LOGINPagi yang cerah, Mal Taman Anggrek sudah mulai ramai oleh pengunjung akhir pekan. Firman, Margareta, Diana, Ucok, dan Deri berkumpul di food court lantai dasar sambil menyeruput kopi dan merencanakan belanja peralatan pendakian mereka. Suasana grup terasa sangat bersemangat.
"Guys, hari ini gue traktir kalian semua ya. Papa sudah kasih anggaran tanpa batas, katanya yang penting keselamatan dan kualitas nomor satu," kata Firman sambil mengeluarkan kartu kredit emas. "Kita beli semua peralatan yang dibutuhkan, mulai dari sepatu sampai kantong tidur." Diana yang duduk di sebelah Firman langsung berbinar. "Serius, Man? Lo mau beliin kita semua?" Jantungnya berdebar bukan karena barang gratisan, tapi karena sikap baik cowok yang disukainya. "Wah, lo baik banget sih." "Santai aja, Di. Kita kan sahabatan udah lama, masa iya gue pelit," jawab Firman sambil tersenyum. Ucok langsung tepuk tangan kegirangan, sementara Deri menghela napas lega dalam hati. "Margareta udah bikin daftar belanja kan? Lo kan yang paling detail soal perencanaan," kata Ucok sambil menghabiskan kroisan-nya. "Gue sih tinggal ikut aja, yang penting gear-nya premium semua." Margareta mengeluarkan catatan di ponselnya yang berisi daftar lengkap peralatan yang dibutuhkan. "Gue udah riset toko-toko perlengkapan outdoor di mal ini. Ada Eiger, Consina, The North Face, sama Columbia." Mereka bergerak menuju lantai tiga tempat toko-toko outdoor berkumpul. Koridor mal dipenuhi aroma parfum dari department store dan suara musik latar yang energik. Toko pertama yang mereka kunjungi adalah Eiger. Sales-nya, seorang cowok berusia dua puluhan bernama Rizki, langsung menyambut dengan ramah. "Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?" "Iya, kita mau naik Gunung Rinjani bulan depan. Butuh set lengkap untuk lima orang," jawab Firman dengan percaya diri. "Anggaran nggak masalah, yang penting kualitas dan keselamatan." Mata sales langsung berbinar. "Wah, Rinjani ya? Gunung yang menantang banget tuh," kata Rizki sambil menunjukkan berbagai produk. "Jalurnya mana nih? Sembalun atau Senaru?" Dia mulai mengeluarkan sepatu-sepatu hiking premium. "Untuk Rinjani, kalian butuh peralatan yang benar-benar bisa diandalkan." Diana mencoba sepatu hiking wanita yang direkomendasikan, warnanya pink abu-abu yang cantik. "Ini enak banget di kaki, empuk tapi support-nya kuat," katanya sambil berjalan-jalan kecil. "Firman, boleh kan gue ambil yang ini?" "Boleh banget, Di. Ambil aja yang lo suka," jawab Firman sambil tersenyum. Deri yang melihat harga sepatu itu 2,8 juta menelan ludah. Rizki melanjutkan penjelasannya sambil menunjukkan jaket hardshell. "Untuk Rinjani, suhu bisa turun sampai minus di malam hari, terutama di area puncak. Kalian butuh sistem layering yang tepat." "Mas, sebenarnya Rinjani itu seberapa berbahaya sih?" tanya Margareta sambil memeriksa spesifikasi jaket. "Gue udah riset online, tapi pengen denger dari orang yang berpengalaman." Sales itu terdiam sejenak, ekspresinya berubah agak serius. "Rinjani itu… menantang banget. Bukan cuma secara fisik, tapi juga mental," jawab Rizki dengan hati-hati. "Cuacanya nggak bisa diprediksi, medannya berbatu dan curam, plus ada beberapa area yang memang tricky." Dia menurunkan suara sedikit. "Gue saranin kalian pakai guide lokal yang berpengalaman, jangan main-main." Ucok yang sedang mencoba carrier backpack langsung nimbrung. "Ah, santai aja Mas. Kita kan udah arrange guide profesional sama travel agent." Dia mengangkat backpack dengan mudah. "Lagian fisik kita udah prepared banget, especially gue yang atlet." "Bukan masalah fisik aja, bro," kata Rizki sambil menggeleng. "Gunung itu punya karakternya sendiri. Gue udah ngeliat banyak pendaki yang terlalu percaya diri malah kena masalah." Dia menatap Ucok dengan serius. "Humble sama alam itu penting banget." Firman mencoba mengalihkan pembicaraan. "Oke deh, thanks buat advice-nya. Sekarang kita lanjut belanja aja ya." Dia sudah menunjuk berbagai item yang ingin dibeli. Belanja berlanjut dengan sangat royal. Firman membelikan masing-masing teman satu set lengkap: sepatu hiking premium, jaket hardshell, celana outdoor, kaos quick-dry, topi, sarung tangan, bahkan kacamata gunung yang stylish. Total belanja di toko pertama sudah mencapai 25 juta rupiah. "Selfie dulu dong buat dokumentasi," kata Diana sambil mengeluarkan ponsel. Mereka berpose di depan toko dengan kantong-kantong belanja yang banyak. Toko kedua yang dikunjungi adalah The North Face. Sales-nya, seorang wanita bernama Sarah, langsung mengenali mereka sebagai pelanggan serius. "Wow, kalian serius banget persiapannya. Mau ke mana nih adventure-nya?" "Gunung Rinjani, Mba. Kita mau set lengkap yang lebih advanced," jawab Margareta sambil melihat-lihat kantong tidur premium. "Tadi di Eiger udah beli basic needs, sekarang mau upgrade ke yang lebih high-tech." "Oh, Rinjani," kata Sarah sambil mengangguk. "Gue pernah ke sana waktu kuliah dulu, memang menantang banget." Dia mengeluarkan beberapa item premium. "Kalian udah prepare mental belum? Soalnya di sana banyak hal yang nggak bisa diprediksi." "Maksudnya gimana, Mba?" tanya Diana dengan nada penasaran. "Cerita dong, Mba. Kita pengen tau pengalaman real-nya." "Waktu itu gue ke sana sama grup dari kampus, total 12 orang. Semuanya udah berpengalaman hiking," mulai Sarah sambil melipat sleeping bag. "Hari pertama oke, hari kedua juga oke. Tapi hari ketiga pas mau summit attack, tiba-tiba kabut tebal banget muncul dari entah di mana." "Terus gimana?" tanya Deri sambil mendengarkan dengan seksama. "Kalian nyasar?" Sarah menggeleng sambil melanjutkan ceritanya. "Nggak nyasar sih, tapi… aneh. GPS semua orang bermasalah bersamaan, kompas muter nggak jelas, walkie talkie juga interferensi." Firman langsung skeptis. "Mba, itu mungkin karena medan atau cuaca ekstrem aja. Electronic malfunction itu normal di gunung kan?" Dia mencoba merasionalisasi cerita yang kedengaran agak supernatural. "Mungkin ya," jawab Sarah dengan nada nggak yakin. "Yang penting kalian hati-hati, especially kalau guide-nya bilang hindari area tertentu, dengerin aja." Dia melanjutkan menunjukkan produk premium. "Oh ya, gue saranin beli GPS handheld juga sebagai cadangan." Mereka melanjutkan belanja dengan membeli peralatan tambahan yang lebih canggih. GPS Garmin, headlamp premium, peluit darurat, charger tenaga surya, bahkan satellite communicator untuk keadaan darurat. Firman dengan royalnya membelikan semua tanpa mikir harga. "Bro, lo udah spend berapa nih?" tanya Ucok sambil menghitung-hitung item. "Kayaknya udah puluhan juta deh." Firman cuma geleng sambil tertawa santai. "Papa bilang yang penting keselamatan dan pengalaman, uang nggak masalah." Deri yang dari tadi mostly diam akhirnya angkat suara. "Man, gue merasa bersalah banget nih dibeliin semua. Gimana caranya gue bisa balas budi?" Suaranya tulus. "Santai aja, Der. Lo kan sahabat gue, nggak perlu balas budi segala," jawab Firman sambil menepuk pundak Deri. "Yang penting kita bisa adventure bareng-bareng, itu lebih berharga daripada uang." Belanja dilanjutkan ke toko Columbia untuk melengkapi aksesori tambahan. Mereka membeli rain cover untuk backpack, buff multifungsi, kaos kaki hiking khusus, bahkan kursi camping portabel yang ringan. "Guys, kita udah complete banget peralatannya," kata Margareta sambil mengecek checklist di ponselnya. "Dari kepala sampai kaki, dari basic sampai advanced, semua udah ada." Dia merasa puas dengan persiapan yang sangat matang ini. "Tinggal physical preparation aja sekarang." Di food court untuk makan siang, mereka duduk dengan kantong-kantong belanja menumpuk. Total belanja hari ini mencapai hampir 60 juta rupiah, tapi Firman terlihat santai-santai aja. "Nih gue transfer uang ke rekening travel agent buat booking final," katanya sambil buka mobile banking. "Man, lo yakin nggak papa spend segini buat kita?" tanya Diana sambil makan pasta. "Gue merasa bersalah banget dibeliin barang semahal ini." Firman menggeleng sambil tersenyum. "Di, persahabatan itu nggak ternilai. Lagian ini investasi buat petualangan yang bakal jadi kenangan seumur hidup." "Oh iya, tadi sales-sales pada kasih peringatan soal guide lokal," kata Margareta. "Mereka bilang penting banget pakai guide yang berpengalaman sama area Rinjani." "Udah diatur kok sama travel agent. Guide-nya berpengalaman banget, 12 tahun di Rinjani," jawab Firman. "Plus mereka kasih porter juga buat bawa peralatan berat."Cahaya putih menyilaukan mata Firman saat kesadarannya perlahan kembali. Bunyi bip monoton dari monitor jantung berdentum di telinganya, bercampur dengan suara mesin ventilator yang bernapas untuknya.Kelopak matanya terasa berat seperti timah. Dia mencoba membuka, tapi cahaya terlalu terang, terlalu menyakitkan."Firman? Sayang?"Suara ibunya. Bergetar. Penuh air mata.Firman memaksa matanya terbuka, penglihatan kabur perlahan fokus. Wajah ibunya muncul di atas, mata merah dan bengkak, pipi basah oleh air mata."Syukurlah... syukurlah Tuhan..."Ibunya mencengkeram tangan Firman, mencium jari-jarinya berulang kali."Kamu kembali. Kamu kembali pada kami."Ayahnya berdiri di sisi lain ranjang, tangan menutupi wajah, bahu bergetar dari isakan yang ditahan.Firman mencoba berbicara, tapi tenggorokannya kering seperti amplas. Hanya bunyi parau yang keluar.Ibunya segera mengambil gelas air, memasukkan sedotan ke mulut Firman."Pelan. Minum pelan."Air dingin membasahi tenggorokan. Firman b
Firman terjatuh untuk ketiga kalinya dalam satu jam. Lututnya menghantam tanah berbatu, tapi dia hampir tidak merasakan sakit lagi. Seluruh tubuhnya sudah mati rasa."Bangun. Kita hampir sampai."Pak Darto berdiri di sampingnya, tangan masih terikat longgar di depan. Wajah pria tua itu juga pucat, tapi dia masih bisa berdiri."Aku... tidak bisa."Suara Firman keluar serak, bibir pecah-pecah dari dehidrasi. Penglihatan kabur, berkunang-kunang hitam menari di tepi kesadaran."Kamu harus bisa. Kita sudah sejauh ini."Pak Darto mencoba menarik Firman berdiri, tapi bocah itu terlalu berat. Tubuhnya lemas seperti boneka kain."Tinggalkan aku. Lanjut sendiri.""Tidak. Kamu yang bilang aku harus turun hidup. Sekarang giliranmu."Pak Darto berlutut di samping Firman, mengangkat kepala bocah itu dengan tangan terikat."Minum. Sedikit saja."Dia mengangkat botol air terakhir ke bibir Firman. Air hangat dan rasanya seperti logam, tapi Firman menelan dengan rakus."Pelan. Jangan terlalu banyak sek
Firman mengencangkan simpul terakhir pada tali yang mengikat pergelangan tangan Pak Darto. Pria tua itu tidak melawan, hanya duduk diam dengan kepala tertunduk."Sudah selesai."Pak Darto mengangkat kepala, menatap Firman dengan mata yang sudah tidak menunjukkan perlawanan lagi."Kamu lebih kuat dari aku, Firman.""Tidak. Kamu yang lebih kuat secara fisik.""Bukan itu maksudku."Pak Darto menggerakkan dagunya ke arah dada Firman."Di sini. Kamu lebih kuat di sini."Firman tidak menjawab. Dia berdiri, menarik tali untuk memastikan Pak Darto mengikuti saat dia mulai berjalan."Kita harus turun sekarang. Sebelum kondisi kita semakin buruk."Pak Darto bangkit dengan gerakan lambat, tubuhnya goyah. Darah masih merembes dari luka di lengan dan bahu, membasahi kain yang sudah kotor."Berapa jauh ke basecamp?""Tiga hari. Mungkin empat dengan kondisi kita."Firman melirik tubuh Pak Darto yang penuh luka."Kalau kita bertahan selama itu."Mereka mulai turun dari puncak. Jalur berbatu dan curam
Pak Darto melangkah mundur, tumitnya melewati tepi jurang. Kerikil jatuh berguling ke kedalaman, suaranya hilang tertelan angin."Ini jalan terbaik, Firman. Biarkan aku pergi."Firman berdiri dua meter darinya, napas terengah, tubuh penuh luka. Seluruh tubuhnya berteriak untuk membiarkan pria tua itu jatuh. Membiarkan gravitasi melakukan apa yang tangannya tidak mau lakukan.Tapi kakinya bergerak maju."Jangan.""Kenapa kamu peduli?"Pak Darto condong lebih jauh ke belakang, setengah tubuhnya sudah melayang di udara."Biarkan aku mati seperti yang kuinginkan.""Tidak."Firman melompat maju, tangannya meraih lengan Pak Darto. Jari-jarinya mencengkeram kain baju yang robek, menarik dengan kekuatan yang tidak dia tahu masih dia miliki."Apa yang kamu lakukan?"Pak Darto mencoba melepaskan diri, tapi Firman memegang erat. Mereka bergulat di tepi jurang, keduanya hampir jatuh."Lepaskan aku!""Tidak!"Firman menarik dengan seluruh tenaga, kaki mencari pijakan di tanah berbatu. Tubuhnya con
Pak Darto berdiri goyah di tepi jurang, punggungnya menghadap kedalaman ratusan meter. Darah mengalir dari luka di lengan, bahu, dan kaki. Wajahnya pucat, napas tersengal.Firman berdiri tiga meter di depannya, tubuh penuh luka tapi masih bisa bergerak. Masih punya kekuatan. Masih bisa mendorong.Satu dorongan. Hanya itu yang dibutuhkan."Lakukan, Firman."Pak Darto tidak mencoba kabur. Tidak bersiap melawan. Dia hanya berdiri di sana, menunggu."Kamu menang. Kamu lebih kuat. Akhiri ini."Firman menatap pria tua itu, jari-jarinya mengepal dan mengendur berulang kali. Seluruh tubuhnya berteriak untuk maju. Untuk mendorong. Untuk mengakhiri monster ini.Deri mati karena dia. Ucok mati karena dia. Margareta mati karena dia. Diana mati karena dia.Empat teman. Empat nyawa yang tidak akan pernah kembali."Mereka tidak pantas mati," bisik Firman, suaranya bergetar."Tidak. Mereka tidak pantas.""Kamu bunuh mereka dengan sadis. Dengan sengaja. Dengan perencanaan.""Ya."Pak Darto tidak menya
Firman mengangkat batu besar di atas kepalanya, siap menghantamkan ke kepala Pak Darto yang terjatuh di tanah. Napasnya terengah, seluruh tubuh gemetar dari kelelahan dan amarah."Lakukan."Suara Pak Darto membuat Firman terhenti. Bukan karena takut. Tapi karena ada sesuatu yang berbeda dalam nada suaranya.Pak Darto tidak melawan lagi. Dia hanya berbaring di tanah, menatap langit pagi dengan mata kosong."Lakukan, Firman. Bunuh aku."Firman masih mengangkat batu, lengannya gemetar."Apa?""Kamu dengar aku."Pak Darto menutup mata, napas keluar perlahan."Aku lelah. Sangat lelah."Firman menurunkan batu sedikit, bingung dengan perubahan mendadak ini."Ini jebakan?""Bukan jebakan."Pak Darto membuka mata, menatap Firman dengan tatapan yang membuat bocah itu mundur selangkah."Dua puluh tahun, Firman. Dua puluh tahun aku membawa beban ini."Dia berusaha duduk, tubuhnya bergetar dari luka-luka. Darah masih mengalir dari berbagai tempat, membuat genangan merah di bawahnya."Kamu pikir ak







