Sembari mendekap erat perasaan merana, aku berusaha untuk tetap bisa berbaring dengan nyaman di atas kasur pengantin kami yang luas. Pikiranku benar-benar tak bisa lepas dari membayangkan Mas Haris dan Fitri yang entah sedang berbuat apa di luar sana. Inginku tetap berpikiran positif, tetapi naluriku menolak. Bagaimana mungkin aku bisa tenang, sementara sikap adik iparku seperti penjajah yang menguasai penuh suamiku.
Aku yang tadinya hanya memakai stelan piyama lengan panjang warna lavender, buru-buru menukar pakaian dengan lingerie hitam yang tadi kubeli di mal. Biar saja belum dicuci. Tak lupa kusemprotkan parfum berwangi apricot yang manis ke seluruh penjuru tubuh. Semoga ini bisa membuat Mas Haris luluh dan ujung-ujungnya mau terbuka tentang hubungannya dengan Fitri.
Menunggu kehadiran Mas Haris, aku hanya bisa memainkan ponsel dan menatap jam yang tertera di layar. Aku mulai bosan. Sudah pukul 22.00 belum juga kembali dua beradik itu. Ingin sekali kutelepon. Namun … aku benar-benar tak siap untuk mendengarkan caci maki dari mulut Fitri yang tak terdidik tersebut.
Tubuhku yang tengah berbaring di atas ranjang, tiba-tiba tersentak kaget sebab kenop pintu yang bergerak dari luar. Aku buru-buru bangun dari rebah dan menyambut kedatangan si pembuka pintu. Mas Haris. Ya, dia muncul dengan sungging senyum di bibir tebalnya.
“Gita, kamu lama menunggu, ya?” kata lelaki itu sembari menutup daun pintu.
“Iya.” Tak kujawab lelaki itu dengan panjang lebar. Mulutku langsung mengatup. Kupasang wajah sok cuek dan kembali lagi ke atas ranjang dengan gerakan malas.
“Maaf, ya. Tadi Gita mengajakku makan bakmie langganan kami di perempatan RS Bhayangkara. Kami ngobrol banyak terus keliling-keliling dulu.” Mas Haris yang belum berganti pakaian itu, langsung naik ke atas ranjang. Duduk berselonjor kaki di sampingku.
“Aku kecewa, Mas,” jawabku dengan nada tenang. Tak kupandangi sosoknya. Mataku lurus ke depan seperti orang yang tengah menerawang.
“Iya, aku tahu.” Gampang sekali bibir Mas Haris berkata. Dia kini bahkan mendaratkan tangannya di atas punggung tanganku, kemudian mengecup dengan mesra. Dia pikir aku akan memaafkan mereka dengan mudah?
“Fitri masih kecil, Git. Dia belum mengerti sepenuhnya.”
Aku membelalakkan mata. “Apa? Masih kecil? Sebentar lagi dia sudah naik kelas dua belas, Mas!”
“Namun pikirannya belum sematang itu. Kamu harus paham.” Tatapan Mas Haris yang penuh pengibaan semakin membuatku geram. Kapan sih, dia mau berhenti membela adiknya?
Saat genting seperti ini, pintu kamar kami malah diketuk dari luar. Aku memaki di dalam hati. Siapa lagi kalau bukan si Fitri! Apa dia belum puas berduaan berjam-jam dengan suamiku?
“Nah, itu! Kenapa lagi dia? Apa mau tidur di sini denganmu?” Aku geram. Sudah di ujung tanduk emosiku.
Mata Mas Haris langsung mebeliak. Wajahnya terlihat marah. Kata-kataku salah?
“Jangan lancang bicaramu, Gita! Kamu itu orang baru di rumah ini!” Bersamaan dengan betakan Mas Haris, pintu semakin kencang diketuk.
Suamiku kemudian bangkit dari tempat tidur dengan gerakan yang kasar. Ranjang ini sampai bergejolak bagai ombak besar di pantai. Cuma dia dan adiknya yang boleh kesal di rumah ini. Aku tidak boleh. Mentang-mentang aku ini cuma orang baru yang kebetulan dia beri nafkah!
“Ada apa, Sayang?” Suara Mas Haris yang sangat lembut dan berbanding tebalik dengan kata-katanya buatku barusan, sungguh membuatku sempurna menelan liur. Sakit betul hatiku. Ingin rasanya aku turun dari ranjang dan memukul kepala dua beradik itu. Namun, sepertinya aku harus bersabar dan tak boleh gegabah dalam menuangkan emosi di rumah ini.
“Mas, aku takut. Tadi di jendela kaya ada yang ngetuk-ngetuk.” Tubuh Fitri langsung memeluk suamiku dengan erat. Gadis berambut panjang nan lebat yang digerai sampai sepunggung itu tampak benar-benar manja dan menjijikan bagiku. Suamiku yang sangat perhatian pada adik semata wayangnya, langsung menarik gadis itu masuk dan menutup pintu kamar kami.
“Lho, ngapain kamu Fit?” Aku langsung emosi. Ini sudah di luar batasan! Apa dia mau menumpang tidur?
“Kamarku menyeramkan. Sudah beberapa kali kalau malam, ada yang ngetuk jendela.” Wajah Fitri terlihat pucat. Napasnya memburu naik turun. Aku tahu dia pasti sedang berakting. Si*l anak ini! Tak habis dia mencari cara untuk menarik perhatian suamiku.
“Tenang, Sayang. Kamu tidur di sini saja.”
Aku menelan liur. Apa? Mas Haris apakah sudah sint*ng otaknya?
“Oh, kalau begitu kamu tidur di luar, Mas!” bentakku sembari menunjuk ke arahnya.
Jakun suamiku terlihat naik turun seperti habis menelan liur. Rangkulan tangannya yang semula melekat di pundak Fitri yang tingginya hanya sejengkal di bawah pundak Mas Haris tersebut langsung dia turunkan.
“Apa nggak tidur bertiga aja?” tanya Fitri sembari terus mepet ke tubuh suamiku.
“Tidak!” Aku menolak dengan keras. Turun langsung aku dari ranjang. Berdiri di hadapan dua beradik yang penuh drama dan lama-lama bikin muak.
“Lho, kenapa? Dulu, aku biasa kok, tidur sama Maas Haris sebelum kalian menikah. Emangnya salah, ya?” Wajah Fitri makin membuatku sebal. Apa otak anak ini sudah tercecer di jalan?
“Ya, salah! Kamu itu sudah besar, Fit! Mana boleh tidur dengan abangmu meski kalian sedarah. Kamu paham, tidak?” Aku berkacak pinggang di hadapan keduanya. Tak kupedulikan lagi tampilanku yang sudah seperti perempuan malam yang hendak memberikan service pada tamunya. Salah siapa si Fitri lancang masuk ke kamar kami?
“Kamu tidur sama Mbak Gita saja, ya? Biar Mas di luar.” Mas Haris mengusap-usap kepala adiknya. Gadis berwajah imut dengan hidung mancung dan iris hitam yang besar tersebut tampak sangat kecewa.
“Yah,” keluhnya sembari mencebik.
“Kamu terlalu banyak mengatur kami, Mbak Gita! Seharusnya kemarin aku tidak usah setuju saja Mas Haris menikah dengan cewek tua cerewet kaya kamu!” Ucapan Fitri benar-benar seperti racun yang membuat darahku serasa berhenti mengalir. Apa dia bilang? Aku ini tua dan cerewet?
“Jaga bicaramu, Fitri!” Aku sudah maju dan hendak menamparnya. Namun, tangan kekar Mas Haris menangkapku dan mengempaskannya dengan keras di udara.
“Kamu yang jaga sikap, Gita!” Mas Haris tampak marah dan menunjuk wajahku dengan ekspresi murka.
Aku terkesiap. Benar-benar tak ada harga dirinya aku di rumah ini.
“Fitri, kamu tidur di kamar ini. Biar Gita puas. Biar pikiran kotornya tentang kita segera hilang!” Mas Haris kemudian ke luar dari kamar. Pintu dibantingnya kencang sampai aku kaget luar biasa.
“Kamu itu kenapa sih, Mbak? Cemburu ya, sama aku?” Fitri menunjuk mukaku dengan sangat lancang. Ucapannya setali tiga uang dengan ekspresi wajah yang dia buat. Sama-sama menusuk.
“Kamu mungkin yang cemburu padaku!” Aku tak mau kalah. Biar saja kami bertengkar malam ini. Biar puas!
“Aku cemburu padamu? Hah, tidak salah?” Fitri melengos. Ini benar-benar penghinaan buatku. “Mbak Gita yang cantik, seharusnya kamu itu bersyukur dinikahi oleh kakakku yang kaya raya dan baik hati. Kenapa kamu malah ngelunjak, Mbak? Masalah aku dekat sekali sama kakakku sendiri, itu kan hak kami. Jangan sampai aku menghasut Mas Haris untuk menceraikanmu, ya!”
Hatiku panas. Benar-benar panas. Sakit sekali dadaku dibuat ucapannya itu. Andai aku ini tak ingat dosa, inginku kuludahi saja wajahnya yang menyebalkan tersebut.
“Oh, ya, lingeriemu bagus juga. Namun, sayangnya, Mas Haris tidak suka warna hitam!” Fitri tersenyum mengejek ke arahku. Membuatku sempurna terhenyak dan merasa terbanting luar biasa. Anak kecil itu lalu tertawa-tawa sembari melenggang kangkung ke luar dari kamarku. Aku yang masih bengong sebab syok bukan kepalang, hanya bisa berdiri terpaku sembari berusaha memainkan otak. Sebenarnya, Mas Haris dan Fitri ini benar-benar adik kakak kandung, atau ….
(Bersambung)
Bagian 56ENDINGSetahun Kemudian …. Atas saran dari Arman, akhirnya aku memang betul-betul mendapatkan advokat yang profesional. Bantuan dari tim pengacara Alfian dan rekan sangat membantuku selama proses persidangan kasus pembunuhan serta penculikan yang telah melibatkan Irfan CS. Sejak awal proses persidangan bahkan sampai ketuk palu, aku merasa begitu sangat beruntung sebab telah mengenal Alfian dan rekan. Bukan apa-apa, berkat merekalah, Irfan dan Amalia dapat dijerat hukuman penjara seumur hidup. Begitu pun dengan ketiga antek-antek mereka yang bernama Hasan, Bandi, dan Herlan. Ketiganya juga mendapat kado yang setali tiga uang. Kuharap kelimanya tak bakal mendapatkan remisi sedikit pun dan memang mati membusuk di atas lantai sel yang dingin. Dalam persidangan tuntutan harta milik mendiang Mas Haris, aku pun
Bagian 55PoV GitaKejelasan Semua Dengan mata kepalaku sendiri, aku melihat adegan demi adegan mengerikan yang dilakukan oleh tiga pembunuh bayaran tersebut. Luar biasa tak kuduga bahwa dua buah rumah di samping kiri dan kanan dari rumah milik orangtua angkat Mas Haris ternyata telah disewa selama beberapa bulan oleh Irfan. Kedua rumah itu secara diam-diam ditempati oleh sang pembunuh bayaran untuk mengintai kedatangan kami bertiga selama berbulan-bulan. Dan naasnya adalah siang Minggu itulah kami bertiga sekaligus datang ke rumah Irfan dan ketiga orang penjahat tersebut benar-benar telah menggunakan momentumnya untuk membunuh dua orang yang ternyata sudah sangat lama ingin dilenyapkan. Aku makin tercengan tatkala reka ulang adegan dilakukan di rumah yang pernah kudiami bersama Mas Haris dan Fitri. Dengan teganya, penjahat
Bagian 54PoV Author Hasan, Bandi, dan Herlan akhirnya berangkat juga ke rumah Haris dengan mengendarai mobil milik lelaki yang mereka bantai tersebut. Hasan yang mengendara. Sementara Herlan duduk di samping kemudi dan Bandi bertugas menjaga Haris yang masih bernapas di kursi penumpang. Dalam kondisi babak belur dan hampir meninggal, Haris nyatanya masih bertahan hingga mereka berempat tiba di depan kediamannya bersama sang adik sekaligus istri. Siang itu kondisi perumahan sepi. Tak tampak tetangga yang hilir mudik atau sekadar keluar rumah. Padahal, saat ini adalah hari Minggu. Mungkin orang-orang tengah menikmati liburan atau memilih berdiam diri di rumah sebab cuaca sedang panas-panasnya. “Cari kunci rumah ini!” perintah Hasan kepada Bandi.
Bagian 53PoV Author Usai memukuli Haris sampai sekarat, Hasan si tukang jagal berambut gondrong yang telah dibayar puluhan juta oleh Irfan tersebut segera merogoh saku celana milik anak angkat sang majikan. “Mau ngapain kamu?” Bandi, sang rekan sesama penjagal yang telah tinggal di rumah ini selama tiga bulan lamanya, bertanya dengan wajah yang sangat penasaran. “Berisik!” bentak Hasan dengan perasaan yang kurang senang. Tiga sekawan yang memutuskan untuk berkomplotan menjadi pembunuh bayaran itu memang baru dua kali mendapatkan orderan. Jadi, wajarlah sikapnya memang agak-agak kurang profesional begini. Modal nekat dan pengalaman menjambret serta membegal, tiga orang yang sama-sama pernah keluar masuk penjara itu sebenarnya bukan pe
Bagian 52PoV HarisHari Kematianku Gita tolol! Kesal benar aku dengannya sejak tadi malam. Penuh drama sekali perempuan itu. Membuat kepalaku berdenyut sebab pertengkarannya dengan Fitri. Ya, sejak kami menikah, Fitri memang pernah mengatakan bahwa dirinya sangat tak terima. Aku masih ingat benar ketika adik angkatku itu marah besar saat diberi tahu bahwa aku telah memilih Gita untuk menjadikannya istri. “Mas, kamu bohong! Bukankah kamu bilang kalau kamu akan menikahiku saat aku berusia 25 tahun? Kenapa kamu malah akan menikah dengan perawan tua seperti dia?” Sore saat aku meminta izin kepada Fitri untuk menikah pada tiga hari sebelum hari H, adikku tersebut langsung marah besar. Mukanya kecewa dan tampak begitu murka. Aku yang sebenarnya sangat sayang kepada Fitri, tapi tak pernah bisa bernafsu apalagi punya n
Bagian51PoV GitaReka Ulang Adegan Selesai melapor ke pihak kepolisian tanah air, aku akhirnya diperbolehkan untuk pulang dan beristirahat sejenak, sebelum besok diharuskan untuk menghadiri reka ulang adegan kembali. Hatiku yang semula sudah mulai tenang, kini gonjang ganjing lagi. Seharusnya, hari ini kami bisa pulang ke rumah orangtuaku bersama Jay. Namun, ternyata keadaan tak memungkinkan. Kami semua akhirnya memutuskan untuk menginap di sebuah homestay berupa sebuah rumah dengan pemandangan indah dan kolam renang bak vila-vila mahal. homestay tersebut memiliki total lima kamar. Yang mentraktir tentu saja Gity dan Arman. “Jay I’m so sorry. Sepertinya kita akan beberapa hari di sini. Kamu bisa bersabar, kan?” tanyaku pelan-pelan dengan berbahasa Indonesia, agar membiasakan pemuda tersebut.