Share

Bab 6

last update Last Updated: 2025-10-02 08:59:28

Margareta duduk di meja belajarnya yang tertata rapi, laptop terbuka dengan puluhan tab yang memuat informasi tentang Gunung Rinjani. Jam dinding menunjukkan pukul tujuh malam, tetapi dia baru saja memulai penelitian mendalam. Sebagai ketua OSIS dan siswa dengan IPK tertinggi, kebiasaan riset detail sudah menjadi sifat bawaannya.

"Gunung Rinjani, 3.726 meter di atas permukaan laut, jalur pendakian Sembalun dan Senaru," gumamnya sambil mengetik catatan. "Cuaca ekstrem, suhu bisa turun sampai minus di malam hari, angin kencang di area puncak." Setiap informasi dicatat sistematis, lengkap dengan sumber dan tanggal akses data.

Layar laptop menampilkan situs resmi Taman Nasional Gunung Rinjani. Margareta membaca dengan teliti setiap panduan keselamatan. "Wajib menggunakan pemandu lokal bersertifikat, maksimal 25 orang per kelompok, dilarang mendaki saat musim hujan."

Tab berikutnya membawanya ke forum pendaki Indonesia. Margareta mulai menggulir thread tentang pengalaman pendakian Rinjani. Sebagian besar cerita sukses, tetapi ada beberapa unggahan yang membuat alisnya berkerut. "Pendaki hilang 3 hari di jalur Sembalun, ditemukan dalam kondisi bingung dan tidak ingat apa-apa."

Unggahan selanjutnya lebih mengganggu. "Tim penyelamat mencari 2 pendaki yang hilang seminggu, jejak terakhir di area Plawangan Sembalun. Aneh, pelacak GPS mereka mati bersamaan padahal baterai masih penuh." Margareta langsung menangkap layar dan menyimpannya di folder khusus.

Dia melanjutkan ke forum internasional untuk pelancong ransel. Ada thread panjang berjudul "Pengalaman Aneh di Rinjani – Fenomena Tak Terjelaskan." Margareta membacanya dengan seksama, matanya semakin melebar.

"Aku mendengar suara memanggil namaku dari hutan, tetapi temanku bilang mereka tidak mendengar apa-apa," tulis seorang pendaki asal Australia. "Kompas saya mulai berputar acak di dekat bibir kawah, dan semua perangkat elektronik rusak bersamaan."

Margareta semakin intens membaca ketika menemukan unggahan dari pemandu lokal berpengalaman 15 tahun. "Ada area tertentu di Rinjani yang kami hindari, terutama saat malam hari. Banyak pendaki yang masuk ke area itu mengalami disorientasi parah."

"Ini bukan main-main," gumam Margareta sambil menyimpan semua tangkapan layar dalam folder terorganisir. Dia membuat subfolder untuk kategori berbeda. Total sudah ada 23 tangkapan layar berbagai laporan yang mengkhawatirkan.

Margareta membuka Excel dan mulai membuat lembar analisis risiko yang detail. "Hipotermia: Probabilitas tinggi, tingkat keparahan tinggi, mitigasi: perlengkapan memadai dan tenda darurat."

Ponselnya bergetar, ada pesan dari Firman. "Gre, lo masih bangun? Gue mau diskusi soal persiapan pendakian. Gimana kalau kita ketemu sekarang?" Margareta melihat jam. "Oke, di mana? Gue lagi riset nih, ada beberapa hal yang perlu kita bahas serius."

"Starbucks PIK aja, yang 24 jam. Gue udah di jalan nih," balas Firman cepat. Margareta langsung menutup laptopnya dan bersiap keluar. Dia mencetak semua tangkapan layar dan memasukkannya ke dalam map plastik yang rapi.

Starbucks PIK masih cukup ramai meski sudah malam. Margareta sudah sampai duluan, memilih meja di pojok yang agak sepi. Dia memesan teh hijau latte dan mengeluarkan semua print out penelitiannya. Firman datang sepuluh menit kemudian, terlihat antusias dengan membawa laptop dan beberapa brosur agen perjalanan.

"Wah, lo serius banget sampai bawa-bawa dokumen segala," kata Firman sambil duduk. Dia memesan karamel makiato dan langsung membuka laptopnya. "Gue juga udah dapat info update dari agen perjalanan. Mereka konfirmasi pemandu yang bakal nemenin kita."

Margareta mengeluarkan map plastiknya dengan ekspresi serius. "Firman, sebelum kita bahas hal-hal teknis, gue perlu tunjukin beberapa hal yang gue temukan dalam riset." Dia mulai mengeluarkan print out satu per satu. "Ini semua laporan dari forum pendaki tentang insiden-insiden aneh di Rinjani."

"Aneh gimana maksudnya?" tanya Firman sambil mengambil salah satu print out. Matanya mulai membaca kesaksian tentang pendaki yang hilang. "Oh ini, mungkin mereka aja yang kurang persiapan atau panik di gunung."

"Nggak cuma itu, Man," kata Margareta sambil menunjukkan print out lain. "Ini laporan dari pemandu berpengalaman yang bilang ada area tertentu yang harus dihindari. Dan ini," dia menunjukkan tangkapan layar forum internasional, "kesaksian dari pendaki asing tentang kerusakan elektronik yang terjadi bersamaan."

Firman membaca dengan ekspresi skeptis. "Gre, lo tau sendiri kan forum internet itu banyak yang lebay atau bahkan hoaks? Orang-orang suka lebih-lebihin cerita biar kedengeran dramatis." Dia mengembalikan print out dengan santai. "Lagian kalau memang seberbahaya itu, masa pemerintah masih buka akses pendakian?"

"Tapi ini bukan cuma satu atau dua laporan, Firman. Gue udah kumpulin 23 kasus berbeda dari sumber yang berbeda-beda," kata Margareta sambil menunjukkan lembar analisis risiko. "Dan polanya konsisten: kerusakan elektronik, disorientasi, sama pendaki hilang di area tertentu."

Firman melihat lembar analisis yang detail itu dengan ekspresi terkagum sekaligus geli. "Lo ini emang overthinking banget, Gre. Masa naik gunung aja sampai dibikin analisis risiko segala." Dia tertawa kecil sambil menggeleng. "Kita naik gunung buat senang-senang dan petualangan, bukan buat jadi paranoia."

"Ini bukan paranoia, tapi pencegahan," jawab Margareta dengan nada agak kesal. "Lo tau sendiri kan gue orangnya gimana? Gue nggak suka ambil keputusan tanpa data yang cukup." Dia menunjuk kolom strategi mitigasi. "Makanya gue bikin strategi pencegahan buat setiap risiko yang mungkin terjadi."

"Oke, gue apresiasi lo udah riset sedetail ini," kata Firman sambil mencoba menenangkan. "Tapi jangan sampai overthinking ini bikin lo jadi takut dan nggak jadi ikut." Dia membuka laptopnya dan menunjukkan situs agen perjalanan. "Liat nih, agen perjalanan yang gue pilih udah mengatur ratusan trip tanpa insiden serius."

Margareta melihat situs tersebut dengan kritis. "Rekam jejak mereka memang bagus, tapi gue perhatiin ada beberapa ulasan yang menyebut 'tantangan tak terduga' tanpa penjelasan detail." Dia menunjuk beberapa ulasan yang agak ambigu. "Dan kenapa nggak ada testimoni video dari klien yang pernah naik jalur ekstrem?"

"Mungkin mereka nggak suka eksposur aja," jawab Firman. "Yang penting pemandunya berpengalaman dan peralatan keselamatannya lengkap." Dia menunjukkan profil pemandu. "Ini pemandunya, Pak Wayan namanya, 12 tahun pengalaman."

"Gue mau kontak pemandu ini langsung, tanya tentang area-area yang harus dihindari sesuai info yang gue dapet," kata Margareta sambil mencatat nomor kontak. "Dan gue juga mau konfirmasi soal rencana cadangan kalau terjadi keadaan darurat."

Firman mulai terlihat sedikit frustrasi. "Gre, lo ini kepo banget sih. Nanti pemandunya malah mikir kita ini klien yang ribet dan menuntut." Dia menutup laptopnya dengan agak kasar. "Kadang-kadang hal yang terlalu direncanain malah jadi nggak seru."

"Firman, ini soal keselamatan kita berlima. Gue nggak mau ambil risiko yang nggak perlu," kata Margareta dengan nada tegas. "Lo boleh bilang gue overthinking, tapi kalau nanti terjadi sesuatu, lo bakal nyesel nggak dengerin concern gue."

"Oke oke, gue ngerti lo concern," kata Firman sambil menarik napas dalam. "Gimana kalau kita kompromi? Lo boleh tanya-tanya detail sama pemandunya, tapi jangan sampai berlebihan."

Margareta mengangguk perlahan. "Fair enough. Gue juga nggak mau jadi orang yang paranoid berlebihan." Dia mengemas kembali semua print out-nya. "Tapi gue tetap mau siapkan rencana cadangan untuk berbagai skenario terburuk."

"Terserah lo deh, Gre. Yang penting jangan sampai concern lo ini mempengaruhi yang lain, terutama Diana yang udah gugup duluan," kata Firman sambil menghabiskan kopinya.

"Makanya gue diskusi sama lo dulu. Lo kan yang paling rasional di antara kita," kata Margareta. "Gue harap lo bisa bantu balance antara excitement sama kehati-hatian." Dia menatap Firman dengan serius. "Janji kalau lo bakal dengerin kalau gue raise concern lagi nanti."

Firman terdiam sejenak. "Gue janji bakal dengerin, tapi lo juga harus janji nggak bakal overthink sampai merusak keseluruhan pengalaman." Mereka berjabat tangan sebagai tanda kesepakatan.

Mereka keluar dari Starbucks sekitar pukul sebelas malam. Margareta masih merasa ada yang mengganjal. "Firman, gue cuma mau bilang, feeling gue tentang trip ini agak campur aduk. Excited tapi ada rasa nggak tenang juga."

"Itu normal kok, Gre. Namanya juga pertama kali pendakian ekstrem," jawab Firman sambil berjalan menuju parkiran. "Yang penting kita siapkan sebaik mungkin dan percaya sama profesional yang bakal memandu kita."

Di rumah, Margareta kembali membuka laptopnya dan melanjutkan riset tentang pemandu Pak Wayan yang akan menemani mereka.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Petaka Di Gunung Rinjani   bab 117

    Cahaya putih menyilaukan mata Firman saat kesadarannya perlahan kembali. Bunyi bip monoton dari monitor jantung berdentum di telinganya, bercampur dengan suara mesin ventilator yang bernapas untuknya.Kelopak matanya terasa berat seperti timah. Dia mencoba membuka, tapi cahaya terlalu terang, terlalu menyakitkan."Firman? Sayang?"Suara ibunya. Bergetar. Penuh air mata.Firman memaksa matanya terbuka, penglihatan kabur perlahan fokus. Wajah ibunya muncul di atas, mata merah dan bengkak, pipi basah oleh air mata."Syukurlah... syukurlah Tuhan..."Ibunya mencengkeram tangan Firman, mencium jari-jarinya berulang kali."Kamu kembali. Kamu kembali pada kami."Ayahnya berdiri di sisi lain ranjang, tangan menutupi wajah, bahu bergetar dari isakan yang ditahan.Firman mencoba berbicara, tapi tenggorokannya kering seperti amplas. Hanya bunyi parau yang keluar.Ibunya segera mengambil gelas air, memasukkan sedotan ke mulut Firman."Pelan. Minum pelan."Air dingin membasahi tenggorokan. Firman b

  • Petaka Di Gunung Rinjani   Bab 116

    Firman terjatuh untuk ketiga kalinya dalam satu jam. Lututnya menghantam tanah berbatu, tapi dia hampir tidak merasakan sakit lagi. Seluruh tubuhnya sudah mati rasa."Bangun. Kita hampir sampai."Pak Darto berdiri di sampingnya, tangan masih terikat longgar di depan. Wajah pria tua itu juga pucat, tapi dia masih bisa berdiri."Aku... tidak bisa."Suara Firman keluar serak, bibir pecah-pecah dari dehidrasi. Penglihatan kabur, berkunang-kunang hitam menari di tepi kesadaran."Kamu harus bisa. Kita sudah sejauh ini."Pak Darto mencoba menarik Firman berdiri, tapi bocah itu terlalu berat. Tubuhnya lemas seperti boneka kain."Tinggalkan aku. Lanjut sendiri.""Tidak. Kamu yang bilang aku harus turun hidup. Sekarang giliranmu."Pak Darto berlutut di samping Firman, mengangkat kepala bocah itu dengan tangan terikat."Minum. Sedikit saja."Dia mengangkat botol air terakhir ke bibir Firman. Air hangat dan rasanya seperti logam, tapi Firman menelan dengan rakus."Pelan. Jangan terlalu banyak sek

  • Petaka Di Gunung Rinjani   Bab 115

    Firman mengencangkan simpul terakhir pada tali yang mengikat pergelangan tangan Pak Darto. Pria tua itu tidak melawan, hanya duduk diam dengan kepala tertunduk."Sudah selesai."Pak Darto mengangkat kepala, menatap Firman dengan mata yang sudah tidak menunjukkan perlawanan lagi."Kamu lebih kuat dari aku, Firman.""Tidak. Kamu yang lebih kuat secara fisik.""Bukan itu maksudku."Pak Darto menggerakkan dagunya ke arah dada Firman."Di sini. Kamu lebih kuat di sini."Firman tidak menjawab. Dia berdiri, menarik tali untuk memastikan Pak Darto mengikuti saat dia mulai berjalan."Kita harus turun sekarang. Sebelum kondisi kita semakin buruk."Pak Darto bangkit dengan gerakan lambat, tubuhnya goyah. Darah masih merembes dari luka di lengan dan bahu, membasahi kain yang sudah kotor."Berapa jauh ke basecamp?""Tiga hari. Mungkin empat dengan kondisi kita."Firman melirik tubuh Pak Darto yang penuh luka."Kalau kita bertahan selama itu."Mereka mulai turun dari puncak. Jalur berbatu dan curam

  • Petaka Di Gunung Rinjani   Bab 114

    Pak Darto melangkah mundur, tumitnya melewati tepi jurang. Kerikil jatuh berguling ke kedalaman, suaranya hilang tertelan angin."Ini jalan terbaik, Firman. Biarkan aku pergi."Firman berdiri dua meter darinya, napas terengah, tubuh penuh luka. Seluruh tubuhnya berteriak untuk membiarkan pria tua itu jatuh. Membiarkan gravitasi melakukan apa yang tangannya tidak mau lakukan.Tapi kakinya bergerak maju."Jangan.""Kenapa kamu peduli?"Pak Darto condong lebih jauh ke belakang, setengah tubuhnya sudah melayang di udara."Biarkan aku mati seperti yang kuinginkan.""Tidak."Firman melompat maju, tangannya meraih lengan Pak Darto. Jari-jarinya mencengkeram kain baju yang robek, menarik dengan kekuatan yang tidak dia tahu masih dia miliki."Apa yang kamu lakukan?"Pak Darto mencoba melepaskan diri, tapi Firman memegang erat. Mereka bergulat di tepi jurang, keduanya hampir jatuh."Lepaskan aku!""Tidak!"Firman menarik dengan seluruh tenaga, kaki mencari pijakan di tanah berbatu. Tubuhnya con

  • Petaka Di Gunung Rinjani   Bab 113

    Pak Darto berdiri goyah di tepi jurang, punggungnya menghadap kedalaman ratusan meter. Darah mengalir dari luka di lengan, bahu, dan kaki. Wajahnya pucat, napas tersengal.Firman berdiri tiga meter di depannya, tubuh penuh luka tapi masih bisa bergerak. Masih punya kekuatan. Masih bisa mendorong.Satu dorongan. Hanya itu yang dibutuhkan."Lakukan, Firman."Pak Darto tidak mencoba kabur. Tidak bersiap melawan. Dia hanya berdiri di sana, menunggu."Kamu menang. Kamu lebih kuat. Akhiri ini."Firman menatap pria tua itu, jari-jarinya mengepal dan mengendur berulang kali. Seluruh tubuhnya berteriak untuk maju. Untuk mendorong. Untuk mengakhiri monster ini.Deri mati karena dia. Ucok mati karena dia. Margareta mati karena dia. Diana mati karena dia.Empat teman. Empat nyawa yang tidak akan pernah kembali."Mereka tidak pantas mati," bisik Firman, suaranya bergetar."Tidak. Mereka tidak pantas.""Kamu bunuh mereka dengan sadis. Dengan sengaja. Dengan perencanaan.""Ya."Pak Darto tidak menya

  • Petaka Di Gunung Rinjani   Bab 112

    Firman mengangkat batu besar di atas kepalanya, siap menghantamkan ke kepala Pak Darto yang terjatuh di tanah. Napasnya terengah, seluruh tubuh gemetar dari kelelahan dan amarah."Lakukan."Suara Pak Darto membuat Firman terhenti. Bukan karena takut. Tapi karena ada sesuatu yang berbeda dalam nada suaranya.Pak Darto tidak melawan lagi. Dia hanya berbaring di tanah, menatap langit pagi dengan mata kosong."Lakukan, Firman. Bunuh aku."Firman masih mengangkat batu, lengannya gemetar."Apa?""Kamu dengar aku."Pak Darto menutup mata, napas keluar perlahan."Aku lelah. Sangat lelah."Firman menurunkan batu sedikit, bingung dengan perubahan mendadak ini."Ini jebakan?""Bukan jebakan."Pak Darto membuka mata, menatap Firman dengan tatapan yang membuat bocah itu mundur selangkah."Dua puluh tahun, Firman. Dua puluh tahun aku membawa beban ini."Dia berusaha duduk, tubuhnya bergetar dari luka-luka. Darah masih mengalir dari berbagai tempat, membuat genangan merah di bawahnya."Kamu pikir ak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status