Share

Bab 10 (POV Bastian 3)

#Petaka_Malam_Tahun_Baru

Bab 10 (POV Bastian 3)

“Kalian itu bego! Teman dikeroyok bencis malah nggak ditolongin!” umpatku kesal, masih dengan posisi terbaring di tempat tidur.

“Sorry lama, Bas, tapi ini udah ditolongin kok,” jawab Andra sambil saling pandang dengan teman-temanku yang lain.

“Tapi aku udah ternoda ini!” Kulembar bantal ke wajah Andra.

“Sorry, abisnya waktu kamu telepon aku lagi di klab sama cewek.” Andra menundukkan wajah.

Agghh ... dasar Andra! Padahal waktu para bencis itu mulai mengeroyokku, aku sempat menekan nomor dia dan berharap ia datang tapi nyatanya mereka datang malah setelah tubuh ini terlecehkan dan lebih tragisnya disiram air cabe pula. S1al!!!

“Kamu kok bisa kalah sama bencis sih, Bas?” Amrul mengerutkan dahinya.

“Awalnya ... mereka pura-pura jadi kuntilanak gitu, mana pantai gelap pula. Setelah aku lengah karena ketakutan, mereka langsung beraksi. Agghh ... sial!” jeritku kesal dengan mengepalkan tinju. Aku benci, rasanya tak terima diperlakukan makhluk aneh bertulang lunak itu. Keparat!!! Awas saja, kalau sampai ketemu, kubikin mati mereka! Berani berurusan dengan Bastian, maka hidupnya kupastikan akan hancur.

“Kenapa kamu nggak lapor Polisi saja, Bas? Ini termasuk dalam tindak pidana, para bencis itu bisa dipenjarakan!” ujar Seno, sang calon pengacara. Diantara kami berenam, hanya dia saja yang kuliahnya kelar, yang lainnya masih mangkrak, termasuk aku.

Aku terdiam, sejak tadi subuh, Seno memang menawarkan untuk lapor Polisi tapi aku masih ragu sebab semua yang kualami tadi malam sungguh sangat memalukan. Aku tak sanggup jika semua orang mengetahui berita ini dan sampai masuk koran pula, aku tak mau!

“Kualat sih, mau main sama cewek malah nggak ngajak kita-kita,” ledek Pedro yang kusambut dengan melempar guling tepat ke arah wajahnya.

“Jadi, menurut kamu siapa yang berada di balik musibah yang telah menimpamu ini, Bas?” tanya Seno lagi.

“Aku nggak tahu, semuanya pakai topeng kuntilanak. Yang jelas, mereka bencis semua. Perasaan aku nggak pernah terlihat masalah dengan para pria kurang mateng itu tapi bisa-bisanya mereka malah menodaiku begini.” Aku mengepalkan tangan kesal, kejadian itu lagi-lagi terngiang di ingatan.

“Apa semua ini ada hubungannya dengan Riva? Apa dia yang menyuruh para bencis itu untuk melecehkan kamu, Bas?” Bobby menatapku serius.

Aku menautkan alis dan mulai menyusun runtut poin-poin kejadian sejak awal hingga akhir.

“Mungkin nggak kalau hal yang dialami Bastian adalah karma dari Riva, gadis malang yang sudah kalian renggut kehormatannya dengan mengenaskan?” Seno mengusap wajahnya.

Aku kembali terdiam, kejadian malam petaka yang menimpa Riva kembali berputar di kepala, di mana Seno mencoba menghalangi kami namun Andra, Bobby, Pedro dan Amrul tak mau mendengarkan dan malah ikut menikmati tubuh mantan pacarku itu.

“Bisa jadi itu,” jawab Bobby dengan menatap tajam ke arah kami.

“Terus kita harus apa? Sekarang Bastian, mungkin besok-besok malah kita. Gimana ini?” tanya Pedro cemas.

Kami semua kembali terdiam, keempat temanku itu terlihat cemas kecuali Seno, dia masih santai karena dia memang tak ada terlibat dalam malam petaka Riva. Di antara kami berenam cuma Seno saja yang tak terpengaruh dengan kegiatan menyimpang, walau dia gaulnya dengan kami.

“Apa kalian nggak mau minta maaf kepada Riva? Apa kalian nggak merasa bersalah karena telah menghancurkan kehormatannya?” Seno semakin mengeluarkan kata-kata ampuhnya yang sukses membuat semua teman-temannya semakin bungkam, termasuk aku.

Untuk beberapa saat, kami semua terdiam.

“Ya sudah, aku pulang duluan, ada kuliah sore ini. Semoga cepat sembuh, Bas!” ujar Seno dan langsung melangkah keluar dari kamar.

Taklama setelah Seno pamit pulang, keempat temanku lainnya juga pamit pulang. Aku kembali sendiri dan merenungi nasib sial yang telah kualami. Kuusap wajah yang terasa lelah, lalu merebahkan diri sambil terus memikirkan semua yang kualami selama beberapa bulan terakhir ini. Agghh ... bayangan kejadian tadi malam tak bisa enyah dari kepala ini. Kupegangi kepala dan menggeleng agar bayangan itu tak kembali muncul di memori ingatan. 

Kutekan kontak Tiara dan menyuruhnya ke sini, mengabarkan kalau aku sedang sakit dan minta dibawakan makanan.

Setengah jam kemudian, Tiara langsung datang dan merawatku yang sedang sakit. Dia memang calon istri terbaik, aku semakin mencintainya.

Setelah menyuapkanku makan, Tiara berbaring di sampingku. Dia mulai bersikap seperti biasanya, saat kami kami hanya tinggal berdua saja sebab hubungan itu sudah teramat sering kami lakukan. Dia selalu memberikan apa mauku. Akan tetapi, dengan keadaanku yang seperti sekarang, aku tak lagi bergairah.

“Kamu kenapa sih, Bas?” Tiara merengut saat aku menghindar saat dia hendak mencium bibi*ku.

“Maaf, Sayang, aku sedang sakit, nanti kamu malah ketularan,” jawabku dan berharap dia tak tersinggung karena penolakan ini.

“Ya sudah, aku pulang saja. Kamu istirahatlah dan semoga cepat sembuh!” ujarnya sambil mengambil tas dia ats nakas dan pergi dari kamarku.

Ah, Tiara, maafkan aku, Sayang.

****

Kondisiku masih kurang fit walau sudah beristirahat seminguan. Seno menawarkan untuk ke rumah sakit dan memeriksakan diri tapi aku tak mau walau alat pembuangan dan organ vital masih terasa nyeri. Jangan sampai para bencis itu menulariku penyakit memalukan itu.

Aku melangkah keluar dari kamar lalu duduk di depan televisi. Rasanya bosan sekali, karena ulah para bencis itu, aku tak bisa keluar setiap malam. Kuraih ponsel lalu menelepon Tiara untuk memintanya datang ke sini. Sombong sekali dia, pacar lagi sakit malah nggak dijenguk walau dia tak tahu masalah yang sebenarnya telah menimpaku.

S1al! Tiara malah tak mengangkat panggilan teleponku. Semenjak kejadian itu, dia tak pernah datang ke rumahku lagi. Kenapa dia? Apa dia marah dan tersinggung? Dengan kesal, kuraih kunci mobil lalu berniat untuk keluar walau hanya sekedar untuk mencari angin.

Beberapa saat kemudian, aku sudah melenggang di jalanan tanpa arah. Kuraih ponsel dan menghubungi nomor Andra dan seperti biasa, nomor si gondrong itu paling susah untuk dihubungi.

 

Kulirik jam di pergelangan tangan yang sudah menunjuk ke arah 20.30. Ketelepon Seno lalu menjemput ke rumahnya untuk mengajaknya nyantai di kafe.

“Eh, Andra kok nggak bisa dihubungi, Sen? Sok sibuk sekali dia!” tanyaku saat Seno masuk ke mobilku.

Seno hanya mengangkat bahu, lalu berkata, “Udah sembuh kamu, Bas?”

“Buang air sama BAB masih suka nyeri, kenapa ya? Aku nggak kena sakit kelamin kan, Sen?” tanyaku cemas.

“Makanya ... diajakin ke rumah sakit itu mau, jangan bilang nggak mau melulu. Diajak lapor Polisi juga nggak mau, heran aku sama kamu!” Dia mulai mengomel.

“Bukannya nggak mau, tapi aku tak mau cerita memalukan ini sampai tersebar ke mana-mana. Kalau diperiksa ke rumah sakit, pasti bakal ditanyain dokter penyebabnya. Masa aku harus cerita tentang perkosaan enam bencis itu?” Kubanting setir dengan geram, tepat berhenti di depan kost Andra.

Eh, itu kayak mobil Tiara, ngapain dia ke sini? Aku mengerutkan dahi. Perasaan mulai tak enak, firasat jahat mulai menghantui. Kutinggalkan Seno yang masih berada di mobil, lalu bergegas masuk ke rumah kost temanku itu dan menuju kamarnya.

‘Tok-tok’

Tak ada sahutan dari dalam namun saat kutempelkan telinga ke pintu, terdengar desahan kenikmatan. Andra memang gila dan suka bawa cewek ke kamar kostnya, tapi dugaanku dia malah sedang bersama Tiara.

‘Brak’ 

Pintu langsung terbuka hanya dengan sekali tendangan dan pemandangan tak mengenakan tampak di depan mata. Keparat! S1al! Tiara langsung meraih pakaiannya.

“Kalian berdua gila! Dra, Tiara pacarku dan kami berencana untuk menikah, sialan sekali kamu!” Kudaratkan pukulan di wajahnya.

“Sorry, Bas .... “ ujar Andra lirih sambil memakai kembali pakaiannya.

“Kita putus!” bentakku ada Tiara saat dia mendekat ke arahku. Dengan hati yang kesal, aku keluar dari kamar terkutuk itu. Hati ini sangat sakit, baru kali ini seorang Bastian dikhianati seorang cewek! S1al!

Bersambung .... 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status