Bagian 25
Aku terus dirangkul Papa dengan cengkeraman tangan yang erat menunju pintu keluar nomor tiga lantai dua yang terhubung ke garbarata. Seorang penjaga wanita berhijab meminta tiket kami dan dia mengambil bagian yang harus disobek.
“Jalan lebih cepat ya, Pak. Pesawat sudah menunggu,” katanya dengan terburu-buru.
Papa pun semakin cepat melangkah dengan cengkeraman yang kuat ke lenganku. Tak ada orang lagi yang menuju pesawat, sebab kami adalah penumpang terakhir.
“Papa! Lepaskan aku!” Aku masih berusaha untuk meringsek keluar dari cengkeramannya. Namun, tangan Papa begitu kuat untuk menahanku. Tubuhku terkesan diseret olehnya, sampai-sampai alas kaki yang kukenak
Bagian 26 Dalam hati aku terus berdoa pada Tuhan. Ya Tuhan, aku ingin bisa membuka mata. Tolong aku. Aku ingin melihat, di mana sekarang keberadaanku. Ajaib, seketika mataku mulai ringan untuk dibuka. Perlahan-lahan, kelopakku mulai terbuka sedikit demi sedikit. Silau cahaya lampu yang terang benderang, membuatku buru-buru menutup mata lagi. Terang sekali, pikirku. Sampai pening kala aku sesaat melihatnya. “Mas Irfan! Dia bangun! Anak ini tadi membuka matanya!” Suara perempuan itu berseru kencang. Nyaris membuat telingaku sakit sebab teriakannya yang sangat dekat tersebut. Suara langkah kaki yang seperti orang berlari, terdengar semakin mendekat ke sini. Terasa sensasi seperti ran
Bagian 27PoV Haris Masih sangat melekat di kepala bagaimana kenangan masa kecilku di sebuah panti asuhan yang merawat besalan hingga puluhan anak-anak tak berdosa yang telah ditinggalkan oleh orangtuanya. Ada yang tahu siapa nama kedua orangtuanya, ada pula yang tidak. Aku masuk ke golongan nomor dua. Sama sekali tidak tahu siapa kedua orangtua yang telah membuatku hadir ke dunia ini. Bu Salwa, penjaga panti yang masih kuingat namanya sampai sekarang. Dia yang paling baik. Ramah dan tidak pernah marah. Senakal apa pun kami, dia paling-paling hanya memasang wajah masam saja. Selebihnya diam. Dari beliau, aku tahu asal usulku. Aku masih sangat ingat. Waktu itu, di beranda panti yang dipenuhi anak-anak bermain, aku tengah di pangku olehnya. Usiaku masih empat
Bagian 28PoV Haris (Flashback masa lalu) Hari-hari kujalani di rumah besar itu dengan perasaan yang tak lagi segembira dan sebangga dulu. Menjadi anak tunggal dari orang kaya raya, tak lantas membuatku jadi anak yang bahagia. Sepulang sekolah, aku harus kucing-kucingan dengan Mama. Agar bisa segera masuk ke kamarku dan mengurung diri di sana. Namun, selalu saja ada cara bagi Mama untuk membuatku keluar kamar. Setelah keluar, apa yang akan dia lakukan? Semakin aku besar, semakin aneh juga tingkahnya. Banyak hal-hal tak senonoh yang belakangan dia lakukan dan tunjukkan kepadaku. Mulai dari menyuruhku berjaga di depan pintu kamarnya, sementara dia dan pasangan lesb**nnya bermain di dalam sana sekaligus mengeluarkan suara-suara yang semula sangat kubenci. Tak h
Bagian 29PoV HarisKedatangan Adik Baru Aku mulai terbiasa dengan hal-hal yang dulu kuanggap ganjil di rumah ini. Santai dan tak kujadikan beban pikiran. Masalah hal tabu itu, terus berlangsung sampai sekarang. Alih-alih stres dan depresi, aku jadi makin menikmati permainan yang disuguhkan secara cuma-cuma. Sudut pandangku pun makin berubah. Aku sama sekali tak menganggap penyimpangan yang dilakukan Mama dan Papa sebagai suatu masalah besar. Malah, kurasa kalau aku telah meniru mereka. Ternyata, menjadi keduanya itu sangat menyenangkan. Membuat pikiranku bahagia, ringan, dan tentu saja ketagihan. Papa pun semakin akrab denganku. Dia malah membelikan sebuah mobil saat aku naik kelas dua SMA. Sebuah mobil kijang berwarna silver yang sangat keren. Sampa
Bagian 30PoV Haris “Aku ke dalam dulu. Sebentar lagi ada kelas.” Bagas bergegas turun dari mobil. Cepat-cepat kutahan dia. “Gas, sebentar,” cegatku. Lelaki yang telah turun dan hendak menutup pintu tersebut menoleh. “Apa?” tanyanya lagi. “Sebentar,” jawabku sembari merogoh saku seragam putih SMA yang melekat di dadaku yang bidang. “Ambilah,” ucapku sembari menyodorkan selembar uang seratus ribu padanya. Lelaki itu diam. Menatap sesaat ke arah tanganku, lalu beralih lagi ke wajahku. “Apa ini?”
Bagian 31PoV Haris Sore itu Mama berhasil membawa bayi kecil yang kupanggil dengan nama ‘Fitri’. Jelas, Mama terlihat sangat bahagia, meski wanita itu nyatanya masih setengah ‘tinggi’. Dia tak hentinya memeluki bayi merah tersebut dan menicum-ciumi pipinya. Berbekal susu hangat dalam botol 60 mililiter yang tadi dibuatkan oleh Putri, Mama dengan percaya dirinya menimang-nimang bayi perempuan canti tersebut. Sesekali dia memasukan pentil dot berbentuk pipih ke dalam mulut si bayi. Namun, tampaknya Fitri masih kenyang dan menolak untuk disusui. “Dia lucu sekali, Ris! Wajahnya cantik. Aku suka.” Mama tak henti-hentinya memuji kecantikan bayi tersebut. Aku hanya bisa menyetir dengan fokus, sembari sesekali melirik ke arah ked
Bagian 32 “Tolong, Tante. Aku mohon.” Aku terus merajuk. Bayi Fitri pun kini menangis kencang. Kudekap dia lebih erat lagi. Menenangkannya, takut-takut anak itu menjadi biru seperti tadi. “Mari, sini Tante lihat bayinya,” kata Tante kepadaku. Wanita gemuk itu lalu menggendong Fitri dan membelai wajah bayi malang tersebut dengan ekspresi kasihan. “Kamu bawa popok untuk gantinya, Ris?” tanya wanita itu lagi. “Bawa, Te. Sebentar, aku ambil di mobil.” Aku langsung bergegas keluar halaman rumah Bagas dan membuka pintu mobilku yang terparkir di depan bahu jalan. Gemetar tanganku. Rasanya aku tak pernah sepanik ini. Takut langsung menjalar ke seluruh p
Bagian 33PoV Haris Kupacu mobil dengan kecepatan yang stabil. Tak terlalu kencang, tapi juga tak terlalu lambat. Dengan menggunakan tangan kiri, aku sesekali menahan tubuh mungil Fitri yang terbarin di jok penumpang tepat di sampingku. Dadaku tak berhentinya berdegup keras. Bagaimana tidak, ada seorang anak manusia yang masih sangat kecil di dalam sini. Tak ada orang lain selain diriku yang menjaganya. Sementara itu, aku juga harus fokus menyetir dan memperhatikan jalanan yang lumayan padat. Fitri sempat menangis kencang di perempatan lampu merah. Di situlah aku mulai bingung dan gugup. Aku menepuk-nepuk tubuhnya dengan tangan kiri, sementara itu lampu lalu lintas mulai hijau dan kendaraan di belakangku seakan tak sabar sampai membunyikan klakson keras-keras agar aku segera maju. Sabar, Haris. Begitu kuat cobaan hidupmu. Hadapi s