Share

3

Kusejajari langkah Mas Haris yang terburu-buru. Kakinya panjang sehingga langkah yang dihasilkan pri itu sangat lebar dan agak sulit kuimbangi. Namun, aku tak mau menyerah. Kugamit tangannya erat-erat dan akhirnya lelaki itu menyerah.

            “Pokoknya aku ikut,” kataku dengan keras kepala.

            Mas Haris terdengar menghela napas berat. Lelaki itu tampak setengah kesal sekaligus resah. Aku bisa membaca perasaan itu lewat ekspresi wajah yang dia kesankan.

            “Aku takut Fitri akan marah besar.” Lelaki itu berujar dengan suara lirih.

            Aku enggan peduli. Tetap kugamit lengan besar Mas Haris dan menuruni tangga eskalator dengan tekat yang kuat. Aku ini istrinya. Sesayang apa pun dia pada Fitri, apa salahnya jika membiarkan aku untuk ikut serta menjemput anak itu? Toh, ini posisinya kami sedang berkencan. Seharusnya gadis itu tahu diri bahwa sang kakak kini telah memiliki pasangan yang juga harus dihormati haknya. Apakah sulit bagi Fitri untuk menghargai iparnya sendiri?

            Kami lalu tiba di parkiran yang berada di lantai basement. Berjalan setengah berlari Mas Haris, mungkin saking takutnya Fitri menunggu lama. Aku sampai hampir tersandung sebab ikut berlari.

            “Maaf,” kata Mas Haris kala tahu bahwa istrinya mau terjungkal.

            Aku hanya bisa diam. Ingin marah, tapi aku tak punya kekuatan. Ingin menangis, rasanya semua sia-sia belaka.

            Kami kemudian masuk ke mobil SUV hitam milik Mas Haris. Lelaki itu benar-benar terlihat buru-buru. Aku tak mengerti, memangnya harus segitunya, ya?

            “Santai, Mas. Jangan gopoh. Fitri akan menunggu di rumah temannya.” Aku berusaha untuk menenangkan lelaki berkaus polo warna putih itu. Mas Haris tampak mengatur napasnya.

            “Bukan begitu. Aku nggak mau bikin dia bosa menunggu di sana.”

            Aku jadi berpikir, kalau semisal aku yang ada di posisi Fitri, akankah Mas Haris melakukan hal yang sama? Huh, aku benar-benar dibakar api cemburu sekarang.

            Mobil melaju kencang meninggalkan mal yang semula kami rencanakan sebagai tempat kencan untuk melewati Sabtu malam yang romantis. Namun, nyatanya semua bubar jalan. Aku kesal. Sangat kesal. Jiwaku rasanya memberontak dengan kejadian hari ini. Fitri, aku tidak tahu kamu itu sebenarnya ada masalah apa denganku. Apakah kamu sengaja ingin menghancurkan acara kami? Apa susahnya kalau pulang minta antar temanmu atau naik taksi misalnya?

            Mas Haris menyetir dengan wajah tegang. Tak mau dia mengajakku berbicara seperti biasanya. Aku jadi semakin risau. Sangat geram sebab ini gara-gara Fitri pastinya.

            “Mas, kita mau ke mana? Kok nuju rumah, sih?” Aku heran. Mas Haris melewati jalan yang biasa kami lewati untuk menuju ke komplek perumahan Citra Asri, lokasi di mana rumah milik Mas Haris berdiri.

            “Kamu kuantar pulang dulu, Git. Biar aku sendirian ke rumahnya si Mega untuk jemput Fitri. Aku takut dia marah besar kalau ngajak kamu.”

            Mataku sempurna membeliak. Apa? Dia benar-benar mengantarku ke rumah? Ya Tuhan! Mas Haris, apa maumu sebenarnya?

            “Mas, kamu segitunya ya, sama aku!” Aku marah. Geram bukan main. Kuremas tasku yang terbuat dari kulit sintetis tersebut kuat-kuat demi menyalurkan letupan emosi.

            “Aku nggak bisa kalau lihat dia nangis atau kecewa, Gita. Kamu tolong pahami ini!” Mas Haris membentakku dengan suara yang tinggi. Membuatku makin jengkel dan sangat sakit hati.

            “Aku kecewa sama kamu, Mas! Sebagai suami kamu tidak bisa memposisikan dirimu. Kamu harusnya lebih memperhatikan perasaan istri.” Suaraku sampai parau. Bibir ini gemetar lagi. Sudah berapa kali aku menangis sebabnya hari ini. Hilang sudah predikat Gita si perempuan tegar yang kerap disematkan oleh keluarga dan teman-teman kepadaku. Aku kini telah berubah menjadi perempuan sensitif dengan harga air mata yang murah.

            “Gita, tolong jangan drama! Sebelum menikah denganmu, aku sudah menjalani semuanya begini! Jangan sekali-kali mengubahku menjadi orang lain, Git!” Mas Haris menekan tiap kalimatnya. Lelaki itu bahkan memukul kaca jendela di sampingnya dengan tinju yang agak keras.

            Aku senyap. Diam seribu bahasa sembari melelehkan air mata pilu. Beginikah rasanya diperlakukan tidak adil oleh suami sendiri? Jika orang banyak mengeluhkan prahara rumah tangga sebab suami yang jahat atau mertua kejam, aku malah merasakan betapa tersiksanya punya ipar kelewat manja dan mesra kepada suamiku. Jijik, kesal, geram. Ah, semuanya campur aduk sampai membuatku sakit kepala.

            Setibanya di depan rumah bertingkat dua dengan cat serba putih yang lampu teras dan tamannya kami hidupkan sejak meninggalkan rumah pada sebelum Magrib tadi, Mas Haris langsung menghentikan laju mobilnya.

            “Turunlah, Gita. Aku mau langsung menjemput Fitri.”

            Aku benar-benar tersinggung. Keluar dari mobil dan membanting pintu dengan keras. Aku tak peduli jika mobil mewah itu bakal rusak atau bagaimana. Terserah!

            Cepat-cepat aku membuka slot pagar yang tak digembok. Membantingnya dengan kencang seperti tadi tanpa mengunci slot kembali, lalu menuju pintu untuk masuk ke rumah. Dadaku sesak. Terlebih saat tahu bahwa Mas Haris tak melakukan apa pun saat istrinya mengamuk. Dia melenggang kangkung tanpa beban. Tancap gas meninggalkan aku sendirian di rumah besarnya dalam keadaan murung.

            Kakiku lemas saat masuk ke rumah yang suasananya sepi sekaligus sunyi. Ada rasa rindu terhadap keluargaku yang tinggal di kota sebelah. Aku ingin pulang. Menemui Ibu dan Bapak yang selalu memperlakukanku dengan baik. Atau sekadar bercengkerama dengan Dita, keponakanku yang baru berusia tiga tahun. Ya, adik semata wayangku, si Gity, telah menikah empat tahun yang lalu dan memiliki seorang momongan lucu. Aku memang kalah jauh dari perempuan tinggi tersebut. Selain sudah punya anak, Gity juga punya karier cemerlang di perusahaannya. Posisinya sekarang sudah naik menjadi senior manager. Keren. Tidak sepertiku yang sekarang full menjadi house wife.

            Aku mengempaskan diri di atas sofa ruang tamu. Menjatuhkan tas ke lantai, kemudian menghapus linangan air mata. Seketika aku menyesal, mengapa aku berhenti bekerja setelah menikah. Pikiranku jadi semakin sempit sejak tak pergi ke mana-mana dan berjumpa dengan banyak orang. Aku jadi curiga, apakah gara-gara itu aku jadi sangat cemburu dan berpikir negatif kepada Mas Haris?

            Gita, kamu memang gegabah. Harusnya aku memang lanjut bekerja saja. Pergi pagi, pulang hampir malam hari. Senin sampai Jumat berkutat dengan angka dan laporan. Sabtu pun terkadang masih harus berangkat untuk lembur dan menyelesaikan sisa tugas. Mungkin kalau masih berkarier, aku tak sempat untuk memikirkan hal-hal remeh seperti sekarang.

            Oh, hidup. Rasanya pelik dan penuh cobaan. Mulai dari gagal dalam urusan asmara, eh, setelah menikah pun masih juga harus menelan pil pahit. Sebenarnya, aku ini punya dosa apa, sih? Kok, hidupku tak henti-hentinya disapa ujian.

            Satu jam aku merenung. Tak ada yang kudapatkan selain rasa sesal tak berujung. Menyalahkan diri sendiri, kemudian merasa begitu tak berguna. Kutarik napas dalam, sepertinya aku harus mulai menerima diriku yang sekarang. Harus kuterima juga kenyataan bahwa Mas Haris begitu mengagungkan adik perempuannya ketimbang aku sebagai pendamping hidup. Ya, aku harus terbiasa menjalani semua. Tidak boleh egosi dan negative thinking. Bagaimana pun aku ingin rumah tanggaku harmonis seperti milik adikku Gity. Dia perempuan yang luas hatinya. Beberapa kali si Arman, suaminya yang sangat dia cintai, kepergok berkirim pesan dengan rekan kantornya. Namun, Gity selalu memaafkan dan kini hubungan rumah tangga mereka makin harmonis. Arman pun katanya telah tobat dengan sendirinya dan sangat mencintai anak dan istri.

            Ya, aku ingin ada keajaiban seperti itu. Kuharap Mas Haris perlahan-lahan berubah dan insyaf. Aku inginnya dia menjaga jarak yang wajar dengan Fitri. Membiarkan gadis itu mandiri dan tak terlalu bergantung. Semoga Tuhan memberikan keajaiban tersebut pada waktu yang tepat.

            Aku meraih tas yang tergeletak di lantai. Kubuka ritsletingnya yang berwarna emas, lalu mencari-cari di mana ponselku berada. Setelah kutemukan, aku hampir kaget saat melihat waktu sudah menunjukkan pukul 21.05 malam. Mas Haris bahkan belum kembali bersama adiknya. Aku yang awalnya sudah mulai merasa tenang dan positif, tiba-tiba jadi goyah lagi. Ke mana mereka?

            Kuputuskan untuk menelepon suamiku. Lama sekali lelaki itu mengangkatnya. Setelah dua kali telepon, barulah terdengar suara.

            “Halo?” Aku benar-benar makin terluka. Itu suara Fitri. Mengapa dia yang memegang ponsel suamiku?

            “Mana Mas Haris?” tanyaku dengan nada ketus.

            “Di sampingku.” Fitri tak mau kalah. Nadanya sengak.

            “Kalian di mana? Mengapa jam segini belum pulang?” Darahku mulai panas dan mau mendidih rasanya. Kesabaranku benar-benar sedang diuji.

            “Makan di resto. Kenapa sih, tanya-tanya? Please, lah. Orang baru jalan-jalan juga.”

            Anak itu! Benar-benar tidak punya malu dan harga diri. Saat itu aku sangat merasa jengkel. Ingin kupukul wajahnya jika dia sedang berada di hadapan!

            “Fitri, kamu bisa sopan nggak kalau bicara?”

            “Maaf, ya. Bicaranya nanti saja.” Teleponku langsung dimatikan. Bisa bayangkan betapa remuknya hatiku?

            Fitri, tunggu kamu. Kamu kira aku takut? Kita lihat saja. Siapa yang lebih kuat di antara aku dan kamu.

(Bersambung)

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status