Bagian 29
PoV Haris
Kedatangan Adik Baru
Aku mulai terbiasa dengan hal-hal yang dulu kuanggap ganjil di rumah ini. Santai dan tak kujadikan beban pikiran. Masalah hal tabu itu, terus berlangsung sampai sekarang. Alih-alih stres dan depresi, aku jadi makin menikmati permainan yang disuguhkan secara cuma-cuma.
Sudut pandangku pun makin berubah. Aku sama sekali tak menganggap penyimpangan yang dilakukan Mama dan Papa sebagai suatu masalah besar. Malah, kurasa kalau aku telah meniru mereka. Ternyata, menjadi keduanya itu sangat menyenangkan. Membuat pikiranku bahagia, ringan, dan tentu saja ketagihan.
Papa pun semakin akrab denganku. Dia malah membelikan sebuah mobil saat aku naik kelas dua SMA. Sebuah mobil kijang berwarna silver yang sangat keren. Sampa
Bagian 30PoV Haris “Aku ke dalam dulu. Sebentar lagi ada kelas.” Bagas bergegas turun dari mobil. Cepat-cepat kutahan dia. “Gas, sebentar,” cegatku. Lelaki yang telah turun dan hendak menutup pintu tersebut menoleh. “Apa?” tanyanya lagi. “Sebentar,” jawabku sembari merogoh saku seragam putih SMA yang melekat di dadaku yang bidang. “Ambilah,” ucapku sembari menyodorkan selembar uang seratus ribu padanya. Lelaki itu diam. Menatap sesaat ke arah tanganku, lalu beralih lagi ke wajahku. “Apa ini?”
Bagian 31PoV Haris Sore itu Mama berhasil membawa bayi kecil yang kupanggil dengan nama ‘Fitri’. Jelas, Mama terlihat sangat bahagia, meski wanita itu nyatanya masih setengah ‘tinggi’. Dia tak hentinya memeluki bayi merah tersebut dan menicum-ciumi pipinya. Berbekal susu hangat dalam botol 60 mililiter yang tadi dibuatkan oleh Putri, Mama dengan percaya dirinya menimang-nimang bayi perempuan canti tersebut. Sesekali dia memasukan pentil dot berbentuk pipih ke dalam mulut si bayi. Namun, tampaknya Fitri masih kenyang dan menolak untuk disusui. “Dia lucu sekali, Ris! Wajahnya cantik. Aku suka.” Mama tak henti-hentinya memuji kecantikan bayi tersebut. Aku hanya bisa menyetir dengan fokus, sembari sesekali melirik ke arah ked
Bagian 32 “Tolong, Tante. Aku mohon.” Aku terus merajuk. Bayi Fitri pun kini menangis kencang. Kudekap dia lebih erat lagi. Menenangkannya, takut-takut anak itu menjadi biru seperti tadi. “Mari, sini Tante lihat bayinya,” kata Tante kepadaku. Wanita gemuk itu lalu menggendong Fitri dan membelai wajah bayi malang tersebut dengan ekspresi kasihan. “Kamu bawa popok untuk gantinya, Ris?” tanya wanita itu lagi. “Bawa, Te. Sebentar, aku ambil di mobil.” Aku langsung bergegas keluar halaman rumah Bagas dan membuka pintu mobilku yang terparkir di depan bahu jalan. Gemetar tanganku. Rasanya aku tak pernah sepanik ini. Takut langsung menjalar ke seluruh p
Bagian 33PoV Haris Kupacu mobil dengan kecepatan yang stabil. Tak terlalu kencang, tapi juga tak terlalu lambat. Dengan menggunakan tangan kiri, aku sesekali menahan tubuh mungil Fitri yang terbarin di jok penumpang tepat di sampingku. Dadaku tak berhentinya berdegup keras. Bagaimana tidak, ada seorang anak manusia yang masih sangat kecil di dalam sini. Tak ada orang lain selain diriku yang menjaganya. Sementara itu, aku juga harus fokus menyetir dan memperhatikan jalanan yang lumayan padat. Fitri sempat menangis kencang di perempatan lampu merah. Di situlah aku mulai bingung dan gugup. Aku menepuk-nepuk tubuhnya dengan tangan kiri, sementara itu lampu lalu lintas mulai hijau dan kendaraan di belakangku seakan tak sabar sampai membunyikan klakson keras-keras agar aku segera maju. Sabar, Haris. Begitu kuat cobaan hidupmu. Hadapi s
Bagian 34PoV HarisTeka-Teki Kematian Amalia Aku seketika itu merasa manusia paling tol*l di muka bumi ini. Bagaimana bisa aku lengah sampai tak mengetahui bahwa Fitri telah masuk ke dalam jeratan Mama? Sesaat aku berpikir. Ya, bisnis telah melalaikanku. Uang yang Mama dan Papa gelontorkan untukku membangun bisnis tepat setelah kelulusanku dari universitas, nyata sudah membuatku terlena. Kusadari, waktuku kini tersita habis untuk mengembangkan bisnis keluarga yang semakin menggurita. Uang hasil penjualan video yang telah dikumpulkan oleh Papa, kini memang telah berhasil kami sulap menjadi kafe-kafe yang tersebar di beberapa daerah. Tak hanya kafe, usaha yang tengah naik daun seperti makanan atau minuman kekinian pun, ikut kami geluti meski setiap tahunnya akan tereliminasi ketika peminat mulai sepi. Namun, us
Bagian 352 in 1 (PoV Haris & Gita)PoV HarisTeka-Teki Kematian Amalia II Malam itu, Fitri sengaja kutahan di dalam kamar. Tak ada gedoran di depan pintu kamarku. Aman, pikirku. Mama dan Papa ternyata seakan tak peduli dengan kami berdua. Entah apa yang tengah mereka bahas di kamar selanjutnya. Aku enggan peduli. Barang-barang yang dikemasi itu entah apa maksudnya. Mau ke mana Mama malam-malam begini? Kabur? Namun, ke mana? Aku enggan peduli. Yang penting, Fitri sudah berada di sampingku saat ini. Gadis itu telah tertidur beberapa jam yang lalu. Lelah dia menangis. Menceritakan kronologi pelecehan yang kerap Mama lakukan beberapa bulan belakangan ini. F
PoV GitaBERADA DI NERAKA DUNIA Berjam-jam lamanya aku hanya bisa menangis dan berteriak. Tanpa makanan dan air. Bahkan, saat kebelet pipis pun, aku terpaksa harus menahannya sebab terkunci di kamar ini dari luar. Kejam! Kedua mertuaku benar-benar menjadikanku bagai hewan peliharaan yang dikurung di dalam kandang. Mereka benar-benar memperlakukanku secara tidak manusiawi, tanpa aku pernah tahu salahku di mana. Apa maksud mereka menyekapku begini? Apa untungnya bagi mereka? Bahkan aku sama sekali tak tahu tujuanku di bawa ke negara singa ini. Aku benar-benar menyesal telah menolak permintaan Bapak untuk menyuruh Arman menjemputku. Sesalku sangat besar sampai-sampai aku ingin mati saja s
Bagian 362 in 1PoV HarisTeka-Teki Kematian Amalia III Hari-hari berat kami lalu hanya berdua di sini. Astuti mendadak minta berhenti. Alasannya ingin fokus mengurus orangtua di kampung yang sudah sakit-sakitan. Aku tak bisa menahannya lebih lama lagi. Membiarkan Astuti pulang dengan menaiki bus, kurasa itu adalah solusi terbaik. Aku juga enggan dia mengetahui tentang perihal apa yang sebenarnya tengah terjadi di dalam rumah ini. Hampir sebulan Papa dan Mama berada di Singapura. Tanpa sebuah kabar apa pun. Terakhir dia hanya meneleponku pada pagi di mana Fitri menjadi histeris dan mengamuk sebab mengetahui mamanya pergi tanpa pamit. Di sini, aku berusaha menenangkan Fitri yang kadang kala menangis meraung minta dibawa ke Singapura untuk berjumpa dengan Mama.&n