Share

Tastpack

Author: Rias Ardani
last update Last Updated: 2021-09-05 08:29:46

Petaka Mendua

Part7

Aisya bersimpuh di depan Ibu. Ibu tak bergeming, wajahnya terlihat begitu berusaha tegar, dengan mata yang terus berkaca-kaca.

"Aisya, meskipun kamu anak kandungku! Jika kamu berada di jalan yang salah, Ibu tidak akan membela kamu sama sekali." 

"Bu, tolong jangan sakiti Aisya! Semua ini murni kesalahan, Yusuf."

Ibu menatap tajam wajah Mas Yusuf. Sedangkan aku dan Bapak masih terdiam, menatap mereka bertiga.

"Kamu memang salah! Sangat salah, Yusuf."

Ibu menarik napas berat, lalu menghembuskannya dengan kasar.

"Asal kamu tahu, meskipun aku hanyalah seorang Ibu sambung. Cintaku untuk Aisya dan Karin itu sama! Aku dan Bapaknya, membesarkan mereka berdua dengan cinta. Kamu menyakiti Karin, itu sama menyakitiku."

Ibu berkata dengan menepuk-nepuk kasar dadanya, suaranya serak, bahkan seakan terdengar sesak. Ya Allah, ternyata ibu Hanum begitu mencintaiku.

Aisya tercengang mendengar penuturan Ibunya.

"Jika aku merestui hubungan kalian, itu sama saja aku yang mati rasa. Tidak ada seorang Ibu pun yang sanggup, melihat anaknya di pulangkan dalam lima bulan, setelah dinikahi. Aku hancur, aku yang paling sakit hati," teriak Ibu. 

Aku berlari kecil memeluk Ibu, ia semakin terisak, memelukku erat.

"Ya Allah, anakku! Maafkan Ibumu ini, sayang, wanita tua ini telah gagal mendidik adikmu."

"Ini bukan salah Ibu, semua sudah menjadi bagian takdir yang harus Karin jalani," sahutku sambil terisak.

Ibu melonggarkan pelukannya, ia kemudian mencium kedua pipiku, juga keningku.

Lalu kembali memelukku lagi. 

Bapak menatap kami dengan mata berkaca-kaca, sedangkan Aisya, ia semakin terisak, kemudian beranjak pergi. Ia berlari, masuk ke dalam kamarnya.

"Pulanglah, Nak. Bapak harap, besok kamu sudah urus perceraian kalian." 

Mas Yusuf mengangguk, kemudian berpamitan untuk pulang, ia berniat bersalaman dengan Ibu, namun Ibu tidak menghiraukannya.

Hanya Bapak, yang masih beramah-tamah dengan mas Yusuf.

"Apapun yang terjadi, kamu harus kuat! Ibu akan selalu ada untuk kamu, jika kamu butuhkan, kamu tidak sendiri anakku."

"Terimakasih, Bu. Sudah menjadi sosok pengganti Ibuku yang paling baik."

"Sama-sama, anakku!" 

Selama ini, aku tidak pernah sedekat ini kepada Ibu Hanum. Dua puluh tahun pernikahan Bapak dan Ibu, selama itu pula aku selalu menjaga jarak padanya.

Aku terlalu terkukung dengan  pemikiranku, bahwa Ibu Hanum tetaplah orang lain. Tapi ternyata, bagi Ibu Hanum, aku sama seperti Aisya, aku juga anaknya.

Aku menyesal dan kini bertekad dalam hati, bahwa aku akan mencintainya layaknya Ibu sendiri.

_________

Azan subuh berkumandang, seperti biasa, keluargaku semua harus bangun, untuk menunaikan ibadah salat subuh berjamaah di rumah. Hanya Bapak, yang pergi ke surau terdekat, sedangkan kami salat bersama di rumah.

"Karin ..., Karin ...." Terdengar suara ibu yang begitu panik, memanggil namaku.

Aku yang tadinya mengambil wudu pun terkejut, kemudian bergegas menghampiri Ibu.

"Ada apa, Bu? Karin tadi di belakang, mau mengambil air wudu."

"Ais ..., Aisya kabur, Rin."

Ibu terisak, ia terduduk di bangku kayu, di samping meja galon air minum.

"Astaghfirullah, Ibu yakin?" tanyaku, memastikan.

"Ibu yakin, Nak." Ibu memberikan sepucuk surat, yang Aisya tinggalkan di atas kasur.

"Berbahagialah kak Karin, aku sudah mengambil seluruh kebahagiaan yang memang seharusnya menjadi hakku dari awal. Ikhlaskanlah kami bahagia, jangan mengusik kami. Ibu dan Bapak tidak perlu repot-repot mencariku, aku akan pergi ke rumah Ayahku. Aku dan mas Yusuf akan segera menikah secepatnya."

Aku meremas-remas surat sialan itu, dan membuangnya ke tong sampah.

"Bu, biarkan saja, ini jalan pilihan Aisya. Ibu sudah berusaha mengingatkannya, namun ia tetap pada keputusan itu, jadi semua bukan salah Ibu lagi."

Ibu menatapku dengan tatapan sedih. "Kamu baik-baik saja, Nak?" Ibu bertanya, dengan mengusap pelan tanganku.

"InsyaAllah, Karin tidak apa-apa!" sahutku sambil tersenyum. "Ayo kita salat," lanjutku.

Dua hari kepergian Aisya, Ibu sepertinya sudah tidak begitu sedih lagi, tidak seperti di awal.

Hari ini, surat panggilan sidang, dari pengadilan agama yang ada di kota sudah sampai ke rumahku.

Untuk mempermudah proses gugatan, aku sengaja tidak hadir, hanya menunggu akta cerai, yang nanti mas Yusuf akan berikan.

"Bu, siang-siang begini, enak deh ngerujak! Karin pengen," rengekku manja. 

"Duh anak Ibu, kayak orang ngidam saja!" celetuknya.

"Apa iya ya, Bu. Sudah dua Minggu ini, Karin telat datang bulan. Mana mual terus rasanya, pengen makan yang asem-asem."

"Ya Allah, Nak. Jangan-jangan kamu beneran hamil." 

"Aduh Ibu, Karin takut."

"Yasudah, Ibu belikan tastpack dulu di toko Bu Daung. Kamu di sini saja, tunggu Ibu datang."

Aku hanya mengangguk, Bapak masih di kebun, jadi hanya ada aku dan Ibu di rumah.

Sepulang dari toko Bu Daung, Ibu membawa tastpack, dan rujak buah.

"Yey, asik. Ibu beli dimana?" tanyaku berbinar, meraih plastik rujak buah dari tangan Ibu.

"Tadi di depan toko Bu Daung, ada tukang rujak, lagi mangkal. Sekalian saja Ibu beli."

"Terimakasih, Bu. Karin sayang Ibu." Aku memeluk sayang tubuhnya, seraya tersenyum bahagia.

"Ini Nak, kamu test dulu, Ibu penasaran soalnya."

Aku pun mengangguk, mengambil tastpack, dan membawanya masuk kedalam kamar mandi.

Semoga pikiranku salah, deg-degan rasanya. Aku mulai meletakan alat testnya di dalam urin milikku.

Beberapa detik kemudian, aku tercengang, melihat hasilnya.

"Ibu ...." Aku memekik.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sri Lestari
waduuuh.... gmn nich... karin hamil.... bahagialh karin.... dpt hadiah soesial Anugra dr Alloh Swt.
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Petaka Mendua   Panik

    Bab110 "Tenang," seru Dewi, yang sadar, dari tadi majikannya tidak tenang. "Apaan sih." Tania kesal. Ia pun mengetikkan sebuah pesan singkat, dan mengirimnya kepada Raka, yang tengah sibuk meeting. "Aku menyesal, telah ada di saat keluarga kamu butuh. Sedangkan kamu, ah sudahlah. Kadang, kebaikan tidak harus dibalas dengan hal yang sama." Membaca pesan singkat dari Tania, Raka merasa tidak nyaman hati. Meskipun faktanya, proyek ini masih bisa dihandle anak buahnya. Namun Raka yang selalu bertanggung jawab penuh dengan pekerjaannya, tidak ingin melakukan kesalahan sama sekali.Sebab itulah, dia tidak ingin meninggalkan proyek ini. Namun membaca pesan singkat itu, mendadak Raka menjadi gusar. Ia pun tidak konsen, memulai pekerjaannya hari ini.______ Tania dan Dewi yang sudah sampai di rumah Sari, pun mulai bertanya banyak, tentang hal yang menimpa Karin. Sari mulai menceritakan semuanya secara detail. Wanita paru baya it

  • Petaka Mendua   Tidak Tenang

    Bab109"Maaf? Ada apa?" tanya Karin, sembari melepaskan diri, dari pelukan Hanung."Ya maaf," Hanung menunduk. "Aku berburuk sangka pada kamu dan Emilia. Aku nggak nyangka aja, anak kecil itu begitu dewasa.""Aku juga tidak menyangka, dia akan menolakku. Tapi aku lega, dia tidak melupakanku sama sekali," ucap Karin, sembari menyeka air matanya."Setidaknya, aku bisa melepas rindu. Melihat dia tumbuh dengan baik saja, aku sudah merasa tenang. Meskipun di lubuk hati yang paling dalam, aku tidak bahagia, merelakannya tetap di sana. Tapi aku ...."Karin menghela napas berat, ia mulai kesulitan untuk bicara. Wajah bahagia Emilia, saat bertemu dia tadi, selalu terngiang diingatan Karin.Apalagi, saat Emilia berkata kangen, membuat Karin semakin merasakan sakit luar biasa."Ya Allah, anakku!" pekik Karin, membuat Hanung sedikit terkejut.Karin menangis dengan meraung, layaknya anak kecil. Bahkan, dia tidak lagi duduk diata

  • Petaka Mendua   Maaf

    Bab108"Ummi, Karin mohon!" pinta Karin, wanita itu pun berusaha bersimpuh.Namun Hanung mencegahnya."Mau memberikan Emilia baik-baik, atau lewat jalur hukum?" gertak Hanung.Mendengar ucapan suami baru Karin itu, Ummi melotot. Sedangkan Abah, berusaha untuk tetap tenang."Berani sekali kamu mengancam orang tua! Apakah kamu tidak di ajari Ibumu?" bentak Ummi.Mendengar dirinya disinggung. Sari hanya memusut dada, membesarkan rasa sabar, dan berpikir jernih."Ibu, istri saya ini, berhak atas anak ini. Dan Ibu, jangan coba menghalangi kami membawanya. Kecuali, Emilia menolaknya," terang Hanung dengan tegas.Ummi berjongkok, mensejajarkan wajahnya pada Emilia."Emil, kamu sayang Nenek, kan?" tanya Ummi.Emilia terisak. "Emilia sayang Nenek, juga Kakek. Tapi ...."Gadis kecil itu menghentikan ucapannya, dia menatap lekat wajah Neneknya yang sangat sedih."Tapi apa, Nak?" tanya Karin tidak sabar.

  • Petaka Mendua   Di Tolak

    Bab107Karin melangkah pelan, dia menuju pintu utama."Kak Karin," seru Aisya, yang baru keluar dari dapur.Karin berbalik badan, dan menoleh ke arah Aisya dengan terheran."Kamu ada disini?" tanya Karin, sambil mengucek matanya berkali-kali."Aish ....""Hhmm, ada apa?" Aisya tahu, bahwa Karin penasaran, dengan rumah yang kini dia tempati untuk tidur."Ini rumah teman Aish, kita kemalaman dijalan, kasihan Bang Hanung, sepertinya sangat lelah. Sedangkan perjalanan menuju kampung Abah, masih sangat jauh. Jadi, Aisya meminta izin teman umtuk menginap."Karin mengangguk. "Ayo tidur lagi," pinta Aish pada Karin.Karin pun percaya begitu saja, dan mau menuruti ucapan Aisya.Untung saja Aisya cepat tanggap, jika tidak, mungkin malam ini, mereka tidak jadi tidur lagi.Sebab jika Karin tahu, bahwa dia ada di kampungnya. Maka, dia akan terus mengomel hingga pagi, dan membuat kegaduhan.______Usai salat subu

  • Petaka Mendua   Penasaran

    Bab106Azzam meminta waktu, untuk berbicara dengan Aisya berdua saja."Ada apa?" tanya Aish, dia nampak sangat kesal, dengan keputusan Azzam, yang menolak memberikan alamat."Ummi dan Abah kembali ke kampung. Kata Ayah, mereka juga mengadakan sukuran, ulang tahun Emilia.""Kamu tidak bohongkan, Mas?" selidik Aisya. Seakan semua kebetulan, membuat Aisya meragu."Sebenarnya, Ummi dan Abah, sudah tiga hari ini, ada di kampung. Dan esok, adalah perayaan ulang tahun Emilia.""Alhamdulilah, Mas.""Eh, jadi dari tadi, Mas ngerjai aku?" pekik Aisya, yang tiba-tiba sadar.Azzam terkekeh. "Iya maaf."Bibir Aisya manyun, dia kesal, dengan ulah suaminya."Malam ini juga, kalian duluan saja ke kampung. Ibu beneran sakit.""Yakin, nggak lagi ngerjain aku?""Iya, bener.""Dirujuk ke rumah sakit beneran?""Iya, Mas akan langsung, menemui mereka nanti. Kamu bawa saja, kak Karin ke rumah kita. Tadi

  • Petaka Mendua   Pupus Lagi

    Bab105Melihat wajah Hanung yang sangat datar, menimbulkan tanya dihati Karin. Wanita itu, yang tadinya sangat bersemangat, kini tiba-tiba meredup, seperti lilin yang menyala, kemudian padam tertiup angin."Ada apa?" tanya Karin, dengan perasaan, yang mulai tidak nyaman."Karin, Emilia itu bagian dari masa lalu. Dan kami, kami masa depanmu!" ucap Hanung. Membuat Karin merasa syok, begitu juga dengan Aisya, yang tidak sengaja, mendengar ucapan Hanung."Mas, tega sekali kamu berkata begitu!" lirih Karin. "Tidak ada yang kata masa lalu buat anak. Emilia itu darah dagingku, cinta pertama dalam hidupku. Dia yang mengajari aku jadi Ibu. Dan kamu, memintaku melupakannya? Jahat kamu!" kata Karin dengan terisak."Bukan begitu, Karin. Mas tidak minta, kamu untuk melupakan Emilia. Aku mengerti, tidak ada mantan anak. Tapi tidak bisakah, kamu hanya fokus kepada kami? Dan Emilia, biarkan dia, hanya ada di hati kamu.""Apa? Maksudnya apa?""Ya, kam

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status