MasukMargareta duduk di meja belajarnya yang tertata rapi, laptop terbuka dengan puluhan tab yang memuat informasi tentang Gunung Rinjani. Jam dinding menunjukkan pukul tujuh malam, tetapi dia baru saja memulai penelitian mendalam. Sebagai ketua OSIS dan siswa dengan IPK tertinggi, kebiasaan riset detail sudah menjadi sifat bawaannya.
"Gunung Rinjani, 3.726 meter di atas permukaan laut, jalur pendakian Sembalun dan Senaru," gumamnya sambil mengetik catatan. "Cuaca ekstrem, suhu bisa turun sampai minus di malam hari, angin kencang di area puncak." Setiap informasi dicatat sistematis, lengkap dengan sumber dan tanggal akses data. Layar laptop menampilkan situs resmi Taman Nasional Gunung Rinjani. Margareta membaca dengan teliti setiap panduan keselamatan. "Wajib menggunakan pemandu lokal bersertifikat, maksimal 25 orang per kelompok, dilarang mendaki saat musim hujan." Tab berikutnya membawanya ke forum pendaki Indonesia. Margareta mulai menggulir thread tentang pengalaman pendakian Rinjani. Sebagian besar cerita sukses, tetapi ada beberapa unggahan yang membuat alisnya berkerut. "Pendaki hilang 3 hari di jalur Sembalun, ditemukan dalam kondisi bingung dan tidak ingat apa-apa." Unggahan selanjutnya lebih mengganggu. "Tim penyelamat mencari 2 pendaki yang hilang seminggu, jejak terakhir di area Plawangan Sembalun. Aneh, pelacak GPS mereka mati bersamaan padahal baterai masih penuh." Margareta langsung menangkap layar dan menyimpannya di folder khusus. Dia melanjutkan ke forum internasional untuk pelancong ransel. Ada thread panjang berjudul "Pengalaman Aneh di Rinjani – Fenomena Tak Terjelaskan." Margareta membacanya dengan seksama, matanya semakin melebar. "Aku mendengar suara memanggil namaku dari hutan, tetapi temanku bilang mereka tidak mendengar apa-apa," tulis seorang pendaki asal Australia. "Kompas saya mulai berputar acak di dekat bibir kawah, dan semua perangkat elektronik rusak bersamaan." Margareta semakin intens membaca ketika menemukan unggahan dari pemandu lokal berpengalaman 15 tahun. "Ada area tertentu di Rinjani yang kami hindari, terutama saat malam hari. Banyak pendaki yang masuk ke area itu mengalami disorientasi parah." "Ini bukan main-main," gumam Margareta sambil menyimpan semua tangkapan layar dalam folder terorganisir. Dia membuat subfolder untuk kategori berbeda. Total sudah ada 23 tangkapan layar berbagai laporan yang mengkhawatirkan. Margareta membuka Excel dan mulai membuat lembar analisis risiko yang detail. "Hipotermia: Probabilitas tinggi, tingkat keparahan tinggi, mitigasi: perlengkapan memadai dan tenda darurat." Ponselnya bergetar, ada pesan dari Firman. "Gre, lo masih bangun? Gue mau diskusi soal persiapan pendakian. Gimana kalau kita ketemu sekarang?" Margareta melihat jam. "Oke, di mana? Gue lagi riset nih, ada beberapa hal yang perlu kita bahas serius." "Starbucks PIK aja, yang 24 jam. Gue udah di jalan nih," balas Firman cepat. Margareta langsung menutup laptopnya dan bersiap keluar. Dia mencetak semua tangkapan layar dan memasukkannya ke dalam map plastik yang rapi. Starbucks PIK masih cukup ramai meski sudah malam. Margareta sudah sampai duluan, memilih meja di pojok yang agak sepi. Dia memesan teh hijau latte dan mengeluarkan semua print out penelitiannya. Firman datang sepuluh menit kemudian, terlihat antusias dengan membawa laptop dan beberapa brosur agen perjalanan. "Wah, lo serius banget sampai bawa-bawa dokumen segala," kata Firman sambil duduk. Dia memesan karamel makiato dan langsung membuka laptopnya. "Gue juga udah dapat info update dari agen perjalanan. Mereka konfirmasi pemandu yang bakal nemenin kita." Margareta mengeluarkan map plastiknya dengan ekspresi serius. "Firman, sebelum kita bahas hal-hal teknis, gue perlu tunjukin beberapa hal yang gue temukan dalam riset." Dia mulai mengeluarkan print out satu per satu. "Ini semua laporan dari forum pendaki tentang insiden-insiden aneh di Rinjani." "Aneh gimana maksudnya?" tanya Firman sambil mengambil salah satu print out. Matanya mulai membaca kesaksian tentang pendaki yang hilang. "Oh ini, mungkin mereka aja yang kurang persiapan atau panik di gunung." "Nggak cuma itu, Man," kata Margareta sambil menunjukkan print out lain. "Ini laporan dari pemandu berpengalaman yang bilang ada area tertentu yang harus dihindari. Dan ini," dia menunjukkan tangkapan layar forum internasional, "kesaksian dari pendaki asing tentang kerusakan elektronik yang terjadi bersamaan." Firman membaca dengan ekspresi skeptis. "Gre, lo tau sendiri kan forum internet itu banyak yang lebay atau bahkan hoaks? Orang-orang suka lebih-lebihin cerita biar kedengeran dramatis." Dia mengembalikan print out dengan santai. "Lagian kalau memang seberbahaya itu, masa pemerintah masih buka akses pendakian?" "Tapi ini bukan cuma satu atau dua laporan, Firman. Gue udah kumpulin 23 kasus berbeda dari sumber yang berbeda-beda," kata Margareta sambil menunjukkan lembar analisis risiko. "Dan polanya konsisten: kerusakan elektronik, disorientasi, sama pendaki hilang di area tertentu." Firman melihat lembar analisis yang detail itu dengan ekspresi terkagum sekaligus geli. "Lo ini emang overthinking banget, Gre. Masa naik gunung aja sampai dibikin analisis risiko segala." Dia tertawa kecil sambil menggeleng. "Kita naik gunung buat senang-senang dan petualangan, bukan buat jadi paranoia." "Ini bukan paranoia, tapi pencegahan," jawab Margareta dengan nada agak kesal. "Lo tau sendiri kan gue orangnya gimana? Gue nggak suka ambil keputusan tanpa data yang cukup." Dia menunjuk kolom strategi mitigasi. "Makanya gue bikin strategi pencegahan buat setiap risiko yang mungkin terjadi." "Oke, gue apresiasi lo udah riset sedetail ini," kata Firman sambil mencoba menenangkan. "Tapi jangan sampai overthinking ini bikin lo jadi takut dan nggak jadi ikut." Dia membuka laptopnya dan menunjukkan situs agen perjalanan. "Liat nih, agen perjalanan yang gue pilih udah mengatur ratusan trip tanpa insiden serius." Margareta melihat situs tersebut dengan kritis. "Rekam jejak mereka memang bagus, tapi gue perhatiin ada beberapa ulasan yang menyebut 'tantangan tak terduga' tanpa penjelasan detail." Dia menunjuk beberapa ulasan yang agak ambigu. "Dan kenapa nggak ada testimoni video dari klien yang pernah naik jalur ekstrem?" "Mungkin mereka nggak suka eksposur aja," jawab Firman. "Yang penting pemandunya berpengalaman dan peralatan keselamatannya lengkap." Dia menunjukkan profil pemandu. "Ini pemandunya, Pak Wayan namanya, 12 tahun pengalaman." "Gue mau kontak pemandu ini langsung, tanya tentang area-area yang harus dihindari sesuai info yang gue dapet," kata Margareta sambil mencatat nomor kontak. "Dan gue juga mau konfirmasi soal rencana cadangan kalau terjadi keadaan darurat." Firman mulai terlihat sedikit frustrasi. "Gre, lo ini kepo banget sih. Nanti pemandunya malah mikir kita ini klien yang ribet dan menuntut." Dia menutup laptopnya dengan agak kasar. "Kadang-kadang hal yang terlalu direncanain malah jadi nggak seru." "Firman, ini soal keselamatan kita berlima. Gue nggak mau ambil risiko yang nggak perlu," kata Margareta dengan nada tegas. "Lo boleh bilang gue overthinking, tapi kalau nanti terjadi sesuatu, lo bakal nyesel nggak dengerin concern gue." "Oke oke, gue ngerti lo concern," kata Firman sambil menarik napas dalam. "Gimana kalau kita kompromi? Lo boleh tanya-tanya detail sama pemandunya, tapi jangan sampai berlebihan." Margareta mengangguk perlahan. "Fair enough. Gue juga nggak mau jadi orang yang paranoid berlebihan." Dia mengemas kembali semua print out-nya. "Tapi gue tetap mau siapkan rencana cadangan untuk berbagai skenario terburuk." "Terserah lo deh, Gre. Yang penting jangan sampai concern lo ini mempengaruhi yang lain, terutama Diana yang udah gugup duluan," kata Firman sambil menghabiskan kopinya. "Makanya gue diskusi sama lo dulu. Lo kan yang paling rasional di antara kita," kata Margareta. "Gue harap lo bisa bantu balance antara excitement sama kehati-hatian." Dia menatap Firman dengan serius. "Janji kalau lo bakal dengerin kalau gue raise concern lagi nanti." Firman terdiam sejenak. "Gue janji bakal dengerin, tapi lo juga harus janji nggak bakal overthink sampai merusak keseluruhan pengalaman." Mereka berjabat tangan sebagai tanda kesepakatan. Mereka keluar dari Starbucks sekitar pukul sebelas malam. Margareta masih merasa ada yang mengganjal. "Firman, gue cuma mau bilang, feeling gue tentang trip ini agak campur aduk. Excited tapi ada rasa nggak tenang juga." "Itu normal kok, Gre. Namanya juga pertama kali pendakian ekstrem," jawab Firman sambil berjalan menuju parkiran. "Yang penting kita siapkan sebaik mungkin dan percaya sama profesional yang bakal memandu kita." Di rumah, Margareta kembali membuka laptopnya dan melanjutkan riset tentang pemandu Pak Wayan yang akan menemani mereka.Jalur pendakian, sekitar lima ratus meter dari tebing timur. Firman dan Diana sedang duduk beristirahat di atas batu besar, menyeka keringat dari dahi mereka. Pagi yang melelahkan setelah bermalam dengan mimpi buruk.Firman menatap peta yang terbuka di pangkuannya, mencoba mencari rute alternatif untuk turun. Diana duduk di sampingnya, memeluk lututnya sendiri, mata menatap kosong ke depan."Kita harus buat keputusan, Diana," Firman berbicara pelan. "Kalau Margareta tidak membaik, kita harus turun hari ini juga."Diana mengangguk lemah. "Aku tahu. Aku cuma... aku tidak menyangka perjalanan ini akan berakhir seperti ini."Tiba-tiba—"TOLONG!"Suara itu datang dari kejauhan, memecah keheningan pagi. Suara yang penuh kepanikan dan ketakutan.Firman dan Diana langsung berdiri, kepala mereka menoleh ke arah sumber suara."Itu suara Pak Darto!" Diana berteriak, wajahnya memucat."TOLONG! MARGARETA JATUH! DIA JATUH KE JURANG!"Deg.Jantung Firman berhenti berdetak sejenak. Dunia seakan berhe
Tepi tebing. Angin bertiup kencang. Margareta tergantung di ambang kehidupan dan kematian—secara harfiah. Kakinya melayang di udara kosong, hanya ujung jari tangannya yang mencengkeram tanah berbatu.Pak Darto berdiri tegak di hadapannya, bayangan tubuhnya menutupi matahari pagi. Wajahnya tenang, terlalu tenang untuk seseorang yang akan melakukan pembunuhan."Kamu terlalu pintar untuk kebaikanmu sendiri, Margareta." Suaranya datar, tanpa emosi, seperti menyatakan fakta sederhana.Margareta menatapnya dengan mata yang hampir kehilangan cahaya. Napasnya pendek-pendek, tubuhnya gemetar hebat—kombinasi dari kesakitan fisik, ketakutan, dan kelelahan total."Pak... kumohon..." suaranya serak, hampir tidak terdengar. "Jangan..."Pak Darto menggeleng pelan. "Terlambat. Kamu sudah tahu terlalu banyak. Kamu sudah melihat terlalu jauh."Dia mengangkat kakinya, menekan dada Margareta dengan sepatu boots-nya.Margareta merasakan tekanan itu. Jantungnya berdegup kencang thump thump thump seperti dr
Margareta menatap tali itu dengan mata terbelalak. Napasnya memburu, dada naik-turun dengan cepat. Setiap insting dalam tubuhnya berteriak untuk lari, tapi kakinya tidak bergerak—terlalu lemah, terlalu ketakutan."Jangan..." suaranya gemetar. "Pak, kumohon..."Pak Darto tidak menjawab. Dia melangkah maju dengan tenang, seperti sedang melakukan pekerjaan rutin. Tangannya menggenggam tali dengan kuat.Margareta mencoba merangkak mundur, tangannya mengais-ngais tanah berbatu kres, kres mencari pegangan apa pun. Punggungnya menekan batu besar di belakangnya. Tidak ada jalan keluar."TOLONG!" Margareta berteriak sekeras yang dia bisa. Suaranya bergema di antara tebing dan jurang, tapi hanya kembali sebagai gema kosong. "FIRMAN! DIANA! TOLONG AKU!"Pak Darto berhenti sejenak, menyeringai."Teriaklah sepuasmu. Mereka terlalu jauh. Mereka tidak akan mendengar." Dia melirik ke arah jalur di kejauhan. "Bahkan jika mereka mendengar, mereka akan pikir kamu sedang mengamuk lagi. Gadis gila yang be
"Pak... tolong... saya butuh bantuan..." suaranya parau, hampir berbisik.Pak Darto tersenyum. Bukan senyum hangat yang biasa dia tunjukkan. Ini berbeda. Senyum dingin, tanpa kehangatan, tanpa kemanusiaan. Matanya—yang selama ini tampak bijaksana—kini memancarkan kekosongan yang mengerikan."Bantuan?" Pak Darto tertawa pelan. Suara tawanya bergema di antara bebatuan. "Kamu pikir aku akan membantumu, Margareta?"Hening sesaat. Angin bertiup pelan, membawa aroma tanah basah dan dedaunan lapuk."Tidak ada yang akan membantumu di sini." Pak Darto melangkah lebih dekat, sepatu boots-nya menginjak kerikil kecil kres... kres... kres. "Kamu tahu kenapa?"Margareta menggeleng lemah, air mata mulai mengalir di pipinya."Karena akulah yang membunuh mereka semua." Kata-kata itu keluar dengan tenang, seperti seseorang yang sedang membicarakan cuaca. "Setiap. Satu. Orang."Deg.Jantung Margareta seakan berhenti berdetak. Dunia berputar. Meski dia sudah menduga, mendengar pengakuan langsung dari mul
Ini dia. Hari terakhirku.Pikiran itu datang jernih, tajam, tidak bisa disangkal lagi.Ciit, ciit, ciit.Burung-burung pagi mulai berkicau di luar. Suara yang indah, yang biasanya membawa harapan. Tapi pagi ini, suara itu terdengar seperti lagu duka.Srek.Ritsleting tenda terbuka. Diana muncul dengan senyum yang dipaksakan."Pagi, Margareta. Ayo bangun. Pak Darto sudah siapkan sarapan spesial untukmu."Margareta duduk perlahan. Setiap gerakan terasa berat, seperti bergerak di dalam air."Spesial?""Iya. Katanya kamu butuh energi untuk sesi konseling nanti."Diana mengulurkan tangan, membantu Margareta berdiri. Sentuhan tangannya hangat, tapi ada kekhawatiran di matanya—kekhawatiran untuk orang yang dia anggap sakit mental.Margareta keluar dari tenda. Udara pagi dingin menusuk kulit. Langit masih berwarna ungu pucat di timur, berubah gradasi menjadi merah jambu, lalu oranye.Matahari terbit. Indah. Dramatis.Matahari terakhir yang akan kulihat.Pak Darto berdiri di dekat api unggun y
Margareta berbaring kaku di sleeping bag. Matanya terbuka menatap kegelapan atap tenda. Jantungnya berdetak tidak teratur.Thump-thump... thump-thump-thump... thump.Ada sesuatu yang salah malam ini. Udara terasa lebih dingin, lebih mencekam. Seperti ada yang menunggu di luar sana sesuatu yang gelap dan lapar.Wuuush.Angin gunung berhembus, membuat kain tenda bergerak-gerak. Bayangan-bayangan menari di dinding.Lalu dia mendengar suara. Pelan. Berbisik. Datang dari luar tenda."...besok pagi."Suara Pak Darto."Yakin aman, Pak?"Suara Firman.Margareta membekukan. Napasnya tertahan. Telinganya menajam, menangkap setiap kata."Tenang saja. Aku sudah melakukan ini berkali-kali."Krek.Suara langkah kaki bergeser."Sesi besok akan membantu dia... satu cara atau yang lain."Jeda panjang. Margareta membayangkan Firman mengangguk, menerima kata-kata itu tanpa pertanyaan."Terima kasih sudah percaya, Firman. Kamu sahabat yang baik.""Sama-sama, Pak. Yang penting Margareta bisa pulih."Langk







