Aku yang telanjur merasa terbakar api kemarahan, langsung ke luar dari kamar dan menyusul Fitri yang secepat kilat masuk ke kamarnya. Kegeramanku makin bertambah-tambah kala mengetahui bahwa Mas Haris sudah berada di dalam sana, kemudian barulah disusul oleh sang adik. Makin merajalela keduanya!
Kuketuk daun pintu kamar Fitri yang hanya bersebelahan saja dengan kamar milik kami. Kencang sekali sampai tanganku terasa sakit. Kalau memang harus bertengkar, maka malam ini baiknya bertengkar saja habis-habisan.
“Kamu ini kenapa sih, Git?” Mas Haris muncul dari balik daun pintu. Lelaki itu lalu ke luar dan menutup pintu kamar sang adik kembali. Terdengar dari dalam teriakan Fitri yang mencaci makiku dengan bahasa kotor yang tak sepatutnya dikeluarkan oleh seorang adik kepada iparnya.
“Jadi, kamu lebih memilih kelonan dengan adikmu ketimbang aku, Mas?” Sudah cukup muak diriku. Sampai bahasa murahan seperti tadi pun kulontarkan kepadanya.
Mas Haris terlihat geram. Dia menarik rambut lurus lebat pendeknya dengan kedua tangan kemudian mengembuskan napas dengan keras. “Maumu apa, Gita!” bentaknya dengan sangat kasar.
“Baiknya kita berpisah saja, Mas. Percuma aku di rumah ini kalau tidak kamu anggap! Terus saja kamu manjakan adikmu sampai dia lancang kepadaku!” Kutunjuk wajah Mas Haris dengan dada yang semakin panas. Mata lelaki itu seketika membeliak. Perlahan mimiknya berubah. Dari sangar, menjadi seperti orang yang kebingungan.
“Gita, jangan asal menyebut pisah. Aku tidak suka!”
“Aku juga tidak suka pada kelakuan kalian, Mas!” Aku menangis, tetapi tetap mengeluarkan nada yang tinggi saat berbicara. Jangan pikir aku ini lemah sebab hanya bertindak sebagai seorang istri yang tak bekerja dan selama tiga bulan ini cuma ‘numpang’ makan kepadanya
“Oke. Sudah, hentikan tangismu.” Suara Mas Haris terdengar melunak. Lelaki itu lalu meraih tubuhku dan mendekapnya erat-erat.
Semakin jadi tangisanku. Kupukul-pukul dada milik Mas Haris yang memiliki kulit dan otot yang tebal. Tangan besar pria itu lalu mengusap ubun-ubunku dengan lembut. Membiarkan aku terus menumpahkan kekesalan dalam pelukannya.
“Maafkan aku, Gita. Maaf.” Suara Mas Haris lirih saat mengucapkan kalimat barusan.
Aku yang bagai diterjang amuk badai, seketika tenang dan tak bisa melanjutkan marah. Bagiku, kata maaf dari Mas Haris adalah sesuatu yang begitu kutunggu-tunggu. Ucapan itulah yang pada akhirnya bisa membuatkan setidaknya ringan. Namun, kalau dipikir-pikir, aku tak semudah itu kalau harus memaafkan Fitri. Bagiku anak itu harus diberi pelajaran suatu hari nanti.
“Mas, tolong jangan melakukan hal-hal yang tidak elok di pandang. Tolong, Mas,” ucapku dengan suara yang parau.
“Iya, iya,” balas Mas Haris dengan intonasi yang lembut. Aku semakin tersentuh. Rupa-rupanya suamiku masih mencintaiku. Buktinya dia mau mengalah meski adiknya sedari tadi sibuk mencaci maki dengan suara yang keras dari dalam kamar sana.
“Sekarang, berbaikan dengan Fitri, ya. Aku tidak mau kalau kita satu rumah tapi bertengkar dan diam-diaman,” tambah Mas Haris sembari melepaskan pelukku.
Kali ini egoku mulai turun. Aku mengangguk sembari mengusap air mata. Kuikuti langkah Mas Haris masuk ke kamar Fitri yang tampak berantakan dengan barang-barang yang dihamburkan ke lantai. Anak itu baru saja mengamuk. Terlihat Fitri sedang meringkuk di sudut ranjang sembari menangis sesegukan. Drama, pikirku.
“Fit, maafin aku,” ujarku sembari naik ke atas ranjangnya. Kuulurkan tangan pada gadis yang memeluk erat dua pahanya.
“Nggak mau!” bentaknya kepadaku dengan teriakan yang nyaring.
“Sayang, maafin Mbak Gita. Nggak boleh gitu,” timpal Mas Haris yang kini berdiri di samping ranjang dekat aku duduk.
“Mas selalu saja kamu bela istrimu!” Fitri mengangkat wajahnya. Anak itu menunjuk suamiku dengan muka yang merah padam sekaligu sembab berurai air mata.
“Bukan begitu. Mas selalu belain kamu juga, kok. Buktinya tadi Mas sudah samperin kamu di kamar. Jangan marah ya, Fit.” Suara Mas Haris lembut sekali. Lelaki itu lalu duduk di tepi ranjang, ikut kami berdua. Untung saja ranjang ini kokoh sehingga tak ambruk saat dinaiki tiga orang dewasa sekaligus.
“Sudah jangan menangis lagi. Mas sayang banget sama kamu. Kamu nggak boleh kaya gitu.” Jujur saja aku muak mendengarkan Mas Haris berkata-kata demikian.
“Baiklah.” Fitri menghapus air matanya. Menerima uluran tanganku dan menyalaminya sembari agak meremas tanganku. Si*lan, pikirku. Berani-beraninya dia.
“Hari Minggu aku mau seharian sama Mas Haris tapi. Nggak boleh diganggu dari pagi sampai sore. Kalau iya, aku akan ngamuk dan kabur dari rumah ini!” Syarat yang diajukan Fitri benar-benar membuatku tercengang sekaligus sesak napas. Apa gadis ini punya kelainan atau apa, benakku?
Sabar, Gita. Toh, hari yang dia inginkan belum terjadi. Masih ada waktu untuk menggagalkan keinginan picik si Fitri. Bisa saja kan kalau aku menaruh obat pencahar atau obat batuk yang bikin ngantuk ke minuman anak nakal ini? Ya, biar besok kuatur saja strategi apa yang bagus untuk membuatnya kalah.
“Iya. Silakan saja,” jawabku sembari menatap Fitri tajam.
Anak itu langsung menyeringai. Melepaskan tanganku dan berbaring di atas ranjangnya. “Pergi sana kalian. Aku sudah tidak takut di kamar sendirian.”
Freak, makiku dalam hati. Sakit jiwa anak ini! Bahkan coba lihat wajahnya. Dia bahkan terus tersenyum sembari menatap langit-langit.
“Mas tinggal ya, Sayang. Kamu mimpi indah, ya.” Mas Haris sempat-sempatnya mengusap-usap kening Fitri. Gadis itu tak bergeming dan terus menatap langit-langit sembari menyeringaikan senyuman yang aneh. Seketika bulu kudukku merinding dan cepat-cepat membuang muka, lalu turun dari ranjang besar miliknya.
Satu hal yang tiba-tiba berkelebat di kepala. Aku baru sadar, kalau ranjang Fitri terlalu besar untuk ditempati satu orang. Aku juga baru ngeh, kalau kamar ini didesign dengan kamar mandi dalam. Pikiranku langsung mengembara jauh. Hei, Gita, ke mana saja kamu! Bukankah kepindahan kalian yang dilakukan dua hari pasca menikah, yang ikut memasukkan barang-barang itu juga kamu? Seketika aku merasa sangat t*lol. Mengapa tak dari dulu aku menaruh curiga pada sepasang adik-kakak aneh ini? Ya Tuhan, semoga saja ini hanya pikiran-pikiran burukku.
“Ayo kita ke kamar, Gita,” ujar Mas Haris sembari menggamit lenganku. Aku mengangguk. Mengikuti langkah lebarnya untuk meninggalkan kamar berantakan milik Fitri si gadis freak.
Setelah sampai di kamar pun, pikiranku masih benar-benar tak tenang. Berbaringnya aku di atas ranjang, tak membuat otak dan hatiku benar-benar beristirahat. Masih saja aku sibuk menerka-nerka apa yang sebenarnya tengah terjadi di dalam rumah ini.
Mas Haris kulihat tengah membuka seluruh pakaiannya. Mengganti dengan piyama tidur berbahan satin warna silver yang diambil dari lemari pakaian. Pakaian kotor itu diletakkan begitu saja di atas lantai. Padahal aku sudah menyiapkan sebuah keranjang besar khusus untuk pakain yang habis dipakai.
Sebab risih, aku bangkit dari tidur dan memungut pakaian itu. Hap! Suamiku tiba-tiba sudah memelukku dari belakang. Erat sekali tangannya melingkar di perutku.
“Lain kali, kamu beli lingerie merah saja ya, Git. Aku nggak suka warna hitam, soalnya,” bisik Mas Haris dengan suara yang sangat lirih. Lelaki itu kemudian memberikan sebuah kecupan di pipi sambil terus mendekap tubuhku erat-erat dari belakang.
Seketika aku termangu. Terhenyak luar biasa. Ucapan Fitri tadi. Ya, persis dengan yang dikeluarkan oleh Mas Haris. Bahwa suamiku tidak menyukai warna hitam.
Yang membuatku semakin bergidik, lingerie merah. Bukankah itu lingerie yang dibelinya untuk Fitri? Bukankah dia bilang warna itu adalah warna kesukaan adiknya? Namun, mengapa dia menyuruhku untuk beli yang merah saja? Apakah jangan-jangan ….
(Bersambung)
Mas Haris lalu menarik tubuhku ke atas ranjang, lalu mengempaskannya begitu saja. Pakaian kotor yang tadinya kuhimpun untuk masuk ke keranjang kotor, terpaksa jatuh tergeletak di atas lantai lagi. “Gita, kamu itu cantik. Namun, sayang. Terkadang sering kehilangan kontrol,” bisik Mas Haris sembari mengempaskan dirinya di sampingku. Aku sudah tak ingin membahas lagi. Sebab, Mas Haris sudah terlanjur jauh menyentuh kelopak pada mekar bunga. Selayaknya seekor kumbang jantan yang terbang mencari nektar di pagi hari, sekarang dia telah menghinggap sempurna di atas tempat jajahannya. Selayaknya sekuntum mawar yang tak bisa berlari atau berteriak, aku pun pasrah begitu saja kala sang kumbang menghisap habis sari-sari madu yang kupunya. Hingga tetes terakhir si kumbang jantan tamak pada bagiannya, tak dibiarkan nektar itu tersisa bara
“Git … hape,” ceracau Mas Haris yang masih setengah sadar sembari tangan kirinya menggapai-gapai nakas. Kulepaskan pelukan dari tubuh Mas Haris. Tanganku yang gemetar merogoh bawah bantal dan meraih ponsel yang kusembunyikan tadi. Secepat mungkin aku membuka ponsel Mas Haris dengan kode tanggal ulang tahun adik kesayangannya tersebut, kemudian mengeluarkan penelusuran galeri. Segera kuberikan ponsel tersebut ke tangan Mas Haris yang masih menggapai nakas, sementara matanya masih tertutup rapat tersebut. Butuh usaha keras untuk menjulurkan badan dan tangan demi melewati tubuh besar Mas Haris, sekaligus tanpa menyentuhnya saat aku meletekkan ponsel tersebut kembali ke asalnya. “Itu hapemu di atas meja, Mas,” kataku dengan suara yang diparau-paraukan.&nbs
“F-fo-to, Mas ….” Tangan Mas Haris melepaskan cengkeramannya dengan agak kasar. Lelaki itu bangkit dan kembali duduk di sofa dengan bunyi napas yang memburu. Aku benar-benar sangat syok dan takut luar biasa. Duduk aku di sampingnya. Menangis sembari menutup wajah dengan kedua belah tangan. “Kamu terlalu lancang, Gita! Apa yang kamu takutkan?” Suara Mas Haris sangat dingin dan ketus. Hatiku mencelos demi mendengarnya. Ketahuan sudah kelakuanku tadi malam. Padahal aku telah sangat berhati-hati. Namun, kok dia bisa tahu kalau tadi malam membuka ponselnya? Dia kan terpejam dan mendengkur. Apa hanya pura-pura tidur dan sengaja membiarkanku sejenak melihat isi ponsel? “Maumu apa sekarang?” Tubuh Mas Haris meringsek dekat dengank
Sebelum beranjak ke dapur, aku masuk kamar terlebih dahulu. Menukar kimono tidur dengan sebuah kaus berwarna kuning dan celana joger warna abu-abu. Hanya sikat gigi dan cuci muka saja. Tak perlu mandi sebab aku akan bergumul dengan asap dan aroma bumbu masakan yang pastinya bakal lengket di rambut maupun tubuh. Ke luar kamar, aku buru-buru ke dapur tanpa melongok ke ruang tengah yang sebenarnya berada di seberang kamar kami tetapi disekat dengan tembok dan diberi celah tanpa daun pintu. Malas aku mengecek sedang apa Mas Haris di sana. Muak juga aku mencari tahu di mana keberadaan si Fitri yang tak terdengar sekadar embusan napasnya. Padahal anak itu kalau ada di rumah suara dia saja yang terdengar. Sampai di dapur, aku langsung membuka kulkas dan mengecek segala bahan makanan yang kubeli minggu lalu. Stok masih sangat berlimpah. Aku haru
“Mbak Gita kenapa?” “Kamu kenapa sih, Git!” Sebuah sentuhan di pundak membuatku membuka mata. Aku sontak kaget melihat sosok Fitri yang duduk sembari memeluk guling dengan selimut yang masih menutupi paha ke bawahnya. Kutoleh lagi sumber sentuhan tadi. Ada Mas Haris yang berdiri di belakangku. Jadi … tadi yang kulihat itu apa? Aku benar-benar syok dan speechless saat menyadari bahwa bayanganku tak seperti fakta yang tersuguh. Tadinya perasaanku telah hancur berkeping-keping dan siap untuk lari sejauh mungkin dari rumah. Namun, nyatanya aku salah besar. Tak ada sosok Mas Haris di dalam selimut itu. Ternyata hanya ada Fitri yang tengah memeluk guling sembari tertawa-tawa di bawah lindungan selimut tebalnya.“Kamu k
Aku betul-betul BAB dengan sangat lancar dan cenderung diare usai minum jus apel tersebut. Perutku langsung sakit, padahal minuman berpencahar itu baru kuteguk beberapa detik. Kacau! Semua jadi kacau akibat kebodohan dan kekurangtelitianku. Aku menyesal mengapa aku seceroboh dan set*lol ini. Sekarang aku menyadari, bahwa di rumah ini benar-benar tak aman. Aku tak bisa leluasa mengerjai mereka, sebab kedua beradik itu bagai cenayang yang tahu segalanya. Sekitar sepuluh menit aku di dalam toilet. Rasanya isi perutku terkuras. Aku yakin ini juga dikarenakan mentalku yang down duluan sewaktu di meja makan tadi. Huhft, bakal seperti apa lagi reaksi keduanya setelah aku keluar dari kamar mandi. Apakah Fitri akan mengejekku habis-habisan setelah ini? Entah. Ragu-ragu, aku melangkahkan kaki keluar dari bilik kakus menuju ruang makan. Ternyata Ma
“Pa, Papa! Tolong bukakan aku pintu. Aku mohon, Pa!” Kedua tanganku menggedor-gedor pintu dengan kencang. Aku tak peduli lagi dengan ribut suara yang ditimbulkan. Hari ini aku hanya ingin mendengarkan cerita dan penjelasan. Itu saja. Sebab kesempatan yang kumiliki untuk datang ke sini sendirian tidaklah banyak. “Aku hanya ingin tahu tentang Mas Haris dan Fitri. Itu saja. Aku mohon, bukakan pintu untukku. Setelah itu aku akan pergi!” Aku tak ingin berputus asa. Terus kuketuk daun pintu lebar yang terbuat dari kayu tebal berpelitur tersebut. Memang, tak ada jawaban. Sunyi senyap. Namun, bukan berarti aku harus menyerah sampai di sini saja. “Papa, aku mohon, Pa.” Tanganku bahkan sampai ngilu. Kutekan-tekan bel yang tertempel di dinding secara berulang-ulang. Bahkan dari sini aku mampu mendengarkan suarany
“Gita, lho, kok ke rumah Papa nggak bilang-bilang?” Mas Haris bertanya dengan wajah yang mengumbar senyum. Dia semakin mengeratkan rangkulan tangannya ke tubuh mungil sang adik yang kini menatapku dengan wajah tak bersahabat. Aku langsung berdiri dengan tungkai yang gemetar. Bingung harus menunjukkan ekspresi apa. Bagaimana bisa dia menyusul ke sini? Apakah … di mobilku dipasanginya GPS? Bulu kuduk ini semakin meremang. “I-iya,” jawabku dengan terbata dan keringat dingin yang tiba-tiba membasahi telapak. Mereka berdua semakin dekat denganku. Saat Mas Haris tiba di sampingku dan melepaskan Fitri dari rangkulan, aku benar-benar takut luar biasa. Ya Tuhan, apa yang akan d