesan dari Firman di grup chat. "Guys, papa gue udah contact travel agent yang recommended. Biayanya 15 juta per orang, all inclusive. Siapa yang udah pasti ikut?" Mata Deri langsung terbelalak membaca angka 15 juta. Uang sebesar itu sama dengan gaji papa selama empat bulan.

Dia langsung menghitung-hitung di kalkulator ponsel. Tabungan yang dikumpulkan dari uang saku selama dua tahun hanya sekitar 800 ribu. Belum cukup bahkan untuk seperseratus dari biaya yang dibutuhkan. Bagaimana dia bisa mengumpulkan uang sebesar itu dalam waktu sebulan?

"Gimana caranya gue ngumpulin 15 juta?" gumam Deri dalam hati. Dia mulai panik memikirkan kebohongan yang sudah diucapkannya. Kalau sampai ketahuan dia bohong, papa mama pasti kecewa besar.

Deri membuka laptop lama untuk browsing lowongan kerja part-time. Mata letih membaca berbagai iklan: pelayan restoran, SPG weekend, jaga counter pulsa. Tapi semuanya tidak mungkin menghasilkan 15 juta dalam sebulan dengan tetap bersekolah.

Tiba-tiba dia teringat om Budi, adik papa yang kerja sebagai kontraktor kecil. Om Budi sering butuh tenaga tambahan untuk proyek-proyek weekend. Mungkin dia bisa minta bantuan kerja sambil tetap sekolah. Tapi apakah cukup untuk mengumpulkan uang sebanyak itu?

"Atau gue bilang aja jujur sama Firman?" pikir Deri. "Mungkin dia mau bantu bayarin, kan dia bilang papa mamanya kasih budget unlimited." Tapi kemudian dia ingat, Firman pasti akan kasihan dan mungkin malah merasa awkward. Persahabatan mereka bisa berubah menjadi hubungan yang tidak setara.

Jam di ponselnya sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Deri bisa mendengar suara papa yang mendengkur pelan di kamar sebelah. Dia merasa bersalah telah berbohong kepada mereka yang selalu jujur dan bekerja keras untuk keluarga.

"Pokoknya gue harus cari cara," tekad Deri dalam hati. "Nggak mungkin gue mengecewakan papa mama yang udah percaya sama gue." Dia mulai membuat rencana di buku kecil. Kerja part-time di weekend, jual barang-barang yang nggak diperlukan, mungkin juga minta bantuan saudara-saudara yang lain.

Malam itu Deri tidur dengan mimpi yang dipenuhi angka-angka dan kekhawatiran. Di satu sisi dia excited dengan petualangan yang menanti, tapi di sisi lain dia stress memikirkan bagaimana caranya mewujudkan impian itu tanpa mengecewakan orang tua atau merusak persahabatan dengan teman-temannya yang lebih beruntung secara ekonomi.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Petaka Di Gunung Rinjani   Bab 82

    Jalur pendakian, sekitar lima ratus meter dari tebing timur. Firman dan Diana sedang duduk beristirahat di atas batu besar, menyeka keringat dari dahi mereka. Pagi yang melelahkan setelah bermalam dengan mimpi buruk.Firman menatap peta yang terbuka di pangkuannya, mencoba mencari rute alternatif untuk turun. Diana duduk di sampingnya, memeluk lututnya sendiri, mata menatap kosong ke depan."Kita harus buat keputusan, Diana," Firman berbicara pelan. "Kalau Margareta tidak membaik, kita harus turun hari ini juga."Diana mengangguk lemah. "Aku tahu. Aku cuma... aku tidak menyangka perjalanan ini akan berakhir seperti ini."Tiba-tiba—"TOLONG!"Suara itu datang dari kejauhan, memecah keheningan pagi. Suara yang penuh kepanikan dan ketakutan.Firman dan Diana langsung berdiri, kepala mereka menoleh ke arah sumber suara."Itu suara Pak Darto!" Diana berteriak, wajahnya memucat."TOLONG! MARGARETA JATUH! DIA JATUH KE JURANG!"Deg.Jantung Firman berhenti berdetak sejenak. Dunia seakan berhe

  • Petaka Di Gunung Rinjani   Bab 81

    Tepi tebing. Angin bertiup kencang. Margareta tergantung di ambang kehidupan dan kematian—secara harfiah. Kakinya melayang di udara kosong, hanya ujung jari tangannya yang mencengkeram tanah berbatu.Pak Darto berdiri tegak di hadapannya, bayangan tubuhnya menutupi matahari pagi. Wajahnya tenang, terlalu tenang untuk seseorang yang akan melakukan pembunuhan."Kamu terlalu pintar untuk kebaikanmu sendiri, Margareta." Suaranya datar, tanpa emosi, seperti menyatakan fakta sederhana.Margareta menatapnya dengan mata yang hampir kehilangan cahaya. Napasnya pendek-pendek, tubuhnya gemetar hebat—kombinasi dari kesakitan fisik, ketakutan, dan kelelahan total."Pak... kumohon..." suaranya serak, hampir tidak terdengar. "Jangan..."Pak Darto menggeleng pelan. "Terlambat. Kamu sudah tahu terlalu banyak. Kamu sudah melihat terlalu jauh."Dia mengangkat kakinya, menekan dada Margareta dengan sepatu boots-nya.Margareta merasakan tekanan itu. Jantungnya berdegup kencang thump thump thump seperti dr

  • Petaka Di Gunung Rinjani   Bab 80

    Margareta menatap tali itu dengan mata terbelalak. Napasnya memburu, dada naik-turun dengan cepat. Setiap insting dalam tubuhnya berteriak untuk lari, tapi kakinya tidak bergerak—terlalu lemah, terlalu ketakutan."Jangan..." suaranya gemetar. "Pak, kumohon..."Pak Darto tidak menjawab. Dia melangkah maju dengan tenang, seperti sedang melakukan pekerjaan rutin. Tangannya menggenggam tali dengan kuat.Margareta mencoba merangkak mundur, tangannya mengais-ngais tanah berbatu kres, kres mencari pegangan apa pun. Punggungnya menekan batu besar di belakangnya. Tidak ada jalan keluar."TOLONG!" Margareta berteriak sekeras yang dia bisa. Suaranya bergema di antara tebing dan jurang, tapi hanya kembali sebagai gema kosong. "FIRMAN! DIANA! TOLONG AKU!"Pak Darto berhenti sejenak, menyeringai."Teriaklah sepuasmu. Mereka terlalu jauh. Mereka tidak akan mendengar." Dia melirik ke arah jalur di kejauhan. "Bahkan jika mereka mendengar, mereka akan pikir kamu sedang mengamuk lagi. Gadis gila yang be

  • Petaka Di Gunung Rinjani   Bab 79

    "Pak... tolong... saya butuh bantuan..." suaranya parau, hampir berbisik.Pak Darto tersenyum. Bukan senyum hangat yang biasa dia tunjukkan. Ini berbeda. Senyum dingin, tanpa kehangatan, tanpa kemanusiaan. Matanya—yang selama ini tampak bijaksana—kini memancarkan kekosongan yang mengerikan."Bantuan?" Pak Darto tertawa pelan. Suara tawanya bergema di antara bebatuan. "Kamu pikir aku akan membantumu, Margareta?"Hening sesaat. Angin bertiup pelan, membawa aroma tanah basah dan dedaunan lapuk."Tidak ada yang akan membantumu di sini." Pak Darto melangkah lebih dekat, sepatu boots-nya menginjak kerikil kecil kres... kres... kres. "Kamu tahu kenapa?"Margareta menggeleng lemah, air mata mulai mengalir di pipinya."Karena akulah yang membunuh mereka semua." Kata-kata itu keluar dengan tenang, seperti seseorang yang sedang membicarakan cuaca. "Setiap. Satu. Orang."Deg.Jantung Margareta seakan berhenti berdetak. Dunia berputar. Meski dia sudah menduga, mendengar pengakuan langsung dari mul

  • Petaka Di Gunung Rinjani   Bab 78

    Ini dia. Hari terakhirku.Pikiran itu datang jernih, tajam, tidak bisa disangkal lagi.Ciit, ciit, ciit.Burung-burung pagi mulai berkicau di luar. Suara yang indah, yang biasanya membawa harapan. Tapi pagi ini, suara itu terdengar seperti lagu duka.Srek.Ritsleting tenda terbuka. Diana muncul dengan senyum yang dipaksakan."Pagi, Margareta. Ayo bangun. Pak Darto sudah siapkan sarapan spesial untukmu."Margareta duduk perlahan. Setiap gerakan terasa berat, seperti bergerak di dalam air."Spesial?""Iya. Katanya kamu butuh energi untuk sesi konseling nanti."Diana mengulurkan tangan, membantu Margareta berdiri. Sentuhan tangannya hangat, tapi ada kekhawatiran di matanya—kekhawatiran untuk orang yang dia anggap sakit mental.Margareta keluar dari tenda. Udara pagi dingin menusuk kulit. Langit masih berwarna ungu pucat di timur, berubah gradasi menjadi merah jambu, lalu oranye.Matahari terbit. Indah. Dramatis.Matahari terakhir yang akan kulihat.Pak Darto berdiri di dekat api unggun y

  • Petaka Di Gunung Rinjani   Bab 77

    Margareta berbaring kaku di sleeping bag. Matanya terbuka menatap kegelapan atap tenda. Jantungnya berdetak tidak teratur.Thump-thump... thump-thump-thump... thump.Ada sesuatu yang salah malam ini. Udara terasa lebih dingin, lebih mencekam. Seperti ada yang menunggu di luar sana sesuatu yang gelap dan lapar.Wuuush.Angin gunung berhembus, membuat kain tenda bergerak-gerak. Bayangan-bayangan menari di dinding.Lalu dia mendengar suara. Pelan. Berbisik. Datang dari luar tenda."...besok pagi."Suara Pak Darto."Yakin aman, Pak?"Suara Firman.Margareta membekukan. Napasnya tertahan. Telinganya menajam, menangkap setiap kata."Tenang saja. Aku sudah melakukan ini berkali-kali."Krek.Suara langkah kaki bergeser."Sesi besok akan membantu dia... satu cara atau yang lain."Jeda panjang. Margareta membayangkan Firman mengangguk, menerima kata-kata itu tanpa pertanyaan."Terima kasih sudah percaya, Firman. Kamu sahabat yang baik.""Sama-sama, Pak. Yang penting Margareta bisa pulih."Langk

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status