Share

bab 7

Penulis: Tama Fernandez
last update Terakhir Diperbarui: 2025-10-02 09:02:30

Pagi yang cerah, Mal Taman Anggrek sudah mulai ramai oleh pengunjung akhir pekan. Firman, Margareta, Diana, Ucok, dan Deri berkumpul di food court lantai dasar sambil menyeruput kopi dan merencanakan belanja peralatan pendakian mereka. Suasana grup terasa sangat bersemangat.

"Guys, hari ini gue traktir kalian semua ya. Papa sudah kasih anggaran tanpa batas, katanya yang penting keselamatan dan kualitas nomor satu," kata Firman sambil mengeluarkan kartu kredit emas. "Kita beli semua peralatan yang dibutuhkan, mulai dari sepatu sampai kantong tidur."

Diana yang duduk di sebelah Firman langsung berbinar. "Serius, Man? Lo mau beliin kita semua?" Jantungnya berdebar bukan karena barang gratisan, tapi karena sikap baik cowok yang disukainya. "Wah, lo baik banget sih."

"Santai aja, Di. Kita kan sahabatan udah lama, masa iya gue pelit," jawab Firman sambil tersenyum. Ucok langsung tepuk tangan kegirangan, sementara Deri menghela napas lega dalam hati.

"Margareta udah bikin daftar belanja kan? Lo kan yang paling detail soal perencanaan," kata Ucok sambil menghabiskan kroisan-nya. "Gue sih tinggal ikut aja, yang penting gear-nya premium semua."

Margareta mengeluarkan catatan di ponselnya yang berisi daftar lengkap peralatan yang dibutuhkan. "Gue udah riset toko-toko perlengkapan outdoor di mal ini. Ada Eiger, Consina, The North Face, sama Columbia."

Mereka bergerak menuju lantai tiga tempat toko-toko outdoor berkumpul. Koridor mal dipenuhi aroma parfum dari department store dan suara musik latar yang energik.

Toko pertama yang mereka kunjungi adalah Eiger. Sales-nya, seorang cowok berusia dua puluhan bernama Rizki, langsung menyambut dengan ramah. "Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?"

"Iya, kita mau naik Gunung Rinjani bulan depan. Butuh set lengkap untuk lima orang," jawab Firman dengan percaya diri. "Anggaran nggak masalah, yang penting kualitas dan keselamatan." Mata sales langsung berbinar.

"Wah, Rinjani ya? Gunung yang menantang banget tuh," kata Rizki sambil menunjukkan berbagai produk. "Jalurnya mana nih? Sembalun atau Senaru?" Dia mulai mengeluarkan sepatu-sepatu hiking premium. "Untuk Rinjani, kalian butuh peralatan yang benar-benar bisa diandalkan."

Diana mencoba sepatu hiking wanita yang direkomendasikan, warnanya pink abu-abu yang cantik. "Ini enak banget di kaki, empuk tapi support-nya kuat," katanya sambil berjalan-jalan kecil. "Firman, boleh kan gue ambil yang ini?"

"Boleh banget, Di. Ambil aja yang lo suka," jawab Firman sambil tersenyum. Deri yang melihat harga sepatu itu 2,8 juta menelan ludah.

Rizki melanjutkan penjelasannya sambil menunjukkan jaket hardshell. "Untuk Rinjani, suhu bisa turun sampai minus di malam hari, terutama di area puncak. Kalian butuh sistem layering yang tepat."

"Mas, sebenarnya Rinjani itu seberapa berbahaya sih?" tanya Margareta sambil memeriksa spesifikasi jaket. "Gue udah riset online, tapi pengen denger dari orang yang berpengalaman." Sales itu terdiam sejenak, ekspresinya berubah agak serius.

"Rinjani itu… menantang banget. Bukan cuma secara fisik, tapi juga mental," jawab Rizki dengan hati-hati. "Cuacanya nggak bisa diprediksi, medannya berbatu dan curam, plus ada beberapa area yang memang tricky." Dia menurunkan suara sedikit. "Gue saranin kalian pakai guide lokal yang berpengalaman, jangan main-main."

Ucok yang sedang mencoba carrier backpack langsung nimbrung. "Ah, santai aja Mas. Kita kan udah arrange guide profesional sama travel agent." Dia mengangkat backpack dengan mudah. "Lagian fisik kita udah prepared banget, especially gue yang atlet."

"Bukan masalah fisik aja, bro," kata Rizki sambil menggeleng. "Gunung itu punya karakternya sendiri. Gue udah ngeliat banyak pendaki yang terlalu percaya diri malah kena masalah." Dia menatap Ucok dengan serius. "Humble sama alam itu penting banget."

Firman mencoba mengalihkan pembicaraan. "Oke deh, thanks buat advice-nya. Sekarang kita lanjut belanja aja ya." Dia sudah menunjuk berbagai item yang ingin dibeli.

Belanja berlanjut dengan sangat royal. Firman membelikan masing-masing teman satu set lengkap: sepatu hiking premium, jaket hardshell, celana outdoor, kaos quick-dry, topi, sarung tangan, bahkan kacamata gunung yang stylish. Total belanja di toko pertama sudah mencapai 25 juta rupiah.

"Selfie dulu dong buat dokumentasi," kata Diana sambil mengeluarkan ponsel. Mereka berpose di depan toko dengan kantong-kantong belanja yang banyak.

Toko kedua yang dikunjungi adalah The North Face. Sales-nya, seorang wanita bernama Sarah, langsung mengenali mereka sebagai pelanggan serius. "Wow, kalian serius banget persiapannya. Mau ke mana nih adventure-nya?"

"Gunung Rinjani, Mba. Kita mau set lengkap yang lebih advanced," jawab Margareta sambil melihat-lihat kantong tidur premium. "Tadi di Eiger udah beli basic needs, sekarang mau upgrade ke yang lebih high-tech."

"Oh, Rinjani," kata Sarah sambil mengangguk. "Gue pernah ke sana waktu kuliah dulu, memang menantang banget." Dia mengeluarkan beberapa item premium. "Kalian udah prepare mental belum? Soalnya di sana banyak hal yang nggak bisa diprediksi."

"Maksudnya gimana, Mba?" tanya Diana dengan nada penasaran. "Cerita dong, Mba. Kita pengen tau pengalaman real-nya."

"Waktu itu gue ke sana sama grup dari kampus, total 12 orang. Semuanya udah berpengalaman hiking," mulai Sarah sambil melipat sleeping bag. "Hari pertama oke, hari kedua juga oke. Tapi hari ketiga pas mau summit attack, tiba-tiba kabut tebal banget muncul dari entah di mana."

"Terus gimana?" tanya Deri sambil mendengarkan dengan seksama. "Kalian nyasar?" Sarah menggeleng sambil melanjutkan ceritanya. "Nggak nyasar sih, tapi… aneh. GPS semua orang bermasalah bersamaan, kompas muter nggak jelas, walkie talkie juga interferensi."

Firman langsung skeptis. "Mba, itu mungkin karena medan atau cuaca ekstrem aja. Electronic malfunction itu normal di gunung kan?" Dia mencoba merasionalisasi cerita yang kedengaran agak supernatural.

"Mungkin ya," jawab Sarah dengan nada nggak yakin. "Yang penting kalian hati-hati, especially kalau guide-nya bilang hindari area tertentu, dengerin aja." Dia melanjutkan menunjukkan produk premium. "Oh ya, gue saranin beli GPS handheld juga sebagai cadangan."

Mereka melanjutkan belanja dengan membeli peralatan tambahan yang lebih canggih. GPS Garmin, headlamp premium, peluit darurat, charger tenaga surya, bahkan satellite communicator untuk keadaan darurat. Firman dengan royalnya membelikan semua tanpa mikir harga.

"Bro, lo udah spend berapa nih?" tanya Ucok sambil menghitung-hitung item. "Kayaknya udah puluhan juta deh." Firman cuma geleng sambil tertawa santai. "Papa bilang yang penting keselamatan dan pengalaman, uang nggak masalah."

Deri yang dari tadi mostly diam akhirnya angkat suara. "Man, gue merasa bersalah banget nih dibeliin semua. Gimana caranya gue bisa balas budi?" Suaranya tulus.

"Santai aja, Der. Lo kan sahabat gue, nggak perlu balas budi segala," jawab Firman sambil menepuk pundak Deri. "Yang penting kita bisa adventure bareng-bareng, itu lebih berharga daripada uang."

Belanja dilanjutkan ke toko Columbia untuk melengkapi aksesori tambahan. Mereka membeli rain cover untuk backpack, buff multifungsi, kaos kaki hiking khusus, bahkan kursi camping portabel yang ringan.

"Guys, kita udah complete banget peralatannya," kata Margareta sambil mengecek checklist di ponselnya. "Dari kepala sampai kaki, dari basic sampai advanced, semua udah ada." Dia merasa puas dengan persiapan yang sangat matang ini. "Tinggal physical preparation aja sekarang."

Di food court untuk makan siang, mereka duduk dengan kantong-kantong belanja menumpuk. Total belanja hari ini mencapai hampir 60 juta rupiah, tapi Firman terlihat santai-santai aja. "Nih gue transfer uang ke rekening travel agent buat booking final," katanya sambil buka mobile banking.

"Man, lo yakin nggak papa spend segini buat kita?" tanya Diana sambil makan pasta. "Gue merasa bersalah banget dibeliin barang semahal ini." Firman menggeleng sambil tersenyum. "Di, persahabatan itu nggak ternilai. Lagian ini investasi buat petualangan yang bakal jadi kenangan seumur hidup."

"Oh iya, tadi sales-sales pada kasih peringatan soal guide lokal," kata Margareta. "Mereka bilang penting banget pakai guide yang berpengalaman sama area Rinjani."

"Udah diatur kok sama travel agent. Guide-nya berpengalaman banget, 12 tahun di Rinjani," jawab Firman. "Plus mereka kasih porter juga buat bawa peralatan berat."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Petaka Di Gunung Rinjani   Bab 82

    Jalur pendakian, sekitar lima ratus meter dari tebing timur. Firman dan Diana sedang duduk beristirahat di atas batu besar, menyeka keringat dari dahi mereka. Pagi yang melelahkan setelah bermalam dengan mimpi buruk.Firman menatap peta yang terbuka di pangkuannya, mencoba mencari rute alternatif untuk turun. Diana duduk di sampingnya, memeluk lututnya sendiri, mata menatap kosong ke depan."Kita harus buat keputusan, Diana," Firman berbicara pelan. "Kalau Margareta tidak membaik, kita harus turun hari ini juga."Diana mengangguk lemah. "Aku tahu. Aku cuma... aku tidak menyangka perjalanan ini akan berakhir seperti ini."Tiba-tiba—"TOLONG!"Suara itu datang dari kejauhan, memecah keheningan pagi. Suara yang penuh kepanikan dan ketakutan.Firman dan Diana langsung berdiri, kepala mereka menoleh ke arah sumber suara."Itu suara Pak Darto!" Diana berteriak, wajahnya memucat."TOLONG! MARGARETA JATUH! DIA JATUH KE JURANG!"Deg.Jantung Firman berhenti berdetak sejenak. Dunia seakan berhe

  • Petaka Di Gunung Rinjani   Bab 81

    Tepi tebing. Angin bertiup kencang. Margareta tergantung di ambang kehidupan dan kematian—secara harfiah. Kakinya melayang di udara kosong, hanya ujung jari tangannya yang mencengkeram tanah berbatu.Pak Darto berdiri tegak di hadapannya, bayangan tubuhnya menutupi matahari pagi. Wajahnya tenang, terlalu tenang untuk seseorang yang akan melakukan pembunuhan."Kamu terlalu pintar untuk kebaikanmu sendiri, Margareta." Suaranya datar, tanpa emosi, seperti menyatakan fakta sederhana.Margareta menatapnya dengan mata yang hampir kehilangan cahaya. Napasnya pendek-pendek, tubuhnya gemetar hebat—kombinasi dari kesakitan fisik, ketakutan, dan kelelahan total."Pak... kumohon..." suaranya serak, hampir tidak terdengar. "Jangan..."Pak Darto menggeleng pelan. "Terlambat. Kamu sudah tahu terlalu banyak. Kamu sudah melihat terlalu jauh."Dia mengangkat kakinya, menekan dada Margareta dengan sepatu boots-nya.Margareta merasakan tekanan itu. Jantungnya berdegup kencang thump thump thump seperti dr

  • Petaka Di Gunung Rinjani   Bab 80

    Margareta menatap tali itu dengan mata terbelalak. Napasnya memburu, dada naik-turun dengan cepat. Setiap insting dalam tubuhnya berteriak untuk lari, tapi kakinya tidak bergerak—terlalu lemah, terlalu ketakutan."Jangan..." suaranya gemetar. "Pak, kumohon..."Pak Darto tidak menjawab. Dia melangkah maju dengan tenang, seperti sedang melakukan pekerjaan rutin. Tangannya menggenggam tali dengan kuat.Margareta mencoba merangkak mundur, tangannya mengais-ngais tanah berbatu kres, kres mencari pegangan apa pun. Punggungnya menekan batu besar di belakangnya. Tidak ada jalan keluar."TOLONG!" Margareta berteriak sekeras yang dia bisa. Suaranya bergema di antara tebing dan jurang, tapi hanya kembali sebagai gema kosong. "FIRMAN! DIANA! TOLONG AKU!"Pak Darto berhenti sejenak, menyeringai."Teriaklah sepuasmu. Mereka terlalu jauh. Mereka tidak akan mendengar." Dia melirik ke arah jalur di kejauhan. "Bahkan jika mereka mendengar, mereka akan pikir kamu sedang mengamuk lagi. Gadis gila yang be

  • Petaka Di Gunung Rinjani   Bab 79

    "Pak... tolong... saya butuh bantuan..." suaranya parau, hampir berbisik.Pak Darto tersenyum. Bukan senyum hangat yang biasa dia tunjukkan. Ini berbeda. Senyum dingin, tanpa kehangatan, tanpa kemanusiaan. Matanya—yang selama ini tampak bijaksana—kini memancarkan kekosongan yang mengerikan."Bantuan?" Pak Darto tertawa pelan. Suara tawanya bergema di antara bebatuan. "Kamu pikir aku akan membantumu, Margareta?"Hening sesaat. Angin bertiup pelan, membawa aroma tanah basah dan dedaunan lapuk."Tidak ada yang akan membantumu di sini." Pak Darto melangkah lebih dekat, sepatu boots-nya menginjak kerikil kecil kres... kres... kres. "Kamu tahu kenapa?"Margareta menggeleng lemah, air mata mulai mengalir di pipinya."Karena akulah yang membunuh mereka semua." Kata-kata itu keluar dengan tenang, seperti seseorang yang sedang membicarakan cuaca. "Setiap. Satu. Orang."Deg.Jantung Margareta seakan berhenti berdetak. Dunia berputar. Meski dia sudah menduga, mendengar pengakuan langsung dari mul

  • Petaka Di Gunung Rinjani   Bab 78

    Ini dia. Hari terakhirku.Pikiran itu datang jernih, tajam, tidak bisa disangkal lagi.Ciit, ciit, ciit.Burung-burung pagi mulai berkicau di luar. Suara yang indah, yang biasanya membawa harapan. Tapi pagi ini, suara itu terdengar seperti lagu duka.Srek.Ritsleting tenda terbuka. Diana muncul dengan senyum yang dipaksakan."Pagi, Margareta. Ayo bangun. Pak Darto sudah siapkan sarapan spesial untukmu."Margareta duduk perlahan. Setiap gerakan terasa berat, seperti bergerak di dalam air."Spesial?""Iya. Katanya kamu butuh energi untuk sesi konseling nanti."Diana mengulurkan tangan, membantu Margareta berdiri. Sentuhan tangannya hangat, tapi ada kekhawatiran di matanya—kekhawatiran untuk orang yang dia anggap sakit mental.Margareta keluar dari tenda. Udara pagi dingin menusuk kulit. Langit masih berwarna ungu pucat di timur, berubah gradasi menjadi merah jambu, lalu oranye.Matahari terbit. Indah. Dramatis.Matahari terakhir yang akan kulihat.Pak Darto berdiri di dekat api unggun y

  • Petaka Di Gunung Rinjani   Bab 77

    Margareta berbaring kaku di sleeping bag. Matanya terbuka menatap kegelapan atap tenda. Jantungnya berdetak tidak teratur.Thump-thump... thump-thump-thump... thump.Ada sesuatu yang salah malam ini. Udara terasa lebih dingin, lebih mencekam. Seperti ada yang menunggu di luar sana sesuatu yang gelap dan lapar.Wuuush.Angin gunung berhembus, membuat kain tenda bergerak-gerak. Bayangan-bayangan menari di dinding.Lalu dia mendengar suara. Pelan. Berbisik. Datang dari luar tenda."...besok pagi."Suara Pak Darto."Yakin aman, Pak?"Suara Firman.Margareta membekukan. Napasnya tertahan. Telinganya menajam, menangkap setiap kata."Tenang saja. Aku sudah melakukan ini berkali-kali."Krek.Suara langkah kaki bergeser."Sesi besok akan membantu dia... satu cara atau yang lain."Jeda panjang. Margareta membayangkan Firman mengangguk, menerima kata-kata itu tanpa pertanyaan."Terima kasih sudah percaya, Firman. Kamu sahabat yang baik.""Sama-sama, Pak. Yang penting Margareta bisa pulih."Langk

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status