Share

Bab 11 (POV Bastian 4)

#Petaka_Malam_Tahun_Baru

Bab 11 (POV Bastian 4)

Keparat! Kupacu mobil dengan kecepatan kencang. Hati ini terasa sangat sakit melihat penghianatan Tiara padahal aku tak pernah merasakan hal ini sebelumnya dengan pacar terdahulu. Selama ini, aku tak pernah punya perasaan serius dengan seorang wanita karena yang kuinginkan hanya tubuh mereka saja tapi dengan Tiara aku merasa berbeda, aku ingin serius dengannya dan aku tak rela dia disentuh pria lain walau sahabatku sendiri.

“Bas, jangan ngebut ah!” tegur Seno sambil menepuk pundakku.

Tak kuhiraukan perkataan Seno, mobil tetap kupacu dengan kecepatan kencang. Beberapa saat kemudian, mobilku telah telah berhenti di sebuah klab, tempat inilah yang bisa menghilangkan stres dan penatnya pikiran.

Aku langsung turun dan masuk ke tempat yang merupakan surga dunia. Segala kenikmatan ada di sana, tinggal pilih saja. Ada minuman pereda pikiran, ada obat-obatan yang bisa membuat terbang melayang dan ada wanita yang akan melayanimu hingga terlena.

Ternyata sudah ada Amrul, Bobby dan Pedro di sana. Mereka sedang menari-nari menikmati musik yang bikin geleng-geleng, dengan sambil membawa botol minuman. Aku langsung duduk depan meja bartender dan memesan minuman favorit. Seperti biasa, Seno selalu menjadi penonton. Aku heran dengannya, temanan dengan para bajingan tapi kok masih betak sok alim begitu. Kuarahkan segeles minuman kepadanya rapi dengan sopan ia menggeleng dan memberi isyarat dengan tangannya kalau ia tak mau.

“Kalian udah lama di sini?” tanyaku kepada ketiga temanku yang sepertinya sudah mulai teler itu.

“Barusan datang sih,” jawab Amrul sambil duduk di sampingku.

“Ngajakin Andra, tapi .... “ Bobby menggantung kata-katanya.

“Tapi apa?” tanyaku mulai terpancing emosi, teringat kelakuan Andra dan Tiara.

“Nggak apa-apa. Ayo minum lagi!” Bobby menuangkan minuman ke gelasku.

“Hmm ... apa kalian udah lama tahu tentang Andra dan Tiara?” tanyaku dengan sorot mata tajam kepada tiga temanku itu.

“Kamu udah tahu, Bas?” tanya Pedro terbelalak.

“Hmm ... kalau kalian udah tahu sejak lama, kenapa nggak ngsih tahu aku?” ujarku geram sambil mendaratkan tinju ke perut Pedro.

“Agghh!” Pedro mengaduh sambil memegangi perutnya dan bersiap membalas pukulanku tapi Seno sudah keburu menghalanginya.

“Jadi kalian pendukung Andra?!” Aku semakin meradang, menatap tajam Pedro yang sama keturuan bule sepertiku.

“Bukannya gitu, Bas, kukira kamu sengaja mengoper Tiara kepada Andra,” jawab Pedro dengan membalas tatapan tajamku, sambil memegangi perutnya.

“Enak saja! Kalian kira, Tiara itu bola apa ... pakai acara dioper segala?!” Aku turun kembali dari kursi dan langsung menyerang Pedro dengan membab1 buta, kupukuli dia dengan geram, menumpahkan segala sakit hati karena ulah Andra dan Tiara.

Seno, Bobby dan Amrul berusaha melerai kami, tapi mereka semua berhasil kudorong dengan kasar. Kudaratkan beberapa kali pukulan keras ke wajah Pedro, dia juga tak mau hanya tinggal diam, wajahku juga bonyok karena tinjunya.

Beberapa saat kemudian, kami sudah diamankan dua penjaga klab dan diusir keluar. Kusapu dengan kasar, darah yang di tepi bibir. Rasa sakit di wajah juga tubuh ini masih tak sebanding dengan rasa sakit hatiku atas perselingkuhan Tiara. Aku benar-benar terhina, aku merasa harga diri ini begitu jatuh dan turun level pasca pelecehan enam bencis itu dan kini malah diselingkuhi. Semua rasa bercampur aduk jadi satu, aku benci semua ini.

“Ayo pulang!” Seno memapahku masuk ke mobil.

Di depan kami, Bobby dan Amrul juga memapah Pedro untuk masuk ke mobil mereka.

“Ikut ke rumah Bastian dulu, guys!” perintah Seno kepada mereka bertiga.

Aku hanya terdiam dengan pikiran yang tak tentu arah.

***

Beberapa saat kemudian, kami telah tiba di depan rumahku dan ternyata ada Andra dan Tiara di sana. Setan! Ada apa lagi mereka ke sini?

Ketika turun dari mobil, Tiara langsung berlari menghampiriku.

“Sayang, maafkan aku ... aku nggak mau kita putus!” ujarnya dengan menatap terkejut keadaan diriku yang sudah babak belur. “Kamu kenapa?” sambungnya dengan mencoba memegang wajahnya.

Sebelum jarinya menyentuh wajahku, segera kutepis dengan kasar. Aku mendadak jijik dengannya. Tiba-tiba, Andra langsung berlutut di hadapanku.

“Apalagi ini? Sudahlah! Sudahi drama ini, aku muak dengan kalian berdua!” Kudorong kasar tubuh Andra yang membuatnya jatuh terlentang.

“Yank, maaf .... “ Tiara tiba-tiba memelukku dari belakang.

Beraninya dia menyentuhku! Kubalikkan tubuh ini dan mendorongnya dengan kasar dan tak lupa kutonjok wajah sok cantik itu.

“Bas!” Seno segera menarik tubuhku untuk menjauh dari Tiara.

Andra langsung menolong selingkuhannya itu dan menatapku dengan marah. Seno menarikku masuk ke dalam rumah, sebelum pertempuranku dengan Andra terjadi lagi namun kami sempat beradu tatap.

Aku tak habis pikir, mau apalagi kedua cecunguk itu datang ke rumahku? Belum puas apa bermain kucing kawin di depan mataku. Dasar seta*!

Langsung kujatuhkan tubuh ke sopa, dengan napas naik turun, emosi ini masih meletup-letup rasanya. Kurang aja*, bajin*an!

“Minum dulu!” Seno membawakanku sebotol air mineral dingin.

Langsung kuraih dengan malas dan meminumnya sedikit.

“Mabok kamu, Bas? Kok tega sekali main tonjok aja Tiara?” ujar Seno sambil duduk di hadapanku.

Aku hanya diam lalu mengusap wajah, kepala ini terasa sakit dengan perut yang mual. Woekk ... aku berlari menuju dapur dan memuntahkan segala yang kumakan seharian ini.

“Besok pagi, aku temani kamu ke rumah sakit!” ujar Seno tiba-tiba saat aku hendak melangkah keluar dari dapur.

“Ah, mau ngapain?” tanyaku malas sambil menuju ruang tengah dan berbaring di sprimbeb yang sengaja kuletakkan di situ.

“Ya, berobatlah. Lihat saja wajahmu babak belur begitu, nggak takut infeksi? Aku jemput pukul 09.00.” Seno berlalu dari hadapanku sambil meraih kunci mobilku.”Aku pinjam mobilmu, Bas, buat pulang, ya! Istirahatlah!”

Aku melengos dan memejamkan mata, namun bayangan ulah Andra dan Tiara kembali terngiang di ingatan. Fuck! Aku benci!

Sesuai janji, pagi ini, Seno sudah muncul kembali di hadapanku. Dia memaksaku untuk susah memeriksakan segala penyakitku, mulai dari susah buang air kecil hingga susah buang air besar. Bagian belakang ini pernah mengeluarkan darah hingga menetes di kloset yang membuatku shock.

“Saudara Davit terkena penyakit proctitis,” ucapan dokter membuatku menautkan alis. Sakit apa itu? Aku baru kali ini mendengar nama penyakit itu.

"Apa itu ... Proctitis?" tanyaku terbata-bata.

"Proctitis adalah peradangan pada lubang anus dan lapisan rektum (bagian bawah usus yang menuju ke anus). Rektum adalah saluran berotot yang tersambung dengan ujung usus besar. Feses keluar dari tubuh melalui rektum. Proctitis dapat menyebabkan nyeri pada rektum dan sensasi seperti ingin buang air besar secara terus-menerus. Gejala proctitis dapat berlangsung sebentar ataupun kronis alias menahun," jelas sang dokter.

Aku menghela napas berat, kesialan seakan bertubi-tubi menyerangku. Oh, Tuhan, apa salah dan dosaku sehingga kamu begitu sentimen terhadapku? Agghh ... aku tak percaya adanya Tuhan, bulshit saja!

Seno mengantarku pulang ke rumah dan kejutan kembali menyambutku. Dua orang polisi sedang berada di depan rumahku.

“Maaf, dengan saudara Davit?” tanya sang polisi.

“Eh iya, eh ... bukan, eh ... benar ... saya ... Davit.” Aku tergagap.

“Kami membawa surat penangkapan untuk anda, atas tuduhan tindakan tak menyenangkan kepada saudari Tiara. Anda terkena pasal, penganiayaan berencana,” ujar sang Polisi yang kembali membuat jantung ini serasa mau putus.

Rahangku mengeras, sungguh berita yang hampir membuat jantungan. Tega sekali Tiara mengadukanku ke Polisi. Dia memang wanita tak punya otak! Hari ini benar-benar s1al! Kemalangan beruntun menerbaku.

“Ini fitnah, Pak.” Aku mencoba mengelak saat Polisi mengapit kedua tanganku.

“Silakan jelaskan di kantor saja!” Dua Polisi itu langsung menyeretku masuk ke dalam mobil Polisi.

Bersambung ....  

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status